• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM IKUMEN

2.4 Definisi Ikumen

Ikumen(育メン) merupakan kata singkatan yangberasal dari 育児するメ ンズ (ikujisurumenzu). 育児 (ikuji) memiliki arti merawat dan メンズ (menzu) adalah kata serapan dari bahasa Inggris yang memiliki arti pria. Dengan begitu, ikumen adalah ayah yang merawat anak. Kata ikumen memiliki kemiripan dengan istilah イ ケ メ ン(ikemen) yang memiliki arti laki-laki keren dan tampan.

Kedekatan istilah ikemen ini membuat ikumen memiliki konotasi yang positif juga.

Moteki (2011: 7) menjelaskan bahwa istilah ikumen berasal dari permainan kata seperti halnya ikemen. Moteki memberikan definisinya mengenai ikumen sebagai berikut:

「「イクメン」とは,育児の「イク」と男性(メンズ)の「メン」

を組み合わせた造語で,「育児をする男性」のことであり、「育児 を 楽 し み , 自 分 自 身 も 成 長 す る 男 性 」 の こ と を い う 。 」 Terjemahan:

“Ikumen adalah kata yang berasal dari gabungan iku dari ikuji dan men, yang berarti pria yang mengasuh anak, dan disebut sebagai pria yang menikmati mengasuh anak dan mendewasakan dirinya sendiri.”

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa ikumen adalah pria yang mengasuh anak dan menikmati pengasuhan anak tersebut. Melalui pengasuhan anak, para pria di Jepang dapat mendewasakan dirinya sendiri. Selain itu, Moteki (2011: 7) mengungkapkan bahwa pria yang secara sukarela mengasuh anak walaupun sambil bekerja dapat disebut dengan ikumen.

Ikumen Project mengungkapkan definisi ikumen sama seperti yang diungkapkan oleh Moteki. Ikumen Project (2010) mengungkapkan bahwa:

「 イ クメ ンと は、 子育 てを 楽 しみ 、自 分自身 も 成長 する 男性 の こ と。または、将来そんな人生を送ろうと考えている男性のこと。イ クメンがもっと多くなれば、妻である女性の生き方が、子どもたち の可能性が、家族のあり方が大きく変わっていくはず。そして社会 全体も、もっと豊かに成長していくはずです。」

Terjemahan:

“Ikumen adalah pria yang menikmati mengasuh anak, dan mendewasakan diri sendiri. Selain itu, pria yang berpikir untuk melakukannya di masa depan. Apabila jumlah Ikumen semakin banyak, cara hidup wanita sebagai istri, anak dan keberadaan keluarga pasti akan berubah, dan masyarakat secara keseluruhan akan terus bertumbuh dengan makmur.”

Berdasarkan pernyataan-pernyataan Moteki dan Ikumen Project di atas, istilah ikumen memiliki definisi yang sama. Para pria yang mengasuh anak dan menikmatinya dapat disebut sebagai ikumen. Dengan hadirnya ikumen, para pria di Jepang diharapkan dapat berpartisipasi dalam hal pengasuhan anak. Kehidupan masyarakat di Jepang akan semakin membaik dengan adanya partisipasi tersebut.

Selanjutnya, Executive Committee Kobe Ikumen memberikan definisinya mengenai ikumen sebagai berikut :

「こうべイクメン実行委員会が考える新しいイクメンの定義。育児 に関わる全ての男性のことです。お父さんだけに限らず、おじいち ゃん、近所の八百屋さんなど、あらゆる男性を指しす。子育ては、

地域社会で行うものであるという考えです。」

Terjemahan:

“Definisi ikumen yang baru menurut Executive Committee Kobe Ikumen.

Hal-hal yang berhubungan dengan pengasuhan adalah urusan semua pria.

Tidak terbatas hanya pada ayah, juga mengacu pada kakek, penjual sayur di lingkungan sekitar, merujuk kepada setiap pria. Pengasuhan adalah satu gagasan yang harus dilakukan di masyarakat.”

