• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN SOSIAL DI PEDESAAN JAWA: SEKELUMIT DEBAT AGRARIA DI INDONESIA

Dalam dokumen STUDI AGRARIA menurut GUNA W AN WIRADI (Halaman 159-168)

PERDEBATAN DALAM STUDI AGRARIA

C. PERUBAHAN SOSIAL DI PEDESAAN JAWA: SEKELUMIT DEBAT AGRARIA DI INDONESIA

Meskipun paparan mengenai debat agraria yang dipapar- kan di atas bersifat sangat teoritis, dan terkesan sangat abstrak, namun hal itu sangatlah berguna sebagai perangkat analitik untuk memahami proses transisi agraria yang berlangsung secara empiris di suatu masyarakat. Oleh karena itu, pema- haman atas teori-teori tersebut juga sangat membantu dalam memahami proses perubahan agraria yang terjadi di pedesaan Indonesia.

Dr. Nasikun (1990), misalnya, pernah mengajukan per- tanyaan sebagai berikut: “Mengapa, di hadapan kapitalisme agraria yang semakin meningkat, jumlah petani kecil di pede- saan Jawa tetap bertahan?” Beberapa pertanyaan penelitian yang lebih elaboratif mengenai hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1 . Setelah mengalami sekian dekade proses pembangunan, dalam hal bagaimana moda produksi kapitalis lebih do- minan daripada moda produksi yang lain (feodalistik/non- kapitalis)? Bagaimanakah penjelasannya, apa maknanya,

9 Untuk rujukan berbahasa Indonesia, lihat misalnya buku berjudul:

Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21 (terbitan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2008) yang memuat terjemahan karya-karya penulis mutakhir yang membicarakan new agrarian question ini, antara lain: Henry Bernstein, Terence J. Byres, Cristobal Kay, A. Haroon Akram-Lodhi, Saturnino M. Borras Jr., dan lain-lain.

dan apa implikasinya? Untuk melakukan kajian seperti ini, apa saja yang sebaiknya menjadi indikator-indikatornya? 2. Jika meningkatnya tenaga kerja upahan (dibanding dengan

tenaga keluarga yang tak dibayar) dianggap sebagai indi- kator gejala peralihan ke arah dominannya moda produksi kapitalistik, sejauh manakah tenaga kerja upahan itu benar- benar merupakan tenaga “bebas”?

3. Jika benar bahwa Revolusi Hijau telah membawa dampak perubahan pedesaan, diferensiasi yang bagaimanakah yang sedang terjadi (baik dalam perspektif Marxian maupun dalam perspektif Chayanovian)?

4. Bagaimanakah hubungan pola pemilikan/penguasaan tanah dengan proses penetrasi kapital ke pedesaan, khususnya jika dilihat dari dilancarkannya kebijakan deregulasi (libera- lisasi) di berbagai bidang, termasuk di bidang pertanahan? Pertanyaan-pertanyaan semacam di atas sangatlah rele- van dalam kaitannya dengan proses perubahan agraria yang terjadi di masyarakat pedesaan kita dewasa ini, sebagai dampak dari pelaksanaan Revolusi Hijau. Ada banyak perdebatan mengenai berbagai aspek perubahan ini, serta sejauh mana perubahan itu bergerak ke arah stratifikasi atau polarisasi ma- syarakat.

Dalam uraian di bawah ini akan diampilkan sekedar sketsa perdebatan di antara beberapa kelompok peneliti mengenai perubahan-perubahan apa yang terjadi dalam masyarakat pe- desaan di Jawa, yang didasarkan atas penelitian mereka masing-masing. Sketsa inipun hanya terbatas pada salah satu satu dari banyak lingkaran debat di antara kelompok-kelompok peneliti lainnya.

