• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Metode Penelitian

2.1.3 Setelah Perkawinan

Setelah upacara Perkawinan kegaiatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jepang adalah upacara minum sake bersama dengan tujuan saling berkenalan dengan keluarga besar. Di Jepang ada beberapa pilihan yang akan diputuskan oleh pasangan pengantin, antara lain apakah mereka harus tinggal dirumah orang tua pengantin laki-laki atau disekitar kediaman kaum kerabat suami atau mungkin tinggal sendiri. Di daerah pedesaan Jepang, masih umum diharapkan bahwa pengantin perempuan akan masuk kedalam rumah tangga suaminya. Namun lama-kelamaan terlihat tanda-tanda perubahan posisi pasangan baru sebagai keluarga inti yang mandiri.

Di daerah perkotaaan Jepang, pasangan baru lebih suka hidup terpisah dari orag tua mereka. Tetapi secara keseluruhan, kecendrungan untuk membangun rumah sendiri setelah menikah belumlah sepenuhnya merupakan cara hidup yang mapan. Orang mengganggap wajar bila pasanganbaru tetap tinggal dengan orang tuanya apalagi di daerah pedesaaan, dengan tujuan kelanjutan generasi Ie.(Https://www.google/japanidocuteculture.com)

2.2 Bentuk Keluarga Jepang

2.2.1 Kazoku

Menurut (Situmorang 2006:22) Kazoku adalah general konsep tentang keluarga dalam masyarakat Jepang.Dalam konsep umum yang dimaksud dengan Kazoku adalah hubungan suami isteri, hubungan orang tua dan anak, dan akhirnya diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut dan struktur keluarga berbeda pada masing-masing masyarakat budaya.

Dasar dari Kazoku adalah pernikahan.Dengan adanya pernikahan melahirkan hubungan darah dan hubungan bukan darah.Hubungan darah dapat dibagi atas hubungan vertikal dan horizontal.Hubungan vertikal misalnya hubungan antara kakek, ayah, diri sendiri, anak dan cucu.Sedangkan hubungan horizontal maksudnya hubungan antara diri sendiri dengan saudara laki-laki atau saudara perempuan atau juga dengan sepupu.Dengan adanya pernikahan ini pula melahirkan hubungan keluarga Inzoku, yaitu pihak keluarga isteri.Memang tidak ada hubungan darah dengan diri sendiri tetapi ada hubungan keluarga melalui pernikahan.

Hubungan keluarga yang dibentuk atas hubungan darah secara langsung seperti hubungan vertikal dan hubungan horizontal tersebut di atas disebut Shinru, sedangkan hubungan dengan sepupu atau kemenakan disebut Enru dan hubungan keluarga melalui pernikahan disebut Enja.

Selain itu, (Situmorang 2006:22) mengatakan jenis-jenis Kazoku adalah keluarga inti (nuclear family), keluarga poligami (polygami family),

dan keluarga luas (extende family).Jadi yang dimaksud dengan Kazoku adalah kelompok yang terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah.Adapun dasar pembentukannya adalah hubungan suami isteri.

Kazoku merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan, dari Kazoku inilah akan lahir sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie.

2.2.2 Ie

Menurut kamus besar Bahasa Jepang, Ie adalah bangunan tempat tinggal keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak. Kata Ie ini dimana huruf ( I ) berfungsi sebagai imbuhan dan huruf ( e ) berarti ro, yaitu tungku perapian sebagai alat memasak yang biasanya diletakkan ditengah-tengah rumah dan tungku ini merupakan simbol tempat berkumpulnya anggota keluarga untuk makan bersama-sama.

Menurut Kizaemon dalam (Situmorang 2000:46-47), Ie adalah suatu jenis keluarga khas Jepang yang anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi, meliputi anggota yang masih hidup dan mati.Di dalam keluarga tersebut diusahakan melanjutkan simbol-simbol keluarga dan menjalankan usaha keluarga. Di samping itu ada pendapat yang dikemukakan oleh Nakane dalam (Oktarina 2002:7), bahwa Ie dapat dikatakan sebagai kelompok yang tinggal bersama di bawah satu atap dan makan dari makanan yang di masak dari dandang yang sama.

Keluarga Ie adalah bentuk keluarga luas yang mengikuti satu garis keturunan ayah. Perbedaan yang paling utama antara Kazoku dengan keluarga Ie adalah bahwa Kazoku dapat berakhir karena kematian suami atau isteri atau karena perceraian, jadi keberadaan Kazoku adalah satu generasi. Sedangkan Ie terbentuk minimal dua generasi, karenanya Ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak suami atau isteri dalam keluarga tersebut (Situmorang, 2006:22).

