• Tidak ada hasil yang ditemukan

FENOMENA IKUMEN DI DALAM MASYARAKAT JEPANG NIHON SHAKAI NI OKERU IKUMEN NO GENSHOU SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FENOMENA IKUMEN DI DALAM MASYARAKAT JEPANG NIHON SHAKAI NI OKERU IKUMEN NO GENSHOU SKRIPSI"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

FENOMENA IKUMEN DI DALAM MASYARAKAT JEPANG NIHON SHAKAI NI OKERU IKUMEN NO GENSHOU

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah satu

Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

YESSICA M. B. HUTASOIT 130708092

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(2)

FENOMENA IKUMEN DI DALAM MASYARAKAT SJEPANG NIHON SHAKAI NI OKERU IKUMEN NO GENSHOU

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah satu

Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Pembimbing

Drs. Nandi S

NIP. 196088221988031002

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(3)

Disetujui Oleh : Fakultas IlmuBudaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, Oktober 2017 Program Studi Sastra Jepang Ketua,

Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D

NIP. 19580704 198412 1 001

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah begitu baik dan setia memberikan kasih, pertolongan dan anugerah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi yang berjudul “Fenomena Ikumen Dalam Masyarakat Jepang” ini dimaksudkan sebagai syarat penyelesaian Program Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Departemen Sastra Jepang.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari bimbingan, dukungan, dorongan, serta bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terimakasih saya sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku ketua Program Studi Sastra Jepang.

3. Bapak Drs. Nandi S selaku penasehat akademik yang telah membantu penulis dalam akademik selama proses perkuliahan dan juga sebagai pembimbing penulis yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan, serta meluangkan waktu selama proses penulisan skripsi ini.

4. Seluruh Bapak/Ibu Dosen yang telah banyak memberikan ilmu dan staf administrasi yang telah membantu penulis mengikuti kegiatan akademis.

(5)

5. Mama, Yosef, Angel, keluarga besar Tambunan dan Hutasoit yang selalu mengingatkan untuk cepat lulus dan memberi berbagai wejangan untuk membangkitkan semangat penulis.

6. Teman-teman Sastra Jepang FIB USU angkatan 2013 yang telah memberi banyak kenangan indah. Terkhusus kepada Kristina, Marolop, Naomi, Inezt, Sarah, Putri, Eka, Anne, Erika, Ribka, Dika. Teman- teman dekat penulis yang telah bersama dengan penulis menjalani suka dan duka selama empat tahun masa perkuliahan, baik di dalam kelas, organisasi, kepanitaan, juga asam-manis pertemanan. I love you full.

7. Kak Ayu, Kak Selly, dan Kak Nita selaku senior yang selalu membimbing dan memberikan nasehat. May we meet again.

8. Acara reality show “Produce 101” yang telah menghibur dan membangkitkan semangat untuk meraih impian penulis. Terkhusus kepada Park Jihoon.

Segala upaya telah dilakukan penulis untuk menyempurnakan penulisan ini. Namun, tidak mustahil dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat dijadikan masukan dalam penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga tulisan ini bisa memberikan manfaat bagi pembaca.

Medan, Oktober 2017 Penulis,

Yessica M. B. Hutasoit

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI ...iii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Perumusan Masalah ...4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ...5

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ...5

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian...10

1.6 Metode Penelitian...11

BAB II GAMBARAN UMUM IKUMEN 2.1 Perubahan Sistem Keluarga Jepang...12

2.2 Pola Pengasuhan Anak di Jepang...14

2.3 Perubahan Peran Ayah Dalam Pengasuhan Anak di Jepang...16

2.4 Definisi Ikumen...20

2.5 Latar Belakang Penyebab Munculnya Ikumen...24

2.5.1 Ekonomi Gelembung...24

2.5.2 Wanita Aktif Bekerja...25

2.5.3 Dukungan Pemerintah...27

BAB III FENOMENA IKUMEN DI MASYARAKAT JEPANG 3.1 Fenomena Ikumen...33

3.2 Ikumen Club (Ikumen Kurabu) ...34

(7)

3.3 Ikumen Project...35 3.4 Representasi Dari Media...36 3.5 Opini Masyarakat Terhadap Ikumen...37 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ...59 4.2 Saran ...60 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN ABSTRAK

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-harinya selalu berinteraksi dengan sesama manusia. Seiring terjalinnya interaksi dengan sesama ini, maka lahirlah peradaban yang kemudian berkembang dan membentuk berbagai kebudayaan. Kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu menghasilkan hal-hal baru seperti sebuah fenomena.

Dalam pemahaman Edmund Husserl fenomenologi adalah suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Fokus utama filsafat hendaknya tertuju kepada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) dan Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah).

Jepang adalah salah satu negara maju yang memiliki kebudayaan beragam-ragam hingga tidak terlepas dari munculnya fenomena-fenomena yang beragam pula. Pada dasarnya Jepang adalah negara yang mudah bagi seseorang untuk menciptakan suatu hal baru dan orang-orang tertentu akan turut mengikuti hal tersebut.

Ketika membicarakan tentang pria Jepang, pada umumnya akan muncul gambaran pria yang kaku, tenang, dan cool. Misalnya samurai dan sarariman.

(9)

Kedua sosok ini mewakilli gambaran umum pria Jepang. Samurai dikenal dengan citra prajurit yang identik dengan peperangan. Hal ini tidak sepenuhnya salah karena samurai mengacu pada kelas bushi atau ksatria. Pada akhir abad ke-12 sampai pada abad ke-19, samurai memiliki posisi dan kekuasaan politik. Ketika restorasi Meiji, mereka ikut ambil bagian dalam proses modernisasi Jepang.

Samurai juga memiliki tugas untuk menjaga dan melindungi tuannya kepada siapa mereka mengabdi. Dalam menjalankan tugasnya, mereka berpegang teguh pada nilai bushido yang berarti jalan ksatria. Bushido ini nantinya juga berperan penting dalam pembentukan karakter masyarakat Jepang. Nilai bushido yang melekat pada samurai adalah kesetiaan dan kehormatan.

Selanjutnya sarariman yang dianggap sebagai samurai modern.

Sarariman merupakan gambaran pria pekerja keras demi menghidupi keluarga.

Sarariman lebih sering menghabiskan waktunya untuk bekerja di kantor daripada dengan keluarga. Pergi di pagi hari, pulang larut malam karena lembur dan tak jarang menghabiskan hari libur untuk bersama atasan atau klien, seperti yang diungkapkan oleh Fujimura Fanselow dan Kameda (1995:229) berikut:

A workaholic who toils long hours for Mitsubishi or Sony or some other large corporation, goes out drinking with his fellows workers or clients after work and plays golf with them on weekends, and rarely spends much time at home with his wife and children, muchless does anything around the house, such as cleaning or changing diapers. (Roberson dan Suzuki, 2003)

Terjemahan:

“Seorang workaholic yang bekerja keras berjam-jam untuk Mitsubishi, Sony atau perusahaan besar lainnya, pergi minum-minum dengan rekan kerja atau klien setelah selesai bekerja dan bermain golf bersama mereka

(10)

di akhir pekan serta jarang menghabiskan waktu di rumah bersama anak istri dan jarang mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti bersih-bersih atau mengganti popok.”

Dengan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa seorang ayah di Jepang adalah seseorang yang sangat sibuk dan tidak memiliki waktu untuk bersama anak dan istri. Namun beberapa tahun terakhir ada sebuah istilah yang menjadi bahan perbincangan, yaitu ikumen. Istilah ini diperuntukan bagi ayah yang ikut berpartisipasi mengasuh anaknya. Hal ini sangat bertentangan dengan imej keluarga Jepang yang dikenal sebagai keluarga patriarki.

Pada tahun 2010, pemerintah Jepang mengeluarkan sebuah kampanye yang disebut sebagai Ikumen Project, untuk mengajak para ayah berperan aktif mengambil peran dalam mengurus anak. Selama beberapa tahun terakhir ikumen tumbuh semakin pesat di kalangan masyarakat Jepang. Berbagai acara televisi dan artikel di surat kabar menyajikan berita-berita terkait dengan ikumen, bahkan ada sebuah kontes penghargaan Ikumen of the Year. Dengan adanya dukungan dalam pengasuhan anak, kaum pria dapat memainkan perannya sebagai orang tua dalam pengasuhan anak..

Fenomena ikumen terjadi di kota-kota metropolitan atau kota besar di Jepang dengan perkembangan ekonomi yang tinggi. Pada Agustus 2011, ada lebih dari 400 ayah mengaku bahwa dirinya merupakan ikumen. Lalu pada tahun 2013 meningkat menjadi 1.684 ayah yang dimana 62,5% di antaranya adalah ayah berumur 30-an dan setengahnya berasal dari Tokyo.

