JENIS-JENIS DAN FUNGSI KIMONO DALAM
MASYARAKAT JEPANG
NIHON SHAKAI NI OKERU KIMONO NO SHURUI TO
KINOU
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana
Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
Indah Sri Puspita 100708056
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan
segala nikmat dan kuasa-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul Jenis – Jenis dan Fungsi Kimono dalam Masyarakat Jepang “Nihon Shakai Ni Okeru Kimono No Shurui To Kinou”
ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada
Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih,
penghargaan, serta penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang
telah membantu penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen S-1
Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Amin Sihombing selaku Dosen Pembimbing I, yang
mana telah banyak menyediakan waktu ditengah banyaknya
kesibukannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S, Ph.D., selaku Dosen
5. Para Dosen Penguji Skripsi, yang mana telah menyediakan waktunya
untuk membaca dan menguji skripsi ini. Kemudian terima kasih pula
terhadap seluruh Dosen Pengajar Departemen S-1 Sastra Jepang
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan
dengan baik.
6. Ayah tercinta, Pusito yang selalu memberikan dukungan dan motivasi
untuk tetap mandiri kepada penulis, juga kepada ibu tersayang
(almh.) Sri Yulinarti, yang dari hasil merawat penulis hingga
menghembuskan nafas terakhir, ibu mengajarkan banyak hal dan
nilai-nilai kehidupan penting terutama tentang kepercayaannya dan
kasih sayang yang luar biasa terhadap penulis. Untuk adik-adik
tersayang, Prasetyo, Azri dan Raihana, juga terhadap seluruh
keluarga besar penulis yang sedikit banyak turut andil dalam
penyelesaian skripsi ini.
7. Teman yang selalu ada, membantu dan menemani dalam situasi dan
kondisi apapun selama berteman dengan penulis, Kak Ecy. Terima
kasih telah menjadi pendengar yang baik, kakak yang tegas. Semoga
kita selalu menjadi teman baik dan tetap jadi kakak untuk penulis
yang selalu memberikan berbagai dukungan, masukan dan kritik yang
membangun.
8. Kakak-kakak teman penulis yang selama ini secara tidak langsung
Mimi. Terima kasih atas sekian banyak waktu yang kita habiskan
bersama-sama.
9. Teman dekat penulis di Stambuk 2010, Liska, Echa, Savitri dan
Nurul. Semoga kita tetap berteman baik dimana pun nanti kita
akhirnya dan tetap saling mendukung dan menjalin pertemanan ini
seterusnya.
10.Untuk senior-senior Sastra Jepang yang secara tidak langsung telah
memberikan semangatnya agar penulis tetap semangat menyelesaikan
skripsi dengan baik: Kak Yulia, Kak Nisa, dan Kak Mita.
11.Dan yang terakhir untuk seluruh teman-teman penulis sesama
mahasiswa Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara Stambuk 2010,
yang selalu dengan semangat saling menguatkan untuk
menyelesaikan studi dan berbagi ilmu.
Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini,
termasuk dalam penulisan skripsi ini. Karena kesempurnaan hanya milik Allah
SWT. Namun penulis tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk hasil yang
maksimal.
Medan, Januari 2015
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……….i
DAFTAR ISI………..iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah………1
1.2.Rumusan Masalah……….5
1.3.Ruang Lingkup Pembahasan……….6
1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………..6
1.4.1. Tinjauan Pustaka……….6
1.4.2. Kerangka Teori………...8
1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian………...11
1.5.1.Tujuan Penelitian………...11
1.5.2. Manfaat Penelitian………....12
1.6.Metode Penelitian………....12
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KIMONO PADA MASYARAKAT JEPANG 2.1. Sejarah Kimono di Jepang………...14
2.1.1. Zaman Jomon dan Zaman Yayoi………..14
2.1.2. Zaman Kofun………15
2.1.3. Zaman Nara………...16
2.1.5. Zaman Kamakura………..17
2.1.6. Zaman Muromachi………18
2.1.7. Zaman Edo………19
2.1.8. Zaman Meiji………..20
2.1.9. Zaman Showa………21
2.2. Bahan Dasar Kimono………..22
2.2.1. Kain Sutera………22
2.2.2. Serat Kulit Pohon………..22
2.2.3. Katun……….23
BAB III JENIS-JENIS DAN FUNGSI KIMONO DALAM MASYARAKAT JEPANG 3.1. Jenis-Jenis Kimono………..24
3.1.1. Kimono Wanita……….24
3.1.2. Kimono Pria………..31
3.1.3. Kimono Khusus………33
3.2. Aksesoris Kimono………...39
3.2.1. Hakama………..39
3.2.2. Haneri………41
3.2.3. Jaket Kimono……….43
3.2.4. Hiyoku………...46
3.2.5. Juban………..47
3.2.6. Tabi………48
3.2.7. Alas Kaki………..49
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan………..69
4.2. Saran………71
Abstrak
JENIS-JENIS DAN FUNGSI KIMONO DALAM MASYARAKAT JEPANG
Masyarakat Jepang sangat peduli dengan budaya dan tradisi
peninggalan leluhur mereka. Walaupun Jepang sudah sangat maju dengan
berbagai teknologi, mereka selalu berusaha untuk hidup berdampingan dengan
lingkungan yang memiliki berbagai macam peninggalan budaya. Salah satu
budaya Jepang adalah pakaian tradisional yaitu kimono.
Kimono adalah pakaian tradisional Jepang yang berbentuk mantel, dengan
lengan panjang dan memiliki kerah. Kimono dikenakan oleh pria dan wanita.
Namun jenis kimono untuk wanita lebih banyak dibandingkan pria. Bentuk
kimono wanita seperti baju terusan dan bentuk kimono pria berbentuk seperti
setelan.
Ada beberapa macam jenis dari kimono. Pemakaian kimono disesuaikan
dengan fungsi dan keadaan. Seperti ketika melakukan kunjungan formal, wanita
mengenakan houmongi atau kimono untuk berkunjung. Dan mengenakan yukata
saat festival musim panas berlangsung.
Berdasarkan macam-macam kimono yang dikenakan, kimono dapat
menunjukkan usia pemakai, status perkawinan, dan berbagai acara yang dihadiri.
Banyaknya perayaan sepanjang tahun di Jepang, membuat kimono memiliki
Masyarakat Jepang juga menggunakan kimono sesuai dengan musim.
Pemilihan warna, pola dan dekorasi pada kimono selalu menyatu dengan alam dan
sesuai dengan musim di berbagai kesempatan.
Tingkat formalitas pada kimono pun berbeda-beda. Tergantung pada
banyaknya lambang keluarga pada kimono yang dikenakan. Semakin banyak
lambang keluarga pada kimono, maka tingkat formalitasnya semakin tinggi. Pada
kimono wanita, formalitas ditentukan pada pola tenunan, lambang dan warna.
Sedangkan untuk kimono pria, hanya lambang dan warna pada kimono yang lebih
gelap dari warna kimono wanita.
Seiring berjalannya waktu, kimono menjadi sesuatu yang eksklusif dan
hanya digunakan terbatas pada orang tertentu atau kesempatan yang khusus.
Dalam keseharian, kimono jarang digunakan. Selain tidak praktis, harga kimono
juga sangat mahal.
Walaupun sekarang kimono hanya dikenakan pada keadaan tertentu,
masyarakat Jepang tetap mengenakannya sepanjang tahun. Dan ketika
mengenakan kimono, mereka menggunakan kain, warna dan model dari kimono
今在は、特定の状況においてきられているが、日本社会はまだ年間
を通じて着物も着用する。そして着物を身に着けているとき、彼らは布、
BAB I
JENIS-JENIS DAN FUNGSI KIMONO DALAM MASYARAKAT JEPANG
1.1.Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lainnya.
Interaksi manusia dengan sesamanya memunculkan suatu peradaban yang
menghasilkan suatu budaya. Semenjak terciptanya peradaban dan seiring dengan
terus berkembangnya peradaban tersebut, melahirkan berbagai macam bentuk
kebudayaan dan kebudayaan itu menghasilkan suatu karya, dimana karya tersebut
bertujuan membantu peradaban dalam hal kehidupan sosial, bekerja maupun
dalam mempertahankan sesuatu.