Pernyataan Executive Committee Kobe Ikumen di atas, memberikan penjelasan bahwa semua pria terlibat dengan pengasuhan anak. Pengasuhan adalah satu bentuk gagasan yang harus dilakukan di masyarakat. Oleh karena itu semua pria dapat terlibat dalam pengasuhan anak. Dari definisi-definisi yang telah diberikan oleh Moteki, Ikumen Project, dan Executive Committee Kobe Ikumen, dapat diketahui bahwa definisi ikumen adalah sebagai berikut: (1) Pria yang

mengasuh anak, (2) pria yang menikmati mengasuh anak, (3) pria yang secara sukarela mengasuh anak walaupun sambil bekerja, (4) semua pria yang terlibat dalam pengasuhan anak, tidak hanya sebatas ayah.

Oyama (2014: 159) mengungkapkan bahwa tidak ada karakterisasi ikumen secara detail, dan gambaran ikumen dari tiap orang berbeda-beda.

Involvement in the daily care of babies and toddlers is the most common definition of Ikumen, but that is not the only aspect of Ikumen despite the 11 meaning of the word, and Ikumen are also thought to be actively involved in the household including cooking.

Terjemahan:

“Keterlibatan dalam perawatan sehari-hari bayi dan balita merupakan definisi yang paling umum dari ikumen, tetapi itu bukanlah satu-satunya aspek dari ikumen di samping definisinya berdasarkan kata, dan ikumen dianggap pula aktif terlibat dalam pekerjaan rumah tangga termasuk memasak.

Dari pernyataan Oyama di atas, maka dapat diketahui bahwa seorang ikumen bukan hanya terlibat dalam pengasuhan anak, akan tetapi dapat pula terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga.

Ikumen awalnya disebut sebagai kelompok minoritas yang relatif baru, yaitu ayah yang cuti untuk merawat anak. Sekarang ikumen telah memiliki makna yang lebih luas lagi yang menyertakan para ayah yang aktif terlibat dalam mengasuh anak-anak. Oyama (2014: 188) mengungkapkan kata ikumen sendiri diciptakan pada tahun 2006 oleh seorang copywriter di sebuah perusahaan periklanan. Para pekerja prianya membuka situs bernama Ikumen Kurabu (Ikumen Club) atau klub ikumen yang kemudian menjadi organisasi non-profit (NPO) di

tahun 2011. Situs tersebut pertujuan untuk membagikan pengalaman para pekerja pria perusahaan periklanan tersebut dalam mengasuh anak. Menurut Ikumen Kurabu, kata ikumen mulai diperkenalkan kepada masyarakat pada November 2008. Ditampilkan dalam sebuah artikel di majalah mingguan AERA, yang diterbitkan oleh penerbit surat kabar Asahi Shinbun.

Ikumen didefinisikan sebagai ‘pria yang senang mengasuh anak dan mendewasakan dirinya, atau mereka yang ingin melakukannya di masa depan’

atau hanya disebut sebagai ayah yang tinggal di rumah (Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan, 2012).

2.5 Latar belakang munculnya Fenomena Ikumen

Penyebab munculnya fenomena ikumen didasari oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa hal yang menjadi latar belakang munculnya fenomena ikumen:

2.5.1 Ekonomi Gelembung

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, sekitar tahun 1950-an sampai dengan tahun 1980-an, Jepang mencapai titik tertinggi pertumbuhan ekonomi. Namun, pada awal tahun 1990-an sampai dengan memasuki awal tahun 2000-an, ekonomi Jepang mengalami penurunan tajam dan hal ini disebut dengan ekonomi gelembung.

Akibat resesi ekonomi ini, untuk pertama kalinya Jepang mengalami penurunan tenaga kerja dan diikuti pula dengan penurunan angka kelahiran.

Kondisi perekonomian yang kian menurun mengakibatkan banyak perusahaan yang menetapkan sistem pekerja kontrak dibandingkan sistem pekerja tetap. Hal ini menyebabkan wanita turut mengambil peran dalam bekerja dan juga menyebabkan mereka sulit mengasuh anak karena telah memiliki kesibukan di luar rumah.