(11)

Berdasarkan uraian di atas tersebut, penulis tertarik untuk membahas tentang pola mengasuh anak oleh ayah di Jepang dan menuangkannya dalam bentuk skripsi berjudul “Fenomena Ikumen Dalam Masyarakat Jepang”.

1.2 Perumusan Masalah

Keberadaan ikumen di tengah masyarakat Jepang telah mendapat perhatian dari pemerintah dan sorotan berbagai media. Banyak hal yang mempengaruhi munculnya fenomena ini. Masyarakat beranggapan bahwa keberadaan ikumen dapatmenjadi contoh ayah masa depan yang bertanggung jawab. Tetapi, timbul juga kekhawatiran karena ikumen tidak sesuai dengan konsep keluarga Jepang dan juga kepercayaan orang Jepang akan mitos tiga tahun (san sai ji shinwa) yang masih melekat dan mengakar di dalam pengasuhan anak di Jepang mengatakan bahwa, anak di usia sampai tiga tahun jika tidak di bawah pengasuhan tangan sang ibu, maka akan memberikan dampak negatif pada proses pertumbuhannya (Reiko, 2008:48).

Hal inilah yang menarik penulis untuk mencari tahu dan membahas ikumen lebih jauh. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah fenomena ikumen dalam masyarakat Jepang. Untuk itu penulis merumuskan masalah dalam bentuk dua pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang penyebab munculnya Ikumen?

2. Bagaimana Fenomena Ikumen di masyarakat Jepang?

1.3 Ruang Lingkup dan Masalah

(12)

Dalam pembahasannya penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup permasalahan agar masalah tidak terlalu luas dan berkembang jauh yang dapat menyulitkan pembaca untuk memahami pokok permasalahan yang dibahas.

Dalam penelitian ini, ruang lingkup yang dibahas difokuskan pada fenomena ikumen di Jepang. Untuk mendukung penelitian ini, penulis juga akan membahas latar belakang munculnya fenomena ikumen di Jepang.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Untuk waktu yang cukup lama, Jepang terkenal karena fenomena sosial seperti hikikimori dankaroushi. Tetapi, beberapa tahun terakhir konsep ikumen mendapat sorotan dari dalam bahkan luar negri karena bertentangan dengan karakteristik pola pengasuhan anak di Jepang.

Karakteristik utama dalam pola pengasuhan anak di Jepang antara lain adalah (1) besarnya peran ibu, (2) ayah tidak terlalu banyak terlibat dalam mengasuh anak, (3) kurangnya dukungan dari kerabat dalam pola pengasuhan anak, (4) rendahnya penggunaan babysitter, (5) dalam keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, fasilitas seperti houikouen (day care) memiliki peran hingga batas-batas tertentu. Dengan kata lain, pengasuhan anak di Jepang kurang mendapat perhatian dari ayah dan kerabat lainnya.

Moteki (2011:7) menjelaskan bahwa ikumen berasal dari permainan kata seperti halnya ikemen. Moteki memberikan definisinya mengenai ikumen sebagai berikut:

(13)

「「イクメン」とは,育児の「イク」と男性(メンズ)の「メン」

を組み合わせた造語で,「育児をする男性」のことであり、「育児 を楽しみ,自分自身も成長する男性」のことをいう。」

Ikumen to wa, ikuji no iku to dansei (menzu) no (men) wo kumi awaseta zougo de, ikuji wo suru dansei no koto deari, ikuji wo tanoshimi, jibun jishin mo seichousuru dansei no koto wo itu.

Terjemahan:

“Ikumen adalah kata yang berasal dari gabungan iku dari ikuji dan men, yang berarti pria yang mengasuh anak, dan disebut sebagai pria yang menikmati mengasuh anak dan mendewasakan dirinya sendiri.”

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa ikumen adalah pria yang mengasuh anak dan menikmati pengasuhan anak tersebut. Melalui pengasuhan anak, para pria di Jepang dapat Ikumen Project mendewasakan dirinya sendiri. Selain itu, Moteki (2011:7) mengungkapkan bahwa pria yang secara sukarela mengasuh anak walaupun sambil bekerja dapat disebut dengan ikumen. Di dalam kampanyenya, Ikumen Project (2010) mengungkapkan bahwa :

「イクメンとは、子育てを楽しみ、自分自身も成長する男性のこと。

または、将来そんな人生を送ろうと考えている男性のこと。イクメ ンがもっと多くなれば、妻である女性の生き方が、子どもたちの可 能性が、家族のあり方が大きく変わっていくはず。そして社会全体 も、もっと豊かに成長していくはずです。」

(14)

Ikumen to wa kozodate wo tanoshimi, jibun jishin mo seichousuru dansei no koto. Mata wa, shourai sonna jinsei wo okurou to kangaeteiru dansei no koto. Ikumen ga motto ookunareba, tsuma dearu josei iki kata ga, kodomotachi no kanouseiga, kazoku no ari kata ga ookiku kawatteiku hazu. Soshite, shakaizentai mo, motto yutaka ni seichoushiteiku hazu desu.

Terjemahan:

“Ikumen adalah pria yang menikmati mengasuh anak, dan mendewasakan diri sendiri. Selain itu, pria yang berpikir untuk melakukannya di masa depan. Apabila jumlah ikumen semakin banyak, cara hidup wanita sebagai istri, anak dan keberadaan keluarga pasti akan berubah, dan masyarakat secara keseluruhan akan terus bertumbuh dengan makmur.”

Selain itu, di dalam penelitian Gender, Family, and New Styles of Fatherhood: Modernization and Globalization in Japan (Oyama, 2014:159) mengungkapkan bahwa tidak ada karakterisasi ikumen secara detail, dan gambaran ikumen dari tiap orang berbeda-beda.

Involvement in the daily care of babies and toddlers is the most common definition of Ikumen, but that is not the only aspect of Ikumen despite the 11 meaning of the word, and Ikumen are also thought to be actively involved in the household including cooking.

Terjemahan:

“Keterlibatan dalam perawatan sehari-hari bayi dan balita merupakan definisi yang paling umum dari ikumen, tetapi itu bukanlah satu-satunya aspek dari ikumen di samping definisinya berdasarkan kata, dan ikumen

(15)

dianggap pula aktif terlibat dalam pekerjaan rumah tangga termasuk memasak.”

Dari pernyataan Oyama di atas, maka dapat diketahui bahwa seorang ikumen bukan hanya terlibat dalam pengasuhan anak, akan tetapi dapat pula terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga.

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian diperlukan landasan teori untuk mengungkapkan kebenaran penelitiannya. Menurut Koetjaraningrat (1976:1), kerangka teori berfungsi sebagai pendorong proses berpikir secara deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak ke dalam bentuk nyata.

Pendekatan yang akan digunakan untuk menganalisis masalah dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Kata ‘fenomenologi’

berasal dari bahasa Yunani yaitu phainomenon dan logos, yang secara umum phaenomenom berarti tampak atau memperlihatkan. Sedangkan logos adalah ilmu atau ucapan. Dengan demikian fenomenologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang tampak. Fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl yang dikenal sebagai bapak fenomenologi. Menurut Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena atau tentang gejala segala sesuatu yang tampak.

Fenomenologi sebagai salah satu bentuk penelitian kualitatif tumbuh dan berkembang dalam bidang sosiologi, menjadikan pokok kajiannya fenomena yang tampak sebagai subjek penelitian. Dalam konteks penelitian kualitatif, fenomena merupakan sesuatu yang hadir dan muncul dalam kesadaran peneliti dengan

(16)

menggunakan cara tertentu, sesuatu menjadi tampak dan nyata. Penelitian fenomenologi selalu difokuskan pada menggali, memahami, dan menafsirkan arti fenomena, peristiwa, dan hubungannya dengan masyarakat dalam situasi tertentu.

Tujuan dari fenomenologi adalah untuk menerangkan bagaimana objek pengamatan dituangkan dalam perbuatan pikiran dari mengamati, begitu juga untuk perasaan, imajinasi dan lain-lain. Hal yang penting adalah “bagaimana”, maksudnya adalah bagaimana suatu hal bisa terjadi. Maka dari itu penulis menggunakan pendekatan fenomenologi untuk mengetahui bagaimana fenomena ikumen dapat terjadi di masyarakat Jepang.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan fenomena ikumen di Jepang

2. Untuk mendeskripsikan hal yang melatarbelakangi munculnya fenomena ikumen di Jepang

1.5.2 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat dan berguna bagi pihak-pihak tertentu, yaitu:

1. Bagi penulis sendiri dapat menambah wawasan mengenai Fenomena Ikumen di Jepang.

(17)

2. Bagi para pembaca yakni masyarakat luas umumnya dan mahasiswa Sastra Jepang khususnya, penelitian ini dapat dijadikan sumber ide dan tambahan informasi untuk diteliti lebih jauh.