Kebudayaan menurut Chris Jenks (1993:xii) adalah perwujudan dari
sebuah pertarungan dan perjuangan sejak awal kejadiannya dan dalam
pemahaman orang tentangnya. Dimana kebudayaan itu sendiri mencakup
perluasan potensi manusia. Maka dari itu kebudayaan ada bukan untuk
diperlakukan asal-asalan; dengan artian kebudayaan tidak bisa dilepaskan begitu
saja dalam sebuah generalisasi atau dilarutkan ke dalam sebuah mood relativisme
post-modern.
Sedangkan menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009:2-3)
menerangkan kebudayaan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas adalah
sistem kepercayaan dan seni, oleh karena itu Ienaga mengatakan kebudayaan
dalam arti luas ialah segala sesuatu yang bersifat konkret yang diolah manusia
untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit ialah
sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau yang bersifat
semiotik.
Kebudayaan selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan masyarakat
sesuai kebutuhan situasi pada zamannya. Budaya suatu bangsa dapat diidentifikasi
dari ciri-ciri yang dimilikinya yaitu dari bahasa, pakaian, tradisi dan adat yang
merupakan hasil dari peradabannya. Seperti halnya budaya bangsa Jepang dapat
dikenali melalui pakaian yang digunakan yaitu Kimono.
Pakaian membawa pesan yang mencerminkan masyarakat dan zaman.
Seperti halnya bahasa, pakaian berpengaruh pada kondisi sosial dari
penggabungan unsur yang baru, pergeseran bentuk, atau merentas gaya lama
menjadi sesuatu yang unik. Kapasitas pakaian sebagai pembawa informasi sangat
besar. Pesan itu secara diam-diam dan efisien memberitahukan kepada masyarakat
lain, dimana semua dilengkapi oleh pengetahuan tentang kebudayaan untuk
membaca semua simbol atau kode. Kimono adalah kode untuk pesan, tentang usia,
jenis kelamin, musim, formalitas, dan kesempatan (maupun) kekayaan dan cita
rasa (Liza Dalby, 2001:7)
Kimono adalah pakaian tradisional bangsa Jepang untuk pria dan wanita
yang sudah ada sejak jaman dahulu kala. Kemudian pada jaman Edo, kimono
mengalami perubahan yang sampai sekarang masih dipertahankan, yaitu lengan
kimono yang sedikit lebih panjang dan obi (sabuk lebar untuk mengencangkan
berasal dari kata Ki (着) yang berarti mengenakan dan Mono (物) yang berarti
pakaian. Jadi secara umum kimono adalah mengenakan pakaian.
Kimono adalah salah satu dari produk budaya manusia Jepang yang sarat
dengan nilai-nilai filosofis. Dengan adanya kimono sebagai identitas kultural yang
melekat dalam masyarakat Jepang, menjadikan budaya sebagai proses organis
yang hidup sesuai dengan perubahan zaman. Kimono tidak hanya sekedar menjadi
identitas kultural tetapi juga mempunyai makna kearifan lokal yang ada dalam
model pakaian kimono.
Kimono mempunyai nama lain, gofuku (bahasa Jepang: 呉服yang berarti
“pakaian dari zaman Go di Tiongkok”). Kimono yang dulunya sangatlah berat
karena pengaruh dari baju tradisional Cina Han, yang sekarang dikenal hanfu atau
dalam bahasa Jepang disebut kanfuku (漢服).
Kimono Jepang yang berdasarkan pengertiannya berarti “sesuatu untuk
dipakai” atau “pakaian” terbuat dari enam kain panjang. Jahit bersamaan enam
potong dari kain tersebut secara simetris; kiri dan kanan, dan terbentuklah kimono.
Disamping perbedaan-perbedaan kecil tergantung usia pemakainya, pada dasarnya
kimono identik dalam bentuk untuk pria dan wanita di segala umur.
Dan juga hanya ada satu ketentuan untuk memakai kimono; tarik kain
kimono sisi kanan sampai ke dada sebelah kiri, kemudian timpa dengan menarik
kain dari sebelah kiri ke sebelah kanan, lalu ikat dengan himo (sabuk) dan
letakkan pada sebuah obi (selempang/ikat pinggang yang lebar). Dalaman dan
Unsur yang menonjol pada kimono yaitu terdapatnya karakter dan corak
dari kimono yang sangat unik. Unik jika dapat menggunakan pakaian tradisional
Jepang tersebut. Pertama, teknik menggunakan atau memakai kimono yang tidak
semua orang bisa memakainya. Kedua, sebagai simbol penghargaan terhadap
kaum perempuan yang sangat menjaga adat ketimuran yaitu adat yang suka
melihat perempuan berpakaian yang sopan dan pantas.
Pemilihan jenis kimono yang tepat dibutuhkan pengetahuan tentang
simbolisme dan isyarat atau kode terselubung yang dimiliki oleh berbagai jenis
kimono. Filosofi kimono sendiri tidak sekeadar untuk menunjukkan identitas
bangsa atau masyarakatnya, karena Jepang pada masa kini pun juga membawa
pengaruh pada eksistensi kimono sebagai budaya. Pada perkembangan kimono,
kini perlahan-lahan eksistensinya mulai tergeser oleh arus globalisasi dari budaya
barat yang membuat kimono semakin lama kehilangan identitasnya. Untuk
dimensi yang sangat menonjol dalam kimono dapat dilihat dari konsistensi bentuk,
model dan karakter kimono yang tidak berubah. Walaupun pengaruh
perkembangan busana modern begitu pesat di Jepang seperti harajuku, tapi tidak
dapat menyamakan kimono yang mempunyai karakter sendiri.
Dewasa ini, kimono mempunyai bentuk mengikuti abjad “T”, seperti
mantel berlengan panjang dan berkerah. Kimono dibuat panjang hingga ke
pergelangan kaki. Pada umumnya, kimono yang dipakai wanita berbentuk baju
terusan. Sedangkan pada laki-laki, kimono berbentuk setelan. Kerah yang ada
pada kimono harus berada dibawah kerah bagian kiri. Kemudian melilitkan sabuk
Pada masa sekarang, kimono lebih sering digunakan wanita pada
waktu-waktu yang istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan sejenis kimono
yang dinamakan furisode. Ciri khas dari furisode ini sendiri adalah lengan yang
lebarnya hampir menyentuh lantai. Pria mengenakan kimono pada pesta atau
perayaan formal seperti pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara
formal lainnya. Pada anak-anak, kimono biasa dipakai ketika mengikuti perayaan
Shichi-Go-San.
Untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang fungsi dan spesifikasi kimono
pada masyarakat Jepang penulis memfokuskan tulisan ini tentang Fungsi dan
Jenis-Jenis Kimono pada Masyarakat Jepang sebagai skripsi.
Dengan demikian penulis membuat judul skripsi ini “ Fungsi dan Jenis-Jenis Kimono pada Masyarakat Jepang”.
1.2 Rumusan Masalah
Kimono merupakan pakaian tradisional Jepang dimana ketika globalisasi
barat mulai memperluas keberadaannya, kimono tetap menjadi pakaian yang
mempunyai karakter dan ciri khas tersendiri bagi masyarakat Jepang. Kimono
mempunyai banyak jenis dan masing-masing mempunyai fungsinya tersendiri.
Tentang kapan, untuk apa dan apa saja jenis-jenis kimono. Serta hal-hal yang
melengkapi kimono itu sendiri. Saat ini, kimono kebanyakan dipakai hanya pada
saat acara atau perayaan besar dan formal. Misalnya seperti acara pesta
penggunaannya. Dari hal tersebut dan latar belakang yang telah penulis
kemukakan di atas, ada 2 masalah yang akan dikaji dalam skripsi ini adalah :
1. Fungsi kimono bagi masyarakat Jepang
2. Jenis-jenis kimono pada masyarakat Jepang
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Untuk menghindari batasan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan
penelitian, maka penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian pada kajian
mengenai Fungsi dan Spesifikasi Kimono pada Masyarakat Jepang. Penulis
sebelum memaparkan uraian pembahasan pada bab III akan menjelaskan terlebih
dahulu tentang sejarah kimono, fungsi kimono, dan jenis-jenis kimono pada
masyarakat Jepang.