Dari pendapat di atas jelaslah bahwa Ie bukan hanya adanya ikatan tali darah saja tetapi lebih ditekankan kepada kelompok yang menyelenggarakan kehidupan bersama, baik dalam sosial maupun ekonomi.Ie juga tidak mengacu kepada anggota keluarga yang masih hidup, tetapi leluhur atau nenek moyang mereka juga merupakan suatu kesatuan yang mengikat antara masa lalu mereka dan sampai masa sekarang.Oleh karena itu, terdapat suatu ikatan yang berkesinambungan antara orang-orang yang masih hidup dengan para leluhur mereka.

Dalam sebuah Ie, adanya perkawinan tidak dengan sendirinya akan membentuk Ie baru tetapi lebih merupakan masuknya anggota baru yaitu pengantin perempuan ke dalam sebuah keluarga lain yaitu keluarga suami (Dilla,2004:16).

Selanjutnya Dilla (2004:16) juga menjelaskan keluarga tradisional Jepang biasanya terdiri dari tiga generasi, yaitu anak yang akan mewarisi Ie, orang tua, serta kakek dan nenek yang semuanya hidup di bawah

naungan atap yang sama dan menjalankan kehidupan sosial dan ekonomi bersama-sama.

Apabila keluarga Ie tidak mempunyai anak yang dapat meneruskan kesinambungan Ie, maka Ie dapat dilanjutkan oleh orang-orang yang bekerja (hokonin) di dalam Ie yang telah dipercaya walaupun tidak mempunyai hubungan darah dengan kepala keluarga.

Dilla (2004:18) juga menerangkan bahwa dalam struktur sosial Ie, yang memegang kekuasaan terbesar adalah ayah sebagai kepala keluarga (kacho).Kepala keluarga memegang peranan penting dalam penyelenggaraan kehidupan.Oleh karena itu, ayah haruslah dihormati dan ditaati oleh anggota keluarganya. Anggota-anggota keluarga yang lain harus menjalankan tugas masing-masing di bawah pengawasan kepala keluarga.

2.3 Perkawinan pada Masyarakat Karo

Indonesia terkenal dengan keragaman suku dan budayanya.Tiap-tiap daerah memiliki tata cara dalam menjalankan adat istiadat yang berbeda-beda. Terutama dalam hal prosesi perkawinan. Seperti pada Suku Karo, dimana suku ini memiliki tata cara prosesi perkawinan yang tergolong unik.

Salah satu adat istiadat suku Karo yang memiliki keunikan sebagaimana dengan suku bangsa lain yang ada di Indonesia adalah adat perkawinan .Perkawinan merupakan sesuatu yang dianggap sakral oleh

semua suku bangsa khususnya di Indonesia.Begitu juga dengan suku Karo berpandangan perkawinan dianggap sah apabila telah sesuai dengan ketentuan agama dan juga adat istiadat Karo.Pasangan suami /istri yang telah menikah menurut ajaran agama yang mereka anut, namun belum melakukan pernikahan menurut tradisi adat istiadat Karo dianggap belum sah dan tetap memiliki kewajiban membayar utang adat.

Pada dasarnya adat perkawinan suku Batak Karo mengandung nilai sakral. Dikatakan sakral dalam pemahaman adat Batak Karo bermakna pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan (pihak sinereh), karena ia memberikan anak perempuannya kepada orang lain pihak pengantin laki-laki (pihak sipempoken), sehingga pihak laki-laki-laki-laki juga harus menghargainya dengan menanggung semua biaya acara adat dan makanan adat. Perkawinan marupakan suatu upacara di mana mempersatukan seorang laki-laki dengan perempuan atau dipersatukanya dua sifat keluarga yang berbeda melalui hukum.

Dalam adat perkawinan batak Karo akan terjadi tindak tutur antara pihak anak beru laki-laki (pihak penerima istri) dengan pihak anak beru perempuan (pihak pemberi istri), kemudian dilakukan pertuturan antara anak beru laki-laki dengan kalimbubunya (pihak penerima istri), begitu juga antara anak beru perempuan dengan kalimbubunya (pihak pemberi istri). Anak beru disini berfungsi sebagai penyambung lidah antara kepentingan dua kelompok keluarga, yaitu keluarga pengantin perempuan dan pengantin laki-laki.