1.6 Metode Penelitian

Menurut Siswantoro (2005:55) metode penelitian dapat diartikan sebagai prosedur atau tatacara yang sistematis yang dilakukan seorang peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti memecahkan masalah atau menguak kebenaran atas fenomena tertentu.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deksriptif.

Menurut Koentjaraningrat (1976:30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, dan kelompok tertentu dalam memecahkan penelitian, mengkaji, dan menginterpretasikan data.

Penelitian ini dilakukan dengan mengamati objek masalah yang terjadi, lalu mengumpulkan data berdasarkan fakta-fakta yang ada, kemudian mengembangkan data yang telah didapat sesuai dengan informasi dan data yang sesuai dan berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini. Data-data yang berhubungan dan dibutuhkan dalam penelitian ini didapat dan dikumpulkan melalui metode penelitian kepustakaan atau library research.

Menurut Nasution (1996:14), metode kepustakan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan

(18)

aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi: masalah, teori, konsep, kesimpulan, dan saran. Metode kepustakaan merupakan metode yang mengutamakan pengumpulan data dari beberapa buku atau referensi yang berkaitan dengan pembahasan untuk mencapai tujuan penelitian.

Dalam metode ini, penulis memanfaatkan sumber-sumber yang didapat dari koleksi-koleksi buku di perpustakaan Konsulat Jenderal Jepang di Medan, perpustakaan pusat USU, serta jurnal-jurnal dan artikel yang dimuat di majalah dan internet yang membahas mengenai permasalahan yang berkaitan dengan judul penelitian ini.

(19)

BAB II

GAMBARAN UMUM IKUMEN

2.1 Perubahan Struktur Sistem Keluarga Jepang

Bentuk keluarga Jepang sebelum perang dunia kedua dikenal sebagai ie.

Keluarga ie adalah bentuk keluarga luas yang mengikuti satu garis keturunan ayah (Situmorang dan Uli, 2011: 24). Unsur keluarga ie terbentuk minimal dua generasi, oleh karena itu ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak suami atau istri dalam keluarga tersebut. Sistem ie mengambil bentuk keluarga besar yang disebut daikazoku (keluarga besar) yang terdiri dari kakek-nenek, ayah-ibu, dan anak-anak. Sistem keluarga ie merupakan sistem yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman feodal di Jepang. Sistem keluarga ini berporos pada garis keturunan ayah yang dimana anak laki-laki sulung lebih diutamakan dan keanggotaan keluarga tidak terbatas pada hubungan darah karena pekerja di dalam ie pun disebut anggota keluarga ie. Pada sistem keluarga ie, ayah sebagai kepala keluarga (shuto) dan anak lelaki tertua sangat berhubungan erat karena ketika ayah meninggal yang meneruskan ie dan menjadi kepala keluarga adalah anak lelaki tertua sedangkan anak lelaki kedua (jinnan) dan anak lelaki ketiga (sannan) dapat keluar dari keluarga ie dan membentuk keluarga ie baru atau dapat pula menjadi anggota keluarga ie lain.

Kedudukan seorang wanita di dalam keluarga tradisional ie memang dianggap rendah. Karena pada waktu masa anak-anak wanita bekerja untuk ayah, dan ketika sudah menikah mereka bekerja untuk suaminya dan ketika sudah tua, wanita bekerja untuk anak laki-laki tertuanya (Situmorang, 2011: 30). Ketika

(20)

seorang wanita masih menjadi seorang istri atau menantu (yome), ia harus dapat menempatkan dirinya sebagai yome dan tunduk kepada kacho (kepala keluarga) maupun shutome (ibu mertua). Sebagai menantu perempuan, ia diharuskan untuk menghormati dan melayani mertuanya lebih baik melebihi orang tuanya. Menurut Huda dalam Sembiring (2011: 20) keberadaan atau status seorang istri baru diakui keluarga apabila ia berhasil dengan baik dalam melayani mertuanya atau setelah ia bisa memberikan keturunan untuk keluarga suaminya. Apabila ia dianggap gagal oleh kacho maupun shutome, ia bisa saja diceraikan oleh mertuanya tersebut tanpa persetujuan dari suaminya sendiri. Peran yome pun dalam keluarganya sendiri kurang dilihat dan dipandang sebelah mata. Ia harus menekan keinginan- keinginan pribadinya dan membuat dirinya lebih tertuju untuk memelihara ie dan menjaga nama baik ie.

Masyarakat Jepang adalah masyarakat patriarkal. Sistem patriarkal adalah suatu sistem dimana para pria lebih dominan dibandingkan wanitanya di lingkungan pekerjaan maupun kehidupan rumah tangga (Olson dalam Saragih, 2014: 15). Para pria di Jepang memainkan peranan penting di dalam masyarakat dan mereka cenderung lebih mementingkan pekerjaannya dari perkawinannya.

Sehingga ada ungkapan otoko wa shigoto, onna wa katei atau men at work, women at home.

Ketika Perang Dunia II selesai terjadi perubahan-perubahan di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Contohnya perubahan sistem keluarga, dari sitem ie menjadi sitem kaku kazoku. Pakar sosiologi Jepang, Matsubara berpendapat bahwa, kaku kazoku adalah sistem keluarga yang semakin popular dalam masyarakat Jepang, sebagai pengganti sistem ie. Menurutnya ada tiga

(21)

faktor utama yang menyebabkan ie tergeser oleh sistem kaku kazoku, yaitu: (1) Hilangnya landasan hukum tahun 1946, serta adanya perubahan dalam hukum sipil tentang keluarga dan warisan pada tahun 1948; (2) Tumbuhnya pemikiran tentang demokrasi pada berbagai lapisan masyarakat setelah Perang Dunia II melalui sistem pendidikan modern yang merata di seluruh Jepang, sehingga membentuk pendapat umum yang menganggap sistem ie kurang demokratis, dan (3) Adanya perubahan drastis dalam pola kehidupan keluarga di Jepang setelah tahun 1955 ke atas (1983: 34).

Terjadinya proses perubahan dalam struktur keluarga di Jepang dari sistem ie ke kaku kazoku tentunya membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya antara lain: (a) hak setiap individu di dalam keluarga lebih dihormati;

(b) istri mempunyai hak bersama suami mengatur bahtera rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan mertua; (c) anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai persamaan hak untuk menerima warisan dari orang tuanya.

Sebaliknya, dampak negatif antara lain: (a) kehidupan kaum lanjut usia semakin kurang terjamin sedangkan beban Negara untuk mengatasi masalah ini semakin besar; (b) proses sosialisasi nilai-nilai yang mementingkan faktor hirarki dalam keluarga dan dalam masyarakat mulai terganggu dan hal ini sedikit demi sedikit akan mempengaruhi karakter orang Jepang dimasa-masa mendatang.

2.2 Pola Pengasuhan Anak di Jepang

Di dalam kehidupan masyarakat Jepang, kegiatan pengasuhan anak ini disebut juga sebagai dengan istilah ikuji. Kata ikuji terdiri dari dua kanji, yaitu (iku) yang memiliki arti mengasuh atau membesarkan dan (ji) yang memiliki

(22)

arti anak (Nelson dalam Ghiamitasya, 2012: 98). Ikuji dapat diartikan dengan sebuah proses pengasuhan anak sejak lahir hingga berusia di mana sang anak sudah dapat menjalani kehidupan sosial, baik secara fisik dan mental (http://kotobank.jp/word/育児/).

Karakteristik utama adalam pola pengasuhan anak di Jepang antara lain, (1) besarnya peran ibu, (2) ayah tidak terlalu banyak terlibat pengasuhan anak, (3) kurangnya dukungan dari kerabat dalam pengasuhan anak, (4) rendahnya penggunaan baby sitter, pembantu atau pekerja yang membantu urusan rumah tangga, (5) dalam keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, fasilitas seperti houikouen (day care) memiliki peran hingga batas-batas tertentu. Dengan kata lain, pengasuhan anak di Jepang kurang mendapat dukungan dari sang ayah maupun kerabat lainnya. Ibu menjadi satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak (Reiko, 2007: 36).

Kepercayaan atas ‘mitos 3 tahun’ (san sai ji shinwa) yang masih mengakar di dalam pengasuhan anak di Jepang mengatakan bahwa, anak di usia sampai 3 tahun jika tidak berada di bawah pengasuhan tangan sang ibu, maka akan memberikan dampak buruk pada proses pertumbuhannya (Reiko, 2007: 48).

Mitos 3 tahun merupakan sebuah konsep di mana pengasuhan anak hingga usia tiga tahun harus dibebankan kepada sang ibu (Ohinata dalam Ghiamitasya, 2012: 99). Dalam hal ini terdapat tiga unsur di dalamnya, antara lain:

1. Anggapan bahwa pertumbuhan anak hingga usia 3 tahun merupakan masa pertumbuhan yang sangat penting.

(23)

2. Karena dianggap sebagai masa terpenting, maka sudah seharusnya pengasuhan anak dibebankan kepada sang ibu, di mana ia memiliki kemampuan alami dalam hal pengasuhan.