Salah satu lingkaran perdebatan mengenai isu ini diawali oleh tulisan-tulisan William Collier et.al. (GWR termasuk di dalamnya) di tahun-tahun 1973 dan 1974 (yang di belakang hari kemudian memperoleh “cap” sebagai colletal paradigm, atau Populists’ Paradigm). Secara ringkas isi tulisan-tulisan itu pada intinya mengandung sejumlah proposisi, beberapa yang penting di antaranya adalah sebagai berikut:

(a) Pengaruh gabungan antara tekanan jumlah penduduk dan teknologi yang dibawa oleh Revolusi Hijau (RH) telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam pranata-pranata tradisional di pedesaan Jawa, salah satu di antaranya adalah perubahan “tata-cara panen”. (b) Perubahan tata-cara panen merupakan indikasi melemah-

nya gejala “involusi” (gambaran Geertz mengenai poverty- sharing), dan bahkan dapat merupakan salah satu jalan untuk menangkal terjadinya “involusi”.

(c) Teknologi RH menyebabkan terjadinya proses kesen- jangan baik dalam hal penguasaan aset, khususnya tanah, maupun dalam hal pendapatan.

Tulisan-tulisan Collier, et.al. itu didasarkan atas hasil-hasil penelitian di berbagai desa, yaitu desa-desa sampel dari SAE (Survey Agro Ekonomi, lembaga penelitian tempat Collier be- kerja saat itu, sebagai participating consultant), selama 5 tahun, 1968-1973. Kesimpulan berupa proposisi-proposisi tersebut di atas ternyata mengundang reaksi serius dari ber- bagai peneliti asing lainnya. Maka datanglah dua orang Jepang (Prof. Yujiro Hayami dan Dr. Masao Kikuchi), untuk mengkaji ulang hal itu di dua desa di antara desa-desa sampel SAE terse- but, yaitu di Subang Jabar. Penelitian lapangan dilakukan secara

intensif di dua desa ini (2 tahun), dilanjutkan dengan metode RWS (random walk sampling) secara ekstensif di 28 desa di seluruh Jawa.

Hasil studi kedua sarjana Jepang (H & K) itu ditulis dalam berbagai publikasi dan bermuara pada terbitnya buku Asian Village at the Crossroad (1981). “Cap” yang diberikan kepada pandangan Hayami & Kikuchi ini adalah: ANP (Adapted Neo- classical Paradigm), atau IIIT (Induced Institutional Innova- tion Theory). Inti pandangan keduanya adalah sebagai berikut: (a) Tekanan jumlah penduduk merupakan faktor utama bagi terjadinya perubahan hubungan-hubungan agraris di pedesaan;

(b) Dalam hal peran teknologi, pandangannya berlawanan dengan Colletal, yaitu bahwa teknologi justru dapat menga- tasi proses pemiskinan dan dapat menangkal proses ke- senjangan.

(c) Karena itu, institusi tradisional yang ternyata dapat ber- fungsi sebagai pranata kesejahteraan tidak harus berubah, dan sebaiknya tidak diubah, melainkan di-”modernisir” (inovasi) sehingga dapat menjadi penangkal proses dife- rensiasi kelas.

Hasil kajian H & K ini tak ayal mengundang reaksi keras dari berbagai peneliti asing lainnya. Antara lain dari Prof. Dr. Gillian Hart. Dia pun melakukan kajian ulang, di antaranya di salah satu desa sampel SAE di Jawa Tengah. Pandangan-pan- dangan Gillian Hart dalam berbagai tulisannya (termasuk diser- tasi-nya) itu dapat disebut sebagai teori ELA (Exclusionary Labor Arrangement). Intinya adalah kritik, baik terhadap H & K maupun terhadap Colletal, sebagai berikut:

(a) Kedua “paradigma” (H & K maupun Colletal) tersebut di atas dianggap tidak mampu menjelaskan “timing” dan “laju” perubahan;

(b) Perubahan hubungan agraris di pedesaan Indonesia bukan semata-mata disebabkan oleh perubahan teknologi, bukan oleh meningkatnya jumlah penduduk, bukan pula oleh proses komersialisasi, melainkan—yang paling penting— oleh perubahan kondisi politik serta keresahan atau kete- gangan dan kontradiksi-kontradiksi yang dilahirkannya. (c) Karena itu, peran negara menurut Hart perlu dimasukkan

dalam analisis. Dalam hubungan ini, Hart mengajukan teori mengenai ELA (exclusionary labor arrangements) di mana pengaturan tenaga kerja pertanian (buruh kontrak, buruh harian, dll) didasarkan pada suatu pola perekrutan yang di satu pihak mengatur kewajiban-kewajiban, dan di lain pihak menguatkan kontrol atas buruh tani. Dengan demikian, ELA ini merupakan suatu mekanisme di mana negara dan pemilik tanah bukan saja “mengatur tenaga kerja”, namun juga “menerapkan kontrol sosial”. Di sini, persoalan mobi- lisasi dukungan politik dan pelaksanaan “hukum dan keter- tiban” menjadi kunci untuk menjelaskan bentuk-bentuk agrarian labor arrangements. (Cf. G.Hart, 1986; 1989).

