• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN PERFORMANCEPERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DANKARO KAROZOKU TO NIHON SHAKAI NI OKERU KEKKONSHIKI NO JIKKOU NO HIKAKU SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERBANDINGAN PERFORMANCEPERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DANKARO KAROZOKU TO NIHON SHAKAI NI OKERU KEKKONSHIKI NO JIKKOU NO HIKAKU SKRIPSI"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN PERFORMANCEPERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DANKARO

KAROZOKU TO NIHON SHAKAI NI OKERU KEKKONSHIKI NO JIKKOU NO HIKAKU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujianSarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh :

RIZKY FITRYANI BR SEMBIRING 140708028

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat ALLAH SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan akhir guna memperoleh gelar Sarjana Sastra di Universitas Sumatera Utara.Adapun skripsi ini berjudul

“PERBANDINGAN PERFORMANCE PERKAWINAN MASYARAKAT JEPANG DAN KARO”.

Penulis memperoleh banyak bantuan, bimbingan dan dukungan baik secara morilmaupun materil yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini.Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, antara lain :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumtera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Yuddi Adrian Muliadi, MA, selaku Dosen Pembimbing Akademik dan selaku Dosen Pembimbing, yang dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan waktu dan pikirannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Hontouni arigatou gozaimasu.

(3)

4. Para Staff Pengajar Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan didikan dan ilmunya selama masa perkuliahan.

5. Terlebih penulis ucapkan terimakasih yang paling dalam dengan tulus hati kepada kedua orang tua tercinta ayahanda M.IlhamSembiringdanibundaRiahmalem yang telah memberikan kasih sayang dan bantuan moril maupun materil serta doa yang tulus selama perkuliahan sampai selesainya Skripsi ini serta buat abang, kakak dan adik saya tercinta Irwan Alianta Sembiring, Paramitha Susanti, Irma Rahmadhani dan M.Nazril yang selalu memberi semangat.

6. Temen-temen seperjuangan di Sastra Jepang USU angkatan tahun 2014, Fira, Dila, Tasya, Dhea, dan untuk orang yang spesial dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga kita diberi kesuksesan dan selalu mengingat kenangan indah selama perkuliahan.

7. Dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan disebabkan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembacanya.

Medan, Agustus2018 Penulis

RIZKY FITRYANI BR SEMBIRING 140708028

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Ruang Lingkup ... 6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.6 Metode Penelitian ... 11

BABII TINJAUAN UMUM MENGENAI PERFORMANCE PERKAWINAN JEPANG DAN KARO 2.1 Perkawinan Pada Masyarakat Jepang ... 13

2.1.1 Sebelum Upacara ... 14

2.1.2 Upacara Perkawinan ... 17

2.1.3 Setelah Perkawinan ... 19

2.2 Bentuk Keluarga Pada Masyarakat Jepang ... 19

2.2.1 Kazoku ... 19

2.2.2 Ie ... 21

2.3 Perkawinan Pada Masyarakat Suku Karo ... 23

2.3.1 Sebelum Upacara ... 26

2.3.2 Upacara Perkawinan ... 28

2.3.3 Setelah Upacara... 35

(5)

2.3.4 Bentuk Keluarga Pada Masyarakat Suku Karo ... 41

BAB III PERBANDINGAN PERFORMANCE PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN KARO 3.1 Performance Perkawinan Jepang ... 43

3.1.1 Waktu dan Tempat ... 43

3.1.2 Audience ... 44

3.1.3 Teks ... 44

3.1.4 Koteks ... 48

3.2 Performance Perkawinan Karo ... 53

3.2.1Waktu dan Tempat ... 53

3.2.2 Audience ... 54

3.2.3 Teks ... 54

3.2.4 Koteks ... 57

3.3 Analisis Perbandingan Performance Perkawinan Pada Masyarakat Jepang dan Karo ... 60

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 66

4.2 Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

(6)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Jepang adalah Negara yang kaya tradisi dan budayanya.Jika kita membahas mengenai Jepang keseluruhan, ada hal yang tidak luput dari pandangan kita yaitu kebiasaan masyarakat Jepang dengan tradisinya yang unik dan beragam.Meskipun Jepang dikenal sebagai Negara maju, namun masyarakatnya tetap menjaga tradisi itu secara turun menurun seperti upacara minum teh, hari anak laki-laki, upacara perkawinan dan masih banyak lagi.Diantara semuanya, upacara perkawinan merupakan salah satu pristiwa terpenting didalam ritus-ritus kemanusiaan orang Jepang (https://id.wikipedia.org/wiki/Jepang

Upacara perkawinan adalah tahapan acara yang dilakukan mulai dari awal menentukan pasangan sampai kepada pesta pernikahan dan sesudahnya, yang mana didalamnya mengandung unsur-unsur ritual dan nilai-nilai. Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua sampai ia meninggal. Biasanya pada usia dewasa dan sudah memiliki pekerjaan, manusia baru akan memikirkan tentang perkawinan. Perkawinan merupakan momen yang sangat penting dimana hubungan persaudaraan berubah dan diperluas.Perkawinan juga merupakan rencana untuk meneruskan keturunan yaitu untuk menjaga kesinambungan satu keluarga (Yani, 2010:04).

).

(7)

Jepang adalah Negara yang sangat maju, umumnya keluarga Jepang sekarang berubah menjadi keluarga-inti, yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak.Anaknya pun sangat dibatasi karena kesulitan perumahan dan keuangan (Ajip Rosid, 1981: 94).

Secara umum, perkawinan adalah penggabungan antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk sebuah rumah tangga. Dalam pelaksanaan sebuah perkawinan, diperlukan tata cara tertentu yang mengatur individu-individu yang bersangkutan. Sistem, nilai-nilai, norma- norma dan aturan-aturan yang mengatur masyarakat sehubungan dengan perkawinan disebut dengan pranata perkawinan.(Koentjaraningrat 1997:92), mengatakan bahwa hampir setiap masyarakat, hidupnya dibagi- bagi ke dalam tingkat-tingkat. Tingkatan tersebut dinamakan tingkat- tingkat sepanjang daur hidup yang meliputi: masa bayi, masa anak-anak, masa remaja, masa dewasa, masa sesudah menikah, masa kehamilan dan masa tua. Pada masa peralihan antara satu tingkat kehidupan ke tingkat berikutnya, biasanya diadakan pesta atau upacara yang sifatnya universal.

Saat ini di Jepang, terdapat dua tata cara pernikahan yaitu, tata cara pernikahan modern yang dilangsungkan di Gereja dengan sistem agama Kristen dan tata cara pernikahan tradisional yang dilangsungkan di Jinja dengan Shinto. Masyarakat Jepang sendiri saat ini lebih tertarik pada upacara pernikahan dengan cara yang modern, yaitu menikah dengan tata cara Kristen di Gereja meski keduanya tidak beragama Kristen.Tetapi, masih terdapat masyarakat Jepang yang melakukan upacara perkawinan secara tradisional yaitu perkawinan secara Shinto. Seperti pada zaman

(8)

Jepang dewasa saat ini banyak masyarakatJjepang yang memilih perkawinan secara modern.Sekitar 64% perkawinan diselenggarakan di Gereja, 18% di Jinja, dan dan 17% tidak menggunakan atribut Shinto atau Kristen (http//bridal-souken.net/research_news 2011).

Upacara perkawinan secara Shinto yang paling dikenal di Jepang, dilaksanakan di Jinja dipimpin oleh pendeta shinto . Upacara ini memiliki makna yang sangat besar karena kostum yang dipakai kedua pengantin

adalah gaya Jepang yaitu kimono dan hakama. Pengantin pria berpakaian kimono dan hakama juga menggunakan haori atau jaket

kimono dengan lima cincin keluarga didalamnya. Sedangkan pengantin wanita menggunakan kimono serba putih dan ushikake yang melukiskan kemurnian tanpa dosa.

Berdasarkan uraian tentang perkawinan diatas penulis merasa tertarik ingin membandingkan performance perkawinan pada masyarakat Jepang tradisional dan suku Karo.Karo diambil sebagai bahan perbandingan kebudayaan untuk mewakili bangsa Indonesia secara keseluruhan.Sedangkan Jepang diambil yang tradisionalnya saja.

Karo sangat memegang adat istiadat nya. Menurut ( Hazairin dalam Bangun 1986 : 35) suku Karo sebagaimana halnya dengan suku lain mempunyai tata acara perkawinan yang khas. Masyarakat Karo juga dibagi atas tiga tahapan yaitu sebelum perkawinan, setelah perkawinan, dan sesudah perkawinan.Didalam tiga tahapan tersebut mempunyai bagian-bagian tradisi yang unik dan makna nya masing-masing.Didalam suku Karo juga terdapat beberapa pakaian adat yang dipakai penggantin

(9)

seperti uis jujung jujungen yang diatas kepala dan uis gara yang dipakai dibadan pengantin. Kain ini terbuat dari tenunan benang merah yang dipadukan dengan warna hitam atau putih serta motif menggunakan benang emas atau perak dan dilaksanakan di sebuah jambur atau gedung dan terdapat beberapa pelaksanaa adat atau tata kerja dari perkawinan adat Karo sendiri. Perkawinan pada masyarakat Karo bersifat religius., yakni seseorang harus kawin dengan orang dari luar marganya, dengan kekecualian pada marga peranginangin dan sembiring.

Sifat religius perkawinan pada masyarakat Karo terlihat, dengan adanya perkawinan maka tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang berkawin saja, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga belah pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka (Surojo wignjodipuro dalam Prinst 2004 : 40).

