• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan pelapis edible dari isinglass dan aplikasinya untuk mempertahankan mutu udang masak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan pelapis edible dari isinglass dan aplikasinya untuk mempertahankan mutu udang masak"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN PELAPIS

EDIBLE

DARI

ISINGLASS

DAN

APLIKASINYA UNTUK MEMPERTAHANKAN MUTU

UDANG MASAK

BAMBANG RIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(2)

BAMBANG RIYANTO. Pengembangan Pelapis

Edible

dari

Isinglass

dan Aplikasinya

untuk Mempertahankan Mutu Udang Masak. Dibimbing oleh USMAN AHMAD dan

SUROSO.

Pengembangan pelapis

edible

berbahan

isinglass

untuk bahan pangan merupakan

gagasan baru dalam pengawetan produk hasil perikanan (

seafood product

). Teknologi

produksi dan aplikasinya dalam upaya mempertahankan mutu udang masak dipelajari pada

penelitian ini. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yang meliputi karakterisasi gelembung

renang (proksimat dan asam amino), metode pembuatan larutan

isinglass

sebagai pelapis

edible

dengan perlakuan konsentrasi asam asetat (1; 1,5; dan 2%v/v) dan perbandingan

jumlah gelembung renang kering (0,5; 0,75; dan 1 gram) masing- masing dalam 100 ml

asam asetat serta aplikasi

isinglass

sebagai pelapis

edible

udang masak selama

penyimpanan dingin (lama pencelupan 15 dan 30 menit).

Gelembung renang yang dianalisis mengandung air 18,22%, protein 76,75%,

karbohidrat 4,42%, lemak 0,08% dan abu 0,34%, serta asam amino didominasi oleh glisin,

prolin, alanin, asam glutamat, arginin dan hidroksiprolin.

Isinglass

yang baik untuk pelapis

edible

dengan viskositas 24,30 cP adalah pada perlakuan konsentrasi asam asetat 1,5% dan

pemberian gelembung renang sebanyak 0,5 gram dalam 100 ml larutan asam asetat.

Isinglass

dengan karakterisasi yang terpilih (pencelupan 30 menit) dapat mempertahankan

masa simpan udang masak dari 2 hari menjadi 5 hari. Kriteria mutu udang masak yang

disimpan selama 5 hari tersebut adalah sebagai berikut nilai TPC 1,15x10

5

unit koloni/gram; TVB 11,65 mg/100 g; TBA 0,03-0,17 mg/kg malonaldehide; pH 5,38;

a

w

0,93; kadar air 78,47%; WHC 36,20% serta warna stabil dengan kisaran nilai L* 70;

(3)

PENGEMBANGAN PELAPIS

EDIBLE

DARI

ISINGLASS

DAN

APLIKASINYA UNTUK MEMPERTAHANKAN MUTU

UDANG MASAK

BAMBANG RIYANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Teknik Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Tesis : Pengembangan Pelapis Edible dari Isinglass dan Aplikasinya untuk Mempertahankan Mutu Udang Masak

Nama : Bambang Riyanto

NIM : P24500001

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Usma n Ahmad, M.Agr Dr. Ir. Suroso, M. Agr

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pascapanen

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc.

(5)
(6)
(7)

i

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunianya sehingga tesis ini berhasil disusun. Tema yang dipilih dalam tesis ini adalah Pengembangan Pelapis Edible dari Isinglass dan Aplikasinya untuk Mempertahankan Mutu Udang Masak.

Terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr. dan Bapak Dr. Ir. Suroso, M.Agr. yang telah banyak membimbing dan memberikan saran sehingga penelitian dan penulisan tesis dapat berjalan dengan baik.

2. Ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc. yang telah menguji dan banyak memberikan saran sehingga tulisan ini menjadi lebih baik.

3. Bapak Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria, M.Sc. yang telah banyak membantu penyelesaian pendidikan, penelitian sampai ke pada penulisan tesis ini.

4. Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB, PKSPL-LPPM IPB, PT Indofood Sukses Makmur dan PT Central Pertiwi Bahari atas beasiswa

yang diberikan.

5. Ir. Wini Trilaksani, MSc., Ir. Ruddy Suwandi, MS., M.Phil, Ir. Iriani Setyaningsih, MS, Ir. Nurjanah, MS, Uju Sadi, S.Pi. dan Dr. Ir. Aceng Hidayat, MS (Departemen THP), Dr. Ir. Kadarwan Soewardi (Dekan FPIK-IPB), Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS (PKSPL-LPPM IPB), Dr. Rimbawan (Direktur Kemahasiwaan IPB), dan Syamsul Arifin, A.Md (PT Cental Pertiwi Bahari) atas segala bantuan dan saran yang diberikan.

6. Valeriana dan Zalfa Shohwah Madania atas segala waktu dan perhatiannya. 7. M. Susanto, S.Pi., Ismail Hasan, S.Pi., Andiarto, Suminto, Timor Mahendra,

Adityo, Bandel, Awan, Citra, Leni, Anjar, Bu Ema, Pak Gandi, dan Ismail Adhari atas segala bantuannya selama penelitian, seminar dan ujian.

Semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat.

(8)

ii

RIWAYAT HIDUP

(9)

iii

Halaman

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Gelembung Renang... 4

2.1.1. Karakteristik morfologis dan fisiologis gelembung renang... 4

2.1.2. Komposisi kimia gelembung renang ... 6

2.2. Isinglass... 8

2.2.1. Pengertian dan kegunaan isinglass... 8

2.2.2. Proses pembuatan isinglass... 10

2.3. Pelapis Edible... 12

2.4. Udang ... 14

2.4.1. Karakteristik udang... 14

2.4.2. Udang masak (cooked shrimp)... 16

2.4.3. Perubahan mutu udang... 17

3. PENDEKATAN TEORITIS ... 20

4. METODOLOGI... 23

4.1. Waktu dan Tempat... 23

4.2. Bahan dan Alat... 23

4.3. Metode Penelitian ... 23

4.4. Prosedur Analisis ... 25

4.5. Rancangan Percobaa n ... 31

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

5.1. Karakteristik Gelembung Renang Ikan Patin ... 32

5.2. Karakteristik Pelapis Edible dari Isinglass... 34

(10)

iv

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

6.1. Kesimpulan... 49

6.2. Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(11)

v

DAFTAR TABEL

Teks Halaman

1. Komposisi asam amino gelembung renang catfish... 7 2. Komposisi kimia gelembung renang segar dan kering pada berbagai

jenis ikan air tawar (%)... 8 3. Komposisi kimia udang (crustaceans, shrimp, mixed species, cooked,

dan moist heat) sebesar 3 oz (85 gram) ... 15 4. Hasil analisis kimia komposisi gelembung renang ikan patin ... 32 5. Komposisi asam amino gelembung renang ikan patin dan berbagai

sumber protein... 33 6. Pengaruh konsentrasi asam asetat dan gelembung renang terhadap

(12)

vi

Teks Halaman

1. Letak dan bentuk gelembung renang... 5 2. Fining times pada berbagai fining agent antara lain kolagen bovine

dengan pelarut asam, gelatin, kolagen bovine dengan pelarut enzim pepsin, isinglass dan kolagen bovine dengan enzim succinylated pepsin.. ... 10 3. Skema proses pembuatan isinglass... 12 4. Keterkaitan antara faktor -faktor dalam menentukan tingkat efektivitas

pelapisan... 20 5. Keterkaitan perlakuan dalam penentuan kemunduran mutu produk

udang masak... 21 6. Diagram alir pembuatan dan aplikasi isinglass sebagai pelapis edible

udang masak... 24 7. Proporsi gelembung renang dari keseluruhan bagian tubuh ikan patin ... 32 8. Grafik nilai log TPC udang masak dengan pelapis isinglass selama

penyimpanan ... 36 9. Grafik nilai TVB udang masak segar dengan pelapis isinglass selama

penyimpanan ... 37 10. Grafik nilai TBA udang masak dengan pelapis isinglass selama

penyimpanan ... 39 11. Grafik nilai pH udang masak dengan pelapis isinglass selama

penyimpanan ... 41 12. Grafik nilai aw udang masak dengan pelapis isinglass selama

penyimpanan ... 42 13. Grafik kadar air udang masak dengan pelapis isinglass selama

penyimpanan ... 43 14. Grafik nilai WHC udang masak dengan pelapis isinglass selama

penyimpanan ... 44 15. Grafik nilai L* udang masak dengan pelapis isinglass selama

penyimpanan ... 46 16. Grafik nilai a* udang masak dengan pelapis isinglass selama

penyimpanan ... 46 17. Grafik nilai b* udang masak dengan pelapis isinglass selama

penyimpanan ... 47 18. Posisi nilai warna L*, a*, dan b* udang masak dengan pelapis isinglass

(13)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Rata-rata proporsi bagian tubuh ikan patin ... 55

2. Preparasi gelembung renang ikan patin ... 56

3. Gelembung renang ikan patin kering... 57

4. Penyimpanan udang masak... 57

5. Pelapis edible dari isinglass semi solid ... 58

6a. Teknik pelapisan dengan isinglass pada udang masak... 59

6b. Kondisi pelapisan dengan isinglass pada udang masak... 59

7. Analisis ragam dan uji lanjut nilai viskositas larutan isinglass ... 60

8. Analisis ragam dan uji lanjut nilai TPC ... 62

9. Analisis ragam dan uji lanjut nilai TVB ... 64

10. Analisis ragam dan uji lanjut nilai TBA ... 66

11. Analisis ragam dan uji lanjut nilai pH ... 68

12. Analisis ragam dan uji lanjut nilai aw... 69

13. Analisis ragam dan uji lanjut nilai Kadar Air ... 70

14. Analisis ragam dan uji lanjut nilai WHC ... 71

15. Analisis ragam dan uji lanjut nilai L*... 72

16. Analisis ragam dan uji lanjut nilai a*... 74

(14)

1.1. Latar Belakang

Udang masak (cooked shrimp atau boiled shell-on shrimps) merupakan suatu makanan favorit (luxury food) di negara-negara maju khususnya Eropa dan Jepang (Globefish, 2005). Udang tersebut dijual pada supermarket-supermarket besar yang dikemas dalam tray dengan berat antara 0,5-1 kg/tray dan disajikan pada refrigerated food display yang dilengkapi lampu. Kondisi ini menyebabkan naiknya suhu ruang displa i 10o dari -1,6o C, sehingga produk mengalami penurunan mutu (PLI, 2000).