Ternyata, pada gilirannya, ketiga posisi pandangan terse- but di atas ditanggapi pula oleh seorang pakar lain yaitu Dr. Jonathan Pincus, pakar dari FAO. Dia melakukan kajian ulang di dua desa yang sama, yang menjadi desa studinya H & K, plus satu desa lain sebagai pembanding. Tiga-tiganya di daerah Kabupaten Subang. Hasil kajiannya di awal dekade 1990-an itu lalu dijadikan disertasi dan diterbitkan sebagai buku dengan

judul: Class, Power and Agrarian Change (1996). Karya Pincus ini mengandung dua tesis utama, yaitu:

(a) Faktor-faktor spesifik lokal (sejarah terbentuknya desa; kon- disi agro-ekologis; dan perimbangan kekuatan antara kelas sosial), merupakan pemegang peran utama dalam mem- bentuk pola-pola perubahan sosial pada tingkat desa; (b) Faktor-faktor lokal tersebut mempengaruhi arah proses

perubahan agraris melalui pengaruhnya atas pembentukan dan perkembangan hubungan antar-rumahtangga, di tingkat desa.

Meskipun di sana-sini terdapat juga ulasan kritis terhadap Colletal dan G.Hart, tetapi sasaran utama kritik Pincus ditu- jukan kepada H & K. Menurutnya, H & K mempunyai empat kelemahan, yaitu:

(a) H & K mengabaikan aspek sejarah.

(b) H & K mengasumsikan desa sebagai komunitas tertutup. Akibatnya, mereka mengabaikan faktor mobilitas tenaga kerja. Padahal, migrasi musiman ternyata juga berkaitan dengan dinamika perubahan pranata lokal, termasuk peru- bahan tata-cara panen.

(c) H & K mengasumsikan bahwa “tekanan penduduk” ber- tanggung jawab atas terjadinya kesenjangan agraria. Ter- nyata, hal itu tidak terbukti.

(d) H & K tidak berhasil menggambarkan bagaimana mekanis- menya mengapa pertumbuhan penduduk menyebabkan kesenjangan yang tajam dalam hal penguasaan tanah.

Sebagai catatan, tulisan-tulisan William L. Collier et.al. yang mengundang perdebatan tersebut adalah karya-karya tahun 1973 dan 1974. Pada akhir dekade 1980-an dan awal

1990-an dia juga melakukan serangkaian studi di lebih dari 20 desa di seluruh Jawa, tetapi dengan menggunakan metode RRA dan dengan susunan “et.al” yang berbeda (GWR tidak lagi terlibat di dalamnya). Karya-karyanya yang belakangan itu belum memperoleh tanggapan dari ilmuwan lain, kecuali seke- dar nada bertanya: “Apa yang terjadi dengan Collier?” “Menga- pa dasar pandangannya berubah?”

Meskipun tidak merupakan respon terhadap perdebatan di atas, tulisan-tulisan oleh Wiradi dan Manning (1984), Wiradi dan Makali (1995), maupun White dan Wiradi (1989) menam- bahkan aspek lain pada perdebatan tersebut, yaitu mengenai masalah kecenderungan perubahan penguasaan tanah. Tu- lisan-tulisan ini menggambarkan terjadinya proses “diferen- siasi kelas” di pedesaan Jawa yang ditandai dengan:

(a) Proses pemusatan penguasaan tanah, baik melalui sewa- menyewa, gadai-menggadai, maupun melalui pemilikan dengan pembelian.

(b) Tingkat ketunakismaan bertambah tinggi. Kesempatan para tunakisma untuk dapat menguasai tanah melalui sewa- menyewa dan bagi hasil kian terbatas karena ada kecende- rungan para pemilik tanah lebih suka menggarap sendiri tanahnya daripada menggarapkan (sewa, bagi hasil) kepada orang lain.