3. Jika pengasuhan anak hingga usia 3 tahun atau kira-kira hingga sebelum masuk sekolah tidak dilakukan sang ibu dengan alasan bekerja, dikatakan dapat mengganggu pertumbuhan fisik maupun psikis anak.

Adanya kepercayaan ‘mitos 3 tahun’ ini menjadikan sosok ibu sebagai peran utama bagi setiap wanita yang telah berkeluarga. Interaksi antara ibu dan anak cenderung lebih intensif dibandingkan interaksi ayah dengan anak.

2.3 Perubahan Peran Ayah Dalam Pengasuhan Anak di Jepang

Ada sebuah ungkapan tradisional Jepang, yaitu jishin, kaminari, kaji, oyaji atau gempa, badai, api, ayah. Kata-kata ini melambangkan hal-hal yang ditakuti oleh orang Jepang. Imej ayah Jepang sampai sekarang masih dipandang negatif.

Pada tahun 1970 ada sebuah slogan “Ayah yang baik adalah ayah yang sehat dan tidak berada di rumah”. Keluarga Jepang tampak seperti tidak memiliki sosok ayah karena jam kerja mendominasi waktu ayah. Ayah-ayah seperti ini sering dijuluki “Suami 7-11”, yang berarti ayah yang pergi pukul 07.00 pagi dan pulang pukul 11.00 malam.

Pada saat sistem keluarga ie masih mengakar pada masyarakat Jepang, peran ayah dalam mendidik menjadi sangat penting guna mempersiapkan anak laki-laki tertua mereka yang akan mengganti peran ayahnya kelak sebagai kepala keluarga (kachou) (Reiko, 2007: 27). Peran ayah di dalam keluarga adalah selain

(24)

sebagai pencari nafkah, ayah juga berperan sebagai agen sosialisasi bagi anak- anaknya, terutama pada masa remaja (Miyamoto dan Fujisaki, 2008: 58). Sistem ie sangat berpengaruh pada pembentukan peran gender pada saat ini, khususnya seorang pria sebagai ayah.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, para ayah Jepang di akhir 1950-an dan 1960-an lebih fokus pada perannya sebagai karyawan perusahaan. Mereka berkontribusi pada restorasi Jepang sebagai kekuatan ekonomi. Sistem bekerja di Jepang lebih memprioritaskan pria pada pekerjaannya dibandingkan dengan keluarga. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kerja lembur dan tanshinfunin (pindah bekerja di kota lain dengan meninggalkan keluaga). Sebagai hasilnya, ada banyak ayah yang gila bekerja dan menyerahkan tugas pengasuhan anak kepada istri (Nakazawa dan Shwalb, 2013: 63).

Seiring berkembangya kindai kazoku (keluarga modern) di Jepang, figur ayah secara perlahan mulai terasingkan dari wilayah rumah (domestik). Adanya konsep katei (rumah tangga) memisahkan antara ruang publik dan ruang domestik.

Lingkup rumah tangga merupakan area pribadi yang terbatas hanya untuk kalangan perempuan dan yang bertanggung jawab terhadap katei adalah shufu (ibu rumah tangga). Di waktu yang sama terdapat perubahan terdapat pada pandangan mengenai wanita. Posisi wanita menjadi ‘ibu yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik’. Secara bertahap kaum pria mulai diasingkan dari area katei, diharapkan dapat berkontribusi di ruang publik untuk pembentukan bangsa modern (Reiko, 2007: 28). Hal ini lah yang kemudian memunculkan istilah sengyou haha (ibu penuh waktu). Oleh karena itu, peran ayah kemudian hanya sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Hilangnya sosok ayah dalam keluarga

(25)

bukan menjadi sebuah permasalahan melainkan sebagai tanda kesuksesan seorang pria. Hal ini kemudian menjadi sub-kebudayaan Jepang yang mengakar pada saat itu (Tamura dalam Oyama, 2014: 50)

Sikap yang berbeda dari pembagian kerja berdasarkan gender tercermin dalam data survei nasional yang dilakukan oleh pemerintah. Data tersebut menunjukkan ketidaksetujuan pria dan wanita dalam pernyataan “suami harus bekerja di luar rumah, sementara istri mengerjakan tugas domestik” (Lamb dalam Oyama, 2014: 52). Kecenderungan ini muncul karena adanya kesetaraan gender dalam masyarakat Jepang dan meningkatnya wanita yang bekerja. Meskipun demikian, masih ada beberapa pria dan wanita yang mendukung pembagian kerja secara tradisional. Pria bekerja di luar dan wanita mengerjakan pekerjaan rumah.

Perubahan partisipasi ayah dalam merawat anak pun semakin terlihat di media sementara Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah yaitu pada saat Oil Shock di tahun 1973 dan 1979. Di bidang jurnalisme, beberapa majalah parenting untuk ibu diluncurkan pada tahun 1970-an dan 1980-an, menanggapi kekhawatiran dan keluhan wanita tentang membesarkan anak-anak, termasuk terbatasnya pertisipasi para pria dalam mengasuh anak. Di majalah tersebut juga menyebutkan bahwa ‘gaya mengasuh anak modern yang kooperatif’

sangat diidamkan. (Takahashi dalam Oyama, 2014: 62). Hal serupa dapat dilihat dari berbagai judul artikel lainnya, seperti “Bagaimana seharusnya papa dengan jam kerja yang tidak beraturan ikut berpartisipasi mengurus anak?” (Beibi Eiji, Agustus 1970), “Boku wa tsuma no sasae ni natte yaritai” (Saya ingin mendukung istri saya) (Beibi Eiji, Februari 1974), dan “Papa, tolong baca juga.

(26)

Tolong jadikan lah pukul 20.00 ke atas waktu untuk mama” (Watashi no Akachan, Februari 1974) (Takahashi dalam Oyama, 2014: 63).

Ketika majalah parenting dipenuhi dengan topik para pria seharusnya ikut merawat anak dari sudut pandang para ibu, ada sebuah gerakan organisasi yang didirikan oleh para yang merupakan rakyat biasa. Pada tahun 1978 ada sebuah grup yang terdiri dari lima orang dengan nama Otoko no Kosodate o Kangaeru Kai (asosiasi untuk pria yang merawat anak). Grup ini memprakarsai berbagai kegiatan, seperti memprotes argumen ‘hak ayah’ oleh surat kabar. Lalu pada tahun 1980 ada grup bernama Ikuji Jikan o! Renrakukai dan disingkat sebagai Ikujiren.

Grup ini menyindir dengan menggunakan karakter kanji ‘waktu’ (時) pada kata ji dalam ikuji yang seharusnya . Ini ditujukan pada isu kesetaraan gender, termasuk kepada orang tua, terlepas dari jenis kelamin, agar dapat memberi waktu untuk mengasuh anak, dan bagaimana mereka membagi waktu mengasuh anak dengan pasangan mereka. Selain itu, terdapat juga Oyaji no Kai (perserikatan para ayah) yang terbentuk di antara para ayah yang anaknya pergi ke tempat penitipan anak dan taman kanak-kanak yang sama.

Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini membantu merubah lingkungan mengasuh anak bagi para pria. Pada Maret 1985, di Kota Takashi (yang sekarang bergabung menjadi Nishi-Tokyo) didirikan pedoman untuk menjamin waktu untuk mengasuh anak bagi karyawan pria yang dimana sebelumnya hanya diberikan pada wanita yang memiliki anak di bawah umur satu tahun menurut undang-undang standar ketenagakerjaan (Asahi Shinbun edisi 8 Februari 1985 dalam Oyama, 2014: 69). Beberapa perusahaan juga menerapkan sebuah sistem untuk memberi karyawan pria cuti mengasuh anak (Naomi Hoikuen

(27)

Oyaji no Kai, 1991: 196). Bukti anekdot membantu menggambarkan situasi Tokyo dan di sekitar daerah metropolitan pada saat itu. Seorang pemilik toko roti menyebutkan bahwa pada saat itu ada kata ‘Keluarga Baru’ (Nyuu Famirii) dan memprioritaskan keluarga menjadi sebuah tren (Ikujiren dalam Roberson dan Suzuki, 2005: 214). Ishii-Kuntz dan Maryanski (2003: 23) menyimpulkan bahwa gerakan dari kelompok-kelompok ini telah mengambil perhatian media dan kemudian pemerintah lalu masyarakat.