1.4. Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori
1.4.1. Tinjauan Pustaka
Kebudayaan adalah identitas bagi suatu bangsa yang dimiliki setiap
orang dan diwarisi dari generasi ke generasi. Menurut Kroeber dan Kluckhohn
(1952) mengumpulkan berpuluh-puluh defenisi yang dibuat ahli-ahli antropologi
dan membaginya atas 6 golongan, yaitu : (1) depskriptif, yang menekankan
unsur-unsur kebudayaan, (2) Historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi
secara kemasyarakatan, (3) Normatif, yang menekankan hakekat kebudayaan
sebagai aturan hidup dan tingkah laku, (4) Psikologis, yang menekankan
kegunaaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan
sebagai suatu system yang berpola dan teratur, (6) Genetika, yang menekankan
terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia (P.W.J.Nababan,1984 : 49).
Herskovits dan Malinowski
Menurut Eppink
)
mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan
oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah ini disebut
dengan Cultural-Determinism. Herskovist memandang kebudayaan sebagai
sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang
kemudian disebut sebagai superorganik.
Sepanjang sejarahnya, Jepang banyak mengadaptasi budaya dari
negara-negara lain seperti teknologi, adat istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan
kebudayaan. Jepang telah banyak mengembangkan budayanya yang unik
mengintegrasikan masukan-masukan dari luar. Dewasa ini, gaya hidup orang ), Kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan
serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan adat istiadat, tambahan lagi
segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Dari berbagai defenisi tersebut, dapat diperoleh pengertian bahwa
kebudayaan adalah sesuatu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi
sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan
kebudayaan adalah benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
Seperti halnya banyak kebudayaan Jepang yang populer di negara-negara
luar, pakaian tradisional Jepang juga salah satu daya tarik negara asing terhadap
Jepang. Meskipun Jepang perlahan mengadaptasi sedikit budaya luar, tetapi
Jepang tidak meninggalkan budaya asli itu sendiri.
Sebagian besar dari kebudayaan Jepang juga merupakan percampuran
unsure-unsur dari luar. Masyarakat Jepang sangat memberi perhatian pada
kebudayaan, baik kebudayaan tradisional maupun kebudayaan baru. Beberapa
diantaranya yaitu:
• Upacara minum teh
• Hari anak-anak
• Festival Hina
• Menikmati bunga sakura
Dari banyaknya festival di atas, masyarakat Jepang biasanya mengenakan
pakaian tradisional yaitu “kimono”. Penggunaan kimono pada masing-masing
acara biasanya berbeda. Karena dalam penggunaan kimono memperhatikan
beberapa hal diantaranya, usia, musim dan peristiwa itu sendiri.
Sehubungan dengan perkembangan zaman, maka kimono juga mengalami
perkembangan dari segi bentuk, jenis, dan fungsinya.
1.4.2. Kerangka Teori
Menurut Nawawi (2001:39-40) setiap penelitian memerlukan kejelasan
Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok pokok pikiran yang
menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disorot. Tidak mungkin
melakukan penelitian tanpa teori dan tidak mungkin mengembangkan suatu teori
tanpa adanya penelitian.
Teori menyediakan konsep-konsep yang relevan, asumsi-asumsi dasar
yang bisa digunakan, membantu dalam mengarahkan pertanyaan penelitian yang
dapat diajukan dan membantu dalam memberikan makna terhadap data. Mengacu
terhadap judul yang diangkat ada 2 teori yang akanu digunakan penulis yaitu teori
Fungsionalisme Struktural dan teori Semiotik Pragmatik Arsitektur. Didalam
pendekatan ini kita dapat melakukan penguraian data-data yang diperoleh secara
kronologis.
Teori Fungsionalisme Struktural yang mengutarakan bahwa masyarakat
merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian dan struktur-struktur yang
saling berkaitan dan saling membutuhkan keseimbangan, fungsionalisme
struktural lebih mengacu pada keseimbangan (Robert K. Merton, 1937)
html). Teori ini menilai
bahwa semua sistem yang ada di dalam masyarakat pada hakikatnya mempunyai
fungsi tersendiri. Suatu struktur akan berfungsi dan berpengaruh terhadap struktur
yang lain. Maka dari itu peristiwa mempunyai fungsi tersendiri yang dapat
dihasilkan melalui suatu sebab dan akibat yang pada dasarnya dibutuhkan dalam
masyarakat Jepang yang kini menjadi salah satu identitas bagi negara Jepang
sendiri yang erat kaitannya dengan masyarakat Jepang. Kimono sendiri
mengalami perubahaan pemakaian oleh setiap orang tergantung zamannya
dikarenakan politik, atau bahkan kebutuhan bagi masyarakat Jepang itu sendiri
maka penelitian fungsi Kimono dapat dilakukan dengan teori Fungsionalisme
Struktural.
Semiotik pragmatik arsitektur menguraikan tentang asal usul tanda,
kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang
menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik
prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda)
terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Pragmatik Arsitektur
berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan,
posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai
suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat
mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya
arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat
mempengaruhi pemakainya.
Semiotik pragmatik arsitektur oleh Peirce dalam T.Christommy
(2001:119) mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang
terdiri dari tiga elemen utama, yakni sign (tanda), object (objek), dan interpretant
(pengguna tanda). Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat
ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk
(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri
perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat).
Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks
sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda
dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.
Benda hasil kebudayaan disamping dari segi fungsi tentu mempunyai
makna bagi masyarakat. Kimono merupakan pakaian tradisional Jepang yang
menjadi simbol bagi bangsa Jepang sendiri juga merupakan identitas bahwa salah
satu budaya yang terdapat juga di dalam pakaian tradisional yang dikenakan
masyarakat Jepang. Dari berbagai macam makna yang berevolusi tersebut maka
penelitian akan jenis-jenis kimono dapat dilakukan menggunakan teori Semiotik
Pragmatik Arsitektur.
Untuk menganalisa masalah yang diangkat dalam skripsi ini dengan
melihat fungsi dan jenis-jenis kimono pada masyarakat Jepang maka penulis
menggunakan pendekatan Fungsionalisme Struktural dan Semiotik Pragmatik
Arsitektur.
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5.1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan fungsi kimono pada masyarakat Jepang
1.5.2. Manfaat Penelitian
1. Penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi ataupun memberikan
informasi bagi masyarakat secara umum maupun mahasiswa yang berminat
terhadap kimono
2. Dengan adanya penulisan ini diharapkan Kimono dapat semakin dikenal
oleh masyarakat luas sehingga membuat masyarakat luas tersebut tertarik
mengetahui dan mempelajari hasil budaya Jepang khususnya tentang Kimono.
1.6. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam
melaksanakan penelitian dalam menggunakan data. Metode memiliki peran yang
sangat penting, metode merupakan syarat atau langkah-langkah yang dilakukan
dalam sebuah penelitian (Djajasudarma, 1993:3).
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian fungsi dan
spesifikasi kimono pada masyarakat Jepang adalah metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan memperjelas
secara tepat sifat-sifat individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk
menentukan frekwensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala lain dalam
masyarakat. Dalam hal ini sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah yang
bersangkutan (Koentjraningrat,1991:29).
Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang
bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau
aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP KIMONO PADA MASYARAKAT JEPANG
2.1. Sejarah Kimono di Jepang
Dulunya kimono adalah salah satu dari 2 jubah formal yang biasa
digunakan di pengadilan Cina. Kemudian berevolusi dan diadopsi oleh Jepang
pada abad ke-7. Di Jepang, jubah itu disebut agekubi (berleher tinggi) dan tarikubi
(penutup leher depan), sebagaimana di Cina, jubah tersebut dipakai secara khusus
oleh kaum bangsawan. Pada awalnya, pria menggunakan jubah dengan bentuk
agekubi, dimana wanita mengenakan jubah tarikubi. Lambat laun, jubah agekubi
tersebut hanya menjadi pakaian resmi pada acara tertentu, digunakan oleh pria
untuk kepentingan formal berkaitan dengan pengadilan pemerintahan. Dan itu
masih digunakan oleh anggota pengadilan sampai hari ini.
