10. Penyimpanan di cold room
2.4.3. Perubahan mutu udang
Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat dalam petunjuknya mengenai pencegahan dan keamanan produk pangan atau yang dikenal dengan nama Defect Action Level Handbook telah mendefinisikan tentang arti dari dekomposisi, yaitu sebagai suatu penguraian oleh bakteri atau akibat perubahan kimia enzimatis pada jaringan produk. Perubahan ini selanjutnya diperlihatkan dengan timbulnya penyimpangan pada bau, rasa, tektur, warna dan sebagainya (FDA, 1998).
Secara umum dalam mengevaluasi produk udang yang diimpor, FDA Amerika Serikat menggunakan 3 kelas sistem, yaitu:
• Kelas 1 (Passable atau yang lolos dari pemeriksaan), yaitu udang dengan kriteria sangat segar atau produk udang yang tidak dapat diidentifikasi dekomposisinya.
• Kelas 2 Decomposed-Slight but Definite atau udang yang telah terdekomposisi tetapi tidak terdeteksi baunya.
• Kelas 3 Decomposed -Advanced atau udang yang telah terdekomposisi dan telah menimbulkan bau.
Penilaian ini didasarkan atas pe ngujian karakteristik sensori subjektif yang dilakukan oleh panelis sensori terlatih. Sampai tahun 1996, FDA Compliance Policy Guide (CPG) 7108.11 mendefinisikan dekomposisi kelas 2 sebagai udang dengan jumlah konsentrasi indol lebih besar atau sama dengan 25 µ g/100 g tetapi lebih kecil dari 50 µ g/100 g, sedangkan udang dengan dekomposisi kelas 3 ditunjukkan dengan konsentrasi indol yang lebih besar dari 50 µ g/100 g (FDA, 1996).
Namun perubahan mutu akibat berfluktuatif nya suhu hanya dengan menunjukkan nilai indol menjadi tidak efektif lagi. Hal ini diungkapkan oleh Benner et al. (2003), dimana dalam penelitiannya mengenai perbedaan suhu dengan kisaran suhu 0, 12, 24, dan 36 °C yang dicobakan, menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya suhu maka penurunan mutu udang semakin cepat. Perubahan mutu dari udang penaied budidaya menunjukan bahwa udang dapat diterima dengan nilai konsentrasi indol rata -rata sebesar 25 µ g/100 g, selain itu untuk putrescine dan cadaverine masing-masing sebesar 3 ppm.
Perubahan mutu udang masak, tidak hanya dilihat dari keadaan atau kondisi penyimpanan saja. Murakami (1994) misalnya mengkaji perubahan mutu udang masak selama berlangsungnya pemasakan. Dalam laporannya memperlihatkan bahwa perubahan mutu selama proses pemasakan udang ditunjukkan dengan adanya perubahan tekstur dan karakteristik termofisik dari udang, seperti misalnya kadar air, berat jenis, konduktivitas panas, volume, dan sebagainya, serta terjadinya kehilangan berat (weight loss). Perubahan ini tentu membawa konsekuensi ekonomi yang penting. Penurunan kadar air misalnya, diduga disebabkan oleh penurunan daya ikat air dari protein sehingga menyebabkan denaturasi atau adanya perubahan gaya internal akibat tekanan pada konektivitas jaringan penghubung. Murakami (1994) selanjutnya melaporkan bahwa kadar air pada udang mengalami penurunan hampir 10% selama proses pemasakan. Udang yang direbus dalam 10% larutan garam selama 4 menit, volumenya berkurang sebanyak 22,5% dan udang yang dimasak dalam sup kentang (cooking shrimp in cream of potato soup) selama 30 menit mengalami pengurangan berat sebesar 26,3 %.
Erdogdu et al. (2004) menerangkan bahwa proses pemasakan pada udang menyebabkan terjadinya denaturation protein myofibrillar dan penyusutan kolagen, sehingga akhirnya mengakibatkan mengerasnya daging udang (tightening and stiffening). Secara bersamaan Brodersen and Bremner (2001) menambahkan bahwa perubahan tersebut akhirnya akan menyebabkan terjadinya drip (keluarnya cairan yang mengandung protein) selama proses pemasakan yang mengakibatkan timbulnya kekosongan antar serabut otot udang. Semua faktor ini mempengaruhi keseluruhan volume dan kepadatan setelah pemasakan.