Dengan demikian, perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita, termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para leluhurnnya.Pada perkawinan yang sesuai dengan adat (arah adat) dahulu biasanya peranan orang tua yang dominan.Artinya bahwa pihak orang tualah yang mengusahakan agar perkawinan itu dapat berlangsung, mulai dari perkenalan calon mepelai (petandaken), meminang (maba belo selambar), nganting manuk dan pesta adat (kerja adat). (Bangun, 1986 : 22)

Sifat perkawinan dalam masyarakat suku Karo adalah eksogami artinya harus menikah atau mendapat jodoh diluar marganya (klan).

Bentuk perkawinannya adalah jujur yaitu dengan pemberian jujuran (mas kawin) yang bersifat religio magis kepada pihak perempuan menyebabkan perempuan keluar dari klannya dan pindah ke dalam klan suaminya.

Perkawinan diantara semarga dilarang dan dianggap sumbang (incest), perkawinan eksogami tidak sepenuhnya berlaku pada masyarakat Karo, khususnya untuk Marga Sembiring dan Perangin-angin. Sebab, walaupun bentuk perkawinannya jujur tapi sistem perkawinannya adalah eleutherogami terbatas yaitu seorang dari marga tertentu pada Marga Sembiring dan Perangin-angin diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari marga yang sama asal klannya berbeda.

Perkawinan semarga yang terjadi dalam klan Sembiring terjadi karena dipengaruhi faktor agama, faktor ekonomi dan faktor budaya.

Pelaksanaan perkawinan semarga dinyatakan sah apabila telah melewati tahap Maba Belo Selambar (pelamaran), Nganting Manuk (musyawah

untuk membicarakan hal-hal yang mendetil mengenai perkawinan), Kerja Nereh i Empo (pelaksanaan perkawinan), dan Mukul (sebagai syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum adat Karo). Akibat hukum dari perkawinan semarga adalah sama seperti perkawinan pada umumnya apabila telah dilakukan sesuai dengan agama, adat, dan peraturan yang berlaku.

Larangan perkawinan yang dilangsungkan diantara orang-orang yang semarga dimaksudkan untuk menjaga kemurnian keturunan berdasarkan sistem kekerabatan pada masyarakat Karo.Karena nilai budaya Karo sangat tinggi pengaruhnya dalam budaya Batak Karo dalam mewujudkan kehidupan yang lebih maju, damai, aman, tertib, adil, dan sejahtera. (Bangun, 1986 : 23)

Sanksi bagi yang melakukan perkawinan semerga (sumbang) adalah :diusir dari tempat tinggal mereka, dikucilkan di masyarakat adat, dikucilkan dan diusir oleh keluarga, dan dimandikan di depan umum (dalam bahasa Karo disebut ‘i peridi i tiga’).

2.3.1 Sebelum Upacara

Dalam suku Karo perjodohan tidak dipaksakan.Pada zaman sekarang ini banyak masyarakat yang menikah yang didasari dengan dasar cinta.Sebagai puncak dari rangkaian upacara perkawinan ialah perlaksanaan perkawinan itu sendiri.Hari pelaksanaan perkawinan dilakukan pada hari yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama yang diputuskan pada waktu “Maba Belo Selambar”.

Biasanya kalau hari pelaksanaan tinggal satu atau dua minggu lagi, maka kekerabatan dari kedua belah pihak mulai sibuk, terutama sekali kelihatan pada pihak pria.Bagi keluarga wanita kesibukan yang nyata ialah mempersiakan pakaian pengantin wanita yang sepantas-pantasnya.Mempersiapkan undangan untuk disampaikan secara langsung kepada pamili dekat atau jauh tanpa ada yang ketinggalan.Dan disampaikan dengan lisan di rumah pamili.(Bangun, 1986 : 32)

Pihak anak beru dan saudara-saudaranya selalu ikut dalam mengadakan pertemuan membicarakan hal-hal yang dianggap perlu dalam hal kecil-kecilnya.Kalimbubu dan puang Kalimbubu (“Singalo bere-bere”

dan Singalo perkempun” serta singalo peminin”) juga diajak dalam pertemuan ini supaya tidak ditemui hambatan-hambatan nanti pada hari pelaksanaan perkawinan.Pada zaman dahulu “luah” atau kado sangat diusahakan oleh Kalimbubu dan Puang.Tapi pada zaman sekarang “Luah”