2.5.2 Wanita Aktif Bekerja

Bagi wanita, bekerja merupakan cara untuk menunjukkan diri. Dengan bekerja memungkinkan seorang wanita mengekspresikan dirinya dengan cara yang kreatif dan produktif untuk menghasilkan sesuatu yang mendatangkan kebanggaan terhadap diri sendiri, terutama jika prestasinya mendapatkan penghargaan dan umpan balik positif. Melalui bekerja, wanita berusaha menemukan arti dan identitas dirinya, dan pencapaian tersebut mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan. Di samping kebutuhan rasa percaya diri, wanita bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka (Rini, 2002).

Kebutuhan finansial ini terkait dengan kebutuhan untuk mencukupi perekonomian rumah tangganya. Hal ini ditegaskan oleh Tachibanaki bahwa setelah menikah mereka melanjutkan bekerja di luar atau menjadi pencari nafkah sepenuhnya (Tachibanaki dalam Charlebois, 2013: 13)

Sejak berakhirnya Perang Dunia II dan munculnya industrialisasi di Jepang, sistem keluarga ie dihapuskan. Perang Dunia II menahan pertambahan penduduk kota karena selama perang arus penduduk kembali ke daerah pedesaan lebih banyak daripada penduduk kota. Dibandingkan masyarakat pedesaan, masyarakat kota lebih cepat mengalami perubahan dalam sistem keluarga akibat

dari banyak mendapat pilihan variasi pekerjaan dan terbatasnya lahan untuk mendirikan rumah bagi tempat tinggal mereka. Asas demokrasi mulai diberlakukan dalam kehidupan berkeluarga dengan munculnya tenaga kerja wanita dalam berbagai bidang (Tobing, 2006).

Pada awal era industri Jepang, wanita dipekerjakan menjadi buruh di industri tekstil. Pada masa itu industri tekstil yang terkenal yaitu sutera dan kapas.

Industri ini menjadi komoditas utama diprioritaskan untuk diekspor ke luar negeri.

Kemudian para wanita yang memiliki pendidikan agak tinggi, dengan lulusan sekolah menengah ke atas, juga bekerja di berbagai macam jenis pekerjaan kantoran atau dikenal dengan istilah white collar (kerah putih) (Mackie, 2003:

171).

Kemudian pada saat terjadinya ekonomi gelembung, Jepang mengalami kekurangan tenaga kerja. Hal ini membuat tingkat partisipasi wanita dalam dunia kerja menaik. Tidak hanya mendorong wanita yang belum menikah untuk bekerja, tetapi juga wanita yang telah menikah dan berkeluarga.

Kemudian semakin lama, pendidikan menjadi hal yang penting bagi kaum wanita. Pada saat ini wanita Jepang memiliki pendidikan tinggi, tidak hanya untuk mengatur rumah tangganya kelak, tapi juga sebagai modal awal mereka untuk memperoleh pekerjaan sebagus mungkin, baik dari segi jabatan maupun gaji yang diperoleh. Wanita yang telah menikah, yang beristirahat dari pekerjaannya kemudian memutuskan kembali lagi ke dunia kerja.

Meningkatnya aktifitas wanita di luar rumah memberikan harapan yang tinggi kepada para ayah untuk berpartisipasi dalam mengasuh anak dan pekerjaan

rumah tangga (Nakazawa dan Shwalb, 2013: 46). Hal ini membuat gerakan untuk mengasuh anak semakin banyak dan menjadi pemicu munculnya ikumen.

2.5.3 Dukungan Pemerintah Dalam Pengasuhan Anak

Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, selama tahun 1970-an dan 1980-an, para ayah secara sukarela mendirikan kelompok-kelompok untuk mempertimbangkan pengasuhan anak, kehidupan, dan identitas mereka, dan banyak majalah parenting beredar untuk mendukung ibu dalam mengasuh anak.

Sementara itu, upaya pengendalian populasi paska perang dan prespektif keluarga modern yang berpusat pada anak menciptakan ideologi baru untuk memiliki dua orang anak (Ochiai, 1996: 67), dan karena itu Jepang mengalami transisi demografis dari tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke tingkat kelahiran tinggi dan kematian rendah lalu menjadi tingkat kelahiran dan kematian rendah. Tingkat kesuburan total mencapai titik terendah sepanjang masa yaitu sebelumnya 1,58 anak per wanita menjadi 1,57 anak per wanita di tahun 1989. Karena khawatir dengan hal ini, pemerintah mulai melakukan intervensi yang lebih aktif (Miyasaka dalam Oyama, 2014: 75).