Ta hun 2000, Sydney Fish Market mengeluarkan buku “Petunjuk Tata Laksana Penanganan Ikan yang Baik” untuk jaringan pemasarannya yang dikenal dengan nama Seafood Handling Guidelines. Udang masak yang dijual pada supermarket tersebut harus disajikan kepada konsumen dengan istilah “ready for retail sale or processing” dengan suhu antara -1o C dan maksimum 5o C, diletakkan pada kemasan yang bersih, dan lebih disukai jika dikemas dengan plastic bags. Ditekankan pula bahwa indikator mutu produk terletak pada adanya senyawa metasulfit (suatu colouring agents) untuk pencegahan black spot (pigmen melanosis).

Penurunan mutu udang masak antara lain disebabkan oleh terjadinya perubahan warna, oksidasi lemak, denaturasi protein, peningkatan volatile base nitrogen, perubaha n tekstur, penurunan daya ikat air atau water holding capacity dan keluarnya cairan mengandung padat daging udang atau drip (Erdogdu et al., 2004). Karakteristik utama yang menarik dari udang masak adalah timbulnya warna merah akibat perubahan pigmen carotenoid astaxanthin. Selama penyimpanan, warna merah cenderung memudar dan berangsur -angsur berubah menjadi kuning. Menurut Christophersen et al. (1991), perubahan ini disebabkan oleh photooxidation pada astaxanthin, Nielsen et al. (1996) menyatakan bahwa pr oses perubahan ini dapat dipercepat dengan makin tingginya konsentrasi oksigen.

(15)

penyimpanan kemudian larutnya beberapa komponen termasuk warna ketika dilakukan thawing. Untuk menstabilkan warna dan mencegah terjadinya oksidasi lemak, Bak et al. (1999), Sivertsvik (1995), dan Jenie et al. (1993) menyarankan penggunaan kemasan atmosfir termodifikasi (modified atmosphere packaging).

Kemajuan lain dari teknik kemasan adalah dikembangkannya edible packaging (Sivertsvik, 2000). Sejalan dengan perkembangan teknologi, kecenderungan penggunaan bahan baru yang setaraf dengan bahan kemasan sintetik menjadi suatu perhatian utama. Gennadios (2002) dan Gennadios (2004) menguraikan perkembangan ini dalam ediblefilm dan coating berbahan dasar protein (protein-based films and coatings). Keunggulan film protein untuk perkembangan teknologi masa depan adalah protein terdiri atas 20 monomer asam amino, dibanding hanya beberapa atau bahkan satu monomer dari polisakarida yang juga digunakan dalam pembuatan edible film dan coating.

Hickman et al. (2000) menunjukkan bahwa isinglass merupakan suatu protein kolagen yang terdapat pada gelembung renang ikan, yang memiliki jumlah “cross lingking” antar molekul yang rendah, sehingga menyebabkan mudah larut dibandingkan dengan bahan gelatin dari bovine (sapi atau hewan terestrial lainnya). Namun isinglass mudah terdenaturasi pada suhu 29o C. Selanjutnya Gennadios (2004) menyatakan bahwa film yang terbuat dari kolagen-gelatin mempunyai permeabilitas yang rendah terhadap gas dan sangat tinggi terhadap uap air.

Meskipun berbagai penelitian tentang aplikasi isinglass telah banyak dilakukan, terutama sebagai bahan pengklarifikasi di industri minuman bir, tetapi kajian sebagai pelapis edible belum pernah dilakukan. Untuk mengetahui pengembangan isinglass sebagai pelapis edible, maka perlu dipelajari metode pembuatan larutan isinglass yang dapat digunakan sebagai pelapis edible beserta karakteristiknya serta aplikasi pelapis edible dari isinglass tersebut untuk mempertahankan mutu udang masak selama penyimpanan. Sehingga penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan.

(16)

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Menemukan metode pembuatan larutan isinglass yang dapat digunakan sebagai pelapis edible dari gelembung renang ikan patin dan mempelajari karakteristiknya.

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Gelembung Renang

2.1.1. Karakteristik morfologis dan fisiologis gelembung renang

Gelembung renang (swimbladder) adalah organ berbentuk kantung udara yang berfungsi sebagai pengatur keseimbangan saat ikan mengapung di air , sehingga ikan tersebut tidak perlu berenang terus menerus dalam mempertahankan posisinya. Organ ini hampir ditemui pada semua jenis ikan. Gelembung renang sering disebut juga gelembung gas atau gelembung udara. Pada beberapa spesies ikan, gelembung renang sanga t penting sebagai indera pendengar. Secara fisik gelembung renang memiliki dinding yang fleksibel, terletak di dalam rongga tubuh ikan, dan memiliki sedikit pembuluh darah (Evans, 1998).

(18)

Gelembung renang tipe terbuka Gelembung renang tipe tertutup (Physostome) (Physoclist)

Gambar 1. Letak dan bentuk gelembung renang (Pough, 1999) .

Gelembung renang tipe terbuka (physostome) merupakan bentuk awal gelembung renang dan masih berfungsi sama dengan paru-paru. Gas yang mengisi gelembung renang/udara ini berasal dari permukaan air, artinya saat ikan naik ke permukaan, ikan akan menghirup udara sehingga mengisi gelembung renang tersebut.

Berdasarkan fungsinya untuk menahan dan mengeluarkan gas, terlihat ada nya saluran yang menghubungkan antara gelembung renang ke esophagus, yang dinamakan saluran udara (ductus pneumaticus). Saluran penghubung ini memberikan fungsi besar pada larva ikan untuk bernafas dan berenang saat gelembung renangnya mulai berkembang dan hanya beberapa dari gelembung renang yang mempertahankan saluran ini sampai tingkat dewasa. Kemudian melalui sa luran udara tersebut, ikan dapat menahan dan mengeluarkan udara ke permukaan, sehingga dapat mempertahankan keseimbangannya.

Berdasarkan alasan ini, gelembung renang tipe terbuka biasanya terdapat pada jenis ikan yang hidupnya di daerah dekat permukaan air, sehingga jenis ikan-ikan ini mudah untuk mendapatkan udara dari atmosfir dan mengisi gelembung udaranya. Hal tersebut dapat menjadi tidak logis untuk ikan yang hidup di dasar peraira n, karena sangat kecil kemungkinannya mendapatkan udara dari atmosfir dengan jumlah yang besar dalam mencapai keseimbangan alami pada perairan yang sangat dalam. Oleh karena itu, kebanyakan dari ikan yang memiliki gelembung

Gelembung renang Gelembung

(19)

renang tipe terbuka (contohnya ikan mas dan trout) ditemukan pada perairan dangkal dari suatu perairan tawar, dan sedikit ditemukan hidup pada kedalama n dibawah 10 meter. Kecuali pada belut (eels) dan herring yang memiliki gelembung renang terbuka.

Di lain pihak, ikan yang memiliki tipe gelembung renang tertutup (physoclist), diperlihatkan dengan jelas gelembung renang yang dimiliki sepenuhnya tertutup dari segala sumber udara luar (eksternal). Saluran udara (ductus pneumaticus) yang ada hanya dapat dipertahankan pada tingkat awal larva. Gas yang esensial untuk mempertahankan keseimbangan pada gelembung renang tipe ini berasal langsung dari darah. Untuk membantu metode pertukaran gas, pembuluh darah berhubungan langsung dengan kelenjar gas (gas gland) dan rete mirabile (Evans, 1998).

Evolusi dari gelembung renang tipe tertutup, memunculkan sesuatu kebebasan dari ikan untuk mengambil risiko atau memberanikan diri pada perairan yang lebih dalam. Bahkan pada beberapa ikan yang hidup di perairan dalam, mereka memiliki gelembung renang yang ukurannya kecil atau bahkan tidak mengunakan gelembung renang sama sekali. Hal ini karena mereka tidak memiliki kebutuhan atau sama sekali menggunakan dalam kepentingan kehidupan hidrostatisnya.

2.1.2. Komposisi kimia gelembung renang

(20)

quartener menunjukkan formasi ukuran kecil sampai medium aggregat tropocollagen.

