• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.2. Perumusan Masalah

Proses pembangunan yang terjadi selama ini lebih terkonsentrasi di wilayah Jawa-Bali. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa wilayah Jawa-Bali memiliki kesiapan lebih awal dalam menjalankan pembangunan. Dampak dari proses ini jelas sekali, ditandai dengan tingginya kesenjangan ekonomi antara wilayah Jawa-Bali dengan wilayah lainnya di Indonesia, terutama wilayah Timur Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan karena investasi terkonsentrasi di wilayah Jawa-Bali. Ada dua alasan mengapa pihak swasta kurang tertarik berinvestasi di wilayah timur. Pertama, penduduk Jawa-Bali mencapai 60 persen dari total penduduk Indonesia (Tabel 1), sedangkan luasnya hanya sekitar 7 persen. Akibatnya investor lebih tertarik berproduksi di Jawa-Bali dengan alasan skala ekonomi dan mendekati lokasi pasar. Kedua, sarana dan prasarana di wilayah timur belum memadai dalam mendukung investasi, terutama prasarana angkutan dan komunikasi. Untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah menciptakan lingkungan yang mampu menarik minat investor.

Tabel 1. Komposisi Penduduk Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2005-2008

Tahun Share No Pulau 2005 2006 2007 2008 (%) 1 Sumatera 46,030 48,163 49,129 49,920 21.64 2 Jawa 131,854 133,428 133,868 135,236 58.63 3 Kalimantan 12,098 12,338 13,107 13,372 5.80 4 Sulawesi 15,788 17,044 17,447 17,676 7.66

5 Wilayah Timur Indonesia 13,099 14,108 14,246 14,472 6.27

Indonesia 218,869 225,081 227,798 230,675 100.00

Diterapkannya otonomi daerah, membuat pemerintah daerah berlomba- lomba menarik minat investor masuk dan menanamkan modalnya di daerah. Daerah berharap bahwa seluruh atau sebagian besar manfaat dari investasi di daerahnya mampu memicu pertumbuhan perekonomian daerahnya. Pemerintah daerah belum menyadari dengan baik bahwa limpahan manfaat investasi tidak semuanya mengalir ke daerah tempat investasi, tetapi sebagian kecil atau dapat juga dalam porsi yang cukup besar dapat mengalir ke daerah lain, terutama wilayah Jawa-Bali. Hal ini disebabkan karena wilayah Jawa-Bali memiliki infrastruktur perekonomian paling lengkap.

Tingginya konsentrasi penduduk di wilayah Jawa tentu saja diikuti oleh konsentrasi aktivitas ekonomi. Kadar aktivitas ekonomi dapat ditunjukkan oleh angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), periode 2000-2005, Jawa (Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali) memberikan kontribusi lebih dari 60 persen terhadap total PDRB seluruh daerah (Tabel 2). Kemudian perannya agak menurun ketika terjadi krisis ekonomi nasional. Fakta demikian menunjukkan bahwa peran wilayah Jawa sangat dominan dalam perekonomian Indonesia.

Tabel 2. Komposisi Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi, Tahun 2005-2007 (Rp Miliar)

No Pulau 2005 2006 2007 Kontribusi % 1 Sumatera 367,710 389,297 408,677 21.76 2 Jawa-Bali 1,036,613 1,093,195 1,160,726 61.80 3 Kalimantan 152,555 160,483 165,741 8.82 4 Sulawesi 74,070 79,244 84,662 4.51 5 Wilayah Timur 58,000 55,530 58,513 3.12 Indonesia 1,688,948 1,777,750 1,878,319 100.00

8

Dilihat berdasarkan pulau, Jawa sangat dominan dan pendapatan per kapitanya juga merupakan tertinggi. Sedangkan perprovinsi PDRB per kapita tertinggi diraih oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar Jawa, seperti Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. PDRB per kapita Pulau Jawa berada di atas nilai PDRB per kapita nasional. PDRB per kapita Jawa tertekan oleh jumlah penduduknya yang mencapai lebih 60 persen dari penduduk Indonesia. Pada Tabel 3 dicantumkan nilai PDRB per kapita dalam harga konstan 2000 menurut wilayah pulau.