Perubahan mikroorganisme telah dipelajari oleh Hatha et al. (2003), dimana dari 1964 sampel uda ng mentah dan 914 sampel udang masak dari jenis udang windu (Penaeus monodon) di India yang telah menerapkan program keamanan pangan atau HACCP menunjukan bahwa untuk udang mentah yang dibekukan, 96% dari contoh menunjukkan nilai TPC di bawah 105, sedang 99% dari contoh udang masak beku
ready-to-eat menunjukkan TPC kurang dari 104. Nilai TPC berkisar antara 1x102 – 4,2x106 cfu (unit koloni)/gr untuk udang mentah yang dibekukan dan antara
komposisi kimia gelembung renang
karakteristik isinglass sebagai pelapis edible * konsentrasi pelarut * jumlah gelembung renang
kekentalan pelapis edible
teknik pelapisan (pencelupan)
Tingkat efektivitas pelapis edible
3. PENDEKATAN TEORITIS
Dalam peranannya sebagai pelapis edible, isinglass harus memiliki kriteria dasar dari suatu pelapis. Tingkat keyakinan yang dapat digunakan adalah melihat sejauhmana produk tersebut terlapisi. Hal ini menyangkut tertutupnya produk secara keseluruhan dan ketebalan lapisan yang menutupi produk tersebut. Untuk tertutupnya produk, dapat dilihat dari teknik pelapisan yang digunakan. Berdasarkan teknik-teknik pelapisan yang dikemukan Krochta et al. (1994), yaitu pencelupan (dipping), penyemprotan (spraying), pembungkusan (casting) dan pengolesan (brushing), hanya pencelupan (dipping) yang praktis, mudah dan layak menutupi keseluruhan produk udang masak tersebut.
Ketebalan lapisan, dipengaruhi oleh teknik pelapisan dan tingkat kekentala n larutan yang digunakan. Oleh karena itu, analisis terhadap sifat gelembung renang menjadi sangat penting untuk diketahui. Selain itu konsentrasi pelarut, proporsi bahan yang ditambahkan dengan pelarut, dan keadaan lain yang menunjang seperti lamanya pela rutan atau suhu yang digunakan. Keterkaitan antara faktor-faktor yang menentukan tingkat efektivitas pelapisan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Faktor-faktor dalam menentukan tingkat efektivitas pelapisan bahan menggunakan isinglass.
Sebagai salah satu produk pangan, udang masak yang disimpan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor yang berhubungan dengan produk dan faktor lingkungan dimana produk tersebut berada. Faktor yang ber hubungan dengan produk meliputi bentuk atau ukuran, sehingga nantinya akan menentukan luas permukaan produk. Laju penetrasi udara atau uap air dari luar akibat dari luasnya permukaan produk akan mempenga ruhi laju perubahan produk. Oleh karena itu keseragaman ukuran dari produk sangat menentukan dalam analisis ini.
Aplikasi pelapis edible dari isinglass akan terlihat dari modifikasi terhadap keadaan ini. Jadi tingkat keberhasilan pelapis edible dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan dalam memenuhi fungsinya sebagai artificial barrier untuk menciptakan kondisi dalam memperlambat perubahan mutu produk. Oleh karena itu, penilaian efektivitas pelapis edible dapat ditinjau dari perubahan pada berbagai parameter mutu produk yang ada. Perubahan mutu udang masak dapat ditentukan dengan melihat perubahan kimia, mikrobiologi, dan sifat fisik. Secara skematis keterkaitan faktor -faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Keterkaitan pe rlakuan dalam penentuan kemunduran mutu produk udang masak selama penyimpanan dingin.
Adanya indikator mutu dari produk merupakan petunjuk yang sangat penting dalam menilai tingkat keberhasilan percobaan yang dilakukan. Faktor ini dapat berupa penilaian konsumen, melalui penampakan, bau dan rasa atau juga nilai gizi. Namun yang terpenting adalah indikator-indikator akibat perubahan kimia, mikrobiologi dan fisik, yang menunjukkan suatu tingkat keakuratan terjadinya perubahan mutu tersebut. Indikator perubahan kimia hasil perikanan segar, termasuk
LINGKUNGAN PENYIMPANAN PRODUK PELAPIS EDIBLE PERUBAHAN MUTU MASA SIMPAN
udang masak umumnya dapat berupa perubahan kandungan protein, lemak dan air. Indikator perubahan komposisi protein dapat dilihat dari makin tingginya nilai total volatile base (TVB) dan nilai pH, yang menunjukkan te lah terjadi perubahan pada protein menjadi komponen-komponen penyusunnya. Timbulnya bau akibat perubahan lemak dapat diukur dengan makin tingginya nilai thiobarbituric acid (TBA). Hal ini menunjukkan bahwa lemak telah teroksidasi, sehingga menyebabkan perubahan komposisi pada asam-asam lemak menjadi komponen volatil seperti aldehid dan keton. Indikator perubahan kimia lainnya adalah makin meningkatnya kadar air dan nilai aw dari produk.
Indikator serangan mikroorganisme dapat diketahui dengan makin meningkatnya nilai total plate count atau TPC pada produk tersebut. Sedangkan perubahan fisik dapat ditunjukkan dengan hilangnya kekerasan dari produk atau terjadinya drip (keluarnya cairan dari produk biasanya disertai kandungan komponen lainnya). Hal ini dapat diukur dengan melihat kecenderungan dari makin menurunnya daya ikat air atau water holding capacity (WHC) serta terjadinya perubahan warna, yang diukur secara obyektif dengan sistem notasi hunter (L*a*b*). Adapun faktor lingkungan yang berpengaruh antara lain ruang penyimpanan. Indikasi yang digunakan adalah suhu dan kelembaban (RH). Untuk faktor lingkungan lain yang diduga dapat mempengaruhi produk adalah kemasan yang digunakan. Kemasan ini dapat berupa bahan kemasan beserta karakteristiknya serta ketebala nnya.