Struktur primer (sekuen asam amino) kolagen mengandung 18 asam amino yang berbeda. Kolagen kaya akan asam amino glisin (1/3 dari total residu), hidroksiprolin dan prolin, dan sedikit mengandung hidroksilisin serta tidak mengandung triptopan (Choa et al., 2005; Choi dan Regenstein. 2000). Kandungan hidroksiprolin pada kolagen ikan lebih kecil dibandingkan pada mamalia. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya ikatan hidrogen pada gelatin dari ikan terhadap air, sehingga mempengaruhi titik gel dan titik lelehnya. Komposisi asam amino gelembung renang catfish dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi asam amino gelembung renang dari catfish

No. Asam Amino Komposisi (mg/100g)

1 Triptofan 0,17± 0,01

2 Asam aspartat 9,12 ± 0,20

3 Threonine 3,52 ± 0,02

4 Serine 4,09 ± 0,03

5 Asam glutamat 9,57 ± 0,10

6 Prolin 11,50 ± 0,31

7 Glisin 7,74 ± 0,90

8 Alanin 9,63 ± 0,27

9 Sistin 0,28 ± 0,01

10 Valin 2,98 ± 0,03

11 Methionin 1,92 ± 0,05

12 Isoleusin 2,00 ± 0,04

13 Leusin 3,42 ± 0,02

14 Tirosin 1,54 ± 0,02

15 Fenilalanin 2,76 ± 0,04

16 Histidin 1,63 ± 0,04

17 Lisin 3,91 ± 0,04

18 Arginin 7,81 ± 0,16

Sumber: Eun et al. (1994)

(21)

menunjukkan tidak adanya perbedaan antara glycosylation pada berbagai sumber tersebut.

Berdasarkan komposisi kimianya, gelembung renang pada berbagai jenis ikan air tawar tropis dalam keadaan segar, memiliki kadar air 69,80-75,60%; protein 23,80-26,80%; dan kadar abu 0,12-0,20%. Dalam keadaan kering, kadar air gelembung renang ikan berkisar antara 11,50-14,50%; protein 83,50-87,20%; dan kadar abu 0,40-0,70% (Badonia dan Qureshi, 2000). Komposisi kimia gelembung renang segar dan kering pada berbagai jenis ikan air tawar selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia gelembung renang segar dan kering pada berbagai jenis ikan air tawar

Kadar air (%) Protein (%) Kadar Abu (%)

Jenis Ikan

segar kering segar kering segar kering

Catla catla 74,50 13,20 25,20 84,50 0,15 0,50

Labeo rohita 75,40 14,50 24,60 85,20 0,12 0,40

Cirrhinus mrigala 75,60 13,50 23,80 86,50 0,15 0,50

Hypophthalmichtys molitrix 70,20 12,10 25,12 86,00 0,20 0,60

Ctenopharyngodon idella 72,40 12,40 25,50 87,20 0,15 0,50

Mystus seenghala 69,80 11,50 26,80 83,50 0,25 0,70

Sumber : Badonia dan Qureshi (2000).

2.2. Isinglass

2.2.1. Pengertian dan Kegunaan

(22)

Berikut pengertian dan karakteristik serta kegunaan dari isinglass:

§ Isinglass merupakan protein kolagen. Akan menjadi gelatin ketika dipanaskan. Isinglass dari gelembung renang ini telah digunakan sebagai penjernih atau pembuat citra bening dari wines (anggur fermentasi) dan bir (Clucas dan Ward, 1996).

§ Isinglass adalah bahan seperti gelatin yang diperoleh dari gelembung renang, terutama ikan sturgeon (http:// www.foodreference.com/html/fisinglass.html).

§ Isinglass adalah bahan agak tembus pandang seperti gelatin yang diperoleh dengan cara membersihkan da n mengeringkan gelembung renang dari kotoran dan pembuluh darah yang melekat terutama pada ikan sturgeon, hake, dan ikan lainnya (http://www.slider.com/enc /27000/isinglass.htm).

§ Isinglass adalah suatu unsur semi transparan keputih-putihan terdiri dari suatu format gelatin, diproduksi dari organ bunyi (gelembung renang) ikan Acipenser huso, dan jenis Acipenser lain yang ditemukan di Caspian dan Laut Hitam (http://palimpsest. stanford.edu/don/dt/dt1901.html).

§ I-Zuhn-Glas; I-Zing-Glas murni dan transparan, merupakan bentuk menyerupai gelatin yang berasal dari gelembung renang ikan tertentu (sturgeon). Populer sejak 100 tahun yang lalu, terutama sekali untuk pembuatan selai dan untuk menjernihkan a nggur (http://allrecipes.iwon.com/encyc/terms /I/7008.asp).

§ Isinglass (i´zenglas) adalah unsur agak tembus pandang (semi transparan) seperti gelatin yang diperoleh dari pembersihan gelembung renang ikan sturgeon, cod, hake, dan ikan lainnya. Isinglass dihasilkan dari Rusia, Amerika Serikat, Canada, Brazil, India Barat, dan Filipina. Digunakan sebagai klarifikasi bir dan anggur, sebagai pengerasan untuk selai, sebagai komponen plester halaman, semen dan lem. (http://www.highbeam.com/library).

§ Formula khusus bahan kertas bagi kolektor lukisan (Petukhova dan Bonadies , 1993)

(23)

memiliki kualitas yang yang baik jika dibandingkan dengan fining agent lain. Tingkat efektivitas isinglass sebagai fining agent dibandingkan dengan sumber bahan baku yang lain dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Fining times pada berbagai fining agent antara lain kolagen bovine dengan pelarut asam, gelatin, kolagen bovine dengan pelarut enzim pepsin, isinglass dan kolagen bovine dengan enzim succinylated pepsin (Ward, 2005) .

2.2.3. Prosespembuatan isinglass

Pada prinsipnya proses pembuatan isinglass umumnya sama, yaitu preparasi gelembung renang dari bagian lainnya , pengeringan dan pelarutan. Pada tahap persiapan dilakukan pencucian terhadap gelembung renang. Gelembung renang tersebut dibersihkan dari darah, daging, dan kotoran jeroan lainnya yang melekat. Dicuci dengan air bersih, lalu ditiriskan sampai kering atau langsung dikeringkan dengan sinar matahari (Clucas dan Ward, 1996).

Pada tahap konversi kolagen menjadi isinglass dilakukan perendaman dalam air selama 4 – 6 jam sampai gelembung renang yang kering tersebut menjadi lunak (Clucas dan Ward, 1996). Badonia dan Qureshi (2000) menjelaskan bahwa tahap perendaman dapat dilakukan dengan menggunakan larutan asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat, suksinat, ta rtarat dan asam lainnya yang aman dan tidak terlalu bau. Sedangkan asam anorganik yang biasa digunakan adalah asam hidroklorat, fosfat dan sulfat. Jenis pelarut alkali yang umum digunakan adalah

Bovine dengan pelarut asam

Bovine dengan pelarut enzim pepsin

Absorbansi (600 nm)

(24)

sodium karbonat, sodium hidroksida, potassium karbonat dan potassium hidroksida. Proses pembuatan isinglass dari gelembung renang ikan secara skematis berdasarkan Badonia dan Qureshi (2000) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gelembung renang ikan

Pembersihan (darah, daging, kotoran, bagian jeroan lain) Pencucian

Penirisan

Pengeringan dengan matahari Pemotongan untuk memperkecil ukuran Perendaman (penambahan asam asetat 2%)

Isinglass bentuk semi solid gel Penirisan atau Pengeringan dengan matahari

Sortasi Isinglass kering

Gambar 3. Skema proses pembuatan isinglass semi solid gel dan kering.

Secara lengkap proses pembuatan isinglass berdasarkanBadonia dan Qureshi (2000) sebagai berikut:

§ Tahapan preparasi. Tahapan ini diawali dengan proses pembersihan gelembung renang dari kotoran yang menempel, ba ik itu darah, isi perut yang masih menempel maupun kotoran dari luar dan kemudian dicuci dengan air bersih. Gelembung renang ikan pada umumnya memiliki lapisan bening yang tipis pada bagian luarnya yang disebut dengan ”tunica externa” dan lapisan bagian dalamnya yang merupakan bahan baku untuk pembuatan isinglass.

(25)

§ Tahapan perendaman. Gelembung renang yang telah kering tersebut selanjutnya dipotong kecil-kecil, untuk kemudian direndam dalam larutan asam asetat 2% dengan pH sekitar 2,5 selama 4 jam. Bentuk semisolid gel menandakan isinglass telah terbentuk.

Jika menginginkan produk isinglass kering, biasanya dilakukan tahapan selanjutnya, yaitu penirisan atau penjemuran kembali. Teknik penirisan biasanya lebih baik dibandingkan dengan pengeringan dibawah sinar matahari langsung, karena produk isinglass yang dihasilkan umumnya berwarna putih dan menarik serta memiliki nilai komersial yang tinggi.

Tahapan terakhir adalah sortasi dan pengemasan. Sortasi dilakukan dengan cara memisahkan produk isinglass kering berdasarkan tingkat penampakannya, yaitu transparan (tembus pandang/bening), transcluent (tembus pandang namun agak buram) atau opaque (buram).

2.3. Pelapis Edible

Istilah film dan coating sering dipertukarkan (interchangeably). Secara normal, film berdiri sendiri (self-supporting), ditempatkan pada atau antara komponen makanan. Coating adalah lapisan tipis bahan yang dibentuk secara langsung dengan mencelupkan (dipping), penyemprotan (spraying), atau panning ke permukaan dari produk makanan dengan maksud untuk melindungi serta meningkatkan nilai tambah dari produk (Krochta, 2002). Tujuan digunakannya edible film dan coating adalah untuk mencegah migrasinya uap air, gas, aroma, dan lipids; membawa ingredien makanan (seperti antioksidan, antimikrobial, dan flavor); dan/atau untuk meningkatkan integritas mekanik atau karakteristik penanganan dari makanan.

