• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.2 Perumusan Masalah

Keberadaan ikumen di tengah masyarakat Jepang telah mendapat perhatian dari pemerintah dan sorotan berbagai media. Banyak hal yang mempengaruhi munculnya fenomena ini. Masyarakat beranggapan bahwa keberadaan ikumen dapatmenjadi contoh ayah masa depan yang bertanggung jawab. Tetapi, timbul juga kekhawatiran karena ikumen tidak sesuai dengan konsep keluarga Jepang dan juga kepercayaan orang Jepang akan mitos tiga tahun (san sai ji shinwa) yang masih melekat dan mengakar di dalam pengasuhan anak di Jepang mengatakan bahwa, anak di usia sampai tiga tahun jika tidak di bawah pengasuhan tangan sang ibu, maka akan memberikan dampak negatif pada proses pertumbuhannya (Reiko, 2008:48).

Hal inilah yang menarik penulis untuk mencari tahu dan membahas ikumen lebih jauh. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah fenomena ikumen dalam masyarakat Jepang. Untuk itu penulis merumuskan masalah dalam bentuk dua pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang penyebab munculnya Ikumen?

2. Bagaimana Fenomena Ikumen di masyarakat Jepang?

1.3 Ruang Lingkup dan Masalah

Dalam pembahasannya penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup permasalahan agar masalah tidak terlalu luas dan berkembang jauh yang dapat menyulitkan pembaca untuk memahami pokok permasalahan yang dibahas.

Dalam penelitian ini, ruang lingkup yang dibahas difokuskan pada fenomena ikumen di Jepang. Untuk mendukung penelitian ini, penulis juga akan membahas latar belakang munculnya fenomena ikumen di Jepang.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Untuk waktu yang cukup lama, Jepang terkenal karena fenomena sosial seperti hikikimori dankaroushi. Tetapi, beberapa tahun terakhir konsep ikumen mendapat sorotan dari dalam bahkan luar negri karena bertentangan dengan karakteristik pola pengasuhan anak di Jepang.

Karakteristik utama dalam pola pengasuhan anak di Jepang antara lain adalah (1) besarnya peran ibu, (2) ayah tidak terlalu banyak terlibat dalam mengasuh anak, (3) kurangnya dukungan dari kerabat dalam pola pengasuhan anak, (4) rendahnya penggunaan babysitter, (5) dalam keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, fasilitas seperti houikouen (day care) memiliki peran hingga batas-batas tertentu. Dengan kata lain, pengasuhan anak di Jepang kurang mendapat perhatian dari ayah dan kerabat lainnya.

Moteki (2011:7) menjelaskan bahwa ikumen berasal dari permainan kata seperti halnya ikemen. Moteki memberikan definisinya mengenai ikumen sebagai berikut:

「「イクメン」とは,育児の「イク」と男性(メンズ)の「メン」

を組み合わせた造語で,「育児をする男性」のことであり、「育児 を楽しみ,自分自身も成長する男性」のことをいう。」

Ikumen to wa, ikuji no iku to dansei (menzu) no (men) wo kumi awaseta zougo de, ikuji wo suru dansei no koto deari, ikuji wo tanoshimi, jibun jishin mo seichousuru dansei no koto wo itu.

Terjemahan:

“Ikumen adalah kata yang berasal dari gabungan iku dari ikuji dan men, yang berarti pria yang mengasuh anak, dan disebut sebagai pria yang menikmati mengasuh anak dan mendewasakan dirinya sendiri.”

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa ikumen adalah pria yang mengasuh anak dan menikmati pengasuhan anak tersebut. Melalui pengasuhan anak, para pria di Jepang dapat Ikumen Project mendewasakan dirinya sendiri. Selain itu, Moteki (2011:7) mengungkapkan bahwa pria yang secara sukarela mengasuh anak walaupun sambil bekerja dapat disebut dengan ikumen. Di dalam kampanyenya, Ikumen Project (2010) mengungkapkan bahwa :

「イクメンとは、子育てを楽しみ、自分自身も成長する男性のこと。

または、将来そんな人生を送ろうと考えている男性のこと。イクメ ンがもっと多くなれば、妻である女性の生き方が、子どもたちの可 能性が、家族のあり方が大きく変わっていくはず。そして社会全体 も、もっと豊かに成長していくはずです。」

Ikumen to wa kozodate wo tanoshimi, jibun jishin mo seichousuru dansei no koto. Mata wa, shourai sonna jinsei wo okurou to kangaeteiru dansei no koto. Ikumen ga motto ookunareba, tsuma dearu josei iki kata ga, kodomotachi no kanouseiga, kazoku no ari kata ga ookiku kawatteiku hazu. Soshite, shakaizentai mo, motto yutaka ni seichoushiteiku hazu desu.