2.4 Definisi Ikumen

Ikumen(育メン) merupakan kata singkatan yangberasal dari 育児するメ ンズ (ikujisurumenzu). 育児 (ikuji) memiliki arti merawat dan メンズ (menzu) adalah kata serapan dari bahasa Inggris yang memiliki arti pria. Dengan begitu, ikumen adalah ayah yang merawat anak. Kata ikumen memiliki kemiripan dengan istilah イ ケ メ ン(ikemen) yang memiliki arti laki-laki keren dan tampan.

Kedekatan istilah ikemen ini membuat ikumen memiliki konotasi yang positif juga.

Moteki (2011: 7) menjelaskan bahwa istilah ikumen berasal dari permainan kata seperti halnya ikemen. Moteki memberikan definisinya mengenai ikumen sebagai berikut:

「「イクメン」とは,育児の「イク」と男性(メンズ)の「メン」

を組み合わせた造語で,「育児をする男性」のことであり、「育児 を 楽 し み , 自 分 自 身 も 成 長 す る 男 性 」 の こ と を い う 。 」 Terjemahan:

(28)

“Ikumen adalah kata yang berasal dari gabungan iku dari ikuji dan men, yang berarti pria yang mengasuh anak, dan disebut sebagai pria yang menikmati mengasuh anak dan mendewasakan dirinya sendiri.”

Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa ikumen adalah pria yang mengasuh anak dan menikmati pengasuhan anak tersebut. Melalui pengasuhan anak, para pria di Jepang dapat mendewasakan dirinya sendiri. Selain itu, Moteki (2011: 7) mengungkapkan bahwa pria yang secara sukarela mengasuh anak walaupun sambil bekerja dapat disebut dengan ikumen.

Ikumen Project mengungkapkan definisi ikumen sama seperti yang diungkapkan oleh Moteki. Ikumen Project (2010) mengungkapkan bahwa:

「 イ クメ ンと は、 子育 てを 楽 しみ 、自 分自身 も 成長 する 男性 の こ と。または、将来そんな人生を送ろうと考えている男性のこと。イ クメンがもっと多くなれば、妻である女性の生き方が、子どもたち の可能性が、家族のあり方が大きく変わっていくはず。そして社会 全体も、もっと豊かに成長していくはずです。」

Terjemahan:

“Ikumen adalah pria yang menikmati mengasuh anak, dan mendewasakan diri sendiri. Selain itu, pria yang berpikir untuk melakukannya di masa depan. Apabila jumlah Ikumen semakin banyak, cara hidup wanita sebagai istri, anak dan keberadaan keluarga pasti akan berubah, dan masyarakat secara keseluruhan akan terus bertumbuh dengan makmur.”

(29)

Berdasarkan pernyataan-pernyataan Moteki dan Ikumen Project di atas, istilah ikumen memiliki definisi yang sama. Para pria yang mengasuh anak dan menikmatinya dapat disebut sebagai ikumen. Dengan hadirnya ikumen, para pria di Jepang diharapkan dapat berpartisipasi dalam hal pengasuhan anak. Kehidupan masyarakat di Jepang akan semakin membaik dengan adanya partisipasi tersebut.

Selanjutnya, Executive Committee Kobe Ikumen memberikan definisinya mengenai ikumen sebagai berikut :

「こうべイクメン実行委員会が考える新しいイクメンの定義。育児 に関わる全ての男性のことです。お父さんだけに限らず、おじいち ゃん、近所の八百屋さんなど、あらゆる男性を指しす。子育ては、

地域社会で行うものであるという考えです。」

Terjemahan:

“Definisi ikumen yang baru menurut Executive Committee Kobe Ikumen.

Hal-hal yang berhubungan dengan pengasuhan adalah urusan semua pria.

Tidak terbatas hanya pada ayah, juga mengacu pada kakek, penjual sayur di lingkungan sekitar, merujuk kepada setiap pria. Pengasuhan adalah satu gagasan yang harus dilakukan di masyarakat.”

Pernyataan Executive Committee Kobe Ikumen di atas, memberikan penjelasan bahwa semua pria terlibat dengan pengasuhan anak. Pengasuhan adalah satu bentuk gagasan yang harus dilakukan di masyarakat. Oleh karena itu semua pria dapat terlibat dalam pengasuhan anak. Dari definisi-definisi yang telah diberikan oleh Moteki, Ikumen Project, dan Executive Committee Kobe Ikumen, dapat diketahui bahwa definisi ikumen adalah sebagai berikut: (1) Pria yang

(30)

mengasuh anak, (2) pria yang menikmati mengasuh anak, (3) pria yang secara sukarela mengasuh anak walaupun sambil bekerja, (4) semua pria yang terlibat dalam pengasuhan anak, tidak hanya sebatas ayah.

Oyama (2014: 159) mengungkapkan bahwa tidak ada karakterisasi ikumen secara detail, dan gambaran ikumen dari tiap orang berbeda-beda.

Involvement in the daily care of babies and toddlers is the most common definition of Ikumen, but that is not the only aspect of Ikumen despite the 11 meaning of the word, and Ikumen are also thought to be actively involved in the household including cooking.

Terjemahan:

“Keterlibatan dalam perawatan sehari-hari bayi dan balita merupakan definisi yang paling umum dari ikumen, tetapi itu bukanlah satu-satunya aspek dari ikumen di samping definisinya berdasarkan kata, dan ikumen dianggap pula aktif terlibat dalam pekerjaan rumah tangga termasuk memasak.

Dari pernyataan Oyama di atas, maka dapat diketahui bahwa seorang ikumen bukan hanya terlibat dalam pengasuhan anak, akan tetapi dapat pula terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga.

Ikumen awalnya disebut sebagai kelompok minoritas yang relatif baru, yaitu ayah yang cuti untuk merawat anak. Sekarang ikumen telah memiliki makna yang lebih luas lagi yang menyertakan para ayah yang aktif terlibat dalam mengasuh anak-anak. Oyama (2014: 188) mengungkapkan kata ikumen sendiri diciptakan pada tahun 2006 oleh seorang copywriter di sebuah perusahaan periklanan. Para pekerja prianya membuka situs bernama Ikumen Kurabu (Ikumen Club) atau klub ikumen yang kemudian menjadi organisasi non-profit (NPO) di

(31)

tahun 2011. Situs tersebut pertujuan untuk membagikan pengalaman para pekerja pria perusahaan periklanan tersebut dalam mengasuh anak. Menurut Ikumen Kurabu, kata ikumen mulai diperkenalkan kepada masyarakat pada November 2008. Ditampilkan dalam sebuah artikel di majalah mingguan AERA, yang diterbitkan oleh penerbit surat kabar Asahi Shinbun.

Ikumen didefinisikan sebagai ‘pria yang senang mengasuh anak dan mendewasakan dirinya, atau mereka yang ingin melakukannya di masa depan’

atau hanya disebut sebagai ayah yang tinggal di rumah (Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan, 2012).

2.5 Latar belakang munculnya Fenomena Ikumen

Penyebab munculnya fenomena ikumen didasari oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa hal yang menjadi latar belakang munculnya fenomena ikumen:

2.5.1 Ekonomi Gelembung

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, sekitar tahun 1950-an sampai dengan tahun 1980-an, Jepang mencapai titik tertinggi pertumbuhan ekonomi. Namun, pada awal tahun 1990-an sampai dengan memasuki awal tahun 2000-an, ekonomi Jepang mengalami penurunan tajam dan hal ini disebut dengan ekonomi gelembung.

Akibat resesi ekonomi ini, untuk pertama kalinya Jepang mengalami penurunan tenaga kerja dan diikuti pula dengan penurunan angka kelahiran.

(32)

Kondisi perekonomian yang kian menurun mengakibatkan banyak perusahaan yang menetapkan sistem pekerja kontrak dibandingkan sistem pekerja tetap. Hal ini menyebabkan wanita turut mengambil peran dalam bekerja dan juga menyebabkan mereka sulit mengasuh anak karena telah memiliki kesibukan di luar rumah.

2.5.2 Wanita Aktif Bekerja

Bagi wanita, bekerja merupakan cara untuk menunjukkan diri. Dengan bekerja memungkinkan seorang wanita mengekspresikan dirinya dengan cara yang kreatif dan produktif untuk menghasilkan sesuatu yang mendatangkan kebanggaan terhadap diri sendiri, terutama jika prestasinya mendapatkan penghargaan dan umpan balik positif. Melalui bekerja, wanita berusaha menemukan arti dan identitas dirinya, dan pencapaian tersebut mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan. Di samping kebutuhan rasa percaya diri, wanita bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka (Rini, 2002).