(26)

Perkembangan film dan pelapis edible berbahan dasar protein kolagen-gelatin secara lengkap dikemukan oleh Arvanitoyanis (2002) dan Gennadios (2004), dimana secara umum karakteristik fisik film atau pelapis edible dari kolagen-gelatin tersebut adalah :

1. Karakteristik panas (thermal properties)

Karakteristik panas pada kolagen dan gelatin dipengaruhi antara lain oleh kandungan air, sumber, metode preparasi (“hot casting” vs “cold casting”), heating rates dan thermal history. Beberapa penelitian tentang sifat ini dilakukan dengan menentukan ekstrapolasi data percobaan diffrential scanning calorimetry (DSC) (10 oC/min) dengan quenching sampel sampai homogenous glass. Adanya sukrosa, glukosa, gliserol, starch, kitosan, polyol, urea mempengaruhi karakteristik panas zat ini.

2. Karakteristik mekanis (mechanical properties)

Film tipis kolagen-gelatin kaya akan materi koloid. Gelatin komersial memiliki karakterisasi, terutama strength dan viskositas. Sedangkan tensile strength dan elongation sangat penting untuk karakteristik fisik edibel film. Parameter utama yang mempengaruhi sifat kolagen-gelatin adalah sumber (jenis materi), metode ekstraksi, berat molekul, metode preparasi film (hot-cold casting) dan derajat hidratasi atau adanya plasticizer. Kelemahan utama kolagen-gelatin sebagai bahan kemasan makanan adalah pada kurang baiknya atau lemahnya karakteristik mekanis (mechanical properties).

3. Rheologi

Kolagen-gelatin digunakan secara luas pada photography, pharmaceutical dan aplikasi pangan. Kolagen-gelatin mempunyai sifat polielektrolit amfoterik (pH-dependent net charge dan isoelectric point), dan digunakan secara luas dengan surfaktan yang bersifat kationik atau anionik.

(27)

1). Pencelupan (dipping)

Biasanya teknik ini digunakan pada produk yang memiliki permukaan kurang rata. Setelah pencelupan, kelebihan bahan coating biasanya dibiarkan terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin hingga edible coating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran.

2). Penyemprotan (spraying)

Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis atau lebih seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk produk yang me mpunyai dua sisi permukaan, contohnya pizza.

3). Pembungkusan (casting)

Teknik ini digunakan untuk pembuata n film, yang berdiri sendiri dan terpisah dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan untuk yang bukan pelapisan (coating).

4). Pengolesan (brushing)

Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating pada produk.

2.4. Udang

2.4.1. Karakteristik udang

Udang Penaeid digolongkan ke dalam filum Arthropoda karena memiliki ciri-ciri anggota badan dan eksoskeleton yang melakukan pergantian kulit (molting) secara berkala. Kelas Malacostraca merupakan kelas dengan tingkat evolusi paling tinggi diantara kelompok krustasea. Udang karang, lobster, udang dan kepiting merupakan empat jenis hewan yang diketahui dari kelas Malacostraca (Brock dan Moss 1992).

(28)

sehingga terlihat beruas-ruas sepanjang anggota badan termasuk mata. Pada bagian dada terdapat delapan ruas yang setiap ruas memiliki sepasang anggota badan (trakopoda). Trakopoda pada ruas pertama sampai ketiga (maskipila) berperan sebagai pelengkap mulut dalam memegang makanan. Trakopoda pada ruas keempat sampai kedelapan (periopoda) berperan sebagai kaki jalan.

Udang penaeid betina tumbuh 50 gram lebih berat dan 200 mm lebih panjang dari jantannya. Penaeus spp merupakan target utama dari usaha pengolahan hasil perikanan dan merupakan spesies favorit pada usaha budidaya. Spesies ini mudah diidentifikasi melalui perbedaan warna yang dimiliki, terutama setelah mereka dewasa (Dall et al. 1990).

Kompos isi daging udang sangat tergantung pada spesies, tingkat umur, musim, habitat juga kebiasaan makan. Nutriondata.com (2005) menginventarisasikan komposisi kimia udang (crustaceans, shrimp, mixed species, cooked, dan moist heat) sebesar 3 oz (85 gram) yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia udang (crustaceans, shrimp, mixed species, cooked, dan moist heat) sebesar 3 oz (85 gram)

Komposisi Nilai Satuan

Kadar Air 77,3 gram

Kadar Abu 1,6 gram

Energy 84,1 kalori

Karbohidrat 0 kalori

Lemak 8,3 kalori

Protein 75,9 kalori

Lemak 0,9 gram

asam lemak jenuh (saturated) 18:0 81,6 mg asam lemak tidak jenuh (unsaturated) 18:1 96,9 mg

Protein 17,8 gram

leucine 1410 mg

lysine 1547 mg

arginine 1552 mg

alanine 1006 mg

asam aspartat 1837 mg

asam glutamat 3031 mg

(29)

2.4.2. Udang m asak (cooked shrimp)

Udang masak adalah produk udang yang mengalami proses pe masakan (perebusan dan pengukusan). Teknik pengolahan udang masak ini masih sangat beragam dan tergantung dari target pasarnya. Secara umum teknologi pengolahan udang masak berdasarkan Canadian Food Inspection Agency (1997) meliputi tahapan penerimaan udang, pemberian es dan pencucian, penyimpanan selama hanya 2 hari, persiapan untuk diolah lebih lanjut (pemberian es dan pencucian), pemasakan (cooking), pendinginan dan pengupasan (cooling and peeling), pembersihan (cleaning), brining and draining, pembekuan IQF (freezing IQF), glazing, penimbangan (weighing/ grading), pengemasan (packaging), dan penyimpanan dalam cold storage. Adapun masing-masing tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Penerimaan bahan baku

Udang di dalam wadah dibongkar secara hati– hati, setelah dilakukan pemeriksaan/inspeksi udang kemudian dipindahkan dan disiram dengan air guna menghilangkan kotoran yang melekat.

2. Pemisahan dan penimbangan

Pemisahan ukuran udang dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku dan dibagi menjadi 3 ukuran, yaitu udang besar, medium dan kecil. Setelah itu udang ditimbang.

3. Perendaman dengan bahan tambahan

Proses perendaman menggunakan bahan tambahan tertentu dilakukan jika dipersyaratkan oleh pelanggan. Untuk konsentrasi larutan dan waktu perendaman dilakukan sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.

4. Pemasakan

Proses pemasakan dilakukan menggunakan alat pemasak. Tingkat kematangan didasarkan atas ketentuan pelanggan. Pemasakan dapat dilakukan dengan pengukusan atau perebusan.

5. Pendinginan

(30)

6. Penyusunan

Udang yang akan dibekukan disusun dalam bentuk blok. Cara penyusunan disesuaikan dengan spesifikasi masing-masing produk.

7. Pembekuan

Pembekuan dilakukan hingga suhu pusat udang mencapai -18 °C.

8. Penggelasan

Blok yang suda h lepas segera dicelupkan ke dalam air es. Tujuan dilakukannya penggelasan ini adalah untuk mencegah terjadinya dehidrasi selama penyimpanan beku dan banyak drip setelah udang di-thawing.

9. Pengemasan

Setelah proses penggelasan selanjutnya udang dikemas sesuai dengan spesifikasi pengemasan yang digunakan, biasanya menggunakan polybag dengan bahan LDPE (Low Density Polyethylene) dan master carton.

10. Penyimpanan di cold room

Udang yang telah dikemas selanjutnya segera dibawa ke gudang pendingin dengan suhu -20°C atau lebih rendah.

2.4.3. Perubahan mutu udang

Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat dalam petunjuknya mengenai pencegahan dan keamanan produk pangan atau yang dikenal dengan nama Defect Action Level Handbook telah mendefinisikan tentang arti dari dekomposisi, yaitu sebagai suatu penguraian oleh bakteri atau akibat perubahan kimia enzimatis pada jaringan produk. Perubahan ini selanjutnya diperlihatkan dengan timbulnya penyimpangan pada bau, rasa, tektur, warna dan sebagainya (FDA, 1998).

Secara umum dalam mengevaluasi produk udang yang diimpor, FDA Amerika Serikat menggunakan 3 kelas sistem, yaitu:

• Kelas 1 (Passable atau yang lolos dari pemeriksaan), yaitu udang dengan kriteria sangat segar atau produk udang yang tidak dapat diidentifikasi dekomposisinya.

(31)

• Kelas 3 Decomposed -Advanced atau udang yang telah terdekomposisi dan telah menimbulkan bau.

Penilaian ini didasarkan atas pe ngujian karakteristik sensori subjektif yang dilakukan oleh panelis sensori terlatih. Sampai tahun 1996, FDA Compliance Policy Guide (CPG) 7108.11 mendefinisikan dekomposisi kelas 2 sebagai udang dengan jumlah konsentrasi indol lebih besar atau sama dengan 25 µ g/100 g tetapi lebih kecil dari 50 µ g/100 g, sedangkan udang dengan dekomposisi kelas 3 ditunjukkan dengan konsentrasi indol yang lebih besar dari 50 µ g/100 g (FDA, 1996).