Adapun sejarah kimono pada masyarakat Jepang adalah sebagai berikut:
2.1.1. Zaman Jomon dan Zaman Yayoi
Di Jepang, tidak jelas sampai kapan zaman primitif itu berlangsung.
Namun dihipotesakan bahwa zaman Jomon dan zaman Yayoi adalah zaman
primitif. Seperti yang diketahui dari catatan Cina, dari hubungan dengan
kebudayaan Yayoi bahwa masyarakat Jepang faktanya mengenakan pakaian,
sebagaimana dengan jelas dicatat oleh Cina. Masyarakat pada periode zaman
Yayoi telah belajar bagaimana caranya menenun, seperti teks-teks dari Cina pada
binatang, seperti pada zaman Jomon sebelum ditemukannya cara menenun).
Beberapa dari bukti arkeologis juga menunjukkan bahwa masyarakat pada zaman
Yayoi memiliki alat tenun primitif, yang termasuk tubuh penenun sebagai salah
satu dari titik untuk memasukkan benang, dan dengan demikian menghasilkan
panjang yang sama lebarnya dengan tubuh si pembuat. Jika dua dari panjang kain
tersebut dijahit bersamaan pada bagian tepi, dengan sebuah lubang
ditengah-tengah untuk kepala, itu akan menghasilkan apa yang disebut dengan poncho,
seperti apa yang dicatat oleh Cina tentang apa yang Jepang kenakan pada zaman
Yayoi.
2.1.2. Zaman Kofun
Pakaian pada zaman Kofun adalah lanjutan dari perkembangan utama pada
masa pra-sejarah pakaian yang hanya dapat dilihat pada bentuk figur haniwa.
Haniwa adalah figur atau patung yang digunakan untuk ritual dan ditimbun
bersamaan dengan orang yang sudah wafat sebagai bagian dari pemakaman pada
periode zaman Kofun. Perbedaan pakaian pada apa yang digambarkan Cina untuk
dikenakan dan pakaian yang dibuat untuk digunakan pada haniwa dideskripsikan
untuk menunjukkan banyak hal seperti kelas sosial, mengubah struktur sosial, atau
hanya sekedar revolusi dalam keadaan yang dihasilkan dari hubungan yang
2.1.3. Zaman Nara
Pada periode zaman Nara, setelan pakaian yang berkelas terinspirasi dari
dinasti Tang. Wanita modern pada zaman dinasti Tang mengenakan rok yang
terikat dengan jubah mereka. Tidak seperti ketika pertama kali Cina berhubungan
dengan Jepang, dimana jaket dan baju harus digantungkan dari atas rok. Bahkan
sampai di zaman modern, pria dan wanita sama-sama menggunakan celana
hakama diatas kimono mereka. Hakama adalah pakaian luar yang dipakai
masyarakat Jepang untuk menutupi pinggang sampai mata kaki.
Terjadi perubahan cara pemakaian kimono pada zaman Nara. Jika pada
sebelumnya kerah bagian kiri harus berada dibawah kerah bagian kanan, dimulai
pada periode zaman Nara, kerah bagian kanan harus berada dibawah kerah bagian
kerah kiri. Busana dan aksesoris pada periode zaman Nara sendiri juga banyak
dipengaruhi budaya Cina yang secara tidak langsung masuk ke Jepang secara
perlahan.
2.1.4. Zaman Heian
Pada periode zaman Heian, terjadinya penurunan dalam dinasti Tang.
Jepang berhenti mengirimkan utusan kepada dinasti Tang kemudian fokus pada
keadaan di dalam Jepang itu sendiri. Berakibat pada terjadinya ledakan arsitektur
halus, puisi, novel, dan pengembangan pakaian wanita.
Pada periode zaman Heian, pakaian yang paling terkenal adalah juunihitoe
(十二単). Adalah kimono yang sangat elegan dan luar biasa rumit yang telah
Secara harfiah, Juunihitoe diartikan sebagai “jubah dengan dua belas lapis” (Ito,
2011 : 76).
Para wanita memakainya paling sedikit dua sampai dua puluh lapis atau
lebih dari itu. Tergantung pada musim, kesempatan, pangkat, dan keadaan.
Kimono ini adalah pakaian formal tertinggi bagi wanita dan kimono ini bisa
menjadi lebih berat 30 sampai 40 pon pada musim dingin.
2.1.5. Zaman Kamakura
Dengan munculnya kelas samurai pada pengadilan kekaisaran, sebuah
pergeseran yang menarik terjadi dalam fashion pada zaman ini. Pakaian ekstrim
pada pengadilan di zaman Heian menjadi terkendali pada akhir zaman Heian.
Pada pemakaian kimono untuk wanita dibatasi hanya sampai lima lapisan untuk
acara yang informal.
Pria pada kelas samurai, sepanjang hingga Shogun, mengenakan kimono
dengan dekorasi brokat yang dikenakan oleh para petani dari zaman Heian.
Semakin sedikit lapisan dan lengan yang semakin kecil membuatnya menjadi
lebih mudah untuk mengenakan baju besi yang dikenakan diatas kimono mereka.
Kelas perempuan pada zaman ini kemudian mengambil versi dari pakaian
formal yang sopan dari para pendahulu mereka, sebagai cara untuk menampilkan
pendidikan dan perbaikan mereka, tetapi menggunakan lapisan yang lebih sedikit
tambahan ketika berpergian dan bertemu dengan para wanita yang lainnya.
Wanita dengan kelas sosial tinggi, seperti istri dari Shogun akan memakai lima
lapis brokat untuk memperlihatkan kekuatan, kelas sosial mereka, dan untuk
menjaga dirinya agar tetap hangat pada udara dingin dari laut dan gunung.
2.1.6. Zaman Muromachi
Pada zaman Muromachi kedekatan pada pengadilan kekaisaran
memungkinkan model pakaian bergerak kembali ke kemewahan istana kekaisaran,
dimana masih mencerminkan mode pakaian non-bangsawan, karena munculnya
keshogunan Ashikaga yang sebagian besar terjadi oleh upaya yang kurang kuat
dari samurai dan para prajurit. Dengan demikian, lebih banyak dekorasi dari
berbagai jenis dari hitatare dan dua setel pakaian tanpa lengan yang disebut
kataginu yang menjadi mode pakaian pada pria di zaman Muromachi.
Sedangkan pada wanita, perlahan mulai meninggalkan lapisan berlengan
lebar yang terinspirasi pada zaman Heian sekali dan hanya menggunakan kosode
berwarna putih. Sekarang kosode resmi menjadi pakaian luar, dan mulai
mengambil warna serta pola. Pada zaman Muromachi para wanita juga
menciptakan cara-cara baru menggunakan kosode mereka. Dua mode baru yang
sangat signifikan yaitu gaya katsugu dan uchikake. Gaya katsugu adalah kosode
yang didesain untuk digunakan di kepala seperti kerudung, sementara model
uchikake adalah panggilan kembali ke tradisi lapisan tambahan untuk
meningkatkan formalitas. Dengan demikian populer dikalangan wanita yang lebih
sebelum akhirnya ditinggalkan. Sementara uchikake masih dipakai di zaman
modern, tetapi hanya pada upacara pernikahan.
Perubahan terbesar untuk fashion wanita pada zaman Muromachi adalah
ditinggalkannya penggunaan hakama bagi wanita. Wanita dengan tingkatan kelas
sosial bawah tidak menggunakan hakama dari kelas atas. Kurangnya ikatan di
pinggang hakama, berarti para wanita harus menemukan cara untuk menutup
kosode mereka. Jawabannya adalah menghias pinggang mereka dengan
selempang. Atau biasa disebut obi.
2.1.7. Zaman Edo
Penyederhanaan pakaian untuk samurai berlanjut hingga pada zaman Edo.