Angka kelahiran yang rendah mendorong pemerintah untuk membuat dan memperkenalkan berbagai kebijakan yang bersifat family-friendly (ramah keluarga) sejak awal 1990-an. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain, (1) cuti merawat anak dan keluarga (Childcare and Family Leave), (2) batasan kerja dan kerja malam (Limitation of Work Hours and Night Work), (3) undang-undang mengenai dukungan merawat anak untuk generasi selanjutnya (Law Concerning

Childcare Support for The Next Generation), dan (4) hak untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan (Work-Life-Balance Charter).

Cuti merawat anak dan keluarga (Childcare and Family Leave) mulai dilaksanakan pada tahun 1992. Melalui kebijakan ini, untuk pertama kalinya ayah Jepang dapat mengambil cuti dari pekerjaan. Kebijakan ini memberikan izin kepada ayah untuk mengambil cuti kerja sampai anak berumur 12 bulan.

Kebijakan batasan jam kerja dan kerja malam (Limitation Work Hours and Night Hour) memberikan izin kepada ayah untuk membatasi jam lembur sampai 24 jam dalam per bulan. Selain itu, dapat pula menghindari bekerja pada giliran (shift) malam dari jam 10 malam sampai jam 5 pagi. Undang-undang mengenai dukungan merawat anak untuk generasi selanjutnya (Law Concerning Childcare Support for The Next Generation) dilaksanakan pada tahun 2005. Melalui kebijakan ini, pemerintah lokal dan karyawan diberikan perintah untuk membuat rencana kegiatan yang memampukan para karyawan untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupannya termasuk keluarga (Ishii-Kuntz, 2008: 6-7).

Pada tahun 1999, pemerintah Jepang mengadakan kampanye yang bertujuan untuk mengajak para ayah agar lebih terlibat dalam hal mengasuh anak.

Poster bertuliskan ‘pria yang tidak terlibat dalam pengasuhan anak bukanlah ayah yang sebenarnya’ (ikuji o shinai otoko o, chichi to wa yobanai) yang didistribusikan oleh pemerintah Jepang pada tahun 1999 membawa pengaruh yang kuat terhadap sikap para ayah dalam mengasuh anak. Melalui kampanye ini, pengasuhan oleh ayah yang aktif dapat lebih menarik dan alamiah untuk ayah-ayah muda Jepang (Nakazawa dan Shwalb, 2013: 60). Gambar dari poster tersebut adalah seorang ayah bernama Masaharu Maruyama atau lebih dikenal

dengan nama Sam dari band TRF, yang sedang menggendong anak laki-lakinya yang berusia 8 tahun. Kampanye ini juga dikenal sebagai The Sam Campaign. Di dalam poster terdapat sebuah percakapan:

Otousan de iru jikan o, motto.

Ichinichi 17-fun. Nihon no otousan ga ikuji ni atete iru heikin jikan desu.

Futari de tsukutta kodomo na noni, kore de wa okaasan hitori de sodatete mitai.

Ninshin ya shussan ga josei ni shika dekinai oshigoto nara, ikuji wa dansei ni mo dekiru oshigoto na no de wa nai deshou ka.

Otousan-tachi ni wa, kosodate no tanoshisa, taihensa o, motto shitte hoshii.

Soshite, 21-seiki o ninatte itte kureru kodomo-tachi no koto o, motto kangaete

hoshii.

Terjemahan:

Habiskan lah lebih banyak waktu sebagai seorang ayah!

17 menit per hari. Itu adalah waktu rata-rata ayah Jepang menghabiskan waktu mengurus anak.

Meskipun kalian memilikinya bersama, tetapi sepertinya hanya si ibu yang merawat anak.

Meskipun hamil dan melahirkan adalah tugas berat bagi seorang ibu, apakah mengurus anak terlalu berat bagi ayah?

Kami ingin para ayah tahu bagaimana perasaan suka dan duka dalam merawat anak.