Namun perubahan mutu akibat berfluktuatif nya suhu hanya dengan menunjukkan nilai indol menjadi tidak efektif lagi. Hal ini diungkapkan oleh Benner et al. (2003), dimana dalam penelitiannya mengenai perbedaan suhu dengan kisaran suhu 0, 12, 24, dan 36 °C yang dicobakan, menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya suhu maka penurunan mutu udang semakin cepat. Perubahan mutu dari udang penaied budidaya menunjukan bahwa udang dapat diterima dengan nilai konsentrasi indol rata -rata sebesar 25 µ g/100 g, selain itu untuk putrescine dan cadaverine masing-masing sebesar 3 ppm.

(32)

Erdogdu et al. (2004) menerangkan bahwa proses pemasakan pada udang menyebabkan terjadinya denaturation protein myofibrillar dan penyusutan kolagen, sehingga akhirnya mengakibatkan mengerasnya daging udang (tightening and stiffening). Secara bersamaan Brodersen and Bremner (2001) menambahkan bahwa perubahan tersebut akhirnya akan menyebabkan terjadinya drip (keluarnya cairan yang mengandung protein) selama proses pemasakan yang mengakibatkan timbulnya kekosongan antar serabut otot udang. Semua faktor ini mempengaruhi keseluruhan volume dan kepadatan setelah pemasakan.

Perubahan mikroorganisme telah dipelajari oleh Hatha et al. (2003), dimana dari 1964 sampel uda ng mentah dan 914 sampel udang masak dari jenis udang windu (Penaeus monodon) di India yang telah menerapkan program keamanan pangan atau HACCP menunjukan bahwa untuk udang mentah yang dibekukan, 96% dari contoh menunjukkan nilai TPC di bawah 105, sedang 99% dari contoh udang masak beku

ready-to-eat menunjukkan TPC kurang dari 104. Nilai TPC berkisar antara 1x102 – 4,2x106 cfu (unit koloni)/gr untuk udang mentah yang dibekukan dan antara

(33)

komposisi kimia gelembung renang

karakteristik isinglass sebagai pelapis edible * konsentrasi pelarut * jumlah gelembung renang

kekentalan pelapis edible

teknik pelapisan (pencelupan)

Tingkat efektivitas pelapis edible

3. PENDEKATAN TEORITIS

Dalam peranannya sebagai pelapis edible, isinglass harus memiliki kriteria dasar dari suatu pelapis. Tingkat keyakinan yang dapat digunakan adalah melihat sejauhmana produk tersebut terlapisi. Hal ini menyangkut tertutupnya produk secara keseluruhan dan ketebalan lapisan yang menutupi produk tersebut. Untuk tertutupnya produk, dapat dilihat dari teknik pelapisan yang digunakan. Berdasarkan teknik-teknik pelapisan yang dikemukan Krochta et al. (1994), yaitu pencelupan (dipping), penyemprotan (spraying), pembungkusan (casting) dan pengolesan (brushing), hanya pencelupan (dipping) yang praktis, mudah dan layak menutupi keseluruhan produk udang masak tersebut.

Ketebalan lapisan, dipengaruhi oleh teknik pelapisan dan tingkat kekentala n larutan yang digunakan. Oleh karena itu, analisis terhadap sifat gelembung renang menjadi sangat penting untuk diketahui. Selain itu konsentrasi pelarut, proporsi bahan yang ditambahkan dengan pelarut, dan keadaan lain yang menunjang seperti lamanya pela rutan atau suhu yang digunakan. Keterkaitan antara faktor-faktor yang menentukan tingkat efektivitas pelapisan dapat dilihat pada Gambar 4.

[image:33.612.131.459.436.661.2]

(34)

Sebagai salah satu produk pangan, udang masak yang disimpan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor yang berhubungan dengan produk dan faktor lingkungan dimana produk tersebut berada. Faktor yang ber hubungan dengan produk meliputi bentuk atau ukuran, sehingga nantinya akan menentukan luas permukaan produk. Laju penetrasi udara atau uap air dari luar akibat dari luasnya permukaan produk akan mempenga ruhi laju perubahan produk. Oleh karena itu keseragaman ukuran dari produk sangat menentukan dalam analisis ini.

Aplikasi pelapis edible dari isinglass akan terlihat dari modifikasi terhadap keadaan ini. Jadi tingkat keberhasilan pelapis edible dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan dalam memenuhi fungsinya sebagai artificial barrier untuk menciptakan kondisi dalam memperlambat perubahan mutu produk. Oleh karena itu, penilaian efektivitas pelapis edible dapat ditinjau dari perubahan pada berbagai parameter mutu produk yang ada. Perubahan mutu udang masak dapat ditentukan dengan melihat perubahan kimia, mikrobiologi, dan sifat fisik. Secara skematis keterkaitan faktor -faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

[image:34.612.124.497.410.518.2]

Gambar 5. Keterkaitan pe rlakuan dalam penentuan kemunduran mutu produk udang masak selama penyimpanan dingin.

Adanya indikator mutu dari produk merupakan petunjuk yang sangat penting dalam menilai tingkat keberhasilan percobaan yang dilakukan. Faktor ini dapat berupa penilaian konsumen, melalui penampakan, bau dan rasa atau juga nilai gizi. Namun yang terpenting adalah indikator-indikator akibat perubahan kimia, mikrobiologi dan fisik, yang menunjukkan suatu tingkat keakuratan terjadinya perubahan mutu tersebut. Indikator perubahan kimia hasil perikanan segar, termasuk

LINGKUNGAN PENYIMPANAN

PRODUK

PELAPIS EDIBLE

PERUBAHAN MUTU

(35)

udang masak umumnya dapat berupa perubahan kandungan protein, lemak dan air. Indikator perubahan komposisi protein dapat dilihat dari makin tingginya nilai total volatile base (TVB) dan nilai pH, yang menunjukkan te lah terjadi perubahan pada protein menjadi komponen-komponen penyusunnya. Timbulnya bau akibat perubahan lemak dapat diukur dengan makin tingginya nilai thiobarbituric acid (TBA). Hal ini menunjukkan bahwa lemak telah teroksidasi, sehingga menyebabkan perubahan komposisi pada asam-asam lemak menjadi komponen volatil seperti aldehid dan keton. Indikator perubahan kimia lainnya adalah makin meningkatnya kadar air dan nilai aw dari produk.

(36)

4.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September– Oktober 2004 di Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Perairan yang kemudian dilanjutnya pada bulan Mei-Agustus 2005 di Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB, PT Central Pertiwi Bahari, Muara Baru Jakarta dan Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian, Cimanggu Bogor.

4.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelembung renang ikan patin, udang vanname (Litopenaeus vannamei) masak dalam bentuk PUD (peeled undevined) dengan ukuran 60-70 (dalam 1 kg terdapat udang masak PUD sebanyak 60-70 ekor ), air, asam cuka , es keping (flake ice), kertas saring, bahan pengemas berupa cling film, plastik polipropilen dan tray serta bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis kimia, asam amino, TVB, TBA dan TPC.

Alat yang digunakan antara lain berupa peralatan preparasi gelembung renang berupa pisau, nampan plastik penjemur, termometer, hot plate yang dilengkapai stirer, gelas piala 500 ml, cold box untuk penyimpanan, wadah untuk pelapisan, serta peralatan untuk pengujian berupa peralatan analisis komponen kimia protein, air, asam amino, TVB, pH meter, TBA, aw meter, TPC, viscometer, dan spektrometer.

4.3. Metode Penelitian

(37)

Jeroan ikan

Pemisahan gelembung renang jeroan lainnya

Air Pencucian gelembung renang Air, kotoran

Penirisan (suhu 26oC, 2-4 hari)

Gelembung renang kering

Pengecilan ukuran (1x1 mm)

Asam asetat (1; 1,5; dan

2%v/v)

Pelarutan gelembung renang (0,5; 0,75; dan 1%b/v)

Isinglass semisolid gel

Pelapisan dengan pencelupan (dipping) udang masak

(15 dan 30 menit)

[image:37.612.152.496.97.562.2]

Penyimpanan (7 hari)

Gambar 6. Diagram alir pembuatan dan aplikasi isinglass sebagai pelapis edible udang masak.

(38)

aw; perubahan mutu mikrobiologi (total plate count); dan analisis sifat fisik (water

holding capasity, perubahan warna).

Percobaan dirancang menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan faktor lama pencelupan (15 dan 30 menit) selama penyimpanan (0-6 hari) dengan ulangan 2 kali. Data dianalisis menggunakan analisis ragam untuk melihat pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Jika memberikan respon yang nyata, maka dilanjutkan dengan menguji perbedaan antar perlakuan menggunakan uji multiple comparisons (Tukey HSD).

4.4. Prosedur Analisis

Prosedur dari masing–masing parameter diatas adalah sebagai berikut :

(1). Kadar abu (AOAC, 1995)

Contoh yang telah diuapkan airnya dimasukkan ke dalam ta nur bersuhu 600o C, sebelumnya berat cawan kering dan cawan contoh telah diketahui. Proses penguapan dilakukan sampai semua bahan berubah warna menjadi abu-abu, kemudian contoh ditimbang.