Pada zaman ini pakaian untuk samurai adalah setelan berpundak lebar yang biasa
disebut kamishimo (裃). Satu setel kamishimo terdiri dari kataginu (肩衣) dan
hakama. Sedangkan di kalangan wanita, pada zaman Edo kosode menjadi semakin
populer sebagai simbol budaya orang kota yang mengikuti tren busana.
Setiap samurai dari berbagai wilayah dapat dikenal dari warna dan pola
kimono dari seragam samurai tersebut. Dengan banyaknya pakaian samurai yang
dibuat, pengrajin kimono membuat lebih dan lebih bagus lagi pada keterampilan
mereka dalam membuat kimono, dan membuat kimono menjadi salah satu bentuk
seni di Jepang.
sepanjang tahun, namun dalam 100 tahun, kelas pedagang akan memegang
kendali penuh pada dunia fashion.
Pada akhir zaman Edo, terjadi politik isolasi yang membuat impor benang
sutra menjadi terhenti. Kimono mulai dibuat dari benang sutra buatan dalam
negeri. Namun, setelah adanya peristiwa kelaparan pada zaman Temmei
(1783-1788), keshogunan zaman Edo pada tahun 1785 melarang para rakyatnya untuk
mengenakan kimono dari bahan sutra.
2.1.8. Zaman Meiji
Selama periode zaman Meiji, Jepang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan
asing. Pemerintah resmi mendorong masyarakat untuk mengadaptasi pakaian dan
kebiasaan dari negara-negara barat. Karena terus berkembangnya industri pada
zaman Meiji, produksi sutra mulai meningkat dan Jepang menjadi eksportir sutra
terbesar. Harga kain sutra tidak lagi mahal, dan mulai dikenal banyak jenis-jenis
kain sutra.
Tidak lama setelah pakaian impor Barat masuk ke Jepang, penjahit lokal
mulai bisa membuat pakaian barat. Sejak saat itu pula istilah wafuku dipakai
untuk membedakan pakaian yang dipakai orang Jepang dengan pakaian Barat.
Di era modernisasi Meiji, para bangsawan di istana kekaisaran mengganti
kimono dengan pakaian Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun begitu,
beberapa orang kota masih banyak yang tetap menggunakan kimono dan tradisi
sering memakai kimono walaupun perlahan para pria mulai memakai setelan jas
untuk acara-acara formal.
Sebagian besar wanita Meiji pun masih memakai kimono, kecuali wanita
bangsawan dan guru perempuan yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.
2.1.9. Zaman Showa
Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, kimono mulai dipakai
kembali menjadi pakaian sehari-hari sebelum akhirnya perlahan ditinggalkan
karena tuntutan modernisasi. Banyak orang-orang yang mulai meninggalkan
kimono pada pakaian sehari-hari dan mulai memakai pakaian Barat karena
memakai kimono sangat rumit. Sedangkan pakaian Barat lebih praktis dipakai
untuk kegiatan sehari-hari.
Hingga pertengahan tahun 1960-an, kepopuleran penggunaan kimono
terangkat kembali dan beberapa wanita di Jepang masih menggunakannya sebagai
pakaian sehari- hari setelah diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan
wol. Wanita pada saat itu sangat menyukai kimono dari bahan wol sebagai
pakaian untuk waktu bersantai.
Kimono pada saat ini mulai jarang dipakai sebagai pakaian sehari-hari di
masyarakat Jepang. Walau bagaimanapun, tradisi memakai kimono pada
2.2. Bahan Dasar Kimono
2.2.1. Kain Sutera
Jantung budaya Jepang pada kimono adalah kain sutera, yang mana
merupakan bahan kuno yang terhubung ke berbagai legenda di Asia. Bahan ini
kuat dan berkilau, selain itu sangat mudah untuk diwarnai, dan bahan sutera dapat
dibuat menjadi berbagai macam bentuk. Secara turun temurun, seni dari
memelihara ulat sutera dan memproduksi kain sutera telah diperkenalkan di
Jepang oleh pengrajin dari Cina dan Korea selama abad ke-3.
Bahan sutera termasuk bahan yang kuat, serat protein yang berkilau yang
terdapat pada sutera dibuat oleh larva atau ulat sutera. Pada saat itu, sebanyak 200
lebih berbagai macam ulat sutera dibudidayakan di Jepang yang menghasilkan
serat sutera dengan berbagai macam ketebalan serta warna seperti warna putih
seputih salju, kuning, orange, merah muda, hijau dan biru.
2.2.2. Serat Kulit Pohon
Jubah dari Jepang juga dibuat dari bahan pakaian yang terbuat dari serat
kulit pohon yang diperoleh dari berbagai macam tanaman. Serat-serat tersebut
dikumpulkan dari jaringan batang besar tumbuhan; lapisan jaringan yang
terbentuk di bawah kulit dari berbagai macam batang tanaman dikotil (pohon,
semak belukar, rumput, dan tumbuhan yang menjalar) yang mana juga
Pakaian dari serat kulit pohon bahannya kuat dan tahan lama. Sebelumnya,
masyarakat Jepang hidup dalam bagian terdingin dari Jepang dan menggunakan
beberapa lapis dari pakaian tersebut untuk menambahkan kehangatan pada tubuh
mereka. Untuk pembenbentukan serat diperlukan waktu-waktu yang sangat
panjang dalam proses pengupasan, kemudian direbus hingga mendidih, lalu
dibasahi, dipukul-pukul dan diputar-putar yang selalu dilakukan selama
bulan-bulan musim dingin. Pakaian dari serat kulit pohon, bagaimana pun sangat sesuai
untuk pakaian musim panas, karena dapat kering dengan mudah dan tidak lengket
pada kulit di kelembaban yang tinggi dan panas.
2.2.3. Katun
Kain katun mulai diimpor ke Jepang dari Cina pada abad ke-4. Tapi awal
mulanya, katun sangat mahal dan eksklusif. Pemakaian kain katun pertama kali
dimulai di Jepang pada abad ke-6, karena bahan jenis ini sensitif terhadap iklim
dingin, bahan tersebut hanya dapat digunakan di Kyuushuu, di pulau paling
selatan di Jepang. Masyarakat mengetahui bahwa kain katun dapat menjadi lebih
lembut dari kain yang terbuat dari serat kulit pohon dan proses produksinya tidak
memakan waktu lama serta pengawasan terus menerus. Pada abad ke-7,
pendistribusian katun telah meluas di Jepang; pakaian yang terbuat dari katun
BAB III
JENIS-JENIS DAN FUNGSI KIMONO DALAM MASYARAKAT
JEPANG
3.1. Jenis-jenis Kimono
Kimono adalah pakaian tradisional Jepang yang berbentuk seperti huruf
“T”, mirip mantel dengan lengan panjang serta mempunyai kerah. Kimono
mempunyai panjang yang dibuat hingga ke pergelangan kaki. Bentuk kimono
wanita seperti baju terusan, sementara untuk kimono pria berbentuk seperti setelan.
Pada saat sekarang, kimono biasanya dipakai pada saat kesempatan
tertentu saja dan wanita lebih sering mengenakan kimono pada kesempatan
istimewa.
3.1.1. Kimono Wanita
Untuk memilih kimono yang tepat, diperlukan pengetahuan tentang
simbolisme dan isyarat yang terkandung pada setiap jenis kimono. Tingkatan
formalitas pada kimono wanita sedikit banyak ditentukan oleh pola tenunan dan
warna, mulai dari kimono yang paling formal hingga kimono yang digunakan
untuk bersantai. Berdasarkan berbagai macam kimono yang dipakai, biasanya
kimono dapat menunjukkan usia pemakai, status perkawinan, dan berbagai acara
a. Houmongi(訪問着)
Secara harafiah houmongi artinya baju untuk berkunjung. Houmongi
adalah kimono wanita yang bersifat formal. Baik untuk yang sudah menikah
maupun yang belum menikah. Namun biasanya houmongi dikenakan oleh wanita
yang sudah menikah untuk menghadiri resepsi pernikahan, upacara minum teh,
merayakan tahun baru, dan untuk pesta-pesta resmi lainnya. Kebanyakan
houmongi juga dikenakan oleh teman dari pengantin wanita kecuali
saudara-saudara si pengantin yang menghadiri acara tersebut.