hanya sebagai sarana untuk hanya pantas dilihat orang banyak.Dan yang membelikan “Luah”pun adalah pihak keluarga pria, sedangkan pihak Kalimbubu “hanya” menyerahkan pada upacara perkakawinan. Pakaian (rose) juga disiapkan sejak dini agar nanti sudah siap dipakai. Pihak pria lah yang menyiapkan penyelenggaraan upacara pelaksanaan perkawinan.Mulai dari segala keperluan makanan, sehingga sejak dua minggu sebelum waktunya sudah dijemur padi dan ditumbuk. Membeli lembu yang sehat dengan ukuran tidak boleh kurang dari ketentuan “jukut 7 ayan” dan menjelang upacaara telah ditambatkan didekat tanah lapang

tempat upacara perkawinan sehingga dapat dilihat orang banyak, benar tidak ukuran lembu menurut ketentuan.

Disini peranan “anak beru tua” cukup dominan, karena ia sebagai koordinator segala kegiatan. Seperti mempersiapkan tenda “Lape-Lape”

terdiri dari puluhan daun kepala untuk memanyungi antara 750-1000 tamu.

Juga hiasan tenda, biasanya bentuk tenda adalah U. untuk pengadaan isi kampil “ seperti Sirih, Gambir, Kapur, Pinang, Tembakau, dan Daun Rokok adalah menjadi tugas Anak Beru. Sedangkan pada waktu acara perkawinan anak beru tugasnya menyiapkan bumbu dapur, bumbu gulai pendamping daging sapi. Gulai juga harus sudah masak 2 jam sebelum acara agar masih dalam keadaan panas.

Selain itu juga disiapkan uang recehan bagi upacara penyerahan uang mahar dan simecur. Termasuk juga menyiapkan kain “Uis Arinteneng” , piring putih (pinggan mentar) dengan beras serta kapur sirih dan amak ucur sebagai alas uang hantaran dari pihak pria kepada pihak wanita. Demikian juga diasiapkan Amak Belang ( tikar lebar) tempat duduk para hadirin, Amak Ucur ( tikar kecil). Cara mengundang “kade-kade” (pamili) tidak dikoordinir oleh anak beru tua. Untuk pamili yang dikampung tidak boleh dengan surat, tapi harus didatangi kerumahnya satu persatu.(Bangun, 1986: 33-35)

Ada lagi satu ketentuan dimana undanga kepada kerabat tertentu seperti Kalimbubu Singalo Ulu Emas, Kalimbubu” dan “Puang Kalimbubu”

tidak boleh Anak Beru menyampaikannya, tapi harus sukut siempo dan saudara kandung datang menyampaikan undangan.

Dalam pelaksanaan upacara ini terutama dalam hal menyiapkan minuman, piring (zaman dulu makan di atas daun pisang), di dapur dan pekerjaan untuk makan dibantu sepenuhnya oleh muda-mudi “serayaan”.

Mulai dari jam 8 pagi rombongan penggantin pria dan wanita telah mengenakan pakaian “rose” berangkat dari rumah masing-masing ke tanah lapang tempat upacara. Tempat duduk mereka adalah di tempat yang sudah ditentukan masing-masing menurut kelompok kekerabatan Daliken si Telu (jadi tidak seperti kebanyakan upacara perkawinan zaman kini dimana kedua penggantin sudah duduk berdampingan dalam kursi).

2.3.2 Upacara Perkawinan

Untuk menyambut tamu-tamu yang akan hadir, maka masing-masing pihak menyediakan pasukannya dengan memakai pakaian adat.

Mereka dari kedua pihak berdiri di kiri kanan, termasuk sebagai penyambut adalah masing-masing kedua orang tua penggantin.Kalau yang datang tamu dari pihak wanita, maka penyambut barisan wanita penyongsongnya dan sekaligus seorang atau dua orang menggantar ke tempat duduk posisinya.Demikian juga kalau tamu dari pihak pria, barisan pria yang menyambutnya dan menggantar ketempat yang sudah ditentukan.Begitu tamu duduk ditikar, secepat itu pula “anak beru cekuh baka” memberikan daun Nipah / Rokok kepada laki-laki dan Sirih + Kapur + Gambir + Tembakau + Pinang kepada tamu perempuan.Dalam

tarap ini para penyambut tamu anak beru cekuh baka harus sigap.Anak beru tua juga harus mengawasi dapur ketika sudah beres anak beru mengumumkan bahwa acara makan segera dimulai supaya persiapan duduk dengan teratur agar mudah membagi nasi, gulai dan minuman.Makanan dibagi dulu ke pihak keluarga wanita. Juga dibagikan pernakan kitik ( tempat nasi yang kecil terdiri dari pandan halus) berisi nasi dan sayur kepada pihak kalimbubu yang dianggap berhak, termasuk penghulu kampung ( dan orang luar terhormat kebetulan hadir, dukun besar, pesilat nama). Disini kembali anak beru tua memberi arahan kepada anak-anak buahnya agar cekatan melakukan tugasnya jangan sampai yang ada pamili yang kekurangan nasi, gulai, dan minuman.