Pada dasarnya tahapan-tahapan upacara perkawinan tradisional dalam masyarakat Jepang dan masyarakat suku Karo sama-sama memiliki tiga fase yaitu: masa pra upacara perkawinan,upacara perkawinan dan pasca perkawinan.

Berdasarkan penelitian diatas, maka dalam penelitian ini penulis akan berusaha mengunggkapkan persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam perkawinan tradisional Jepang dan suku Karo melalui skripsi yang berjudul “ Perbandingan Performance Perkawinan Jepang Dan Karo”

(10)

1.2 Rumusan masalah

Dalam masyarakat Jepang dan masyarakat suku Karo terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam hal perkawinan.Persamaan dan perbedaan tersebut merupakan hal yang wajar dalam sebuah konsep perbandingan.Disini penulis mengambil pernikahan Jepang tradisional secara Shinto dan suku Karo.Salah satu contoh persamaan dan perbedaan adalah dalam hal bentuk perkawinan yang berkaitan erat dengan bentuk keluarga.Kemudian dalam hal pertunangan, masyarakat Jepang dan masyarakat suku Karo sama-sama melakukan pertunangan dengan menyerahkan benda-benda berharga sebagai syarat untuk melanjutkan ke jenjang perkawinan.Penulis mengambil perkawinan jepang tradisional secara Shinto.Dalam masyarakat Jepang benda-benda tersebut dapat berupa sejumlah uang, barang tekstil, beras, sake dan lain-lain.

Tetapi di Suku Karo, benda-benda yang dibawa adalah pihak laki- laki membawa sirih untuk diberikan kepada pihak perempuan, sedangkan pihak perempuan membawa rokok untuk diberikan kepada pihak laki laki.selain itu juga membawa uang hantaran dan kain bekabulu, masyarakat Jepang dan masyarakat Suku Karo sama-sama melakukan

Tahapan upacara berdasarkan agama dan pemerintah/hukum.

Untuk mengetahui bagaimana upacara perkawinan tradisional dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Suku Karo akan dilihat dari persamaan upacara serta sistem perkawinannya. Dalam bentuk pertanyaan permasalahannya adalah:

(11)

1. Bagaimana performance perkawinan pada jepang dan karo?

2. bagaimana perbedaan dan persamaan performance perkawinan pada jepang dan karo?

.

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Adanya persamaan dan perbedaan dalam upacara perkawinan dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Suku Karo merupakan hal menarik, karena Jepang dan propinsi sumatera utara tepatnya masyarakat Suku Karo karena merupakan dua tempat yang berjauhan. Namun tidak menutup kemungkinan adanya persamaan dan perbedaan unsur kebudayaan antara dua suku bangsa tersebut, terutama dalam tahapan upacara perkawinannya.Dengan demikian ruang lingkup pembahasannya terbatas pada persamaan performance perkawinan masyarakat Jepang dan masyarakat Suku Karo serta unsur-unsur yang mempengaruhinya, yaitu unsur agama, unsur pemerintah/hukum dan unsur adat.

Dalam menguraikan performance perkawinan, penulis akan menggunakan beberapa konsep perkawinan dan kajian pranata perkawinan, juga mengenai bentuk keluarga, dan performance perkawinan pada kedua masyarakat tersebut.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan biologisnya.Disamping itu perkawinan

(12)

mempunyai beberapa fungsi yaitu melanjutkan generasi keluarga, memenuhi hak dan kewajiban sebagai suami istri, tentu juga memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu (Koentjaraningrat, 1997:93).

Lebih lanjut (Koentjaraningrat 1980:76), secara tegas menyatakan bahwa perkawinan mempunyai dua arti biologis dan sosiologis.Dipandang dari sudut biologis, perkawinan merupakan pengatur perilaku manusia yang berkaitan dengan seksual.Sedangkan dari sudut sosiologis, perkawinan memiliki beberapa fungsi yaitu memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan terhadap anak. Selain itu perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup dan memenuhi akan status dalam masyarakat. Dengan menikah sepasang suami istri akan membentuk suatu kesatuan sosial yang disebut rumah tangga, yaitu kesatuan yang mengurus ekonomi rumah tangganya (Haviland, 1993:105).

Perkawinan merupakan rencana untuk meneruskan keturunan yang diberikan pada masyarakat umum, diakui oleh masyarakat sebagai penyatuan seksual. Berdasarkan perjanjian perkawinan diuraikan hak dan kewajiban pasangan dan masa depan anak-anak.

Di Jepang ada dua bentuk keluarga tradisional yaitu Kazoku dan Ie.Kazoku adalah general konsep dalam keluarga Jepang yaitu hubungan antar suami-istri dan hubungan antara orang tua dengan anak diperluas pada hubungan persaudaraan.Keluarga tradisional Jepang cenderung merupakan keluarga besar.Dalam melanjutkan kehidupan keluarga tradisional tidak lepas dari pekerjaan-pekerjaan yang religius.Keluarga

(13)

yang telah mempunyai usaha, tradisi, simbol-simbol tertentu disebut dengan Ie.Jadi, yang dimaksud dengan Ie adalah keluarga yang anggota- anggotanya terdiri dari beberapa generasi dan telah mempunyai tradisi tertentu (Situmorang, 2005:45).

Pada masyarakat tradisional Jepang, perkawinan yang sering terjadi adalah Miai kekkon, yaitu perkawinan yang dijodohkan oleh pihak ketiga dengan tujuan meneruskan keturunan sistem Ie.Pada masa sekarang Miai kekkon sudah jarang terjadi yang digantikan oleh Ren’ai kekkon, yaitu perkawinan atas dasar cinta.Sejak Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat yaitu sejak tahun 1970, menurut (Sitomurang 2005:18-19), bentuk-bentuk perkawinan menjadi beraneka ragam.Misalnya, perkawinan internasional, perkawinan tanpa melapor ke catatan sipil, perkawinan pisah rumah dan sebagainya.

Tujuan perkawinan dalam masyarakat Jepang ada bermacam- macam.Pada masyarakat tradisional, perkawinan bertujuan untuk meneruskan keturunan Ie terutama bagi Shison (Putera pertama yang harus membawa istri ke dalam keluarga suami untuk menghasilkan keturunan).Dari penjelasan di atas ada kesamaan dari tujuan perkawinan menurut Koentjaraningrat, William dan Hendry yaitu perkawinan merupakan rencana untuk melanjutkan generasi keluarga.

Dalam meneliti pembahasan ini penulis menggunakan buku sebagai acuan. Buku-buku tersebut adalah Miai,yuino,kekkon no mana (Shinoda, 1984). Kemudian buku lain yang dijadikan acuan adalah : buku yang berjudul Kankon Sosai zensho yang ditulis oleh Goto Shoin dan

(14)

diterbitkan oleh Jepang pada tahun 1975, buku yang berjudul Otsukiai to mana yang disusun oleh Shigeso Weki dan diterbitkan oleh Jepang pada tahun 2003, buku yang berjudul Telaah Pranata Masyarakat Jepang I yang disusun oleh Hamzon Situmorang dan diterbitkan oleh usu press pada tahun 2000, dan buku yang berjudul Ilmu Kejepangan yang disusun oleh Hamzon Situmorang dan diterbitkan oleh usu press pada tahun 2006.

Selain menggumpulkan dan memanfaatkan buku-buku, penulis juga berusaha mencari data-data dari situs internet.

2. Kerangka Teori

Untuk membuktikan bahwa dalam sebuah perkawinan juga terdapat hal-hal yang mengungkapkan konsep perbandingan yaitu persamaan, maka penulis akan menggunakan teori komparatif. Konsep perbandingan yang terdapat dalam kebudayaan yaitu perkawinan akan dijadikan sebagai tanda untuk diinterprestasikan dengan melihat perilaku dari masyarakat yang melaksanakannya.

Teori komparatif yang mengelompokkan masyarakat-masyarakat yang sama besarnya maupun sistem ekonominya, akan menganalisa bagaimana organisasi masyarakat tersebut di susun. Teori ini juga memperhatikan urutan yang sungguh-sungguh terjadi, bukan urutan-urutan imajiner yang di susun dari masyarakat yang terpisah jauh. Ruang dan waktu adalah satu usaha untuk membahas masalah-masalah penting dengan cara strategis yang bermanfaat (Keesing, 1992:2).

(15)

Menurut (Staruss 2000:12), ada beberapa teori yang dapat menjelaskan penyebab adanya persamaan pada dua kebudayaan yang berbeda dalam ilmu antropologi, teori tersebut adalah:

1. Teori Strukturalisme, menyatakan bahwa kebudayaan sebagai perwujudan yang tampak dari struktur mental yang terpengaruh oleh lingkungan fisik dan sosial kelompok maupun sejarahnya. Dengan demikian, dalam kebudayaan banyak terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya meskipun struktur proses berpikir manusia dianggap elementer. Oleh karena itu, kebudayaan bersifat universal sehingga menyebabkan kebudayaan itu dimana-mana sama.

2. Teori Difusianisme, menyatakan bahwa adanya persamaan unsur-unsur kebudayaan pada berbagai tempat di muka bumi, sebagai akibat dari hubungan antara bangsa pemilik kebudayaan yang bersangkutan dimasa lampau.

Jadi, untuk memahami perkawinan secara perbandingan kita harus melihatnya sebagai suatu hubungan yang legal, menentukan pihak-pihak yang terlibat, hak-hak dan barang berharga apa saja yaitu tukarkan. Semua itu ditujukan untuk siapa dibagi-bagikan, antara siapa dan kepentingan apa saja yang terdapat pada individu maupun kelompok yang akan mendapatkan keuntungan dari persetujuan kontrak yang seperti itu.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

(16)

1. Untuk mengetahui performance perkawinan masyarakat Jepang dan masyarakat Suku Karo.

2. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan performance perkawinan tradisional masyarakat Jepang dan masyarakat Suku Karo.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah:

1. Untuk menambah ilmu dan pengetahuan mengenai tata cara perkawinan masyarakat Jepang dengan masyarakat Suku Karo bagi penulis maupun bagi orang lain.

2. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi apabila ada penulis lain yang ingin masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi masyarakat luas.

1.6 Metode Penelitian

Metode adalah alat untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan.

Dalam melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada para pembaca. Untuk itu, dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif.Menurut (Koentjaraningrat 1976:30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu.Oleh karena itu, data-data yang diperoleh dikumpulkan,

(17)

disusun, diklasifikasikan, sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.

Disamping itu, penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan.Studi kepustakaan merupakan studi aktifitas yang sangat penting dalam penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek perlu dicari dan diteliti meliputi: masalah, teori, konsep, dan penarikan kesimpulan (Nasution, 1946:14). Dengan kata lain studi kepustakaan adalah pengumpulan dengan cara membaca buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini. Data yang diperoleh dari referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan.

Teknik penelitian yang digunakan adalah meneliti data berupa buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Jadi teknik pengumpulan data yang digunakan adalah library research. Selain itu penulis juga memanfaatkan koleksi pribadi, dan berbagai informasi dari situs-situs internet yang membahas tentang masalah yang akan dibahas untuk melengkapi data-data dalam penelitian ini.

(18)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERFORMANCE PERKAWINAN JEPANG DAN KARO

2.1 Perkawinan Pada Masyarakat Jepang

Perkawinan dalam bahasa Jepang disebut dengan 結 婚 (kekkon).Istilah ini terdiri dari dua karakter kanji yaitu 結 yang dibaca け つ (ketsu) yang berarti ikatan, dan 婚 yang dibaca こん (kon) yang berarti perkawinan.

Perkawinan di Jepang ada yang berdasarkan agama dan pemerintah/hukum. Sekarang ini di Jepang sangat banyak pasangan pengantin yang menikah di Gereja yaitu sekitar 60%, sedangkan di Kuil 40% dan di tempat-tempat lain 10%.

Masyarakat Jepang memiliki adat istiadat tentang perkawinan yang berbeda dari negara lain. Perkawinan dan penyelenggaraan kehidupan berkeluarga di Jepang di atur oleh sebuah sistem keluarga (Martha, 1995:2).

Pada umumnya perkawinan orang Jepang bersifat monogami, walaupun pergundikan juga dilakukan dan keturunannya diakui dalam masyarakat, namun dari segi pewarisan kekayaan maupun kedudukan dalam lingkungan sosial, status mereka lebih rendah dari istri sah dan anak-anaknya.

(19)

Usia perkawinan orang Jepang sejak Zaman Meiji berkisar pada usia 26-27 tahun bagi pria dan 23-24 tahun bagi wanita. Sampai tahun 20 showa (1945) biasanya perbedaan umur suami dan istri adalah 4 tahun, tetapi setelah tahun 1945 itu, perbedaan umur suami istri semakin dekat yaitu menjadi 3 tahun bahkan hanya 2 tahun pada tahun 1975. Penyebab tingginya usia perkawinan bagi wanita di Jepang menurut Martha (1995:4) adalah meningkatnya pendidikan, kemajuan dalam pekerjaan, sifat bebas dan mandiri serta kemajuan ilmu kedokteran. Cara bagaimana calon suami atau calon istri di pilih ada dua macam, yaitu berdasarkan Miai (見合い) dipertemukan dalam konteks perkawinan memiliki pengertian dijodohkan) dan Ren’ai( (恋愛) yaitu cinta. Perkawinan yang terjadi karena Miai disebut Miai kekkon (見合い結 婚 ), sedangkan karena Ren’ai disebut Ren’ai kekkon (恋愛結婚).

2.1.1 Sebelum Upacara

Dalam perkawinan Jepang, pada saat sebelum melangsungkan perkawinan, ada dua cara untuk memilih calon suami dan istri, yaitu dengan dijodohkan atau disebut dengan Miai (見合い) dan dengan cinta yang disebut Ren’ai( (恋愛).

Miai kekkon terlaksana dengan cara orang tua dari seorang anak yang telah dewasa, meminta bantuan perantara yang disebut Nakoodo

( 仲 人 ) untuk mempertemukan kedua belah pihak.Fungsi Nakoodo menurut (Martha 1995:5) adalah mengatur perkawinan, termasuk

(20)

memperkenalkan pihak-pihak yang berminat untuk mencari calon suami atau calon istri. Namun lain halnya menurut (Wibowo 2005:18), Nakoodo adalah orang yang bertindak sebagai perantara pada awal perundingan sebelum perkawinan, memimpin upacara perkawinan dan mengurus hubungan yang berlangsung terus-menerus setelah perkawinan, termasuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di antara pasangan itu.

Ren’ai kekkon yaitu perkawinan yang didasari oleh cinta, semakin banyak terjadi terutama sejak zaman Meiji, dimana pemikiran-pemikiran barat banyak di serap dalam segala aspek kehidupan orang Jepang, bahkan dewasa ini banyak perkawinan yang berdasarkan cinta kasih dan didahului dengan pacaran. Dalam kelompok umur 20-24 tahun, mereka yang memilih pasangannya sendiri adalah 63% di desa dan 90% di kota. Angka- angka itu termasuk pasangan yang diperkenalkan oleh pihak ketiga, yaitu perantara, meskipun keputusan terakhir ada pada mereka sendiri (Rahmadayani, 2005:25).

Hukum perkawinan Jepang didasari pada monogami dan secara legal melindungi suatu perkawinan yang hanya merupakan penyatuan di antara seorang pria dan seorang wanita yang terbentuk sesuai syarat-syarat hukum yang berlaku.Di bawah undang-undang 1898, perkawinan di Jepang di atur secara besar-besaran dalam satu Ie, yang dikontrololeh seorang koshu (戸主).Jadi, perkawinan menyangkut satu kelompok yang meninggalkan Ie-nya.

(21)

Sebagai seorang Yome (menantu perempuan) atau Muko (menantu laki-laki) untuk menjadi bagian dari Ie yang lain. Supaya tercapai hal ini, maka persetujuan di antara kedua kepala keluarga sangat diperlukan.Sesuai ketentuan yang dituliskan dalam Undang-undang tahun 1947, yang melindungi martabat individu dan kesamaan di antara pria dan wanita, maka Ie dihapuskan dan juga ketidaksamaan antara suami-isteri dihapuskan.Menurut Undang-undang perdata Jepang, perkawinan baru dianggap sah jika dapat memenuhi syarat-syarat secara hukum, sebagai berikut:

1. Sesuai dengan Koseki Hoo (Registrasi Keluarga) diperlukan sebagai pemberitahuan secara tertulis, seorang wakil dan dua orang dewasa sebagai saksi dari masing-masing keluarga.

2. Kedua pihak harus menyetujui perkawinan ini. Perkawinan yang dilakukan atas dasar paksaan dapat dibatalkan.

3. Pria sekurang-kurangnya berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun.

4. Kalau wanita yang telah bercerai melangsungkan perkawinan lagi, sekurang-kurangya 6 bulan sejak keputusan perceraiannya dari perkawinan yang terdahulu.

5. Perkawinan tidak boleh dengan dua orang isteri (bigami).

6. Perkawinan tidak boleh dilangsungkan dengan orang yang memiliki hubungan darah dengan pasangannya.

(22)

7. Seseorang yang belum dewasa atau dibawah umur yang telah ditentukan,harus memperoleh izin dari kedua orang tua mereka (Martha, 1995:19-20). Setelah perkawinan terbentuk, kedua pasangan dipanggil dengan satu nama keluarga. Berdasarkan pasal 75 Undang-undang perdata, Myooji(nama keluarga) dapat dipakai dari nama suami atau nama isteri. Namun demikian, 98,9% isteri di Jepang mengubah nama keluarganya dengan nama keluarga suaminya atau dengan kata lain pihak wanita ikut pihak keluarga pria.

2.1.2 Upacara Perkawinan

Setelah pasangan calon pengantin memutuskan untuk meneruskan hubungan mereka ke jenjang perkawinan, maka rangkaian acara mulai dari pertukaran barang pertunangan, upacara perkawinan dan resepsi perkawinan diselenggarakan.Puncaknya adalah upacara perkawinan.

Tahapan pertama adalah peresmian atau pemberitahuan pertunangan yang disebut dengan Yuinoo.Yuinoo dibagi dua yaitu Yuinoohin dan Yuinookin.Pertukaran barang-barang pemberian sebagai tanda pertunangan disebut dengan Yuinoohin.Sedangkan pemberian uang sebanyak dua atau tiga bulan gaji calon pengantin pria disebut dengan Yuinookin. Sebagai balasan Yuinookin, pihak wanita akan memberikan setengah dari uang yang diterimanya.

Setelah tercapai kesepakatan di antara kedua calon pengantin, maka pihak pria akan mengirimkan pemberian-pemberian sebagai hadiah

(23)

tanda persetujuan dari pihak wanita. Untuk mendengar kabar ini, maka diundanglah sanak saudaranya.Istilah ini disebut dengan Kimecha (決め 茶) yaitu pemberian berupa teh kepada sanak saudaranya.

Dalam merayakan pertunangan ini juga diberikan Kugicha (釘茶), yaitu sejenis arak Jepang dan ikan tai (sejenis ikan kakap) kepada undangan yang datang.

Setelah Kimecha, maka akan dilakukan penentuan hari perkawinan.

Seorang Nakoodo akan merundingkan dengan pihak wanita tentang penentuan waktu yang baik untuk pelaksanaan resepsi upacara perkawinan.