Terjemahan:

“Ikumen adalah pria yang menikmati mengasuh anak, dan mendewasakan diri sendiri. Selain itu, pria yang berpikir untuk melakukannya di masa depan. Apabila jumlah ikumen semakin banyak, cara hidup wanita sebagai istri, anak dan keberadaan keluarga pasti akan berubah, dan masyarakat secara keseluruhan akan terus bertumbuh dengan makmur.”

Selain itu, di dalam penelitian Gender, Family, and New Styles of Fatherhood: Modernization and Globalization in Japan (Oyama, 2014:159) mengungkapkan bahwa tidak ada karakterisasi ikumen secara detail, dan gambaran ikumen dari tiap orang berbeda-beda.

Involvement in the daily care of babies and toddlers is the most common definition of Ikumen, but that is not the only aspect of Ikumen despite the 11 meaning of the word, and Ikumen are also thought to be actively involved in the household including cooking.

Terjemahan:

“Keterlibatan dalam perawatan sehari-hari bayi dan balita merupakan definisi yang paling umum dari ikumen, tetapi itu bukanlah satu-satunya aspek dari ikumen di samping definisinya berdasarkan kata, dan ikumen

dianggap pula aktif terlibat dalam pekerjaan rumah tangga termasuk memasak.”

Dari pernyataan Oyama di atas, maka dapat diketahui bahwa seorang ikumen bukan hanya terlibat dalam pengasuhan anak, akan tetapi dapat pula terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga.

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian diperlukan landasan teori untuk mengungkapkan kebenaran penelitiannya. Menurut Koetjaraningrat (1976:1), kerangka teori berfungsi sebagai pendorong proses berpikir secara deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak ke dalam bentuk nyata.

Pendekatan yang akan digunakan untuk menganalisis masalah dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Kata ‘fenomenologi’

berasal dari bahasa Yunani yaitu phainomenon dan logos, yang secara umum phaenomenom berarti tampak atau memperlihatkan. Sedangkan logos adalah ilmu atau ucapan. Dengan demikian fenomenologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang tampak. Fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl yang dikenal sebagai bapak fenomenologi. Menurut Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena atau tentang gejala segala sesuatu yang tampak.

Fenomenologi sebagai salah satu bentuk penelitian kualitatif tumbuh dan berkembang dalam bidang sosiologi, menjadikan pokok kajiannya fenomena yang tampak sebagai subjek penelitian. Dalam konteks penelitian kualitatif, fenomena merupakan sesuatu yang hadir dan muncul dalam kesadaran peneliti dengan

menggunakan cara tertentu, sesuatu menjadi tampak dan nyata. Penelitian fenomenologi selalu difokuskan pada menggali, memahami, dan menafsirkan arti fenomena, peristiwa, dan hubungannya dengan masyarakat dalam situasi tertentu.

Tujuan dari fenomenologi adalah untuk menerangkan bagaimana objek pengamatan dituangkan dalam perbuatan pikiran dari mengamati, begitu juga untuk perasaan, imajinasi dan lain-lain. Hal yang penting adalah “bagaimana”, maksudnya adalah bagaimana suatu hal bisa terjadi. Maka dari itu penulis menggunakan pendekatan fenomenologi untuk mengetahui bagaimana fenomena ikumen dapat terjadi di masyarakat Jepang.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan fenomena ikumen di Jepang

2. Untuk mendeskripsikan hal yang melatarbelakangi munculnya fenomena ikumen di Jepang

1.5.2 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat dan berguna bagi pihak-pihak tertentu, yaitu:

1. Bagi penulis sendiri dapat menambah wawasan mengenai Fenomena Ikumen di Jepang.

2. Bagi para pembaca yakni masyarakat luas umumnya dan mahasiswa Sastra Jepang khususnya, penelitian ini dapat dijadikan sumber ide dan tambahan informasi untuk diteliti lebih jauh.