Posisi ekonomi Jawa yang dominan menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi antara Jawa dan pulau lain di luar Jawa. Ketimpangan ini mendapat perhatian karena dapat menimbulkan dampak negatif terhadap aspek demografi, politik, ekonomi, pertahanan keamanan dan sebagainya. Penyebab lain ketimpangan ekonomi di antaranya adalah kondisi infrastruktur dan sumberdaya manusia Jawa & Bali telah lebih maju daripada daerah lain. Infrastruktur yang dimaksud diantaranya adalah ketersediaan tenaga listrik, prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi. Kelebihannya dalam kepemilikan infrastruktur maka pelaku ekonomi memilih Jawa & Bali sebagai pusat kegiatan bisnis nasional. Tabel 3. PDRB per Kapita dalam Harga Konstan 2000 Menurut Pulau, Tahun

2005-2007 (Ribu Rupiah per Jiwa)

No Pulau 2005 2006 2007 1 Sumatera 11,599.29 13,172.96 14,818.35 2 Jawa-Bali 14,668.96 16,798.14 18,665.67 3 Kalimantan 13,188.65 15,000.29 16,595.94 4 Sulawesi 6,343.97 7,169.24 8,138.32 5 Nusa Tenggara 4,807.05 5,298.89 6,055.10 6 Maluku 3,279.16 3,523.51 3,855.61 7 Papua 15,849.00 16,505.80 18,938.27 Nasional (PDB) 11,231.53 13,354.68 15,731.19 Sumber: PDRB Provinsi dan Statistik Indonesia, diolah dari berbagai terbitan, BPS

Wilayah Jawa-Bali oleh sebagian besar pengusaha dijadikan tempat penyusunan kebijakan, strategi dan perencanaan bisnis berskala nasional maupun internasional. Sementara bisnis di luar Jawa kebanyakan berupa pabrikan atau unit usaha yang hanya menjalankan operasional secara teknis. Dengan demikian sekalipun omset bisnis di luar Jawa cukup besar, namun perputaran uang sebagian besar masih berada di antara rekanan usaha yang berlokasi di Jawa. Besarnya perputaran uang di Jawa ini mendorong kegiatan perekonomian yang semakin tinggi di Jawa, sekalipun usaha penciptaan uangnya berada di luar Jawa.

Salah satu penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah berikutnya dapat dilihat dari aspek kepemilikan faktor produksi, yaitu modal atau kapital dan tenaga kerja. Jawa memiliki keunggulan dalam faktor kapital dan tenaga kerja, tetapi miskin akan sumberdaya alam. Sementara itu daerah luar Jawa memiliki keunggulan dalam kepemilikan bahan baku berupa sumberdaya alam, baik berupa barang tambang, hasil perkebunan dan kelautan. Daerah yang menguasai kepemilikan kapital dan tenaga kerja cenderung mengalami laju pertumbuhan ekonomi tinggi, sedangkan daerah kaya sumberdaya alam mengalami laju pertumbuhan ekonomi lebih lamban. Oleh karena terdapat perbedaan kepemilikan faktor antar daerah, maka terjadi spesifikasi produksi, yang akan mendorong kegiatan perdagangan antardaerah.

Wilayah yang memiliki banyak keunggulan dalam kepemilikan faktor akan menjadi tempat berproduksi (sentra produksi) dan sekaligus sebagai pemasok barang dan jasa bagi daerah-daerah lainnya. Jika ditunjang dengan jumlah penduduk yang besar. Berbeda dengan daerah yang memiliki keunggulan dalam aspek kepemilikan sumberdaya alam dan kepemilikan faktor, maka daerah-

10

daerah yang terbelakang perkembangan ekonominya hampir dipastikan lebih lambat. Selain itu daerah ini masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap daerah yang lebih maju. Mengingat adanya perbedaan karakteristik antarwilayah di Indonesia yang disebabkan oleh jumlah penduduk, kualitas sumberdaya manusia, infrastruktur, kapital dan sumberdaya alam, maka ketergantungan atau keterkaitan ekonomi antarwilayah akan terjadi. Sehubungan dengan struktur keterkaitan ekonomi tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban melalui suatu penelitian ilmiah, yaitu:

1. Bagaimana keterkaitan antarwilayah dapat saling mempengaruhi kinerja perekonomian wilayah.

2. Bagaimana dampak kebijakan ekonomi disuatu wilayah dapat mempengaruhi kinerja perekonomian wilayah lainnya.