Kebutuhan finansial ini terkait dengan kebutuhan untuk mencukupi perekonomian rumah tangganya. Hal ini ditegaskan oleh Tachibanaki bahwa setelah menikah mereka melanjutkan bekerja di luar atau menjadi pencari nafkah sepenuhnya (Tachibanaki dalam Charlebois, 2013: 13)

Sejak berakhirnya Perang Dunia II dan munculnya industrialisasi di Jepang, sistem keluarga ie dihapuskan. Perang Dunia II menahan pertambahan penduduk kota karena selama perang arus penduduk kembali ke daerah pedesaan lebih banyak daripada penduduk kota. Dibandingkan masyarakat pedesaan, masyarakat kota lebih cepat mengalami perubahan dalam sistem keluarga akibat

(33)

dari banyak mendapat pilihan variasi pekerjaan dan terbatasnya lahan untuk mendirikan rumah bagi tempat tinggal mereka. Asas demokrasi mulai diberlakukan dalam kehidupan berkeluarga dengan munculnya tenaga kerja wanita dalam berbagai bidang (Tobing, 2006).

Pada awal era industri Jepang, wanita dipekerjakan menjadi buruh di industri tekstil. Pada masa itu industri tekstil yang terkenal yaitu sutera dan kapas.

Industri ini menjadi komoditas utama diprioritaskan untuk diekspor ke luar negeri.

Kemudian para wanita yang memiliki pendidikan agak tinggi, dengan lulusan sekolah menengah ke atas, juga bekerja di berbagai macam jenis pekerjaan kantoran atau dikenal dengan istilah white collar (kerah putih) (Mackie, 2003:

171).

Kemudian pada saat terjadinya ekonomi gelembung, Jepang mengalami kekurangan tenaga kerja. Hal ini membuat tingkat partisipasi wanita dalam dunia kerja menaik. Tidak hanya mendorong wanita yang belum menikah untuk bekerja, tetapi juga wanita yang telah menikah dan berkeluarga.

Kemudian semakin lama, pendidikan menjadi hal yang penting bagi kaum wanita. Pada saat ini wanita Jepang memiliki pendidikan tinggi, tidak hanya untuk mengatur rumah tangganya kelak, tapi juga sebagai modal awal mereka untuk memperoleh pekerjaan sebagus mungkin, baik dari segi jabatan maupun gaji yang diperoleh. Wanita yang telah menikah, yang beristirahat dari pekerjaannya kemudian memutuskan kembali lagi ke dunia kerja.

Meningkatnya aktifitas wanita di luar rumah memberikan harapan yang tinggi kepada para ayah untuk berpartisipasi dalam mengasuh anak dan pekerjaan

(34)

rumah tangga (Nakazawa dan Shwalb, 2013: 46). Hal ini membuat gerakan untuk mengasuh anak semakin banyak dan menjadi pemicu munculnya ikumen.

2.5.3 Dukungan Pemerintah Dalam Pengasuhan Anak

Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, selama tahun 1970-an dan 1980-an, para ayah secara sukarela mendirikan kelompok-kelompok untuk mempertimbangkan pengasuhan anak, kehidupan, dan identitas mereka, dan banyak majalah parenting beredar untuk mendukung ibu dalam mengasuh anak.

Sementara itu, upaya pengendalian populasi paska perang dan prespektif keluarga modern yang berpusat pada anak menciptakan ideologi baru untuk memiliki dua orang anak (Ochiai, 1996: 67), dan karena itu Jepang mengalami transisi demografis dari tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke tingkat kelahiran tinggi dan kematian rendah lalu menjadi tingkat kelahiran dan kematian rendah. Tingkat kesuburan total mencapai titik terendah sepanjang masa yaitu sebelumnya 1,58 anak per wanita menjadi 1,57 anak per wanita di tahun 1989. Karena khawatir dengan hal ini, pemerintah mulai melakukan intervensi yang lebih aktif (Miyasaka dalam Oyama, 2014: 75).

Angka kelahiran yang rendah mendorong pemerintah untuk membuat dan memperkenalkan berbagai kebijakan yang bersifat family-friendly (ramah keluarga) sejak awal 1990-an. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain, (1) cuti merawat anak dan keluarga (Childcare and Family Leave), (2) batasan kerja dan kerja malam (Limitation of Work Hours and Night Work), (3) undang-undang mengenai dukungan merawat anak untuk generasi selanjutnya (Law Concerning

(35)

Childcare Support for The Next Generation), dan (4) hak untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan (Work-Life-Balance Charter).

Cuti merawat anak dan keluarga (Childcare and Family Leave) mulai dilaksanakan pada tahun 1992. Melalui kebijakan ini, untuk pertama kalinya ayah Jepang dapat mengambil cuti dari pekerjaan. Kebijakan ini memberikan izin kepada ayah untuk mengambil cuti kerja sampai anak berumur 12 bulan.

Kebijakan batasan jam kerja dan kerja malam (Limitation Work Hours and Night Hour) memberikan izin kepada ayah untuk membatasi jam lembur sampai 24 jam dalam per bulan. Selain itu, dapat pula menghindari bekerja pada giliran (shift) malam dari jam 10 malam sampai jam 5 pagi. Undang-undang mengenai dukungan merawat anak untuk generasi selanjutnya (Law Concerning Childcare Support for The Next Generation) dilaksanakan pada tahun 2005. Melalui kebijakan ini, pemerintah lokal dan karyawan diberikan perintah untuk membuat rencana kegiatan yang memampukan para karyawan untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupannya termasuk keluarga (Ishii-Kuntz, 2008: 6-7).

Pada tahun 1999, pemerintah Jepang mengadakan kampanye yang bertujuan untuk mengajak para ayah agar lebih terlibat dalam hal mengasuh anak.

Poster bertuliskan ‘pria yang tidak terlibat dalam pengasuhan anak bukanlah ayah yang sebenarnya’ (ikuji o shinai otoko o, chichi to wa yobanai) yang didistribusikan oleh pemerintah Jepang pada tahun 1999 membawa pengaruh yang kuat terhadap sikap para ayah dalam mengasuh anak. Melalui kampanye ini, pengasuhan oleh ayah yang aktif dapat lebih menarik dan alamiah untuk ayah- ayah muda Jepang (Nakazawa dan Shwalb, 2013: 60). Gambar dari poster tersebut adalah seorang ayah bernama Masaharu Maruyama atau lebih dikenal

(36)

dengan nama Sam dari band TRF, yang sedang menggendong anak laki-lakinya yang berusia 8 tahun. Kampanye ini juga dikenal sebagai The Sam Campaign. Di dalam poster terdapat sebuah percakapan:

Otousan de iru jikan o, motto.

Ichinichi 17-fun. Nihon no otousan ga ikuji ni atete iru heikin jikan desu.

Futari de tsukutta kodomo na noni, kore de wa okaasan hitori de sodatete mitai.

Ninshin ya shussan ga josei ni shika dekinai oshigoto nara, ikuji wa dansei ni mo dekiru oshigoto na no de wa nai deshou ka.

Otousan-tachi ni wa, kosodate no tanoshisa, taihensa o, motto shitte hoshii.

Soshite, 21-seiki o ninatte itte kureru kodomo-tachi no koto o, motto kangaete

hoshii.

Terjemahan:

Habiskan lah lebih banyak waktu sebagai seorang ayah!

17 menit per hari. Itu adalah waktu rata-rata ayah Jepang menghabiskan waktu mengurus anak.

Meskipun kalian memilikinya bersama, tetapi sepertinya hanya si ibu yang merawat anak.

(37)

Meskipun hamil dan melahirkan adalah tugas berat bagi seorang ibu, apakah mengurus anak terlalu berat bagi ayah?

Kami ingin para ayah tahu bagaimana perasaan suka dan duka dalam merawat anak.

Dan kami ingin mereka untuk berpikir tentang anak mereka yang akan menjadi generasi penerus di abad 21.

Poster ini kemudian menjadi perbincangan kontroversial. Sebagai contoh, Ikujiren menentang dengan mengeluarkan pernyataan “Kalian tidak memanggil pria yang tidak merawat anaknya dengan chichi? Kalau begitu biarkan kami merawat anak kami selama yang kami mau”. Poin mereka adalah mereka tidak membesarkan anak hanya karena tingkat kelahiran menurun. Oleh karena itu mereka mengkritik sistem masyarakat yang tidak memungkinkan para pria dan wanita untuk secara alami bekerja dan membesarkan anaknya pada waktu yang bersamaan (Ohinata dalam Goodman, 2002: 148). Bagaimanapun, respon pro dan kontra terhadap kampanye ini membuka arah baru bagi partisipasi pria dalam mengasuh anak dan mempertanyakan sebuah aturan tidak tertulis bahwa mengasuh anak adalah tugas ibu seutuhnya yang sudah lama mendarah daging (Ishii-Kuntz, 2012: 29).

Pada tahun 2010 ada penelitian bahwa pria dengan umur yang cocok untuk menikah dan memiliki anak (pria subur) semakin takut untuk menikah karena banyak yang berpikir bahwa para istrinya akan menjadi sengyou shufu (ibu rumah tangga) dan tidak dapat membantu perekonomian rumah tangga. Pemerintah

(38)

mengambil tindakan untuk merevisi undang-undang yang di mana disebutkan bahwa para pekerja diberi izin istirahat untuk anak dan keluarga.