Houmongi mempunyai ciri khas dengan motif diseluruh bagian kain, baik
itu di bagian depan maupun di bagian belakang. Houmongi memiliki kelas yang
sedikit lebih tinggi diatas kimono sejenisnya, tsukesage.
b. Tsukesage (付け下げ)
Tsukesage adalah kimono yang bersifat semi-formal dimana pada desain
tsukesage mempunyai bagian lapisan yang terputus-putus. Arti dari tsukesage
sendiri merujuk pada sebuah metode tentang bagaimana membuat pola pada
pakaian tradisional Jepang yang mana pola paling banyak terdapat pada bagian
tertinggi di pundak. Sering kali, tidak ada perbedaan antara tsukesage dan
houmongi yang dibuat di Jepang.
Latar belakang kain untuk membuat tsukesage dapat berbagai macam
warna termasuk hitam dan putih. Kamon atau simbol keluarga yang terdapat pada
c. Iromuji (色無地)
Iromuji adalah salah satu dari jenis-jenis kimono. Dimana bahan kimono
tersebut didominasi oleh satu warna selain dari warna hitam. Iromuji disarankan
sebagai kimono permulaan karena penggunaan iromuji sangat fleksibel;
tergantung pada penggunaan obi dan aksesoris lain yang dikenakan,yang
membuat kimono ini dapat menjadi formal atau tidak formal.
Kimono iromuji mempunyai warna yang menyatu dengan pola yang tidak
begitu jelas. Pakaian tersebut terdapat pada hampir setiap warna, tetapi warna
yang paling banyak adalah warna-warna yang lembut, warna yang mempunyai
kemurnian rendah. Warna pada bahan iromuji terbuat dari warna biru muda,
kuning, pink atau warna yang lainnya. Namun warna paling populer pada iromuji
adalah warna merah muda. Iromuji biasa mempunyai mulai dari 0, 3 hingga 5
simbol.
Sebenarnya iromuji adalah jenis kimono semi-formal yang bisa dijadikan
kimono formal jika pada iromuji terdapat lambang atau simbol keluarga yang
biasa disebut kamon. Iromuji dapat digunakan pada pesta pernikahan jika kamon
pada kimono tersebut terdapat lima buah lambang. Namun jika hanya satu,
pakaian ini dapat digunakan pada saat acara minum teh.
d. Komon (小紋)
Arti harafiah dari komon adalah “cetakan kecil”. Pengertian ini mengacu
pada berbagai kimono dengan meliputi cetakan seluruh permukaan dari kimono
dengan tidak adanya arah atau susunan tertentu pada kimono ini. Desain
Komon sendiri memiliki pola yang diulang-ulang pada keseluruhan
kainnya. Pada komon anak muda, terdapat pola-pola yang besar. Kimono ini
sendiri terbuat dari bahan wol, sutera, sintetis, rami dan kain katun halus.
Selama zaman kebesaran Taisho, banyak sekali kerancuan dan berbagai
macam desain formal dan sesekali sebuah potongan yang aneh yang sepertinya
menjadi selisih antara komon dan houmongi atau irotomesode. Selama zaman ini,
ada banyak perubahan untuk kimono formal dengan corak garis-garis yang
vertikal.
Pada zaman standar modern, corak garis-garis umumnya digolongkan
sebagai kimono yang tidak formal dan biasanya hanya terlihat pada komon,
dimana potongan-potongan yang antik seharusnya tidak digolongkan menjadi
komon dan tingkatan formalitasnya harus dipertimbangkan sejalan sebagaimana
houmongi atau irotomesode, dengan banyaknya kamon yang terdapat pada komon
yang diutamakan dan diperhitungkan.
Meskipun komon adalah kimono yang kasual, komon dianggap satu dari
kimono yang sangat fleksibel potongannya pada sebuah kumpulan kimono. Model
kain, bentuk motif dan ukuran, serta variasi dari komon, dapat dikenakan dengan
aksesoris yang tepat untuk meningkatkan formalitas.
e. Kurotomesode (黒留袖)
Kurotomesode atau disebut juga itstutsu montsuki susomoyo tomesode
yang artinya lima lambang dengan pola di bagian bawah yang berlengan pendek.
dari mulai setengah bagian bawah tubuh. Namun pada bagian atas tubuh dan
lengan, tidak terdapat pola apapun. Kurotomesode modern dapat dikenakan
dengan hiyoku atau lapisan dalam kimono yang sangat formal. Sedangkan
kurotomesode jenis lama dapat dikenakan dengan lapisan kasane putih yang asli
atau yang mempunyai pola yang sama dengan pola pada kurotomesode. Kasane
adalah kombinasi warna untuk menghias pakaian wanita. Pemilihan warna untuk
kasane tergantung musim, suasana pada waktu, dan umur wanita itu sendiri.
Meskipun kurotomesode yang lama masih sering kali digunakan dengan
berbagai macam motif dari semua musim, pada keadaan sekarang, jenis ini
biasanya digunakan untuk pesta pernikahan dan pesta perayaan yang
menyenangkan.
Sebagai kimono yang paling formal, kurotomesode dipakai oleh wanita
yang sudah menikah. Tapi, pada acara tertentu di istana kekaisaran, wanita
dilarang menggunakan kurotomesode dikarenakan menggunakan warna hitam
adalah warna yang dipercaya dapat membawa sial. Karena kuatnya formalitas
pada pada kurotomesode, pada zaman modern, kimono ini dikenakan pada
pernikahan oleh ibu dari pengantin pria dan wanita.
Sebagai mode di Jepang, perubahan pada kimono menjadi kombinasi dari
modern dan tradisional, adalah umum melihat kurotomesode dibuat menjadi
sebuah gaun. Pada kurotomesode juga terdapat lambang keluarga yang terletak
pada tiga sisi yaitu pada punggung, dada bagian atas kanan dan kiri, dan bagian
f. Irotomesode (色留袖)
Irotomesode adalah kimono yang biasa dipakai oleh wanita baik yang
sudah menikah maupun belum. Irotomesode mempunyai tingkat formal yang
sama dengan kurotomesode. Irotomesode juga dipakai oleh saudara dekat dari
pengantin pria dan wanita pada pesta pernikahan dan digunakan pada acara istana
kekaisaran yang tidak memperbolehkan mengenakan kurotomesode.
Secara keseluruhan, irotomesode hanya memiliki satu warna dasar dan
mempunyai hingga lima lambang keluarga. Pada irotomesode bagian atas tubuh
dan lengan tidak terdapat pola apapun. Dan irotomesode jenis lama dapat
dikenakan bersama kasane dengan bentuk yang menyerupai pola irotomesode.
g. Furisode (振袖)
Furisode adalah kimono yang dikenakan oleh perempuan yang belum
menikah. Dengan “lengan yang berkibar”, furisode mempunyai panjang lengan
yang bervariasi mulai dari 105 cm (lengan panjang, disebut oofurisode), 90 cm
(lengan dengan panjang sedang, chuufurisode) dan 75 cm (lengan pendek,
kofurisode). Furisode dengan lengan pendek tidak terlalu formal dan biasanya
dikenakan dengan hakama.
Furisode hanya dikenakan pada perempuan yang belum menikah atau para
anak gadis. Mempunyai lengan yang panjang dan ‘berkibar”. Furisode
mempunyai desain terbaru yang cocok digunakan untuk anak muda dan
mempunyai warna lebih hidup.
bersamaan dengan hakama untuk acara kelulusan, walaupun oofurisode juga
dapat dijadikan pilihan. Sebuah oofurisode tanpa lambang keluarga tapi dengan
desain yang jahitannya berseberangan dapat dikenakan menjadi kimono yang
formal untuk perayaan menuju kedewasaan atau biasa disebut Coming of Age
ceremony. Penambahan pada lambang keluarga dapat membuatnya menjadi lebih
formal.
h. Tsumugi (紬)
Jenis kimono yang lain adalah tsumugi. Tsumugi adalah kain sutera tenun
dari benang yang tersisa pada kepompong ulat sutera setelah dipisahkan secara
penuh. Dengan putaran helaian yang bersamaan, peternak ulat sutera membuat
kain untuk mereka gunakan sendiri. Pada masa sekarang, tsumugi mempunyai
harga yang cukup tinggi dan paling mahal diantara kain kimono lainnya meskipun
dari asal yang sederhana.