(2). Kadar protein (AOAC, 1995)

Sejumlah sampel seberat 0,02 – 0,05 gram dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml, kemudian ditambah 2 – 3 ml H2SO4 pekat, lalu dilakukan dekstruksi hingga larutan menjadi jernih. Setelah didinginkan, sampel kemudian didestilasi dengan menambahkan 35 ml aquades serta 10 ml NaOH 50 %. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer berisi 5 ml H3BO3 dengan indikator metil merah dan metil biru. Selanjutnya produk dititrasi dengan HCl 0,02 N. Kadar protein ditentukan dengan rumus :

(3). Kadar lemak (AOAC, 1995)

(39)

hexana untuk selanjutnya dilakukan reflux selama 6 jam. Lalu labu berisi hasil reflux dipanaskan dalam oven dengan suhu 105o C. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak ditentukan dengan rumus :

(4). Kadar air (AOAC, 1995)

Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105o C selama 1 jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang. Contoh yang akan ditentukan kadar airnya ditimbang sebanyak 5 gram. Cawan yang telah berisi contoh dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105o C sampai beratnya konstan. Kadar air dihitung berdasarkan persamaan berikut :

(5). Karbohidrat (AOAC, 1995)

Pengukuran kadar karbohidrat dilakukan menggunakan karbohidrat by difference.

(6). Analisis asam amino (AOAC, 1995)

Prosedur analisa pengukuran asam amino menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Sebelum dianalisis, sampel dihidr olisis dengan asam yaitu dengan cara 10 gr sample ditimbang dalam tabung reaksi bertutup lalu ditambahkan 1,5 HCl 6N. Sampel diendapkan daam larutan HCl dengan alat ultra sonic Lucas Dawe, kemudian dialiri gas N2 yang berfungsi untuk mencegah oksidasi. Tabung lalu dimasukkan ke dalam oven dan dipanaskan dengan suhu 1100 C selama 24 jam.

Hasil hidrolisis dipindahkan ke dalam labu evaporator dan disaring dengan Sintered Glass sambil dibilas dengan High Pure (HP) secukupnya. Hasil penyaringan dikeringkan denga n pompa vakum selama 10 menit, lalu ditambahkan 5 ml HCl 0,01 N ke dalam sampel dan disaring kembali dengan membran filter berukuran 0,045 µm.

100% x sampel berat lemak berat lemak % = 100% x sampel berat ) kering sampel basah (sampel (%) air

(40)

Sekitar 12,5 µm sampel diinjeksikan ke dalam tabung vial dan ditambahkan 12,5 µm bufer kalium borat pH 10,4 (perbandingan 1:1), lalu dicampur hingga homogen. Campuran tersebut diambil lima mikroliter dan dimasukkan ke tabung vial yang lain, lalu ditambahkan 25 µm pereaksi OPA, dibiarkan selama 1 menit agar proses derivatisasi sempurna. Sekitar lima mikroliter sampel diinjeksikan kedalam kolom HPLC dan ditunggu sampai pemisahan asam amino selesai. Waktu yang diperlukan sekitar 25 menit.

(7). Nilai total volatile bases (TVB) (AOAC, 1995)

Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amonia, mono-, dan trimetilamin dan lain-lain) yang terdapat dalam ekstrak sampel yang bersifat basa pada suhu 350 C selama 2 jam atau pada suhu kamar selama semalam. Senyawa–senyawa tersebut diikat oleh asam borat kemudian dititrasi dengan HCl.

(41)

TVB (mg/100 g) = (ml titrasi sampel – ml titrasi blanko) x 80 mg N/100 g ikan.

(8). Nilai pH (AOAC, 1995)

Penetapan nilai pH dilakukan setelah pH-meter dikalibrasi terlebih dahulu. Setelah sampel disiapkan, suhunya diukur , kemudian pengatur suhu pH-meter ditetapkan pada suhu tersebut. Stabilisasi pH-meter dilakukan selama 15-30 menit. Setelah itu elektroda dibilas dengan aquades dan keringkan. Elektroda dicelupkan ke dalam larutan sampel dan pengukuran pH dapat diset. Elektroda dibiarkan tercelup beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang stabil, kemudian pH sampel dapat dicatat.

(9). Nilai aw

Alat yang digunakan untuk mengukur aktivitas air adalah aw meter. Prosedur penggunaan alat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mula-mula alat dihidupkan lalu ditekan tombol start sampai terbaca ready push to start.

2. Dilakukan kalibrasi alat dengan cara mengisi cawan sampel dengan 2-3 tetes larutan standar (NaCl). Tombol start ditekan dan terbaca under test, lalu ditunggu beberapa saat sampai terbaca completed, Nilai aw dan suhu dicocokkan dengan yang tertulis dalam standar. Jika tidak sesuai maka dilakukan kalibrasi dengan cara menekan start kedua kali lalu memutar sekrup kalibrasi sampai nilai aw sesuai.

3. Dilakukan pengukuran sampel dengan cara memasukkan satu gram sampel ke dalam wadah, ditekan start dan ditunggu sampai terbaca completed maka akan terbaca nilai aw yang akan diukur.

(10). Penentuan total plate count (TPC) (Fardiaz, 1987)

(42)

utama penyebab pembusukan yang sedang berlangsung. Peralatan yang digunakan adalah : gunting, pisau, timbangan analitik, pipet 1 ml, blender jars, erlenmeyer (ukuran 250 ml, 500 ml dan 1000 ml), batang pengaduk, tabung reaksi, inkubator, stop watch, pinset, cawan petri, lampu bunsen dan alat bakteri Quebec.

Prosedur kerjanya terdiri dari empat tahap yang saling berhubungan yaitu: tahap persiapan, inokulasi, inkubasi, dan perhitungan. Mula – mula ditimbang 20 gram daging ikan contoh secara aseptis dan representatif, dimasukan ke dalam blender jars steril dan ditambahkan 180 ml NaCl 0,9 % steril, kemudian di-blender selama beberapa detik dengan kecepatan rendah dan dilanjutkan dengan kecepatan tinggi selama 2 menit. Larutan yang didapat adalah pengenceran 1 : 10, selanjutnya dipipet larutan 1 : 10 diatas sebanyak 1 ml, dimasukan ke dalam cawan petri steril dan 1 ml lagi sebagai duplo. Kemudian disiapkan larutan contoh 1 : 100, dengan memipet 1 ml larutan 1 : 100, dengan memipet 1 ml larutan 1 : 10 dan memasukan ke dalam 9 ml larutan NaCl 0,9 % steril, lalu dikocok sampai homogen, maka diperoleh larutan contoh 1 :100, dipipet larutan contoh 1 : 100 ini dan dimasukan ke dalam cawan petri steril kedua dan secara duplo. Selanjutnya dengan cara yang sama dikerjakan inokulasi contoh sampai dengan pengenceran 1 : 1000 000 yang dilakukan secara aseptis. Kedalam semua cawan petri yang telah berisi larutan contoh di atas, dituangkan secara aseptis media tumbuh plate count agar (PCA) steril bersuhu 450C sebanyak 15 ml, dan dibiarkan selam 15-20 menit sampai agarnya memadat. Setelah itu semua cawan petri tersebut diinkubasi pada suhu 37 0C dengan posisi terbalik selama 48 jam. Disamping itu dibuat blanko, yaitu ke dalam cawan petri steril hanya dituangkan media tumbuh PCA 15 ml dan 1 ml larutan pepton satu persen steril. Selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah bakteri dengan menggunakan alat hitung bakteri Quebec. Perhitungan dilakukan disesuaikan dengan standard plate count (SPC).

(11). Water holding capacity (Hamm, 1972 dalam Wahyuni, 1992)

(43)

kemudian dijepit dengan carver press yaitu diantara dua plat jepitan berukuran 35 kg/cm2 selama 5 menit. Luas area basah (wetted area) adalah luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan, yaitu selisih luas lingkaran luar dan dalam kertas saring. Pengukuran lingkaran dilakukan dengan planimeter merk Hruden. Kertas saring yang digunakan adalah whatman 1 No. 40. Bobot air bebas (air produk yang terlepas karena penekanan) dapat dihitung dengan rumus berikut:

Berat air (mg) = luas area basah - 8,0 0,0948

Air bebas (%) = berat air x 100 % 30 mg

dengan mengetahui kadar air total daging, maka air terikat atau WHC dapat ditentukan dengan:

WHC (%) = kadar air total (%) – kadar air bebas (%)

(12). Uji warna (Dewan Standardisasi Nasional, 1991 - SNI 01-2345-1991)

Pengukuran warna secara objektif menggunakan alat Chromometer CR200 dengan sistem notasi Hunter (L*a*b). Tingkat pewarnaan udang ditunjukkan dengan notasi (Soekarto, 1990 dan Berrang et al., 1990):

L : parameter kecerahan, menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam. Nilai L berkisar dari 0 (hitam) hingga 100 (putih).

a : warna kromatik gradasi merah hijau dengan nilai + (plus) dari 0 hingga 100 untuk warna merah dan – (minus) a dari nilai 0 hingga -80 untuk warna hijau

(44)

(13). Viskositas

Larutan disiapkan, selanjutnya diukur dengan menggunakan alat brookfield synchro-lectric viscometer. Pengukuran dilakukan dengan kecepatan 60 rpm. Nilai viscometer dinyatakan dalam satuan centipoise (cP)

4.5. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancanga n acak kelompok dengan faktor utama adalah lama perendaman atau pelapisan, yang meliputi (1) 15 menit, (2) 30 menit. Perlakuan ini selanjutnya diulang sebanyak 2 kali. Udang masak selanjutnya di simpan selama 7 hari, dengan pengamatan dan analisis setiap hari.