Waktu yang baik artinya hari yang mempunyai keberuntungan yaitu keuntungan terbesar dalam siklus enam hari untuk satu perkawinan.Untuk tujuan ini penduduk di daerah tertentu selalu berkonsultasi dengan seorang Ogamiyasan yang dapat memberikan nasihat tentang hal tersebut. Buku petunjuk tentang perkawinan juga digunakan untuk memberikan keterangan praktis seperti menghindari dari hari-hari menstruasi pengantin wanita dan pada musim panas, karena akan menyusahkan untuk berdandan.

Biasanya hari Minggu banyak dipilih sebagai hari yang baik bagi upacara dan resepsi perkawinan karena banyak para tamu yang bekerja pada hari- hari biasa.Sekitar bulan September-November pada musim gugur (aki) banyak yang melangsungkan resepsi perkawinan.

Jika hari perkawinan sudah ditetapkan, maka akan dilakukan Honcha (本茶) yaitu pemberian hadiah pertunangan utama dari rumah calon pengantin pria ke rumah calon pengantin wanita. Pemberian tersebut

(24)

bisa berupa Kimono ( 着 物 ) dan aksesorisnya atau sejumlah uang.

Pemberian lain adalah satu cincin pertunangan.(Https://www.google/japanidocuteculture.com)

2.1.3 Setelah Perkawinan

Setelah upacara Perkawinan kegaiatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jepang adalah upacara minum sake bersama dengan tujuan saling berkenalan dengan keluarga besar. Di Jepang ada beberapa pilihan yang akan diputuskan oleh pasangan pengantin, antara lain apakah mereka harus tinggal dirumah orang tua pengantin laki-laki atau disekitar kediaman kaum kerabat suami atau mungkin tinggal sendiri. Di daerah pedesaan Jepang, masih umum diharapkan bahwa pengantin perempuan akan masuk kedalam rumah tangga suaminya. Namun lama-kelamaan terlihat tanda-tanda perubahan posisi pasangan baru sebagai keluarga inti yang mandiri.

Di daerah perkotaaan Jepang, pasangan baru lebih suka hidup terpisah dari orag tua mereka. Tetapi secara keseluruhan, kecendrungan untuk membangun rumah sendiri setelah menikah belumlah sepenuhnya merupakan cara hidup yang mapan. Orang mengganggap wajar bila pasanganbaru tetap tinggal dengan orang tuanya apalagi di daerah pedesaaan, dengan tujuan kelanjutan generasi Ie.(Https://www.google/japanidocuteculture.com)

(25)

2.2 Bentuk Keluarga Jepang

2.2.1 Kazoku

Menurut (Situmorang 2006:22) Kazoku adalah general konsep tentang keluarga dalam masyarakat Jepang.Dalam konsep umum yang dimaksud dengan Kazoku adalah hubungan suami isteri, hubungan orang tua dan anak, dan akhirnya diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut dan struktur keluarga berbeda pada masing-masing masyarakat budaya.

Dasar dari Kazoku adalah pernikahan.Dengan adanya pernikahan melahirkan hubungan darah dan hubungan bukan darah.Hubungan darah dapat dibagi atas hubungan vertikal dan horizontal.Hubungan vertikal misalnya hubungan antara kakek, ayah, diri sendiri, anak dan cucu.Sedangkan hubungan horizontal maksudnya hubungan antara diri sendiri dengan saudara laki-laki atau saudara perempuan atau juga dengan sepupu.Dengan adanya pernikahan ini pula melahirkan hubungan keluarga Inzoku, yaitu pihak keluarga isteri.Memang tidak ada hubungan darah dengan diri sendiri tetapi ada hubungan keluarga melalui pernikahan.

Hubungan keluarga yang dibentuk atas hubungan darah secara langsung seperti hubungan vertikal dan hubungan horizontal tersebut di atas disebut Shinru, sedangkan hubungan dengan sepupu atau kemenakan disebut Enru dan hubungan keluarga melalui pernikahan disebut Enja.

Selain itu, (Situmorang 2006:22) mengatakan jenis-jenis Kazoku adalah keluarga inti (nuclear family), keluarga poligami (polygami family),

(26)

dan keluarga luas (extende family).Jadi yang dimaksud dengan Kazoku adalah kelompok yang terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah.Adapun dasar pembentukannya adalah hubungan suami isteri.

Kazoku merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan, dari Kazoku inilah akan lahir sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie.

2.2.2 Ie

Menurut kamus besar Bahasa Jepang, Ie adalah bangunan tempat tinggal keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak. Kata Ie ini dimana huruf ( I ) berfungsi sebagai imbuhan dan huruf ( e ) berarti ro, yaitu tungku perapian sebagai alat memasak yang biasanya diletakkan ditengah- tengah rumah dan tungku ini merupakan simbol tempat berkumpulnya anggota keluarga untuk makan bersama-sama.

Menurut Kizaemon dalam (Situmorang 2000:46-47), Ie adalah suatu jenis keluarga khas Jepang yang anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi, meliputi anggota yang masih hidup dan mati.Di dalam keluarga tersebut diusahakan melanjutkan simbol-simbol keluarga dan menjalankan usaha keluarga. Di samping itu ada pendapat yang dikemukakan oleh Nakane dalam (Oktarina 2002:7), bahwa Ie dapat dikatakan sebagai kelompok yang tinggal bersama di bawah satu atap dan makan dari makanan yang di masak dari dandang yang sama.

(27)

Keluarga Ie adalah bentuk keluarga luas yang mengikuti satu garis keturunan ayah. Perbedaan yang paling utama antara Kazoku dengan keluarga Ie adalah bahwa Kazoku dapat berakhir karena kematian suami atau isteri atau karena perceraian, jadi keberadaan Kazoku adalah satu generasi. Sedangkan Ie terbentuk minimal dua generasi, karenanya Ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak suami atau isteri dalam keluarga tersebut (Situmorang, 2006:22).

Dari pendapat di atas jelaslah bahwa Ie bukan hanya adanya ikatan tali darah saja tetapi lebih ditekankan kepada kelompok yang menyelenggarakan kehidupan bersama, baik dalam sosial maupun ekonomi.Ie juga tidak mengacu kepada anggota keluarga yang masih hidup, tetapi leluhur atau nenek moyang mereka juga merupakan suatu kesatuan yang mengikat antara masa lalu mereka dan sampai masa sekarang.Oleh karena itu, terdapat suatu ikatan yang berkesinambungan antara orang-orang yang masih hidup dengan para leluhur mereka.

Dalam sebuah Ie, adanya perkawinan tidak dengan sendirinya akan membentuk Ie baru tetapi lebih merupakan masuknya anggota baru yaitu pengantin perempuan ke dalam sebuah keluarga lain yaitu keluarga suami (Dilla,2004:16).

Selanjutnya Dilla (2004:16) juga menjelaskan keluarga tradisional Jepang biasanya terdiri dari tiga generasi, yaitu anak yang akan mewarisi Ie, orang tua, serta kakek dan nenek yang semuanya hidup di bawah

(28)

naungan atap yang sama dan menjalankan kehidupan sosial dan ekonomi bersama-sama.

Apabila keluarga Ie tidak mempunyai anak yang dapat meneruskan kesinambungan Ie, maka Ie dapat dilanjutkan oleh orang-orang yang bekerja (hokonin) di dalam Ie yang telah dipercaya walaupun tidak mempunyai hubungan darah dengan kepala keluarga.

Dilla (2004:18) juga menerangkan bahwa dalam struktur sosial Ie, yang memegang kekuasaan terbesar adalah ayah sebagai kepala keluarga (kacho).Kepala keluarga memegang peranan penting dalam penyelenggaraan kehidupan.Oleh karena itu, ayah haruslah dihormati dan ditaati oleh anggota keluarganya. Anggota-anggota keluarga yang lain harus menjalankan tugas masing-masing di bawah pengawasan kepala keluarga.

2.3 Perkawinan pada Masyarakat Karo

Indonesia terkenal dengan keragaman suku dan budayanya.Tiap- tiap daerah memiliki tata cara dalam menjalankan adat istiadat yang berbeda-beda. Terutama dalam hal prosesi perkawinan. Seperti pada Suku Karo, dimana suku ini memiliki tata cara prosesi perkawinan yang tergolong unik.

Salah satu adat istiadat suku Karo yang memiliki keunikan sebagaimana dengan suku bangsa lain yang ada di Indonesia adalah adat perkawinan .Perkawinan merupakan sesuatu yang dianggap sakral oleh

(29)

semua suku bangsa khususnya di Indonesia.Begitu juga dengan suku Karo berpandangan perkawinan dianggap sah apabila telah sesuai dengan ketentuan agama dan juga adat istiadat Karo.Pasangan suami /istri yang telah menikah menurut ajaran agama yang mereka anut, namun belum melakukan pernikahan menurut tradisi adat istiadat Karo dianggap belum sah dan tetap memiliki kewajiban membayar utang adat.

Pada dasarnya adat perkawinan suku Batak Karo mengandung nilai sakral. Dikatakan sakral dalam pemahaman adat Batak Karo bermakna pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan (pihak sinereh), karena ia memberikan anak perempuannya kepada orang lain pihak pengantin laki- laki (pihak sipempoken), sehingga pihak laki-laki juga harus menghargainya dengan menanggung semua biaya acara adat dan makanan adat. Perkawinan marupakan suatu upacara di mana mempersatukan seorang laki-laki dengan perempuan atau dipersatukanya dua sifat keluarga yang berbeda melalui hukum.