Tsumugi awalnya dipintal, ditenun dan dijahit menjadi sebuah kimono oleh
satu orang untuk digunakan sebagai keperluan rumah tangga. Benang rusak yang
tertinggal di dalam kepompong ulat sutera kemudian dikumpulkan oleh para
petani. Kepompong dan benang sutera dipisahkan dengan menggunakan air
hangat yang dibubuhi oleh sodium bicarbonate atau baking soda dan sulfurous
acid atau bahan pemutih ringan. Setelah dibilas, kemudian kain tersebut
dikeringkan dibawah sinar matahari langsung. Setelah kering, benang sutera
ditempatkan pada bak yang berisi biji wijen dan air. Minyak yang dihasilkan dari
biji wijen tersebut memudahkan untuk menarik benang yang akan diputar secara
Banyak sekali jenis kimono ini menurut daerah tempat dibuatnya tsumugi.
Walaupun begitu, tsumugi dapat dengan cepat dikenali pada ciri-ciri slub (garis
kasar pada hasil tenunan) dan kainnya yang berkilau. Awalnya kain tsumugi
sangat kaku, dikarenakan adanya zat tepung selama kain tsumugi itu diputar.
Namun setelah berkali-kali digunakan, kain tsumugi menjadi lebih lembut. Kain
tsumugi yang sudah berumur sangat lama tekstur kainnya sangat lembut seperti
kain sutera yang ditenun dari benang yang terurai.
3.1.2. Kimono Pria
Tidak hanya wanita saja yang mengenakan kimono. Pria pun punya
kimono tersendiri untuk mereka kenakan pada acara-acara tertentu di Jepang. Pria
yang menggunakan pakaian tradisional adalah salah satu hal yang biasa di Jepang.
Karena ketika mereka mengenakan kimono, mereka terlihat cocok dengan atasan
kimono. Kimono pria kebanyakan dibuat dengan warna-warna gelap seperti hijau
tua, cokelat tua, biru tua dan hitam. Kimono pria terdiri atas dua macam, montsuki
yang dikenakan bersama dengan hakama dan haori, dan kinagashi yang
merupakan kimono yang dikenakan pada acara informal dan kegiatan sehari-hari.
a. Kinagashi (着流し)
Arti kinagashi merujuk pada memakai pakaian tradisional Jepang tanpa
mengenakan hakama. Hakama sendiri adalah salah satu pakaian tradisonal Jepang
Dulu, kinagashi hanya merujuk pada penerapan menghilangkan (tidak
memakai) haori atau jaket sebagai luaran kimono yang telah disesuaikan dengan
ukuran kimono yang akan dikenakan. Mengenakan haori tanpa mengenakan
hakama masih dapat dianggap formal, tapi sekarang walaupun haori tidak
dikenakan, kinagashi tetap berarti penerapan untuk tidak memakai hakama.
Pada zaman Edo, mengenakan hakama adalah patokan bagi samurai pria,
namun bagi pria penduduk kota, mereka tidak memiliki kebiasaan ini. Jadi
kinagashi telah melekat pada pria penduduk kota.
Formalnya sebuah kimono bagi pria adalah mengenakan hakama dan haori
pada kimono mereka. Ketika mereka mengenakan kimono tanpa hakama atau
haori, kimono tersebut menjadi kurang formal. Tidak formalnya kimono seorang
pria ketika mereka mengenakannya tanpa hakama dan haori. Kimono inilah yang
disebut kinagashi. Kinagashi dikenakan pada acara-acara informal dan kasual
serta dapat dikenakan sebagai pakaian sehari-hari.
b. Montsuki (紋付)
Montsuki atau montsuki haori hakama (紋 付 き 羽 織 袴) secara harfiah
berarti kimono dengan mon, haori dan hakama atau juga disebut kuromontsuki
haori hakama (黒紋付き羽織袴) yang berarti montsuki hitam dengan haori dan
hakama adalah kimono pria yang paling formal. Kimono formal ini terdiri atas
lima buah mon atau lambang keluarga, hakama dan haori.
Sebuah setelan montsuki adalah kimono yang tepat sebagai pakaian untuk
acara-acara yang sangat formal seperti pakaian untuk pengantin pria atau relasi
Digunakan dalam acara pemakaman, pada pertunjukan musik, teater, acara
penerimaan penghargaan, dan pakaian formal untuk petarung sumo.
Montsuki sudah seharusnya berwarna hitam berbahan sutera dan memiliki
lima buah mon atau lambang keluarga. Mon yang diwarnai adalah yang paling
formal, sedangkan mon yang disulam adalah yang paling tidak formal. Baik
kimono dan haori digunakan harus sesuai musim. Kimono montsuki dan haori
digunakan hanya satu warna yaitu hitam selain hitam, montsuki dianggap kurang
formal.
Pada pemakaian haori untuk montsuki, warnanya harus hitam dan
berbahan sutera serta memiliki lima buah mon pula. Seperti montsuki, yang paling
formal adalah mon yang diwarnai. Untuk haori himo atau pengikat haori, yang
paling formal ialah berwarna putih dan datar. Namun penggunaan bentuk dan
warna lainnya dari pengikat haori masih dapat digunakan walaupun mengurangi
formalitas. Untuk pengecualian warna abu-abu digunakan untuk upacara
pemakaman yang telah dipakai semenjak zaman Meiji.
3.1.3. Kimono Khusus
a. Kimono pernikahan
Pada dasarnya ada tiga jenis kimono untuk pernikahan di Jepang.
Masing-masing memiliki penggunaan yang berbeda.
• Uchikake
berbentuk agak tebal dan tidak berikat seperti penggunaan kimono
pada umumnya. Walaupun dikenakan terbuka, namun bagian uchikake
ditutupi dengan lapisan yang lain yang disebut kakeshita. Uchikake
biasanya dipesan untuk pengambilan foto atau hanya dikenakan saat
upacara pernikahan saja. Selama upacara pernikahan, kelebihan dari
panjang uchikake diangkat sendiri oleh pengantin wanita hingga
sebatas pinggang dengan tangannya atau dijepit. Namun tidak diikat
seperti kimono.
• Kakeshita
Kakeshita adalah kimono pernikahan yang dikenakan di lapisan bawah
uchikake. Pola pada kakeshita sedikit rumit, tidak simetris dan
termasuk simbol keberuntungan pernikahan seperti pohon pinus yang
melambangkan kesabaran dan umur yang panjang atau lambang
burung bangau yang melambangkan pasangan hidup. Pola pada
kakeshita biasanya menyebar pada pertengahan kimono, sebagaimana
dapat ditutupi dengan sebuah obi yang formal. Kain kakeshita hampir
sama dengan kimono jenis furisode dan lengannya juga cukup panjang.
Kakeshita juga dapat berwarna putih bersih terutama jika dipakai
• Shiromuku
Shiromuku dalam bahasa Jepang, shiro artinya putih dan jenis kimono
ini selalu putih diatas putih atau warna krem juga dapat berwarna
cangkang telur. Biasanya ada gambar keberuntungan pernikahan pada
tenunan kainnya. Pada jenis yang lebih modern terdapat benang yang
berkilauan ditenun menjadi desain atau mungkin sedikit aksen warna
pada tepi atau kerah. Shiromuku, seperti uchikake juga dikenakan tanpa
sebuah obi, dilapis diatas kakeshita dan obi itu sendiri. Warna putih
digunakan sebagai simbol kematian, dan pada kasus ini untuk seorang
pengantin wanita, warna putih berarti akhir dari kehidupan lamanya
dan memulai hidup dengan dirinya yang baru sebagai seorang istri.