Model matematika rancangan acak kelompok (RAK) dengan percobaan satu faktor adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1980):

Yij = µ + αi + (β)j + ∑ij

Dimana Yij nilai pengamatan pada faktor α taraf ke-i dan kelompok ke-j, (µ, αi) merupakan komponen aditif dari rataan, sedangkan ∑ij merupakan pengaruh acak yang menyebar normal (0, σ2).

(45)

5.1. Karakteristik Gelembung Renang Ikan Patin

[image:45.612.119.504.299.385.2]

Proporsi rata-rata berat gelembung renang dari 20 sampel ikan patin yang digunakan dalam penelitian adalah sebesar 2% (Lampiran 1). Adapun teknik preparasi yang digunakan dalam pengambilan gelembung renang ini dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3. Berdasarkan proporsi tersebut , berat gelembung renang dari keseluruhan isi perut (jeroan) ikan patin adalah sebesar 22,2 %. Proporsi rata-rata berat gelembung renang dari keseluruhan bagia n tubuh ikan patin selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Proporsi gelembung renang dari keseluruhan bagian tubuh ikan patin.

[image:45.612.119.499.613.708.2]

Hasil analisis proksimat, gelembung renang ikan patin segar terdiri dari air (78,34%), protein (14,73%), karbohidrat (4,22%), abu (0,05%) dan lemak (0,03%). Namun setelah dilakukan penirisan dengan bentuk kering (Lampiran 4) gelembung renang ikan patin didominasi oleh protein (76,75%), yang diikuti oleh air (18,22%), karbohidrat (6,36%), abu (0,34%) dan lemak (0,08%). Hasil selengkapnya analisis proksimat gelembung renang ikan patin segar maupun kering dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisis kimia komposisi gelembung renang ikan patin Nilai (%)

No. Analisis

Segar Kering

1 Kadar air 78,34 18,22

2 Kadar abu 0,05 0,34

3 Total protein 14,73 76,75

4 Lemak 0,03 0,08

5 Karbohidrat 4,22 6,36

4 9 %

6 %

1 6 %

2 0 % 7 %

2 %

Daging Kulit Tulang Kepala J e r o a n

(46)

Berdasarkan data hasil dari kedua pengamatan tersebut, maka persentase gelembung renang kering yang dihasilkan adalah

Keseimbangan total : A = B + C

2% = B + C atau C = 2% -B

Keseimbangan parsial : 0,7834 (2%) = 0,1822 B + (2%-B) 1,5668 = 2% - 0,8178 B

B = 0,5 % gelembung renang kering

Selanjutnya berdasarkan analisis asam amino, komposisi asam amino yang terdapat pada protein gelembung renang kering terdiri dari glisin (20,70 %), prolin (16,02 %), alanin (10,24 %), asam glutamat (10,19 %), arginin (8,27 %) dan hidroksiprolin (6,13 %). Jika melihat perbandingan komposisi asam amino pada berbagai sumber protein, antara lain protein kolagen, susu (casein), putih telur (albumin), dan wool (Endt dan Baker, 2005), maka komposisi asam amino yang terkandung dalam gelembung renang ikan patin mirip dengan komposisi asam amino yang terdapat pada protein kolagen yang terdiri dari glisin , prolin, alanin, asam glutamat, arginin dan hidroksiprolin. Komposisi asam amino dari berbagai sumber protein dan perbandingannya dengan komposisi asam amino yang terdapat pada gelembung renang ikan patin dapat dilihat pada Tabel 5.

C

air yang menguap

A B

Gelembung renang basah Kadar air =78,34%

Gelembung renang kering Kadar air =18,22% PENGERINGAN

(47)

Ta bel 5. Komposisi asam amino gelembung renang ikan patin dan berbagai sumber protein

gelembung renang (%b/b) residu asam amino (%b/b) * No. Asam Amino

segar kering kolagen kasein albumin wool 1. Aspartat 0,55 5,50 47 63 32 54 2. Asam Glutamat 0,77 10,19 77 153 52 96 3. Serin 0,40 3,00 32 60 36 95 4. Histidin 0,57 0,63 5 19 7 7 5. Glisin 1,13 20,70 363 30 19 87 6. Threonin 0,33 2,93 19 41 16 54 7. Prolin 1,21 16,02 131 65 14 83 8. Arginin 0,61 8,27 49 25 15 60 9. Alanin 0,23 10,24 107 43 35 46 10. Tirosin 0,61 0,97 5 45 9 26 11. Methionin 0,27 1,37 5 17 16 5 12. Valine 0,43 2,52 29 54 28 40 13. Sistin 0,33 1,65 - 2 1 49 14. Fenilalanin 0,15 2,34 15 28 21 23 15. Isoleusin 0,25 1,88 15 49 25 - 16. Leusin 0,12 3,29 28 60 32 86 17. Lisin 0,24 3,81 31 61 20 19 18. Hidroksiprolin 0,82 6,13 107 - - - 19. Triptopan tidak di

analisis

tidak di analisis

- 8 3 9

Sumber : * Endt dan Baker (2005)

Berdasarkan penggolongan polaritas pada kandungan gugus R asam amino, maka menurut Lehninger (1982) bagian terbesar dari asam amino yang terdapat pada gelembung renang ikan patin adalah asam amino yang bersifat asam, basa dan terhidroksilasi, sehingga merupakan protein yang bersifat hidrofilik dibandingkan lipofilik.

[image:47.612.120.509.124.379.2]
(48)

5.2. Karakteristik Pelapis Edible dari Isinglass

[image:48.612.120.501.274.425.2]

Salah satu indikator pembentuk ketebalan pelapis edible ditentukan oleh besarnya nilai kekentalan larutan, yang diukur dengan nilai viskositas. Sedangkan keseragaman dan kemerataan pelapisan pada udang masak diperlihatkan secara visual sesaat setelah pencelupan dilakukan (Lampiran 5 dan 6). Viskositas larutan isinglass dari berbagai konsentrasi asam asetat yang dicobakan menghasilkan viskositas yang bervariasi (Tabel 6).

Tabel 6. Pengaruh konsentrasi asam asetat dan gelembung renang terha dap viskositas isinglass sebagai pelapis edible

Asam asetat (% v/v)

Gelembung Renang

(% b/v) Viskositas (cP) S Dev

0,50 27,46 0,20

0,75 44,83 0,32

1,0

1,00 74,00 1,23

0,50 24,31 0,17

0,75 43,02 0,31

1,5

1,00 62,50 0,44

0,50 21,92 0,16

0,75 40,64 0,29

2,0

1,00 55,03 0,39

Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa viskositas larutan isinglass ditentukan oleh besarnya konsentrasi asam asetat dan jumlah gelembung renang yang

ditambahkan, hal ini ditunjukkan dari nilai interaksinya yang berbeda nyata (P ≤ 0,05). Adanya perbedaan tersebut diduga asam asetat dengan konsentrasi dan

(49)

viskositas larutan dengan semakin tingginya konsentrasi asam nilai viskositas cenderung semakin rendah.

Berdasarkan hasil pengamatan, nilai viskositas tertinggi diperoleh dari perlakuan konsentrasi asam asetat 1 % dan gelembung renang yang ditambahkan sebanyak 1 %b/v, dengan nilai sebesar 74,00 cP. Berdasarkan pengamatan visual hasil pencelupan produk udang masak dalam larutan tersebut (Lampiran 6b), tidak memperlihatkan pelapisan produk pada nilai viskositas yang tinggi ini cenderung yang seragam dan merata. Adapun pelapisan terbaik didapatkan pada nilai viskositas sebesar 24,31 cP yang diperoleh pada konsentrasi asam asetat 1,5 % dan gelembung renang yang ditambahkan sebanyak 0,5 (%b/v) atau 0,5 gram gelembung renang kering dalam 100 ml asam asetat dengan konsentrasi 1,5%. Terdapat dua karakteristik secara visual pada nilai viskositas ini, yaitu larutan isinglass yang dihasilkan lebih praktis dan mudah digunakan sebagai pelapis dengan teknik pencelupa n serta produk udang masak yang dicelupkan memiliki tingkat keseragaman yang baik.

Hal ini menunjukkan bahwa pada nilai viskositas sebesar 24,31 cP, polimer berbentuk matrik yang berasal dari pemutusan ikatan-ikatan protein kolagen telah membentuk jala-ja la larutan isinglass yang khas dalam fungsinya sebagai pelapis edible. Selain itu kondisi kekentalan larutan yang dihasilkan dari pemutusan ikatan-ikatan tersebut ternyata juga baik, merata dan seragam. Sedangkan jika menggunakan konsentrasi yang lebih tin ggi tidak dihasilkan bentuk matrik yang khas, hal ini diduga ikatan-ikatan protein kolagen langsung terurai menjadi larutan.

5.3. Kemunduran Mutu Udang Masak Terlapis Isinglass Selama Penyimpanan

5.3.1. Nilai total plate count (TPC)

(50)

Gambar 8. Grafik nilai log TPC udang masak dengan pelapis isinglass selama penyimpanan.

Analisis ragam log TPC (Lampiran 8a) menunjukkan bahwa pemberian pelapis edible dari isinglass terhadap udang masak selama penyimpanan memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata (P ≤ 0,05). Uji lanjut Tukey (Lampiran 8b) menunjukkan bahwa antara produk udang masak dengan pelapis isinglass dan udang masak tanpa pe lapis isinglass selama penyimpanan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Demikian juga dengan lama pelapisan 15 menit dengan 30 menit menunjukkan adanya perbedaan yang nyata selama 7 hari penyimpanan. Hal ini berarti bahwa pelapis edible dari isinglass mampu melindungi udang masak dari kontaminasi mikroba.