Dalam adat perkawinan batak Karo akan terjadi tindak tutur antara pihak anak beru laki-laki (pihak penerima istri) dengan pihak anak beru perempuan (pihak pemberi istri), kemudian dilakukan pertuturan antara anak beru laki-laki dengan kalimbubunya (pihak penerima istri), begitu juga antara anak beru perempuan dengan kalimbubunya (pihak pemberi istri). Anak beru disini berfungsi sebagai penyambung lidah antara kepentingan dua kelompok keluarga, yaitu keluarga pengantin perempuan dan pengantin laki-laki.

(30)

Dengan demikian, perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita, termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para leluhurnnya.Pada perkawinan yang sesuai dengan adat (arah adat) dahulu biasanya peranan orang tua yang dominan.Artinya bahwa pihak orang tualah yang mengusahakan agar perkawinan itu dapat berlangsung, mulai dari perkenalan calon mepelai (petandaken), meminang (maba belo selambar), nganting manuk dan pesta adat (kerja adat). (Bangun, 1986 : 22)

Sifat perkawinan dalam masyarakat suku Karo adalah eksogami artinya harus menikah atau mendapat jodoh diluar marganya (klan).

Bentuk perkawinannya adalah jujur yaitu dengan pemberian jujuran (mas kawin) yang bersifat religio magis kepada pihak perempuan menyebabkan perempuan keluar dari klannya dan pindah ke dalam klan suaminya.

Perkawinan diantara semarga dilarang dan dianggap sumbang (incest), perkawinan eksogami tidak sepenuhnya berlaku pada masyarakat Karo, khususnya untuk Marga Sembiring dan Perangin-angin. Sebab, walaupun bentuk perkawinannya jujur tapi sistem perkawinannya adalah eleutherogami terbatas yaitu seorang dari marga tertentu pada Marga Sembiring dan Perangin-angin diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari marga yang sama asal klannya berbeda.

Perkawinan semarga yang terjadi dalam klan Sembiring terjadi karena dipengaruhi faktor agama, faktor ekonomi dan faktor budaya.

Pelaksanaan perkawinan semarga dinyatakan sah apabila telah melewati tahap Maba Belo Selambar (pelamaran), Nganting Manuk (musyawah

(31)

untuk membicarakan hal-hal yang mendetil mengenai perkawinan), Kerja Nereh i Empo (pelaksanaan perkawinan), dan Mukul (sebagai syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum adat Karo). Akibat hukum dari perkawinan semarga adalah sama seperti perkawinan pada umumnya apabila telah dilakukan sesuai dengan agama, adat, dan peraturan yang berlaku.

Larangan perkawinan yang dilangsungkan diantara orang-orang yang semarga dimaksudkan untuk menjaga kemurnian keturunan berdasarkan sistem kekerabatan pada masyarakat Karo.Karena nilai budaya Karo sangat tinggi pengaruhnya dalam budaya Batak Karo dalam mewujudkan kehidupan yang lebih maju, damai, aman, tertib, adil, dan sejahtera. (Bangun, 1986 : 23)

Sanksi bagi yang melakukan perkawinan semerga (sumbang) adalah :diusir dari tempat tinggal mereka, dikucilkan di masyarakat adat, dikucilkan dan diusir oleh keluarga, dan dimandikan di depan umum (dalam bahasa Karo disebut ‘i peridi i tiga’).

2.3.1 Sebelum Upacara

Dalam suku Karo perjodohan tidak dipaksakan.Pada zaman sekarang ini banyak masyarakat yang menikah yang didasari dengan dasar cinta.Sebagai puncak dari rangkaian upacara perkawinan ialah perlaksanaan perkawinan itu sendiri.Hari pelaksanaan perkawinan dilakukan pada hari yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama yang diputuskan pada waktu “Maba Belo Selambar”.

(32)

Biasanya kalau hari pelaksanaan tinggal satu atau dua minggu lagi, maka kekerabatan dari kedua belah pihak mulai sibuk, terutama sekali kelihatan pada pihak pria.Bagi keluarga wanita kesibukan yang nyata ialah mempersiakan pakaian pengantin wanita yang sepantas- pantasnya.Mempersiapkan undangan untuk disampaikan secara langsung kepada pamili dekat atau jauh tanpa ada yang ketinggalan.Dan disampaikan dengan lisan di rumah pamili.(Bangun, 1986 : 32)

Pihak anak beru dan saudara-saudaranya selalu ikut dalam mengadakan pertemuan membicarakan hal-hal yang dianggap perlu dalam hal kecil-kecilnya.Kalimbubu dan puang Kalimbubu (“Singalo bere-bere”

dan Singalo perkempun” serta singalo peminin”) juga diajak dalam pertemuan ini supaya tidak ditemui hambatan-hambatan nanti pada hari pelaksanaan perkawinan.Pada zaman dahulu “luah” atau kado sangat diusahakan oleh Kalimbubu dan Puang.Tapi pada zaman sekarang “Luah”

hanya sebagai sarana untuk hanya pantas dilihat orang banyak.Dan yang membelikan “Luah”pun adalah pihak keluarga pria, sedangkan pihak Kalimbubu “hanya” menyerahkan pada upacara perkakawinan. Pakaian (rose) juga disiapkan sejak dini agar nanti sudah siap dipakai. Pihak pria lah yang menyiapkan penyelenggaraan upacara pelaksanaan perkawinan.Mulai dari segala keperluan makanan, sehingga sejak dua minggu sebelum waktunya sudah dijemur padi dan ditumbuk. Membeli lembu yang sehat dengan ukuran tidak boleh kurang dari ketentuan “jukut 7 ayan” dan menjelang upacaara telah ditambatkan didekat tanah lapang

(33)

tempat upacara perkawinan sehingga dapat dilihat orang banyak, benar tidak ukuran lembu menurut ketentuan.

Disini peranan “anak beru tua” cukup dominan, karena ia sebagai koordinator segala kegiatan. Seperti mempersiapkan tenda “Lape-Lape”

terdiri dari puluhan daun kepala untuk memanyungi antara 750-1000 tamu.

Juga hiasan tenda, biasanya bentuk tenda adalah U. untuk pengadaan isi kampil “ seperti Sirih, Gambir, Kapur, Pinang, Tembakau, dan Daun Rokok adalah menjadi tugas Anak Beru. Sedangkan pada waktu acara perkawinan anak beru tugasnya menyiapkan bumbu dapur, bumbu gulai pendamping daging sapi. Gulai juga harus sudah masak 2 jam sebelum acara agar masih dalam keadaan panas.

Selain itu juga disiapkan uang recehan bagi upacara penyerahan uang mahar dan simecur. Termasuk juga menyiapkan kain “Uis Arinteneng” , piring putih (pinggan mentar) dengan beras serta kapur sirih dan amak ucur sebagai alas uang hantaran dari pihak pria kepada pihak wanita. Demikian juga diasiapkan Amak Belang ( tikar lebar) tempat duduk para hadirin, Amak Ucur ( tikar kecil). Cara mengundang “kade- kade” (pamili) tidak dikoordinir oleh anak beru tua. Untuk pamili yang dikampung tidak boleh dengan surat, tapi harus didatangi kerumahnya satu persatu.(Bangun, 1986: 33-35)

Ada lagi satu ketentuan dimana undanga kepada kerabat tertentu seperti Kalimbubu Singalo Ulu Emas, Kalimbubu” dan “Puang Kalimbubu”

(34)

tidak boleh Anak Beru menyampaikannya, tapi harus sukut siempo dan saudara kandung datang menyampaikan undangan.

Dalam pelaksanaan upacara ini terutama dalam hal menyiapkan minuman, piring (zaman dulu makan di atas daun pisang), di dapur dan pekerjaan untuk makan dibantu sepenuhnya oleh muda-mudi “serayaan”.

Mulai dari jam 8 pagi rombongan penggantin pria dan wanita telah mengenakan pakaian “rose” berangkat dari rumah masing-masing ke tanah lapang tempat upacara. Tempat duduk mereka adalah di tempat yang sudah ditentukan masing-masing menurut kelompok kekerabatan Daliken si Telu (jadi tidak seperti kebanyakan upacara perkawinan zaman kini dimana kedua penggantin sudah duduk berdampingan dalam kursi).

2.3.2 Upacara Perkawinan

Untuk menyambut tamu-tamu yang akan hadir, maka masing- masing pihak menyediakan pasukannya dengan memakai pakaian adat.

Mereka dari kedua pihak berdiri di kiri kanan, termasuk sebagai penyambut adalah masing-masing kedua orang tua penggantin.Kalau yang datang tamu dari pihak wanita, maka penyambut barisan wanita penyongsongnya dan sekaligus seorang atau dua orang menggantar ke tempat duduk posisinya.Demikian juga kalau tamu dari pihak pria, barisan pria yang menyambutnya dan menggantar ketempat yang sudah ditentukan.Begitu tamu duduk ditikar, secepat itu pula “anak beru cekuh baka” memberikan daun Nipah / Rokok kepada laki-laki dan Sirih + Kapur + Gambir + Tembakau + Pinang kepada tamu perempuan.Dalam

(35)

tarap ini para penyambut tamu anak beru cekuh baka harus sigap.Anak beru tua juga harus mengawasi dapur ketika sudah beres anak beru mengumumkan bahwa acara makan segera dimulai supaya persiapan duduk dengan teratur agar mudah membagi nasi, gulai dan minuman.Makanan dibagi dulu ke pihak keluarga wanita. Juga dibagikan pernakan kitik ( tempat nasi yang kecil terdiri dari pandan halus) berisi nasi dan sayur kepada pihak kalimbubu yang dianggap berhak, termasuk penghulu kampung ( dan orang luar terhormat kebetulan hadir, dukun besar, pesilat nama). Disini kembali anak beru tua memberi arahan kepada anak-anak buahnya agar cekatan melakukan tugasnya jangan sampai yang ada pamili yang kekurangan nasi, gulai, dan minuman.