Dan kami ingin mereka untuk berpikir tentang anak mereka yang akan menjadi generasi penerus di abad 21.

Poster ini kemudian menjadi perbincangan kontroversial. Sebagai contoh, Ikujiren menentang dengan mengeluarkan pernyataan “Kalian tidak memanggil pria yang tidak merawat anaknya dengan chichi? Kalau begitu biarkan kami merawat anak kami selama yang kami mau”. Poin mereka adalah mereka tidak membesarkan anak hanya karena tingkat kelahiran menurun. Oleh karena itu mereka mengkritik sistem masyarakat yang tidak memungkinkan para pria dan wanita untuk secara alami bekerja dan membesarkan anaknya pada waktu yang bersamaan (Ohinata dalam Goodman, 2002: 148). Bagaimanapun, respon pro dan kontra terhadap kampanye ini membuka arah baru bagi partisipasi pria dalam mengasuh anak dan mempertanyakan sebuah aturan tidak tertulis bahwa mengasuh anak adalah tugas ibu seutuhnya yang sudah lama mendarah daging (Ishii-Kuntz, 2012: 29).

Pada tahun 2010 ada penelitian bahwa pria dengan umur yang cocok untuk menikah dan memiliki anak (pria subur) semakin takut untuk menikah karena banyak yang berpikir bahwa para istrinya akan menjadi sengyou shufu (ibu rumah tangga) dan tidak dapat membantu perekonomian rumah tangga. Pemerintah

mengambil tindakan untuk merevisi undang-undang yang di mana disebutkan bahwa para pekerja diberi izin istirahat untuk anak dan keluarga.

Perubahan tersebut harus memungkinkan para pekerja pria dan pekerja wanita di dalam sebuah perusahaan yang memiliki anak berumur kurang dari tiga tahun agar bekerja lebih pendek 6 jam dari total jumlah jam kerja biasanya dan bebas dari jam lembur.

Kemudian para ayah dan ibu juga dapat menggunakan libur selama dua belas bulan untuk kelahiran anak dan menikmati 60% dari gajinya (Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan, 2010a).

Dengan ini, pemerintah mencoba untuk mempromosikan bahwa setelah ibu selesai cuti paska kelahiran anak selama dua belas bulan, ayah dapat mengambil cuti menggantikan sang ibu untuk merawat anak mereka. Hal ini memudahkan ibu untuk kembali dalam dunia kerja dan juga memudahkan transisi anak.

Pada Januari 2010, mentri Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan, Nagatsuma Akira mengatakan dalam rapat Komite Anggaran DPR,

“Saya ingin membuat ikumen dan kajimen menjadi tren”. Lalu pada bulan Juni 2010, Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja dan, Kesejahteraan mengeluarkan kampanye ikumen project. Tujuan ikumen project bukan didasari pada kesetaraan gender, tetapi agar wanita tetap dapat mempertahankan pekerjaan mereka dan juga meningkatkan kelahiran. Kampanye ini berusaha untuk memberikan citra positif orang tua yang ikut aktif dalam merawat anak-anak mereka.

Ikumen Project juga memberikan indeks tentang ikumen yang menyusun jumlah orang tua yang pertama kali mendapat cuti mengasuh anak, total tingkat kesuburan, jumlah pendukung ikumen di masing-masing prefektur sejak 2009.

Proyek ini bahkan memiliki lagu resmi yang berjudul Kazoku no Wa. Bait pertama dinyanyikan oleh sang ibu, liriknya menyampaikan bahwa betapa tertolongnya sang ibu saat suaminya berada di sisinya, lalu bait kedua dinyanyikan oleh sang ayah yang menyampaikan bahwa betapa bersyukurnya dia pada kesungguhan dan kerja keras istrinya dan menyatakan bahwa dia juga akan berusaha mulai dari apa yang bisa dilakukannya.