Perubahan tersebut harus memungkinkan para pekerja pria dan pekerja wanita di dalam sebuah perusahaan yang memiliki anak berumur kurang dari tiga tahun agar bekerja lebih pendek 6 jam dari total jumlah jam kerja biasanya dan bebas dari jam lembur.

Kemudian para ayah dan ibu juga dapat menggunakan libur selama dua belas bulan untuk kelahiran anak dan menikmati 60% dari gajinya (Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan, 2010a).

Dengan ini, pemerintah mencoba untuk mempromosikan bahwa setelah ibu selesai cuti paska kelahiran anak selama dua belas bulan, ayah dapat mengambil cuti menggantikan sang ibu untuk merawat anak mereka. Hal ini memudahkan ibu untuk kembali dalam dunia kerja dan juga memudahkan transisi anak.

Pada Januari 2010, mentri Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan, Nagatsuma Akira mengatakan dalam rapat Komite Anggaran DPR,

“Saya ingin membuat ikumen dan kajimen menjadi tren”. Lalu pada bulan Juni 2010, Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja dan, Kesejahteraan mengeluarkan kampanye ikumen project. Tujuan ikumen project bukan didasari pada kesetaraan gender, tetapi agar wanita tetap dapat mempertahankan pekerjaan mereka dan juga meningkatkan kelahiran. Kampanye ini berusaha untuk memberikan citra positif orang tua yang ikut aktif dalam merawat anak-anak mereka.

(39)

Ikumen Project juga memberikan indeks tentang ikumen yang menyusun jumlah orang tua yang pertama kali mendapat cuti mengasuh anak, total tingkat kesuburan, jumlah pendukung ikumen di masing-masing prefektur sejak 2009.

Proyek ini bahkan memiliki lagu resmi yang berjudul Kazoku no Wa. Bait pertama dinyanyikan oleh sang ibu, liriknya menyampaikan bahwa betapa tertolongnya sang ibu saat suaminya berada di sisinya, lalu bait kedua dinyanyikan oleh sang ayah yang menyampaikan bahwa betapa bersyukurnya dia pada kesungguhan dan kerja keras istrinya dan menyatakan bahwa dia juga akan berusaha mulai dari apa yang bisa dilakukannya.

(40)

BAB III

FENOMENA IKUMEN DI MASYARAKAT JEPANG

3.1 Fenomena Ikumen

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, ikumen adalah pria yang ikut terlibat dalam mengasuh anaknya. Fenomena ini terjadi di kota-kota besar di Jepang karena merupakan daerah perkembangan ekonomi yang tinggi. Adapun para ayah yang dapat berpartisipasi merawat anak biasanya suami yang berpenghasilan sama atau lebih sedikit dari istri, memiliki jam kerja yang lebih sedikit, memilih rasa tanggung jawab sebagai ayah lebih kuat, memiliki anak kecil yang banyak (Stella R. Quah, 2015: 185).

Menurut Benesse Institute for Child Sciences and Parenting (2011), ayah muda berusaha keras untuk menjadi ikumen atau ayah yang berpartisipasi aktif dalam mengasuh anak, terlepas dari kendala sosial, budaya, ekonomi. Ayah yang mencoba mencari waktu untuk membesarkan anak meski pulang larut malam, yang memiliki harapan untuk masa depan anak mereka, yang ingin memiliki dua anak walau tidak memungkinkan, semua itu adalah ayah yang baik dan merupakan kandidat untuk menjadi ikumen.

Pada Agustus 2011, ada lebih dari 400 ayah mengaku bahwa dirinya merupakan ikumen. Lalu pada tahun 2013 meningkat menjadi 1.684 ayah yang dimana 62,5% di antaranya adalah ayah berumur 30-an dan setengahnya berasal dari Tokyo.

Seiring ikumen menjadi semakin terkenal, berbagai acara untuk mengasuh anak oleh ayah dan ibu mulai bermunculan. Dari acara lokal yang tergolong kecil

(41)

sampai berskala besar. Festival Mengasuh (Ikufes) dimulai sejak tahun 2010 adalah acara besar yang berbasis di Tokyo dan dilaksanakan selama dua hari.

Acara ini diselenggarakan oleh majalah FQ Japan dan disponsori oleh Kementrian Ekonomi, Perdagangan dan Industri. Isi acara terdiri dari talk show dengan selebritis, macam-macam kelas, pemotretan foto keluarga, barang-barang rumah tangga, dan undian kesempatan untuk memenangkan berbagai item kebutuhan rumah tangga. Kemudian ada juga acara Ikumen of The Year yang disponsori oleh Ikumen Project.

3.2 Ikumen Kurabu (Ikumen Club)

Pada akhir 2006, sebuah asosiasi swasta Ikumen Club yang dibentuk dan terdiri dari para orang tua, ingin mempromosikan partisipasi pria dalam merawat anak. Ikumen Club mempromosikan diri mereka yang merupakan jenis ‘orang tua baru’ ini sebagai laki-laki menarik. Membesarkan anak seperti kegiatan olahraga, mereka dapat mengenalkan dunia baru dari sisi yang berbeda pada anak-anak mereka, mereka juga tidak lupa untuk selalu memikirkan dan mencintai istri mereka (Ikumen Club, 2007a).

Antara tahun 2007 dan 2008, klub ini mempromosikan diri mereka dengan moto “Membesarkan anak menyenangkan. Laki-laki yang merawat anak adalah laki-laki yang menarik. Jika kita merawat anak, istri, keluarga, dan Jepang ikut senang” melalui website, iklan di majalah bayi, radio, televisi, dan surat kabar (Ikumen Club, 2007b).

Klub ini membantu secara praktik dan moral dalam menjalanai tugas sebagai ayah. Di klub ini, para ayah dan calon ayah diajarkan bagaimana cara

(42)

memasak, bagaimana menghibur dan membaca untuk anak, dan kegiatan lainnya berhubungan dengan kegiatan domestik yang biasanya diajarkan pada wanita baik formal maupun informal.

3.2 Ikumen Project

Di dalam keluarga modern dikatakan bahwa setiap anggota keluarga memiliki hak dan kedudukan yang sudah tidak lagi dipengaruhi oleh gender.

Namun, peran laki-laki dalam lingkup domestik, khususnya mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga masih terbilang rendah (Ogasawa dalam Oyama, 2014: 86). Dalam buku Kokusaihikaku ni miru sekai no kosodatte, dikatakan bahwa tahun 2005 hanya 2,5% ayah yang bertanggung jawab dalam menyuapi anaknya dan 7,6% ayah membagi tugas menyuapi anak tersebut dengan istri mereka.

Seperti yang sudah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa ikumen project adalah merupakan program dari pemerintah untuk mengajak para ayah ikut berpartisipasi merawat anak mereka. Ikumen Project ini lah yang membuat istilah ikumen semakin terkenal akhir-akhir ini. Kampanye ini difokuskan pada tiga elemen, yaitu menyenangkan, pertumbuhan, dan tipe ayah baru untuk memperluas model hegemonik maskulinitas.

Pertama, hal yang dipromosikan oleh kampanye ini menyoroti bahwa membesarkan anak adalah kegiatan yang menyenangkan. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud adalah bermain bersama mereka, mempersiapkan kebutuhan mereka seperti memberi makan dan memandikan mereka, serta mengajari mereka hal baru setiap hari. Kegiatan itu semua adalah hal yang dapat dinikmati. Dengan kata lain,

(43)

kampanye tersebut mencoba untuk menghapus gambaran bahwa merawat anak dan pekerjaan rumah tangga adalah kegiatan yang menjengkelkan, merepotkan dan membosankan. Sebaliknya kampanye tersebut membuat sebuah alternatif untuk dapat menarik para ayah untuk meninggalkan pekerjaan sehari-hari mereka untuk sementara dan mulai turut aktif merawat anak.

Kedua, kampanye ini menyampaikan bahwa keterlibatan dalam mengasuh anak adalah bagian dari memajukan masyarakat Jepang. Melaksanakan ini berarti melaksanakan tugas untuk negara.

Kemudian hal ketiga, sama seperti Ikumen Club, Ikumen Project juga mempromosikan bahwa menjadi ikumen bukan berarti menjadi pria feminin dan tidak mengurangi kejantanan mereka. Kampanye ini berusaha memasukan pengasuhan anak menjadi bagian dari hal maskulin dan dapat diterima oleh para pria.

3.4 Representasi dari Media

Media telah banyak mempengaruhi perkembangan pergerakan ikumen.