Setelah sampai makanan dihadapan tamu, dipersilahkan makan.

Lalu tiba giliran kelompok undangan pihak pria dibagikan makanan dan terus makan ( dimasa sekarang sebagian besar masyarakat suku Karo sudah memeluk agama, maka sebelum acara pembagian makan, lebih dulu berdoa menurut agama yang ditentukan sesuai situasi dan kondisi). Acara makan menurut adat Karo, harus musyawarah dulu baru mulai makan lalu dilanjut kan dengan acara penyerahan “Luah” kado dan pemberian amanat dan petuah-petuah. (prinst,2004 : 35)

Anak beru lalu mempersiapkan prasarana untuk runggu (musyawarah) seperti Kampil, Tikar dan lain-lain.Tempat musyawarah adalah di tengah-tengah pertemuan. Masing-masing pihak terdiri dari anak beru tua dengan juru bicaranya, Sukut, Senina Silako Rungu serta rombongan masing-masing pihak yaitu 6 orang dari pihak wanita, 5 orang

(36)

dari pihak pria juga hadir di dekat para perunding masing-masing pihak.

Para pendamping dengan tugas masing-masing pun ikut disitu, termasuk yang menyediakan uang-uang hantaran.Para undangan yang tidak ikut dalam musyawarah biasanya dengan tenang mendengarkan pembicaraan pada perunding, sebab masing-masing pihak tertentu ingin tahu atau menjaga agar pihak mereka jangan sampai dirugikan oleh pihak terutama dalam uang hantaran.Minimal harus tidak berobah dari kesepakatan bersama pada waktu “Maba Manok” tadi malam atau beberapa waktu yang lampau.

Sebelum diadakan musyawarah, oleh juru bicara disampaikan 5 buah kampil dengan segala isinya kepada juru bicara anak beru wanita dan meneruskan kepada:

1. Sukut Sinereh 2. Singalo Bere-Bere 3. Singalo Perkempun 4. Senina

5. Anak Beru

Setelah Rokok di isap, Sirih dimakan, Kampil dikembalikan ketempat asalnya.Dengan demikian pembicaraan dapat dimulai.Pihak anak beru menjelang permbicaran dengan suara mantap mengumumkan kepada Hadirin dan Kalimbubu bahwa pembicaran segera dimulai agar dimohon mendengar permuswararatan kita. Dalam musyawarah akbar ini apalagi para undangan sangat banyak, maka masing-masing jurubicara

(37)

mengerahkan keahliannya dalam berbicara dan berunding. Orang banyak bisa menilai tentang kwalitas jurubicara masing-masing. (prinst, 2004 36- 39)

Memang kesepakatan bersama terutama mengenai uang mahar telah disepakati dalam acara “Maba Manok”, tapi karena pada waktu itu hadir terbatas saja, sedang dalam upacara ini hadir pamili dari segala pelosok, maka sering pembicaraan dimulai lagi dari a sampai z . Termasuklah disitu tentang niat pihak pria mengawini wanita bernama X.

Lalu X ditanya, dibujuk oleh “Mami”nya dan sekalian memberi upah berupa ‘Buat-Buaten” seperti sebidang lading/ sawah dan lain-lain. Harus mendetail, begitu juga mengenai uang hantaran bagi Tukor, Bere- Bere,Perkempun, Peminin, Perkembaren dan lain sebagainya. Demikian terus pembicarannya dilempar kesana kesini melalui Jurubicara dan Senina Silako Runggu kedua belah pihak. Upacara perkawinan ini juga pihak keluaraga pria mengengemukakan hasil-hasil kesepakatan kepada pihak wanita, agar pihak wanita menggoreksinya jika tidak ada yang berubah dari malam Maba Manok itu maka diumum kan diseluruh pamili.

Menjelang dilakukanya penyerahan uang hantaran “Pedalan Emas”, lebih dulu tampil Penghulu dan berbicara sampai bertanya kepada pengantin wanita. Isi uraiannya ialah tentang keawjiban sambil bertanya apakah sudah siap berumah tangga dan kalau sudah siap, akan dilaksanakan penyerahan uang Hantaran oleh pihak pria kepada semua keluarga pihak wanita. Sekalian uang Hantaran sudah berjalan, ditambah

(38)

nanti malam “Mukul” maka sudah syah sebagai suami istri dan tidak dapat menariknya atau membatalkannya. (prinst, 2004 : 36-39)

Atas uraian dan pernyataan Penghulu, maka diwajibkan oleh wanita bahwa ia siap berumah tangga, maka dimulailah upacara penyerahan uang Hantaran. Pada saat itu juga pihak kelompok penggantin pria menyediakan “Pinggan Pasu” (piring putih) beralaskan (Uis Arinteneng) dimana piring itu berisi :beras meciho, belo cawir, dan draham (bentuk uang emas aceh) pembayaran uang mahar dilakukan dalam bilangan ganjil apakah tiga kali atau lima kali, disesuaikan dengan permintaan pihak perempuan. Setiap penerimaan uang hantaran oleh Jurubicara pihak perempuan, maka segera menyerahkan kepada “Senina Silako Runggu” dan menyalurkan kepada pihak uang berhak menerimanya.Olehnya segera membagi-bagikannya pula kepada kelompok menurut kebiasaan yang lazim berlaku.

Upacara penyerahan uang hantaran ini harus disaksikan oleh penghulu kampung dan sekaligus pula mengesahkan perkawinan tersebut.Acara berikutnya pihak-pihak “Kemberahen” (istri-istri) dari kelompok pihak penggantin pria menjemput penggantin wanita dari tempatnya dipihak kelompok wanita.Biasanya disini para “Kemberahen”

bernyanyi dan menari menyambut acara menari, amka sebelum nya telah dirundingkan mengenai protokoler atau pihak yang menari duluan lalu menari.Ini sangat perlu agar jangan ada sampai berebutan menari.Hal ini bisa saja terjadi baik pada kelompok Kalimbubu maupun kelompok Sukut dan Senina.

(39)

kelompok wanita:

1. Sukut Sinereh sebagai “kata Pengalo-ngalo 2. Sembunyak

3. Senina 4. Sepermeren 5. Separibananen 6. Sipengalon

7. Teman Sejawet dan Penghulu

Pada umumnya pada setiap acara menari yang disertai oleh sukut sinereh yang anak berunya dan kedua penggantin, selalu ada yang memberi nasehat kepada kedua penggantin.Bagian terakhir menari pihak wanita ialah anak beru. Disini ada pun urutan menarinya mulai dari: Anak Beru Tua,Anak Beru Simbelin, Anak Beru Jabu, Anak BeruMenteri,Anak Beru Singkuri dan Anak Beru Pengapit. Tapi umunya karena masih banyak acara dan hari telah “Gumeling” (sekitar jam 14.00) maka Anak Beru gabung dalam sekali menari.Pada acara ini umunya “Sukut Sinereh”

menyampaikan ucapan terimakasih kepada anak berunya yang sejak lama telah bekerja keras siang samapi malam mmempersiapkan acara perkawinan.Pihak Anak Beru dalam pada itu mengatakan bahwa mereka mohon maaf karena kesanggupan memberikan bimbingan kepada kami dan seterusnya.

Acara berikut ialah giliran menari bagi dalam hal Penghulu.Diapun memberi bimbingan dan nasihat kepada kedua penggantin.Setelah itu

(40)

beralih acara menari pada kelompok “Sukut SIempo” pihak pria. Sama dengan tata urutan menari pada kelompok wanita, maka urutan menari adalah :

1. Sukut Siempo, Teman Sejawat dan Penghulu 2. Kalimbubu

3. Anak Beru

Berapa kali diadakan acara pada tiap acara menari bagi sukut siempo, Kalimbubu dan Anak Beru tidak jauh berbeda dengan kelompok wanita yang telah diuraikan lebih berbeda.Demikian juga dalam hal memberi nasehat kepada penggantin tergantung kepada pihak yang menari.Kalau semua unsur dari keakraban perpamilian sudah menari, maka secara formal upacara perkawinan sudah selesai. Ini biasanya disekitar jam 17.00 sore hari. Para undangan, kerabat penggantin pulang kerumah.Tapi Anak Beru masih bekerja keras menyusun alat-alat memasak.Sesampainya dirumah Anak Beru bekerja keras terus memasak nasi gulai. Karena malam akan diadakan pula acara “Mukul” (makan satu piring kedua penggantin sebagai pertanda kesetiaan/sejenis sumpah seia sekata dalam membina rumah tangga dan pengesahan secra resmi selaku suami istri. Pekerjaan anak beru belum juga selesai, karena besok atau lusa akan diadakan pula “Ngulihi tudung”( acara mengambil barang-barang selaku suami istri). Kemudian acara terakhir ialah pada waktu yang ditentukan tapi tidak lebih dari empat hari diadakan acara “Perpulungan Ngorati” yaitu mengeluasi segala aspek dari adat dan upacara perkawinan yang baru dilakukan.Biasa para tetamu memberikan sumbangan “Beras

(41)

piher” berupa uang atau benda bagi keperluan rumah tangga.Dulu sumbangan itu dikumpulkan untuk penggantin tetapi zaman sekarang sumbangannya untuk kedua orang tua pengantin. (prinst, 2004 : 40-42)

2.3.3 Setelah upacara

Sebagian orang mungkin menganggap bahwa acara pesta pernikahan adalah puncak dari acara pernikahan itu.Tetapi bagi masyarakat Karo, sesungguhnya acara/upacara yang dilakukan setelah perkawinan adalah upacara yang paling penting.Sebab melalui acara ini, seseorang yang telah/baru menikah tersebut dapat diterima di dalam keluarga barunya (keluarga suami/istri) sebagai anggota keluarga yang baru (diterima dalam komunitas).Selain itu, fungsi dari ritual ini juga sebagai pengikat persekutuan dan penyatuan nilai-nilai masyarakat Karo khususnya di dalam suatu keluarga yang baru saja melaksanakan pesta perkawinan adat. Oleh karena itu, di dalam skripsi ini akan dibahas sedikit tentang beberapa ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Karo sebagai ritus setelah perkawinan yang merupakan bagian dari ritus kehidupan masyarakat Karo.