Jika dilihat perbedaan pada masing-masing perlakuan, dimana pada pencelupan 30 menit dan pencelupan 15 menit terlihat nilai TPC yang lebih sedikit dan cenderung stagnan dibandingkan dengan kontrol asam asetat, maka pertumbuhan bakteri tersebut dapat digambarkan bahwa pada keadaaan awal penyimpanan, bakteri yang tumbuh merupakan bakteri akibat kontaminasi. Kondisi selanjutnya adalah stagnan atau terhambatnya pertumbuhan bakteri, yang diduga akibat dari adanya pelapisan tersebut. Namun kondisi tersebut cepat berubah sejalan dengan perubahan kondisi penyimpanan dapat memberikan substrat bagi pertumbuhan bakteri. Dugaan lain dari pertumbuhan bakteri tersebut adalah keadaaan dimana bakte ri yang ada cenderung tetap tumbuh walaupun telah diberi pelapis, sehingga pertumbuhan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (hari)

TPC (Log koloni/gram)

kontrol

asam asetat

15 menit

[image:50.612.148.486.97.269.2]
(51)

bakteri tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya kondisi anaerobik yang tercipta karena pelapisan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bakteri yang tumbuh adalah bakteri-bakteri yang tahan dalam kondisi anaerobik.

Berdasarkan standar TPC untuk udang segar , yaitu sebesar 105 unit koloni/gram (SNI 01-2705-1992), maka udang masak tanpa pelapis isinglass (kontrol) sudah rusak pada hari ke -2, sedangkan udang masak dengan pe lapis isinglass dengan lama pelapisan 30 menit dapat bertahan sampai hari ke-5. Umur simpan yang lebih lama bukan tidak mungkin dicapai bila persiapan dilakukan dengan lebih baik atau jika kontaminasi bakteri dapat diminimalkan.

5.3.2. Nilai total volatile bases (TVB)

[image:51.612.141.481.442.614.2]

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai TVB udang masak dengan lama pelapisan 15 menit berkisar antara 2,10-24,36 mg N/100g dan untuk udang masak dengan lama pelapisan 30 menit berkisar antara 1,18-11,65 mg N/100g. Sedangkan nila i TVB untuk udang masak tanpa pelapisan isinglass berkisar antara 2,99-73,08 mg N/100g dan untuk kontrol dengan perendaman asam asetat 15 menit sampai penyimpanan hari ke-7 tidak terdeteksi. Secara grafik nilai TVB udang masak dengan pe lapis isinglass selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Grafik nilai TVB udang masak segar dengan pe lapis isinglass selama penyimpanan.

Analisis ragam nilai TVB (Lampiran 9a) menunjukkan bahwa pemberian pelapis edible dari isinglass terhadap udang masak selama penyimpanan

0 10 20 30 40 50 60 70 80

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (hari)

TVB (mgN/100g)

kontrol asam asetat

15 menit

(52)

memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata (P ≤ 0,05). Uji lanjut Tukey (Lampiran 9b) menunjukkan bahwa antara produk udang masak dengan pelapis isinglass dan udang masak tanpa pe lapis isinglass selama penyimpanan menunjukka n adanya perbedaan yang nyata. Namun demikian lama pelapisan 15 menit dengan 30 menit tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata selama berlangsungnya penyimpanan .

Hal ini berarti bahwa pemberian pelapis isinglass dapat mempertahankan mutu udang masak selama penyimpanan, yaitu me ngurangi udang masak dari kontaminasi mikroba, sehingga mikroba tidak mampu merubah komponen kimia menjadi senyawa-senyawa pembentuk biogenik amin seperti putresin, cadaverin, spermidin, spermin, tiramin, trimetilamin (TMA) dan agmatin. Hal ini ditunjukkan juga dari nilai TPC pada produk dengan pelapisan isinglass yang lebih kecil dibandingkan tanpa pelapisan isinglass (kontrol) (Gambar 8). Adanya pengurangan tersebut diduga juga oleh penghambatan terhadap interaksi komponen kimia yang terdapat pada produk dengan oksigen, sehingga oksidasi lemak menjadi senyawa-senyawa turunannya menjadi terhambat. Arvanitoyannis (2002) menyatakan bahwa film dari kolagen-gelatin mempunyai permeabilitas yang baik terhadap gas sebagai coating da n kurang baik terhadap uap air.

Jika dilihat dari kelayakan konsumsi, Cheng et al. (1977) menyatakan bahwa udang Penaeus merquensis segar tidak dapat diterima lagi oleh panelis pada nilai TVB sebesar 25 mg/100g. Sedangkan Montgomery et al. (1970) menyatakan bahwa batas kritis daging ikan segar yang layak dikonsumsi manusia adalah dengan nilai TVB sebesar 30 mg/100g. Berdasarkan kajian tersebut maka udang masak tanpa pelapis isinglass sudah tidak dapat diterima lagi pada penyimpanan hari ke -2, sedangkan untuk udang masak dengan pelapis isinglass ternyata dapat bertahan hingga penyimpanan hari ke -5.

5.3.3. Nilai thiobarbituric acid (TBA)

(53)
[image:53.612.140.476.90.260.2]

Gambar 10. Grafik nilai TBA udang masak dengan pe lapis isinglass selama penyimpanan.

Analisis ragam menunjukkan bahwa nilai TBA (Lampiran 10a) udang masak yang diberi pelapis edible dari isinglass dengan tanpa pemberian pelapis selama penyimpanan tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata (P ≤ 0,05). Hal ini berarti pemberian pelapis isinglass belum cukup untuk mempertahankan mutu udang masak selama penyimpanan dengan cara mencegah interaksi komponen kimia produk dengan oksigen atau uap air , sehingga perubahan kimia akibat proses oksidasi atau hidrolisis dapat dicegah. Johnston et al. (1983) menyatakan bahwa udang umumnya mengandung lemak kira-kira 1,2 %, dimana komponen utama yang paling banyak adalah phospholipid. Adanya cahaya dan oksigen akan menyebabkan asam lemak menjadi teroksidasi. Oksidasi lemak ini selanjutnya menghasilkan bau seja lan dengan makin lamanya penyimpanan. Peranan pelapis edible dari isinglass sebenarnya adalah terbentuknya film tipis pada permukaan produk sehingga mencegah masuknya oksigen dan uap air yang dapat menyebabkan lemak menjadi teroksidasi atau terhidrolisis. Namun digunakannya isinglass dengan bentuk larutan atau cairan memungkinkan interaksi yang inten antara komponen kimia yang terdapat dalam udang dengan air dari larutan yang digunakan.

Berdasarkan deskripsi data nilai TBA terlihat pola grafik seperti lonceng, dimana nilai TBA pada awal produk cenderung rendah selanjutnya meningkat secara tajam dan akhirnya menurun sama nilainya dengan nilai TBA sebelumnya. Menurut

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (hari)

TBA (mg/kg malonaldehid)

kontrol

asam asetat 15 menit

(54)

Stuchell dan Krochta (1985) rendahnya nilai TBA pada awal waktu, merupakan indikasi dari belum terurainya peroksida lemak menjadi komponen-komponen volatil yang menimbulkan bau. Pada udang masak dengan pelapis isinglass, terlihat nilai TBA yang lebih kecil dan cenderung menurun lebih cepat dibandingkan dengan nilai TBA pada udang masak tanpa pelapis isinglass. Hal ini mengindikasikan bahwa pelapis edible isinglass telah terdifusi masuk kedalam struktur daging udang dengan lambat untuk berinteraksi dengan komponen-komponen kimia yang ada pada daging udang tersebut termasuk oksigen didalamnya. Keadaan terus berlangsung sampai keadaan menjadi jenuh. Namun oksigen dan air yang terdapat dalam daging udang cenderung lebih banyak, sehingga oksidasi dan hidrolisis pada lemak terus terjadi dengan cepat.

Sebenarnya makin meningkatnya nilai TBA dengan pesat tersebut diakibatkan dari beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi dan kandungan lemak pada udang, antara lain umur, ukuran, lokasi tambak, pakan yang diberikan dan sebagainya. Pada beberapa udang terkandung berbagai macam dan tipe dari lemak, beberapa sangat tinggi asam lemak tidak jenuhnya dan sangat reaktif terhadap oksigen, sehingga mudah teroksidasi Pengaruh protein dan aktivitas air terhadap lemak juga cukup tinggi, namun mekanismenya sangat komplek (Nelson dan Labuza, 1992).

5.3.4. Nilai pH

(55)

Gambar

Gambar 1.  Letak dan bentuk gelembung renang (Pough, 1999).
Tabel  1. Komposisi asam amino gelembung  renang dari catfish
Tabel   2.   Komposisi kimia gelembung renang segar dan kering pada berbagai jenis      ikan air tawar
Gambar  2. Fining times pada berbagai fining agent antara lain kolagen bovinedengan pelarut asam, gelatin, kolagen bovine dengan pelarut enzim pepsin, isinglass dan kolagen bovine dengan enzim succinylated pepsin (Ward, 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Teknik penelitian pada tahap ini meliputi (1) mempelajari pengaruh perlakuan fisik dan kondisi inkubasi dalam optimasi sintesis produksi emulsifier (M-DAG); (2) pengkajian

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka beberapa tahap penelitian yang telah dilakukan adalah survei lokasi tambak udang, pemasangan panel bahan kayu dan fiber, penanaman panel