1.6 Metode Penelitian

Menurut Siswantoro (2005:55) metode penelitian dapat diartikan sebagai prosedur atau tatacara yang sistematis yang dilakukan seorang peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti memecahkan masalah atau menguak kebenaran atas fenomena tertentu.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deksriptif.

Menurut Koentjaraningrat (1976:30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, dan kelompok tertentu dalam memecahkan penelitian, mengkaji, dan menginterpretasikan data.

Penelitian ini dilakukan dengan mengamati objek masalah yang terjadi, lalu mengumpulkan data berdasarkan fakta-fakta yang ada, kemudian mengembangkan data yang telah didapat sesuai dengan informasi dan data yang sesuai dan berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini. Data-data yang berhubungan dan dibutuhkan dalam penelitian ini didapat dan dikumpulkan melalui metode penelitian kepustakaan atau library research.

Menurut Nasution (1996:14), metode kepustakan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan

aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi: masalah, teori, konsep, kesimpulan, dan saran. Metode kepustakaan merupakan metode yang mengutamakan pengumpulan data dari beberapa buku atau referensi yang berkaitan dengan pembahasan untuk mencapai tujuan penelitian.

Dalam metode ini, penulis memanfaatkan sumber-sumber yang didapat dari koleksi-koleksi buku di perpustakaan Konsulat Jenderal Jepang di Medan, perpustakaan pusat USU, serta jurnal-jurnal dan artikel yang dimuat di majalah dan internet yang membahas mengenai permasalahan yang berkaitan dengan judul penelitian ini.

BAB II

GAMBARAN UMUM IKUMEN

2.1 Perubahan Struktur Sistem Keluarga Jepang

Bentuk keluarga Jepang sebelum perang dunia kedua dikenal sebagai ie.

Keluarga ie adalah bentuk keluarga luas yang mengikuti satu garis keturunan ayah (Situmorang dan Uli, 2011: 24). Unsur keluarga ie terbentuk minimal dua generasi, oleh karena itu ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak suami atau istri dalam keluarga tersebut. Sistem ie mengambil bentuk keluarga besar yang disebut daikazoku (keluarga besar) yang terdiri dari kakek-nenek, ayah-ibu, dan anak-anak. Sistem keluarga ie merupakan sistem yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman feodal di Jepang. Sistem keluarga ini berporos pada garis keturunan ayah yang dimana anak laki-laki sulung lebih diutamakan dan keanggotaan keluarga tidak terbatas pada hubungan darah karena pekerja di dalam ie pun disebut anggota keluarga ie. Pada sistem keluarga ie, ayah sebagai kepala keluarga (shuto) dan anak lelaki tertua sangat berhubungan erat karena ketika ayah meninggal yang meneruskan ie dan menjadi kepala keluarga adalah anak lelaki tertua sedangkan anak lelaki kedua (jinnan) dan anak lelaki ketiga (sannan) dapat keluar dari keluarga ie dan membentuk keluarga ie baru atau dapat pula menjadi anggota keluarga ie lain.

Kedudukan seorang wanita di dalam keluarga tradisional ie memang dianggap rendah. Karena pada waktu masa anak-anak wanita bekerja untuk ayah, dan ketika sudah menikah mereka bekerja untuk suaminya dan ketika sudah tua, wanita bekerja untuk anak laki-laki tertuanya (Situmorang, 2011: 30). Ketika

seorang wanita masih menjadi seorang istri atau menantu (yome), ia harus dapat menempatkan dirinya sebagai yome dan tunduk kepada kacho (kepala keluarga) maupun shutome (ibu mertua). Sebagai menantu perempuan, ia diharuskan untuk menghormati dan melayani mertuanya lebih baik melebihi orang tuanya. Menurut Huda dalam Sembiring (2011: 20) keberadaan atau status seorang istri baru diakui keluarga apabila ia berhasil dengan baik dalam melayani mertuanya atau setelah ia bisa memberikan keturunan untuk keluarga suaminya. Apabila ia dianggap gagal oleh kacho maupun shutome, ia bisa saja diceraikan oleh mertuanya tersebut tanpa persetujuan dari suaminya sendiri. Peran yome pun dalam keluarganya sendiri kurang dilihat dan dipandang sebelah mata. Ia harus menekan keinginan-keinginan pribadinya dan membuat dirinya lebih tertuju untuk memelihara ie dan menjaga nama baik ie.