1. Mukul

Pengesahan perkawinan secara adat diikuti dengan unsur kepercayaan tradisional yaitu “mukul (persadaan tendi)” yang merupakan semacam doa tentang perkawinan tersebut dan diikuti dengan makan

(42)

malam bersama pengantin serta upacara pelaminan. 1

9. Pengantin laki-laki (si empo) membuat satu simpul yang berisi uang perak dalam kain pengantin perempuan (si sereh). Namun hal ini sudah tidak dilakukan lagi setelah kekristenan masuk ke Tanah Karo.

[1]Di dalam acara mukul ini dilakukan beberapa hal, yakni:

1. Kalimbubu mengantarkan pengantin ke jabu (rumah) tempat mukul 2. Menetapkan jabu (rumah) pengantin

3. Kalimbubu dan Anak Beru menyiapkan perlengkapan mukul 4. Mempersatukan pengantin lewat acara makan dalam satu piring 5. Mempersatukan Sangkep Nggeluh (keluarga)

6. Ngobah tutur (mengubah tutur)

7. Melaksanakan Runggun Sangkep Nggeluh/ Runggun Pijer Podi (musyawarah keluarga) yang berisi percakapan tentang hal-hal yang menggembirakan dan kata-kata peneguhan bagi keluarga baru tersebut.

8. Pengantin memasuki pelaminan/kamar

Acara mukul ini dilakukan pada malam hari setelah acara pesta selesai digelar.Acara mukul merupakan acara makan bersama kedua pengantin bersama sanak keluarga terdekat. Acara ini diadakan di rumah kedua pengantin. Namun jika pengantin baru tersebut belum memiliki rumah, maka akan diadakan dirumah orang tua pengantin laki-laki (tetapi di daerah Langkat, acara mukul ini diselenggarakan dirumah pengantin perempuan). Acara ini dilaksanakan sebagai upacara mukul atau persada tendi (mempersatukan roh) antara kedua suami istri baru tersebut. Untuk acara

(43)

tersebut pihak Kalimbubu Singalo Bere-Bere (saudara laki-laki dari pihak ibu dan keluarganya) membawa Manuk Sangkep berikut sebutir telur ayam.Kemudian pihak Anak Beru (saudara perempuan dari pihak ayah dan keluarganya) pengantin membuat dan mempersiapkan Manuk Sangkep itu hingga dapat disajikan.

Bahan-bahan yang dipersiapkan oleh Kalimbubu tersebut adalah:

a. Beras meciho (beras putih dan bersih) : 1 tumba (2 liter)

b. Manuk Megersing (ayam yang berwarna coklat keemasan): 1 ekor

c. Tinaruh manuk mbentar (telur dari ayam yang berwarna putih) : 1 butir (biasanya dipersiapkan oleh ibu pengantin perempuan)

d. Pinggan pasu (piring besar khas Karo): 1 buah e. Uis arinteneng untuk menjadi alas pinggan pasu f. Amak cur (tikar putih yang terbuat dari bengkuang) g. Peralatan untuk makan secukupnya.

Acara mukul ini diawali dengan kedatangan kedua pengantin dan rombongan dari rumahnya menuju rumah orangtua pengantin perempuan.

Sesampai di depan pintu rumah orangtua pengantin perempuan, kedua pengantin berhenti sejenak untuk itepungtawari dengan ngamburken beras meciho (melemparkan beras putih) kepada kedua pengantin. Sanak saudara yang hadir akan ralep-alep ras ndehile (bersorak-sorak) ketika nepung wari (melempar beras) ini. Kemudian pihak Kalimbubu akan memberi petuah atau berkat (pasu-pasu): " Enda amburi kami kam alu beras meciho, maka piher pe beras enda, piherenlah tendi ndu duana ". (Ini kami hamburkan/ tuangi kalian dengan beras putih bening, agar sama seperti beras yang kuat dan bersih ini,

(44)

maka Roh kalian berdua juga kuat dan murni (bersih).Setelah itu mereka dapat masuk kerumah dan dilanjutkan dengan acara suap-suapan antara kedua pengantin di dalam kamar dengan ditemani 2 atau 3 orang keluarga.Biasanya yang menemani itu adalah perempuan, bisa saja bibi, ibu atau mami (istri paman dari pihak ibu) pengantin yang dianggap sudah mewakili Sangkep Nggeluh (sanak saudara).(Bangun, 1986 : 40)

Kedua pengantin di suruh duduk di atas tikar putih (amak cur) kemudian dipakaikan pakaian adat. Pengantin pria (si empo) ibulangi=

dipakaikan bulang-bulang (kain khusus untuk laki-laki yang dipakaikan di kepala) dan pengantin perempuan (si sereh) itudungi=dipakaikan tudung (dipakaikan di kepala perempuan). Kemudian bibi pengantin kemudian memberi sekepal nasi ke masing-masing pengantin dan si suami menyuapkan nasi yang ditangannya ke mulut istrinya, lalu diikuti si istri menyuapkan nasi yang ditangannya ke mulut suaminya. Ketika menyuapi nasi itu, mereka akan berkata “ Enda dahupken nakan pukulen enda gelah pagi perjabunta pe bagi nakan pukulen enda, la nggit sirang.” ( Ini, makanlah nasi yang sudah dikepal ini agar pernikahan kita sama seperti nasi yang telah dikepal ini, erat dan tidak dapat terpisahkan). Nasi yang dikepal tersebut diambil dari masakan Manuk Sangkep yang telah disediakan sebelumnya dan diberikan juga kepada bibi, ibu atau mami yang menemani di kamar itu.Setelah pengantin selesai mukul, barulah kemudian sanak saudara makan bersama.

Pada zaman dulu, biasanya ada seorang tetua (guru) yang diikutsertakan untuk melakukan Ngoge gerek-gereken.Makanan Manuk Sangkep dan telur sebutir untuk kedua pengantin tersebut dilihat

(45)

maknanya.Biasanya guru tersebut meramalkan masa depan kedua suami istri yang baru tersebut. Bahkan biasanya ada pula guru perkatika yang menentukan saat yang baik untuk menikah sebelum acara pernikahan dilakukan. Dulu, semua upacara adat Karo seperti proses melamar, membayar utang adat kepadaKalimbubu menggunakan semua sarana-sarana perlengkapan adat misalnyaseperti belo bujur(sirih) yang diletakkan diataspinggan pasu dan uis arinteneng yang berada diatas amak cur. Belo bujur ini mengandung arti berkat Tuhan/ supaya diberkati Tuhan dan uis arinteneng tersebut memiliki arti agar roh-roh menjadi tenang.Adat Karo yang seperti ini sudah ada sejak dahulu kala atau setidaknya jauh sebelum Injil memasuki wilayah Karo.Namun sejak Injil masuk ke masyarakat Karo, acara

“Ngoge gerek-gereken” yang dilaksanakan untuk melihat nasib kedua pengantin tersebut sudah ditiadakan dan tidak dibutuhkan lagi.

2. Runggun Sangkep Nggeluh

Runggun Sangkep Nggeluh dilakukan setelah selesai makan bersama.Isi percakapan dalam acara ini adalah berupa petuah dan kata- kata peneguhan bagi keluarga baru tersebut.dalam acara ini pihak Kalimbubu singalo bere-bere memberi pedah-pedah (nasihat dan petuah yang menguatkan).

` 3.Ngobah tutur

Ngobah tutur merupakan acara perkenalan yang dituntun oleh tetua ataupun orang yang lebih tua (namun biasanya adalah anak beru, kalimbubu atau bibi-nya). Pengantin perempuan (si sereh) akan diajak berkeliling mendatangi dan berkenalan dengan sanak saudara dan keluarga

(46)

dekat suaminya dengan membawa Belo pengobah tutur (sirih dan perlengkapannya) untuk dibagikan kepada bibi, ibu, nenek atau mami suaminya kendati si sereh itu bukan orang yang suka memakan sirih.

Demikian juga dengan si empo.Iadiperkenalkan untuk mengenal mama (paman istrinya dari pihak ibu), bengkila (paman istrinya dari pihak ayah) dan bulang (kakek) istrinya dengan membawa, menawarkan dan membagikan rokok kepada mereka kendati si empo itu tidak merokok.

Hal ini bertujuan agar pengantin yang baru menikah itu nantinya mengenal keluarga barunya dan juga untuk mengubah posisi hubungan keluarga akibat perkawinan tersebut.(Sebab biasanya di dalam adat Karo, setiap orang itu/ sesama orang Karo adalah saudara dan keluarga.Ada kemungkinan mami si empo adalah bibi jauh dari si sereh.Namun ketika sudah menikah, si sereh tersebut harus mengubah tutur-nya menjadi memanggil mami juga meski sebelumnya ia memanggil bibi). Hal ini yang ingin diluruskan melalui acara Ngobah tutur tersebut. Sehingga kelak tidak akan ada kesalahpahaman, salah menyebut dan salah kedudukannya di dalam adat.Setelah acara ini, maka pengantin sudah diperbolehkan untuk memasuki kamar. (Bangun, 1986 : 45)

2.3.4 Bentuk Keluarga Pada Suku Karo

Kekerabatan bisa dihubungkan dengan aspek budaya, agama, politik, dan lain sebagainya.Hubungan dan kedudukan antar anggota dalam organisasi sosial dapat dilihat dari kekerabatannya.Kita mengenal sistem kekerabatan matrilineal, patrilineal, dan bilateral.Matrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis dari ibu, sedangkan patrilineal dari

(47)

ayah.Bilateral adalah sistem kekerabatan yang menarik garis dari kedua belah pihak.