(c) Walaupun umumnya proporsi pendapatan dari sektor nonpertanian lebih besar daripada yang bersumber dari sektor pertanian, namun luas pemilikan tanah berjalan se- jajar dengan tingkat kecukupan. Ini berarti bahwa jang- kauan terhadap sumber-sumber di luar sektor pertanian lebih dimiliki para pemilik tanah luas daripada pemilik

tanah sempit atau lebih-lebih para tunakisma.

(d) Pada strata pemilikan tanah yang sempit dan tunakisma terdapat proporsi keluarga miskin yang lebih besar. Dengan demikian berarti bahwa pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang turut menentukan tingkat hidup di pedesaan. Demikianlah sekelumit gambaran mengenai beberapa aspek perubahan sosial dalam pandangan berbagai peneliti yang saling berdebat. Terkait dengan hal ini, yang penting diperhatikan adalah bagaimana menempatkan debat agraria itu dalam kaitan dengan perspektif mengenai arah transformasi sosial-ekonomi pedesaan (alias “agrarian transformation”)

yang ingin kita wujudkan.10 Apakah arah transformasi itu kita

biarkan saja berjalan secara alamiah (yang berarti akan mengi- kuti jalur dominan kapitalisme)? Ataukah kita memiliki kerang- ka normatif tersendiri mengenai arah transformasi itu?

Dari pengalaman nyata yang pernah terjadi dalam sejarah berbagai negara, dapat diidentifikasi adanya tiga jalan, jalur, atau “tipe” agrarian transformation, yaitu: (a) jalur kapitalis, (b) jalur sosialis, dan (c) jalur neo-populis. Pertanyaannya se- karang, di manakah letak jalur Pancasila? Apakah kita perlu

10Agrarian transformation”—saya terjemahkan menjadi transformasi

sosial-ekonomi pedesaan—dapat diartikan sebagai: “Suatu pro- ses perubahan keseluruhan sistem hubungan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan, yang mengacu kepada suatu perubahan

dari struktur masyarakat yang bersifat ‘agraris-tradisional’ (atau ‘feudalistik’, atau ‘non-kapitalistik’, atau ‘natural-economy’) men- jadi suatu struktur masyarakat di mana pertanian tidak lagi bersifat eksklusif melainkan terintegrasi ke dalam pilar-pilar ekonomi lainnya secara nasional, lebih produktif, dan kesejahteraan rakyat meningkat”. (Cf. J. Harriss, 1982).

11 Pembahasan mendalam mengenai persoalan ini bisa dibaca

lebih lanjut dalam Wiradi (2000).

mengembangkan suatu “model” tersendiri di luar yang tiga itu, tanpa harus memakai istilah “Pancasila”?

Secara formal, acuan normatif kita sudah jelas, yaitu Pasal 33 UUD 1945; dan dalam masalah pertanahan, kita mempunyai UUPA 1960 beserta seperangkat undang-undang dan pera- turan pelaksanaannya (walaupun masih jauh dari tuntas). Jika acuan normatif ini yang dipakai, maka arah agrarian transfor- mation kita lebih dekat dengan jalur neo-populis. Tetapi per- tanyaannya adalah: sejauh manakah komitmen kita untuk menjalankan acuan normatif tersebut? Dan apakah dampak faktual yang terjadi ketika acuan normatif tersebut tidak dija- lankan secara serius?

Memang, persoalan mengenai agrarian transformation ini sangat menarik untuk dibicarakan karena merupakan isu ekonomi politik yang amat kompleks dan mendasar. Bagai-

manapun, hal tersebut tidak akan dibahas lebih jauh di sini,11

karena uraian-uraian berikutnya akan lebih difokuskan pada persoalan metodologi. Namun hal itu penting untuk dising- gung sekilas di sini sebagai satu perspektif yang penting diper- hatikan oleh para peneliti saat mengkaji mengenai berbagai masalah agraria di tanah air.

Dalam dokumen STUDI AGRARIA menurut GUNA W AN WIRADI (Halaman 159-168)