Masyarakat Jepang adalah masyarakat patriarkal. Sistem patriarkal adalah suatu sistem dimana para pria lebih dominan dibandingkan wanitanya di lingkungan pekerjaan maupun kehidupan rumah tangga (Olson dalam Saragih, 2014: 15). Para pria di Jepang memainkan peranan penting di dalam masyarakat dan mereka cenderung lebih mementingkan pekerjaannya dari perkawinannya.

Sehingga ada ungkapan otoko wa shigoto, onna wa katei atau men at work, women at home.

Ketika Perang Dunia II selesai terjadi perubahan-perubahan di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Contohnya perubahan sistem keluarga, dari sitem ie menjadi sitem kaku kazoku. Pakar sosiologi Jepang, Matsubara berpendapat bahwa, kaku kazoku adalah sistem keluarga yang semakin popular dalam masyarakat Jepang, sebagai pengganti sistem ie. Menurutnya ada tiga

faktor utama yang menyebabkan ie tergeser oleh sistem kaku kazoku, yaitu: (1) Hilangnya landasan hukum tahun 1946, serta adanya perubahan dalam hukum sipil tentang keluarga dan warisan pada tahun 1948; (2) Tumbuhnya pemikiran tentang demokrasi pada berbagai lapisan masyarakat setelah Perang Dunia II melalui sistem pendidikan modern yang merata di seluruh Jepang, sehingga membentuk pendapat umum yang menganggap sistem ie kurang demokratis, dan (3) Adanya perubahan drastis dalam pola kehidupan keluarga di Jepang setelah tahun 1955 ke atas (1983: 34).

Terjadinya proses perubahan dalam struktur keluarga di Jepang dari sistem ie ke kaku kazoku tentunya membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya antara lain: (a) hak setiap individu di dalam keluarga lebih dihormati;

(b) istri mempunyai hak bersama suami mengatur bahtera rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan mertua; (c) anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai persamaan hak untuk menerima warisan dari orang tuanya.

Sebaliknya, dampak negatif antara lain: (a) kehidupan kaum lanjut usia semakin kurang terjamin sedangkan beban Negara untuk mengatasi masalah ini semakin besar; (b) proses sosialisasi nilai-nilai yang mementingkan faktor hirarki dalam keluarga dan dalam masyarakat mulai terganggu dan hal ini sedikit demi sedikit akan mempengaruhi karakter orang Jepang dimasa-masa mendatang.

2.2 Pola Pengasuhan Anak di Jepang

Di dalam kehidupan masyarakat Jepang, kegiatan pengasuhan anak ini disebut juga sebagai dengan istilah ikuji. Kata ikuji terdiri dari dua kanji, yaitu (iku) yang memiliki arti mengasuh atau membesarkan dan (ji) yang memiliki

arti anak (Nelson dalam Ghiamitasya, 2012: 98). Ikuji dapat diartikan dengan sebuah proses pengasuhan anak sejak lahir hingga berusia di mana sang anak sudah dapat menjalani kehidupan sosial, baik secara fisik dan mental (http://kotobank.jp/word/育児/).

Karakteristik utama adalam pola pengasuhan anak di Jepang antara lain, (1) besarnya peran ibu, (2) ayah tidak terlalu banyak terlibat pengasuhan anak, (3) kurangnya dukungan dari kerabat dalam pengasuhan anak, (4) rendahnya penggunaan baby sitter, pembantu atau pekerja yang membantu urusan rumah tangga, (5) dalam keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, fasilitas seperti houikouen (day care) memiliki peran hingga batas-batas tertentu. Dengan kata lain, pengasuhan anak di Jepang kurang mendapat dukungan dari sang ayah maupun kerabat lainnya. Ibu menjadi satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak (Reiko, 2007: 36).