Adanya sistem kekerabatan dimulai dari perkembangan evolusi manusia yang awalnya hanya kawanan yang hidup tanpa ikatan.Perkembangan kemampuan berpikir juga membuat manusia menyadari bagaimana dia bisa berada di dunia, yaitu hasil dari perkawinan orang tuanya.Lalu dia menyadari kalau orang tuanya adalah hasil dari perkawinan generasi diatasnya lagi. Semenjak itulah mulai dikenal sistem kekerabatan, peristilahan bagi ayah, ibu, kakek, nenek, paman, bibi, sepupu dan lain sebagainya dalam banyak budaya di dunia.begitu juga masyarakat Karo yang mengenal sistem kekerabatan dengan sebutan Rakut Sitelu. Masyarakat Karo menganut sistem kekerabatan patrilineal, yang menarik garis keturunan dari pihak ayah. Otomatis marga orang Karo diturunkan dari ayah.Rakut SiteluRakut ( ikatan ) dan sitelu ( tiga ), maka secara bahasa berarti ikatan yang tiga, mengartikan bahwa orang Karo tidak lepas dari keluarganya. Ada juga yang menyebutnya Sangkep Nggeluh ( kelengkapan hidup ), ada juga Daliken Sitelu. Daliken ( tungku ) dan sitelu ( tiga ) , mengartikan bahwa orang Karo juga tidak lepas dari yang namanya keluarga.

(https//www.kekerabatanmashyarakatkaro.com)

(48)

BAB III

PERBANDINGAN PERFORMANCE PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN PADA MASYARAKAT SUKU KARO

3.1 Performance Perkawinan Jepang

3.1.1 Waktu dan Tempat

Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jepang memprediksikan Tai Yan atau hari baik untuk pelaksanaan prosesi pernikahan.Hari yang paling jelek adalah Futsumatsu.

Untuk memilih tanggal upacara pernikahan biasanya tidak ada acara khusus atau aturan tetapi mereka menghindari pertengahan musim panas pada awal atau akhir tahun karena tidak terlalu baik orang-orang untuk menghadiri acara tersebut.Pada umumnya mereka memilih musim semi dan musim gugur yang merupakan musim yang baik untuk mengadakan upacara pernikahan.Tetapi bagi sebagian orang memilih ketidak beruntungannya untuk memudahkan pemesanan tempat upacara perkawinan dilaksanakan.Pernikahan ala Shinto bersifat pribadi sehingga hanya sedikit tamu undangan yang hadir dalam prosesi pernikahan.Tamu biasanya terdiri dari keluarga serta kerabat dekat kedua mempelai.

Durasi rangkaian pernikahan Jepang hanya memakan waktu 2-3 jam.Dewasa ini banyak orang Jepang yang menyelenggarakan perkawinan dalam satu resepse besar di Kekkon shikijo atau suatu tempat yang tata khusus untuk resepsi pernikahan termasuk penyewaan pakaian, fasilitas

(49)

fotografi, hadiah untuk para tamu dan yang lainnya.Suasana resepsi tersedia di berbagai ryotei atau rumah makan tradisional Jepang yang memberikan fasilitas khusus untuk berbagai pelayanan makanan berbagai resepsi.

3.1.2 Audience

Dalam pernikahan Shinto sangat bersifat pribadi dan hanya dihadiri oleh kerabat keluarga inti.Dalam perkawinan Jepang biasanya yang diundang adalah teman kerja, surpervisor, dan kolega.Biasanya guru atau atasan dianggap tamu kehormatan atau disegani.Tamu-tamu hanya diundang saat resepsi.Kemudian resepsi dilanjutkan acara pejamuan makan malam yang dihadiri oleh kerabat kerabat dan kedua keluarga.

Karena tempat upacara perkawinan yang relatif kecil, bukan berarti membedakan seberapa dekat hubungan sang tamu dengan keluarga kedua mempelai.

3.1.3 Teks

Umumnya, pernikahan adalah momen sakral dan terjadi satu / dalam hidup sehingga pernikahan diselenggarakan dengan persiapan yang rumit dan panjang.Upacara perkawinan Jepang pada umumnya melaksanakan ritual Shinto di kuil yang dipimpin oleh pendeta shinto.

Karena upacara pernikahan dengan cara Shinto adalah upacara yang tertutup dan hanya di hadiri oleh kerabat dekat saja. Biasanya acara yang berlangsung adalah mengucapkan janji pernikahan di depan pendeta dan di depan keluarga dekat. Setelah itu keluarga atau kerabat dekat

(50)

akanmenyampaian ucapan selamat dan kata-kata nasihat dan tuntunan hidup berumah tangga.

Penyampaian kata-kata setelah dipimpin oleh pendeta Shinto, pengantin akan membacakan sumpah pernikahan kemudian ucapan terimakasih pada tamu yang bersedia hadir.

Adapun teks pada upacara perkawinan di Jepang berkaitan dengan kalimat, kata-kata ataupun nasihat yang umumnya selalu di ucapkan dalam pelaksanaan upacara perkawinan yang dibimbing oleh pendeta.Teks paling utama dalam perkawinan adalah ikrar perkawinan yang dalam perkawinan masyarakat Jepang secara Shinto disebut sumpah sojo.Biasanya sumpah pengantin ini dibacakan oleh kedua mempelai secara bersama-sama.

“本日、皆様のお立会いのもと、新郎である私、鈴木明夫と 新婦である私、和子はこれから幸せや喜びだけでなく苦しみも悲し みもすべて二人で分かち合い、明るく温かい家庭を築いていくこと をここに誓います。平成、年。つき。日鈴木明夫和子“

Selanjutnya setelah sumpah sojo, orang tua akan menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang hadir serta mengucapkan harapan hidup baik kepada pengantin Shinto.

Pidato orang tua pengantin adalah sebagai berikut:

本日はご多用のところ、そのように多くの方々にご臨席を賜 り、心よりお礼申し上げます。山田ご夫婦には、新郎深部のたって

(51)

の希望によりご媒酌の労をお取いただき、厚く感謝申し上げます。

また、皆様方よりの温かいご祝辞は、両名にとってこの上ないはな むけとなったことと思います。皆様方のようなすばらしい人達に囲 まれた二人は、本当に幸せなことだと思います。しかしながら、両 名はまだまだ若輩者です。今後とも、両名にご指導ご鞭撻をいただ きますようお願い申し上げる次第です。本日は不行き届きの点も 多々ございましたでしょうが、なにとぞお許しを願いまして、私の ご挨拶といたします.まことにありがとうございます。

“ Hari ini, di tempat yang sering digunakan, saya ingin mengucapkan terimakasih darihati saya atas kehadiran begitu banyak orang. Sebagai ayah pengantin pasangan Yamada, saya ingin mengucapkan terimakasih karena melalui jasa perjodohan sudah menjalani hubungan dengan harapan yang sungguh-sungguh.Selai itu, terimakasih atas ucapan hangat yang anda berikan, saya pikir itu adalah hadiah yang paling indah.Dua orang seperti kami dikelilingi oleh orang- orang hebat seperti anda sekalian adalah sebuah kebanggaan bagi kami.

Namun mereka adalah pasangan yang masih muda, kami meminta dan menerima bimbingan dan dorongan dari anda sekalian di masa depan nanti. Sekian ucapan dari saya, jika ada kelalaian saya harap untuk dimaafkan.Saya sungguh-sungguh berterimakasih atas perhatiannya.”

Kemudian akan ada ucapan mewakili kerabat atau tamu yang hadir.

Referensi

Dokumen terkait

15 Berdasarkan identifikasi masalah diatas yang sudah dijabarkan, maka untuk lebih efektif dan efisien, peneliti membatasi permasalahan yang akan kita bahas dalam

Rapat tim audit Ketua tim Audit internal Tim audit Program kegiatan mutu UKM Program mutu klinis A Penilaian kinerja pelayanan klinis Penyusunan indikator pelayanan

Dari tabel 3 diatas dapat terlihat bahwa hasil signifikansinya sebesar 0,039 < 0,05 yang berarti secara simultan variabel independen yaitu volume perdagangan,

Dari hasil pengujian hipotesis menujukkan bahwa pengaruh perilaku konsumen terhadap keputusan konsumen dalam membeli produk pada Unit Toserba Koperasi Keluarga

Peran pemerintah dalam menciptakan disiplin pada masyarakat Jepang adalah membangun infrastruktur dan membuat peraturan, peran sekolah adalah mengajarkan anak-anak disiplin sejak

Terkait adanya budaya bersih bagi Masyarakat Jepang merupakan hal menarik, karena negara Jepang salah satu negara yang menjunjung tinggi nilai kebersihan dan

Dari gambar 2.5., yang merupakan hasil penilitian tahunan yang didapat dari Menteri Ekonomi dan Industri Jepang, dapat dilihat bahwa jumlah penjualan.. kosmetik pria terus

Dalam masyarakat Jepang banzai sering diucapkan dalam memenangkan turnamen olahraga dengan bersorak sebanyak tiga kali, untuk menigkatkan rasa persatuan.Banzai tidak