Pada tahun 2011 ada siaran mengasuh anak Marumo no Okite dan drama Zenkai Gyaaru. Adapula animasi Usagi Drop yang menggambarkan perjuangan seorang pria lajang merawat anak perempuan berumur 6 tahun. Acara berita pun banyak menyiarkan topik ikumen.

Pada April 2013, ada sebuah acara Papa to Isshou (Bersama Papa) yang merupakan ‘saudara’ dari program Mama to Isshou (Bersama Mama), acara ini disiarkan setiap hari minggu di saluran premium NHK BS. Lalu ada sebuah lagu berjudul Bosabosabosa (rambut kacau balau) yang menggambarkan seorang ayah

(44)

sebagai salaryman berkerah putih yang berpergian dengan kereta dan rambutnya lebat berantakkan, di akhir lagu sang istri mengucapkan otsukaresama ne dengan feminin sebagai ucapan apresiasi pada suaminya. Banyak juga buku tentang ayah yang diterbitkan. Termasuk tentang pengasuhan anak dan pengalaman mengambil paternal leave, namun kebanyakan buku yang lebih baru cenderung fokus pada cara bagaimana mereka dapat terlibat aktif dalam mengasuh anak. Contoh bukunya berjudul Papa Ruuru: Anata no Kazoku wo 101-Bai Shiawase ni suru dan Papa no Hon: Kyou kara ‘Jiman no Papa’ ni naru. Media jurnalisme juga mulai menampilkan ayah yang peduli untuk merawat anaknya dalam sebuah acara untuk calon orang tua yang di adakan di Tokyo pada tahun 2012, perwakilan dari organisasi non profit (NPO) mengajarkan peserta acara tersebut tentang cara mengasuh anak.

Di antara selebriti Jepang, beberapa aktor, komedian, dan atlet yang telah menjadi orang tua mulai ‘dijual’ untuk imej ikumen. Mereka dipromosikan melalui narasi yang menekankan bagaimana mereka ikut berpartisipasi dalam merawat anak-anak mereka dan bagaimana ikatan emosional antara mereka dan anak-anak mereka. Hal ini mendapat respon dan popularitas yang cukup banyak di kalangan penonton wanita.

3.5 Opini Masyarakat Terhadap Ikumen

Di sebuah situs Hatsugen Komachi terdapat perbincangan mengenai ikumen. Perbincangan tersebut di-posting sekitar tahun 2015 sampai tahun 2016.

Terdapat beberapa kategori, yaitu diskusi tentang makna menjadi ikumen dan

(45)

spesifikasi seorang ayah untuk disebut sebagai ikumen, pandangan negatif terhadap ikumen, pandangan positif terhadap ikumen.

(1) 専業主夫の方のブログを見ていると「イクメンだなぁ」と素直 に思うのですが、「男性が育休を取得している」とか「男性が子ど ものために時短勤務」とかしたら、世間的に「イクメン認定」なの かなぁ?と自分でイメージしていたのですが…友人の夫のブログで、

よく分からなくなってきました。

If I look at the blog of a stay-at-home dad I would honestly think that “he is ikumen”, and I imagined “a man taking out parental leave” or “a man who shortens his working hours to be with his children” to be who is officially acknowledged as an ikumen, but… looking at the blog of my friend’s husband, I don’t really know anymore.

Terjemahan:

Jika saya melihat blog milik ayah yang menetap di rumah, saya pikir ‘dia adalah seorang ikumen’ dan saya pikir ‘pria yang mengambil cuti parental leave’ atau ‘pria yang memendekkan waktu kerjanya demi menghabiskan waktu bersama anak’ adalah pria yang benar-benar seorang ikumen, tetapi…ketika melihat blog teman suami saya, saya bingung dengan konsep ikumen.

(2) 夫は育児に関心があり、育児情報番組は毎週欠かしません。二

人目出産のときは育休を取りたがったほどです(諸事情によりとれ ませんでした)。

My husband is interested in childcare, he never misses the informational program about childcare that is aired every week. When I had our second child he wanted to be as involved as to take out parental leave (but because of various reasons he could not).

Terjemahan:

(46)

Suami saya tertarik dalam mengasuh anak, dia tidak pernah kelewatan tentang informasi pengasuhan anak yang tayang setiap minggu. Ketika saya melahirkan anak kedua, dia ingin ikut merawat anak kami dan ingin mengambil cuti parental leave (tapi karena bermacam alasan, dia tidak bisa mengambil cuti).

(3) 夫の家事・育児

平日:保育園の送り、夕食後に娘と 30 分くらい遊ぶ、早く帰って きた時は娘のお風呂、たまに寝かしつけ、遅く帰ってきたときの食 器洗い休日:昼食・夕食作り、買い物(1 週間分)、娘と遊ぶ、娘 のお風呂、たまに寝かしつけ。色々投稿を見ていると、ぜんぜん家 事育児をやらない方も多いと思います。こんなに家事・育児をやっ てくれている事に感謝しています。でも、キング・オブ・イクメン ではないと思っています。

My husband’s part in housework/ childrearing. Weekdays: Seeing off to kindergarten, playing with our daughter 30 minutes after dinner, when returning early bathing with our daughter, sometimes putting her to sleep, when returning late washing dishes. Days off: Making lunch and dinner, shopping (what is needed for a week), playing with our daughter, bathing with our daughter and sometimes putting her to sleep. When looking at other posts, I think that there are men who do not do chores and childrearing at all. I am thankful that he is doing this amount. But I do NOT think that he is King of Ikumen.

Peran suami saya dalam pekerjaan rumah/ mengasuh anak. Hari kerja:

mengantar anak ke TK, bermain dengan anak selama 30 menit setelah makan malam, ketika selesai memandikan anak, kadang-kadang menidurkannya, mencuci piring ketika pulang larut ke rumah. Hari libur:

membuat makan siang dan makan malam, belanja (kebutuhan rumah

(47)

tangga untuk seminggu), bermain bersama anak, memandikan anak dan kadang-kadang menidurkannya. Ketika membaca postingan lain, ternyata ada pria yang sama sekali tidak menaruh minat dan tidak mengasuh anak.

Saya bersyukur bahwa suami saya tidak seperti itu. Tetapi saya TIDAK berpikir bahwa dia adalah Raja Ikumen.

Pada postingan ini terlihat bahwa menidurkan anak, memberi anak makan siang dan malam, belanja keperluan mingguan, bermain dengan anak, dan memandikan anak cukup membuat suaminya menjadi seorang ikumen. Lalu pada 2016, ada sebuah postingan dengan judulイクメンじゃない人っているんです か ?(Adakah yang bukan ikumen?). Keperluan penggunaan istilah ikumen dipertanyakan.

「イクメン」という言葉がありますが、違和感をおぼえます。単身 赴任、多忙、病気などの男性でなければ、育児に関わるのは普通だ と思うのです。あえて言葉を作る必要があるのか?と感じます。

[…] 幼稚園、保育園の送迎、買い物、料理、掃除、ゴミ出し、子供

と遊ぶお父さんを普通に見かけます。

There is a word called “ikumen”, but it gives an uncomfortable feeling. I think that if you are not a man who is transferred to another city, under pressure from work or ill, it is normal to be involved in childcare. […]

Leaving and picking up children at kindergarten or preschool, grocery shopping, cooking, cleaning, taking out the trash, playing with the children, I usually see this kind of dad.

Referensi

Dokumen terkait

dibuat sama dengan jenis dan pola dari kain seperti kimono , dan pembentukan. tersebut tergantung dari

masyarakat Jepang. 2) Sekentei : rasa malu terhadap masyarakat dan kecenderungan untuk menutupi masalah keluarga jelas lebih kuat di Jepang dibanding negara lain. 3) Sistem sekolah

Sebagian orang mungkin menganggap bahwa acara pesta pernikahan adalah puncak dari acara pernikahan itu.Tetapi bagi masyarakat Karo, sesungguhnya acara/upacara yang dilakukan setelah

Sementara itu sebagai alas kaki saat bepergian keluar, umumnya golongan bawah baik laki-laki maupun perempuan pada jaman Heian mengenakan sandal dari jerami

Layanan jasa Rentaru Kazoku memiliki dampak positif terhadap kondisi permasalahan sosial yang dialami oleh masyarakat Jepang dewasa ini, khususnya bagi masyarakat

 alat-alat di buat sendiri. Metode memancing ikan secara tradisional di Jepang menggunakan cara yang tak biasa. Para pemancing kuno rupanya menggunakan unggas sebagai alat

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mengharapkan pembaca dapat mengetahui bagaimana sejarah omotenashi (pelayanan keramah-tamahan Jepang), filosofi omotenashi, dan

Yanagawa dalam Situmorang (2013: 32) mengatakan ciri beragama masyarakat Jepang adalah shinkou no nai shukyou (agama yang tidak mempunyai kepercayaan), Yanagawa menjelaskan