Kepercayaan atas ‘mitos 3 tahun’ (san sai ji shinwa) yang masih mengakar di dalam pengasuhan anak di Jepang mengatakan bahwa, anak di usia sampai 3 tahun jika tidak berada di bawah pengasuhan tangan sang ibu, maka akan memberikan dampak buruk pada proses pertumbuhannya (Reiko, 2007: 48).

Mitos 3 tahun merupakan sebuah konsep di mana pengasuhan anak hingga usia tiga tahun harus dibebankan kepada sang ibu (Ohinata dalam Ghiamitasya, 2012: 99). Dalam hal ini terdapat tiga unsur di dalamnya, antara lain:

1. Anggapan bahwa pertumbuhan anak hingga usia 3 tahun merupakan masa pertumbuhan yang sangat penting.

2. Karena dianggap sebagai masa terpenting, maka sudah seharusnya pengasuhan anak dibebankan kepada sang ibu, di mana ia memiliki kemampuan alami dalam hal pengasuhan.

3. Jika pengasuhan anak hingga usia 3 tahun atau kira-kira hingga sebelum masuk sekolah tidak dilakukan sang ibu dengan alasan bekerja, dikatakan dapat mengganggu pertumbuhan fisik maupun psikis anak.

Adanya kepercayaan ‘mitos 3 tahun’ ini menjadikan sosok ibu sebagai peran utama bagi setiap wanita yang telah berkeluarga. Interaksi antara ibu dan anak cenderung lebih intensif dibandingkan interaksi ayah dengan anak.

2.3 Perubahan Peran Ayah Dalam Pengasuhan Anak di Jepang

Ada sebuah ungkapan tradisional Jepang, yaitu jishin, kaminari, kaji, oyaji atau gempa, badai, api, ayah. Kata-kata ini melambangkan hal-hal yang ditakuti oleh orang Jepang. Imej ayah Jepang sampai sekarang masih dipandang negatif.

Pada tahun 1970 ada sebuah slogan “Ayah yang baik adalah ayah yang sehat dan tidak berada di rumah”. Keluarga Jepang tampak seperti tidak memiliki sosok ayah karena jam kerja mendominasi waktu ayah. Ayah-ayah seperti ini sering dijuluki “Suami 7-11”, yang berarti ayah yang pergi pukul 07.00 pagi dan pulang pukul 11.00 malam.

Pada saat sistem keluarga ie masih mengakar pada masyarakat Jepang, peran ayah dalam mendidik menjadi sangat penting guna mempersiapkan anak laki-laki tertua mereka yang akan mengganti peran ayahnya kelak sebagai kepala keluarga (kachou) (Reiko, 2007: 27). Peran ayah di dalam keluarga adalah selain

sebagai pencari nafkah, ayah juga berperan sebagai agen sosialisasi bagi anak-anaknya, terutama pada masa remaja (Miyamoto dan Fujisaki, 2008: 58). Sistem ie sangat berpengaruh pada pembentukan peran gender pada saat ini, khususnya seorang pria sebagai ayah.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, para ayah Jepang di akhir 1950-an dan 1960-an lebih fokus pada perannya sebagai karyawan perusahaan. Mereka berkontribusi pada restorasi Jepang sebagai kekuatan ekonomi. Sistem bekerja di Jepang lebih memprioritaskan pria pada pekerjaannya dibandingkan dengan keluarga. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kerja lembur dan tanshinfunin (pindah bekerja di kota lain dengan meninggalkan keluaga). Sebagai hasilnya, ada banyak ayah yang gila bekerja dan menyerahkan tugas pengasuhan anak kepada istri (Nakazawa dan Shwalb, 2013: 63).

Seiring berkembangya kindai kazoku (keluarga modern) di Jepang, figur ayah secara perlahan mulai terasingkan dari wilayah rumah (domestik). Adanya konsep katei (rumah tangga) memisahkan antara ruang publik dan ruang domestik.