Setelah sampai makanan dihadapan tamu, dipersilahkan makan.

Lalu tiba giliran kelompok undangan pihak pria dibagikan makanan dan terus makan ( dimasa sekarang sebagian besar masyarakat suku Karo sudah memeluk agama, maka sebelum acara pembagian makan, lebih dulu berdoa menurut agama yang ditentukan sesuai situasi dan kondisi). Acara makan menurut adat Karo, harus musyawarah dulu baru mulai makan lalu dilanjut kan dengan acara penyerahan “Luah” kado dan pemberian amanat dan petuah-petuah. (prinst,2004 : 35)

Anak beru lalu mempersiapkan prasarana untuk runggu (musyawarah) seperti Kampil, Tikar dan lain-lain.Tempat musyawarah adalah di tengah-tengah pertemuan. Masing-masing pihak terdiri dari anak beru tua dengan juru bicaranya, Sukut, Senina Silako Rungu serta rombongan masing-masing pihak yaitu 6 orang dari pihak wanita, 5 orang

dari pihak pria juga hadir di dekat para perunding masing-masing pihak.

Para pendamping dengan tugas masing-masing pun ikut disitu, termasuk yang menyediakan uang-uang hantaran.Para undangan yang tidak ikut dalam musyawarah biasanya dengan tenang mendengarkan pembicaraan pada perunding, sebab masing-masing pihak tertentu ingin tahu atau menjaga agar pihak mereka jangan sampai dirugikan oleh pihak terutama dalam uang hantaran.Minimal harus tidak berobah dari kesepakatan bersama pada waktu “Maba Manok” tadi malam atau beberapa waktu yang lampau.

Sebelum diadakan musyawarah, oleh juru bicara disampaikan 5 buah kampil dengan segala isinya kepada juru bicara anak beru wanita dan meneruskan kepada:

1. Sukut Sinereh 2. Singalo Bere-Bere 3. Singalo Perkempun 4. Senina

5. Anak Beru

Setelah Rokok di isap, Sirih dimakan, Kampil dikembalikan ketempat asalnya.Dengan demikian pembicaraan dapat dimulai.Pihak anak beru menjelang permbicaran dengan suara mantap mengumumkan kepada Hadirin dan Kalimbubu bahwa pembicaran segera dimulai agar dimohon mendengar permuswararatan kita. Dalam musyawarah akbar ini apalagi para undangan sangat banyak, maka masing-masing jurubicara

mengerahkan keahliannya dalam berbicara dan berunding. Orang banyak bisa menilai tentang kwalitas jurubicara masing-masing. (prinst, 2004 36-39)

Memang kesepakatan bersama terutama mengenai uang mahar telah disepakati dalam acara “Maba Manok”, tapi karena pada waktu itu hadir terbatas saja, sedang dalam upacara ini hadir pamili dari segala pelosok, maka sering pembicaraan dimulai lagi dari a sampai z . Termasuklah disitu tentang niat pihak pria mengawini wanita bernama X.

Lalu X ditanya, dibujuk oleh “Mami”nya dan sekalian memberi upah berupa ‘Buat-Buaten” seperti sebidang lading/ sawah dan lain-lain. Harus mendetail, begitu juga mengenai uang hantaran bagi Tukor, Bere-Bere,Perkempun, Peminin, Perkembaren dan lain sebagainya. Demikian terus pembicarannya dilempar kesana kesini melalui Jurubicara dan Senina Silako Runggu kedua belah pihak. Upacara perkawinan ini juga pihak keluaraga pria mengengemukakan hasil-hasil kesepakatan kepada pihak wanita, agar pihak wanita menggoreksinya jika tidak ada yang berubah dari malam Maba Manok itu maka diumum kan diseluruh pamili.