Shiromuku terkadang dikenakan dengan sebuah penutup kepala yang
menyerupai tudung yang disebut tsunokakushi yang berarti “menutupi
tanduk”, simbol dari pengantin wanita yang menyembunyikan rasa
cemburunya yang mungkin suatu saat terjadi pada keluarga baru si
pengantin wanita.
b. Mofuku (喪服)
Mofuku dapat diartikan sebagai semua jenis kimono yang mempunyai
warna hitam pada keseluruhan kimono. Ada pengecualian untuk mengenakan
kimono ini. Kimono ini hanya dikenakan pada keadaan berkabung dan dengan
berbagai gelar. Mengenakan mofuku diluar keadaan berkabung dan berduka
bagiannya namun mempunyai kamon yang diwarnai sebanyak 5 buah. Untuk
standar saat ini mofuku mempunyai garis berwarna putih, namun pada mofuku
jaman dahulu mempunyai garis berwarna merah.
Obi mofuku mungkin dapat berpola namun pola dan latar belakang pada
mofuku tetaplah berwarna hitam. Obi yang biasa digunakan adalah Nagoya obi.
Mofuku yang cocok dengan haori berwarna hitam tanpa pola dan mempunyai satu,
tiga atau lima buah lambang keluarga. Haori yang dikenakan dengan mofuku
bukan dari bagian mofuku itu sendiri namun dapat digunakan pada acara formal
lain.
Mofuku adalah kimono formal yang hanya dikenakan pada acara
berkabung, pemakaman dan memperingati hari kematian anggota keluarga.
Mofuku di Jepang tersedia untuk pemakaman dan hari berduka. Mofuku tidak
dapat dipakai diluar keadaan berduka atau acara pemakaman. Diluar Jepang dan
disekitar orang-orang yang tidak familiar dengan kimono, obi mungkin dapat tidak
digunakan.
Pakaian berkabung di Jepang seperti kebanyakan budaya timur dimulai
dengan warna putih. Setelah Jepang memulai budaya barat, dimulailah dengan
mengambil warna hitam sebagai standar pakaian berduka. Pada zaman sekarang,
warna putih digunakan oleh orang yang meninggal dan disebut sebagai
shinisouzoku. Walaupun begitu, mofuku hitam tetap bukan menjadi patokan
pakaian berduka di Jepang. Beberapa daerah di Jepang masih ada yang
menggunakan mofuku berwarna putih. Begitu juga dengan umat Buddha di Jepang
Pada zaman dahulu, anggota keluarga yang memakai setelan mofuku
lengkap dengan obi dan aksesorisnya sehari demi sehari melepaskan luaran
mofuku hingga bagian berwarna hitam tidak tersisa. Kimono tersebut dapat dilapisi
dengan iromuji pada lapisan pertama, kemudian obi, lalu obi-age dan yang
terakhir obi-jime. Untuk hari peringatan kematian, anggota keluarga dapat
memilih mengenakan bagian-bagian mofuku lagi.
Setelan mofuku lengkap dikenakan oleh anggota keluarga yang
mempunyai hubungan dekat dengan orang yang meninggal. Semakin jauh
hubungan antara anggota keluarga dengan orang yang meninggal maka semakin
sedikit lapisan mofuku yang dikenakan. Anggota keluarga seperti istri, anak atau
kakak perempuan menggunakan kimono mofuku, obi beserta aksesorisnya. Bagi
anggota keluarga yang lain, mengenakan iromuji dengan lambang yang lebih
tenang dengan obi dan aksesoris. Sedangkan untuk teman dan relasi yang jauh,
menggunakan obi-age dan obi-jime dengan iromuji yang lembut dan Nagoya obi.
Menggunakan mofuku yang tidak normal dari biasanya dapat memberikan
pemikiran yang salah. Jika yang mengenakan mofuku bukan dari istri yang
meninggal, dan ia mengenakan seluruh perlengkapan mofuku, dapat menandakan
perempuan tersebut mempunyai hubungan gelap dengan orang yang meninggal
tersebut.
Pada acara pemakaman, laki-laki yang dekat dengan orang yang
meninggal diperkirakan memakai kimono paling formal yang disebut montsuki.
tabi yang berwarna hitam atau putih, seta zouri yang digunakan dengan hanao
hitam atau putih, nagajuban yang dikenakan mempunyai kerah dengan warna
hitam atau abu-abu, haori-himo dengan warna hitam atau putih, pemakaian
hakama berwarna hitam atau garis-garis putih atau bisa juga dengan keseluruhan
berwarna hitam. Dan yang terakhir obi yang digunakan dapat berbagai warna
seperti warna hitam atau putih.
Pria yang tidak begitu dekat dengan orang yang meninggal, dapat
mengenakan kimono iromuji dengan warna apapun dan dilengkapi dengan tiga
lambang keluarga dengan haori yang sama. Haori yang digunakan dapat berwarna
apa saja. Sebuah kaku obi dengan berbagai warna, tabi yang berwarna hitam atau
putih, hanao berwarna hitam atau putih pada seta zouri, dan dapat memilih untuk
tidak mengenakan hakama.
c. Yukata (浴衣)
Yukata adalah jenis
pelapis. Dibuat dari kain yang mudah dilalui yukata dipakai agar badan
menjadi sejuk di sore hari atau berendam dengan air panas.
Menurut tingkat formalitas, yukata adalah kimono tidak formal yang
dipakai
sewaktu melihat pesta
perayaan
Musim panas berarti musim pesta kembang api dan matsuri di Jepang. Jika
terlihat orang memakai yukata, berarti tidak jauh dari tempat itu ada matsuri atau
pesta kembang api.
3.2. Aksesoris Kimono
Pada penggunaan kimono biasanya disertai dengan adanya beberapa
aksesoris yang menjadi pelengkap pada pakaian tersebut. Aksesoris ini juga
digunakan sesuai dengan jenis keadaan dan bentuk kimono itu sendiri.
3.2.1. Hakama
Hakama adalah istilah umum untuk pakaian yang menyerupai rok berlipat
dan digunakan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Ada dua kategori luas dari
hakama dibagi atas umanori (馬乗り) atau hakama “menunggang kuda” dan
andon hakama (行灯袴) secara harafiah berarti hakama lentera dimana bentuknya
seperti rok yang lebar. Kedua hakama ini mempunyai penampilan yang sama
ketika dikenakan. Hakama diikat di pinggang dengan menggunakan empat buah
himo dan panjang hingga menyentuh mata kaki.
Pada umanoribakama, kedua belah tungkai dibungkus sama seperti
menggunakan celana panjang karena adanya jahitan yang dimulai dari bagian
selangkangan hingga pergelangan kaki. Pada bagian bawah dibuat melebar
sehingga mudah dipakai bergerak. Jenis ini sering digunakan dikalangan bela diri
umanoribakama, pada andonbakama pemakainya memiliki ruang gerak yang lebih
terbatas. Andonbakama juga dipakai sebagai pakaian resmi. Para mahasiswi
mengenakan andonbakama sewaktu diwisuda.
Hakama sebenarnya adalah satu bagian dari luaran yang disebut
kamishimo (上下 atau 裃, secara harafiah artinya atasan dan bawahan). Dikenakan
oleh laki-laki kelas atas, hakama dipadukan dengan jaket tanpa lengan yang
disebut kataginu (肩衣)
Hakama dikenakan oleh laki-laki pada seluruh jenis kimono kecuali yukata.
Secara umum, mengenakan hakama membuat peningkatan formalitas pada sebuah
pakaian. Dan biasanya laki-laki mengenakan hakama untuk acara yang sangat
formal termasuk acara upacara minum teh, upacara atau pesta pernikahan dan
pada upacara pemakaman. Sedangkan perempuan mengenakan hakama lebih
jarang dibanding laki-laki dan sangat khusus pada upcara kelulusan. Perempuan
yang mengunjungi kuil juga mengenakan hakama. Baik laki-laki maupun
perempuan mengenakan hakama untuk seni bela diri Jepang tertentu, termasuk
memanah dan aikido.
a. Hakama Pria
Pria menggunakan hakama sebagai bagian dari pakaian sehari-hari, namun
tradisi ini berakhir pada zaman Edo dimana pria pada kelas tertentu, seperti dokter,
telah mulai meninggalkan hakama.
Pria mengenakan umanori dan andon-bakama dengan kimono. Untuk
digunakan dengan kimono, hakama pria sering sekali hanya mempunyai satu