Lingkup rumah tangga merupakan area pribadi yang terbatas hanya untuk kalangan perempuan dan yang bertanggung jawab terhadap katei adalah shufu (ibu rumah tangga). Di waktu yang sama terdapat perubahan terdapat pada pandangan mengenai wanita. Posisi wanita menjadi ‘ibu yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik’. Secara bertahap kaum pria mulai diasingkan dari area katei, diharapkan dapat berkontribusi di ruang publik untuk pembentukan bangsa modern (Reiko, 2007: 28). Hal ini lah yang kemudian memunculkan istilah sengyou haha (ibu penuh waktu). Oleh karena itu, peran ayah kemudian hanya sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Hilangnya sosok ayah dalam keluarga

bukan menjadi sebuah permasalahan melainkan sebagai tanda kesuksesan seorang pria. Hal ini kemudian menjadi sub-kebudayaan Jepang yang mengakar pada saat itu (Tamura dalam Oyama, 2014: 50)

Sikap yang berbeda dari pembagian kerja berdasarkan gender tercermin dalam data survei nasional yang dilakukan oleh pemerintah. Data tersebut menunjukkan ketidaksetujuan pria dan wanita dalam pernyataan “suami harus bekerja di luar rumah, sementara istri mengerjakan tugas domestik” (Lamb dalam Oyama, 2014: 52). Kecenderungan ini muncul karena adanya kesetaraan gender dalam masyarakat Jepang dan meningkatnya wanita yang bekerja. Meskipun demikian, masih ada beberapa pria dan wanita yang mendukung pembagian kerja secara tradisional. Pria bekerja di luar dan wanita mengerjakan pekerjaan rumah.

Perubahan partisipasi ayah dalam merawat anak pun semakin terlihat di media sementara Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah yaitu pada saat Oil Shock di tahun 1973 dan 1979. Di bidang jurnalisme, beberapa majalah parenting untuk ibu diluncurkan pada tahun 1970-an dan 1980-an, menanggapi kekhawatiran dan keluhan wanita tentang membesarkan anak-anak, termasuk terbatasnya pertisipasi para pria dalam mengasuh anak. Di majalah tersebut juga menyebutkan bahwa ‘gaya mengasuh anak modern yang kooperatif’

sangat diidamkan. (Takahashi dalam Oyama, 2014: 62). Hal serupa dapat dilihat dari berbagai judul artikel lainnya, seperti “Bagaimana seharusnya papa dengan jam kerja yang tidak beraturan ikut berpartisipasi mengurus anak?” (Beibi Eiji, Agustus 1970), “Boku wa tsuma no sasae ni natte yaritai” (Saya ingin mendukung istri saya) (Beibi Eiji, Februari 1974), dan “Papa, tolong baca juga.

Tolong jadikan lah pukul 20.00 ke atas waktu untuk mama” (Watashi no Akachan, Februari 1974) (Takahashi dalam Oyama, 2014: 63).

Ketika majalah parenting dipenuhi dengan topik para pria seharusnya ikut merawat anak dari sudut pandang para ibu, ada sebuah gerakan organisasi yang didirikan oleh para yang merupakan rakyat biasa. Pada tahun 1978 ada sebuah grup yang terdiri dari lima orang dengan nama Otoko no Kosodate o Kangaeru Kai (asosiasi untuk pria yang merawat anak). Grup ini memprakarsai berbagai kegiatan, seperti memprotes argumen ‘hak ayah’ oleh surat kabar. Lalu pada tahun 1980 ada grup bernama Ikuji Jikan o! Renrakukai dan disingkat sebagai Ikujiren.

Ketika majalah parenting dipenuhi dengan topik para pria seharusnya ikut merawat anak dari sudut pandang para ibu, ada sebuah gerakan organisasi yang didirikan oleh para yang merupakan rakyat biasa. Pada tahun 1978 ada sebuah grup yang terdiri dari lima orang dengan nama Otoko no Kosodate o Kangaeru Kai (asosiasi untuk pria yang merawat anak). Grup ini memprakarsai berbagai kegiatan, seperti memprotes argumen ‘hak ayah’ oleh surat kabar. Lalu pada tahun 1980 ada grup bernama Ikuji Jikan o! Renrakukai dan disingkat sebagai Ikujiren.

Dokumen terkait