Menjelang dilakukanya penyerahan uang hantaran “Pedalan Emas”, lebih dulu tampil Penghulu dan berbicara sampai bertanya kepada pengantin wanita. Isi uraiannya ialah tentang keawjiban sambil bertanya apakah sudah siap berumah tangga dan kalau sudah siap, akan dilaksanakan penyerahan uang Hantaran oleh pihak pria kepada semua keluarga pihak wanita. Sekalian uang Hantaran sudah berjalan, ditambah

nanti malam “Mukul” maka sudah syah sebagai suami istri dan tidak dapat menariknya atau membatalkannya. (prinst, 2004 : 36-39)

Atas uraian dan pernyataan Penghulu, maka diwajibkan oleh wanita bahwa ia siap berumah tangga, maka dimulailah upacara penyerahan uang Hantaran. Pada saat itu juga pihak kelompok penggantin pria menyediakan “Pinggan Pasu” (piring putih) beralaskan (Uis Arinteneng) dimana piring itu berisi :beras meciho, belo cawir, dan draham (bentuk uang emas aceh) pembayaran uang mahar dilakukan dalam bilangan ganjil apakah tiga kali atau lima kali, disesuaikan dengan permintaan pihak perempuan. Setiap penerimaan uang hantaran oleh Jurubicara pihak perempuan, maka segera menyerahkan kepada “Senina Silako Runggu” dan menyalurkan kepada pihak uang berhak menerimanya.Olehnya segera membagi-bagikannya pula kepada kelompok menurut kebiasaan yang lazim berlaku.

Upacara penyerahan uang hantaran ini harus disaksikan oleh penghulu kampung dan sekaligus pula mengesahkan perkawinan tersebut.Acara berikutnya pihak-pihak “Kemberahen” (istri-istri) dari kelompok pihak penggantin pria menjemput penggantin wanita dari tempatnya dipihak kelompok wanita.Biasanya disini para “Kemberahen”

bernyanyi dan menari menyambut acara menari, amka sebelum nya telah dirundingkan mengenai protokoler atau pihak yang menari duluan lalu menari.Ini sangat perlu agar jangan ada sampai berebutan menari.Hal ini bisa saja terjadi baik pada kelompok Kalimbubu maupun kelompok Sukut dan Senina.

kelompok wanita:

1. Sukut Sinereh sebagai “kata Pengalo-ngalo 2. Sembunyak

3. Senina 4. Sepermeren 5. Separibananen 6. Sipengalon

7. Teman Sejawet dan Penghulu

Pada umumnya pada setiap acara menari yang disertai oleh sukut sinereh yang anak berunya dan kedua penggantin, selalu ada yang memberi nasehat kepada kedua penggantin.Bagian terakhir menari pihak wanita ialah anak beru. Disini ada pun urutan menarinya mulai dari: Anak Beru Tua,Anak Beru Simbelin, Anak Beru Jabu, Anak BeruMenteri,Anak Beru Singkuri dan Anak Beru Pengapit. Tapi umunya karena masih banyak acara dan hari telah “Gumeling” (sekitar jam 14.00) maka Anak Beru gabung dalam sekali menari.Pada acara ini umunya “Sukut Sinereh”

menyampaikan ucapan terimakasih kepada anak berunya yang sejak lama telah bekerja keras siang samapi malam mmempersiapkan acara perkawinan.Pihak Anak Beru dalam pada itu mengatakan bahwa mereka mohon maaf karena kesanggupan memberikan bimbingan kepada kami dan seterusnya.

Acara berikut ialah giliran menari bagi dalam hal Penghulu.Diapun memberi bimbingan dan nasihat kepada kedua penggantin.Setelah itu

beralih acara menari pada kelompok “Sukut SIempo” pihak pria. Sama dengan tata urutan menari pada kelompok wanita, maka urutan menari adalah :

1. Sukut Siempo, Teman Sejawat dan Penghulu 2. Kalimbubu

3. Anak Beru

Berapa kali diadakan acara pada tiap acara menari bagi sukut siempo, Kalimbubu dan Anak Beru tidak jauh berbeda dengan kelompok wanita yang telah diuraikan lebih berbeda.Demikian juga dalam hal memberi nasehat kepada penggantin tergantung kepada pihak yang menari.Kalau semua unsur dari keakraban perpamilian sudah menari, maka secara formal upacara perkawinan sudah selesai. Ini biasanya

Berapa kali diadakan acara pada tiap acara menari bagi sukut siempo, Kalimbubu dan Anak Beru tidak jauh berbeda dengan kelompok wanita yang telah diuraikan lebih berbeda.Demikian juga dalam hal memberi nasehat kepada penggantin tergantung kepada pihak yang menari.Kalau semua unsur dari keakraban perpamilian sudah menari, maka secara formal upacara perkawinan sudah selesai. Ini biasanya

Dokumen terkait