BAB III

FENOMENA IKUMEN DI MASYARAKAT JEPANG

3.1 Fenomena Ikumen

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, ikumen adalah pria yang ikut terlibat dalam mengasuh anaknya. Fenomena ini terjadi di kota-kota besar di Jepang karena merupakan daerah perkembangan ekonomi yang tinggi. Adapun para ayah yang dapat berpartisipasi merawat anak biasanya suami yang berpenghasilan sama atau lebih sedikit dari istri, memiliki jam kerja yang lebih sedikit, memilih rasa tanggung jawab sebagai ayah lebih kuat, memiliki anak kecil yang banyak (Stella R. Quah, 2015: 185).

Menurut Benesse Institute for Child Sciences and Parenting (2011), ayah muda berusaha keras untuk menjadi ikumen atau ayah yang berpartisipasi aktif dalam mengasuh anak, terlepas dari kendala sosial, budaya, ekonomi. Ayah yang mencoba mencari waktu untuk membesarkan anak meski pulang larut malam, yang memiliki harapan untuk masa depan anak mereka, yang ingin memiliki dua anak walau tidak memungkinkan, semua itu adalah ayah yang baik dan merupakan kandidat untuk menjadi ikumen.

Pada Agustus 2011, ada lebih dari 400 ayah mengaku bahwa dirinya merupakan ikumen. Lalu pada tahun 2013 meningkat menjadi 1.684 ayah yang dimana 62,5% di antaranya adalah ayah berumur 30-an dan setengahnya berasal dari Tokyo.

Seiring ikumen menjadi semakin terkenal, berbagai acara untuk mengasuh anak oleh ayah dan ibu mulai bermunculan. Dari acara lokal yang tergolong kecil

sampai berskala besar. Festival Mengasuh (Ikufes) dimulai sejak tahun 2010 adalah acara besar yang berbasis di Tokyo dan dilaksanakan selama dua hari.

Acara ini diselenggarakan oleh majalah FQ Japan dan disponsori oleh Kementrian Ekonomi, Perdagangan dan Industri. Isi acara terdiri dari talk show dengan selebritis, macam-macam kelas, pemotretan foto keluarga, barang-barang rumah tangga, dan undian kesempatan untuk memenangkan berbagai item kebutuhan rumah tangga. Kemudian ada juga acara Ikumen of The Year yang disponsori oleh Ikumen Project.

3.2 Ikumen Kurabu (Ikumen Club)

Pada akhir 2006, sebuah asosiasi swasta Ikumen Club yang dibentuk dan terdiri dari para orang tua, ingin mempromosikan partisipasi pria dalam merawat anak. Ikumen Club mempromosikan diri mereka yang merupakan jenis ‘orang tua baru’ ini sebagai laki-laki menarik. Membesarkan anak seperti kegiatan olahraga, mereka dapat mengenalkan dunia baru dari sisi yang berbeda pada anak-anak mereka, mereka juga tidak lupa untuk selalu memikirkan dan mencintai istri mereka (Ikumen Club, 2007a).

Antara tahun 2007 dan 2008, klub ini mempromosikan diri mereka dengan moto “Membesarkan anak menyenangkan. Laki-laki yang merawat anak adalah laki-laki yang menarik. Jika kita merawat anak, istri, keluarga, dan Jepang ikut senang” melalui website, iklan di majalah bayi, radio, televisi, dan surat kabar (Ikumen Club, 2007b).

Klub ini membantu secara praktik dan moral dalam menjalanai tugas sebagai ayah. Di klub ini, para ayah dan calon ayah diajarkan bagaimana cara

memasak, bagaimana menghibur dan membaca untuk anak, dan kegiatan lainnya berhubungan dengan kegiatan domestik yang biasanya diajarkan pada wanita baik formal maupun informal.

3.2 Ikumen Project

Di dalam keluarga modern dikatakan bahwa setiap anggota keluarga memiliki hak dan kedudukan yang sudah tidak lagi dipengaruhi oleh gender.

Namun, peran laki-laki dalam lingkup domestik, khususnya mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga masih terbilang rendah (Ogasawa dalam Oyama, 2014: 86). Dalam buku Kokusaihikaku ni miru sekai no kosodatte,

Namun, peran laki-laki dalam lingkup domestik, khususnya mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga masih terbilang rendah (Ogasawa dalam Oyama, 2014: 86). Dalam buku Kokusaihikaku ni miru sekai no kosodatte,

Dokumen terkait