• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.2 Perumusan Masalah

Pengembangan industri komoditi kelapa sawit dan karet ini memiliki arti yang sangat penting bagi Indonesia dilihat dari besarnya devisa yang dihasilkan, jumlah tenaga kerja yang terserap secara langsung dan tidak langsung dan banyaknya penduduk yang mata pencahariaannya bergantung pada komoditi ini. Menurut Ditjenbun (2007), pengembangan tanaman kelapa sawit pada tahun 2005 mampu menyerap tenaga kerja 2.7 juta Kepala Keluarga (KK) dan pengembangan tanaman karet mampu menyerap tenaga kerja 1.4 juta KK. Di samping itu, dari total ekspor komoditi perkebunan yang memberikan nilai sebesar US$ 10.9 milyar, sekitar 62 persen berasal dari ekspor komoditas kelapa sawit dan karet.

Dalam rangka memacu ekspor di sektor non migas termasuk sektor pertanian pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan. Untuk peningkatan produksi sektor pertanian, pemerintah menempuh berbagai usaha dan kebijakan di

bidang produksi antara lain melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan pola Unit Pelaksana Proyek (UPP). Mengaitkan pelaksanaan transimigrasi dengan pembangunan perkebunan dengan pola PIR, memberikan bunga yang rendah bagi pengembangan perkebunan dan berbagai kemudahan serta fasilitas lainnya bagi petani, perusahaan swasta dan perkebunan BUMN.

Gambar 1. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit dan Karet Indonesia Tahun 1968- 2009.

Ditinjau dari perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit dan karet Indonesia, pada tahun 1968 luas areal perkebunan karet mencapai 2.20 juta ha sedangkan luas perkebunan kelapa sawit hanya 0.11 juta ha. Luas perkebunan kelapa sawit terus menunjukkan pertumbuhan yang konsisten mencapai 10 persen per tahun sedangkan luas perkebunan karet cenderung stabil, sehingga pada tahun 1999 luas areal perkebunan kelapa sawit mampu melebihi luas perkebunan karet. Pertumbuhan luas areal kelapa sawit yang sangat cepat terjadi karena adanya pengalihan komoditi karet atau komoditi lainnya menjadi komoditi kelapa sawit dan adanya pembukaan lahan baru. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit ini tidak terlepas dari adanya dukungan kebijakan pemerintah.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 1968 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2009 Rib u an

7

Pengembangan areal perkebunan selama periode 2001-2006 secara nasional meningkat rata-rata 1.86 persen per tahun. Total luas sebesar 18.58 juta hektar, sekitar 2 juta ha di antaranya merupakan areal yang dikembangkan melalui proyek-proyek pengembangan perkebunan, sedangkan sebagian lainnya dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat. Peningkatan areal tahun 2006 untuk kelapa sawit 11.36 persen dan karet 0.91 persen (Ditjenbun, 2007).

Pengembangan areal perkebunan kelapa sawit dan karet Indonesia dikelompokkan ke dalam tiga bentuk pengusahaan yaitu: Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan Perkebunan Rakyat (PR). Selama periode 1967-1988 pengembangan areal perkebunan kelapa sawit didominasi oleh PBN dan PBS. Pada tahun 1988 PBN memiiliki luas areal 373 409 ha dan PBS memiliki luas areal 293 171 ha, dan PR 196 276 ha. Kemudian pada periode 1989-1991 luas areal perkebunan kelapa sawit didominasi oleh PBS dengan luas areal 531 219 ha, kemudian disusul oleh PBN dengan luas areal 395 183 ha, dan PR dengan luas areal 384 594 ha. Selanjutnya untuk periode 1992-2009 pengembangan areal perkebunan kelapa sawit didominasi oleh PBS kemudian disusul oleh PR dan PBN. Pada tahun 2009 data sementara dari luas areal PBS sebesar 3.88 juta ha, PR sebesar 3.01 juta ha dan PBN sebesar 608 580 ha (Ditjenbun, 2009a).

Pengembangan areal perkebunan karet periode 1968-1983 didominasi oleh PR dengan luas areal 2 117 876 ha, kemudian disusul oleh PBS dengan luas areal 236 544 ha dan PBN dengan luas areal 223 580 ha. Pada tahun 1984-1991, berbeda dari tahun sebelumnya posisi urutan kedua PBS diganti oleh PBN dimana pada tahun 1991 luas areal PR 2.66 juta ha, PBN 263 568 ha, dan PBS 242 440

ha. Selanjutnya pada periode 1992-2009, PBS kembali menempati urutan kedua setelah PR, adapun data sementara luas areal tahun 2009 PR sebesar 2.91 juta ha, PBS 275 860 ha dan PBN 238 161 ha (Ditjenbun, 2009b).

Produksi komoditas perkebunan seperti kelapa sawit dan karet menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik pada periode 2005-2008. Kelapa sawit tumbuh 8.88 persen dan karet tumbuh 1.59 persen (Deptan, 2009). Pada periode sebelumnya tahun 2000-2003, komoditi kelapa sawit dan karet menunjukkan kinerja produksi yang sangat baik yaitu tumbuh positif masing-masing 14.12 dan 16.43 persen per tahun, suatu capaian tertinggi dalam sejarah. (Syafa’at et al. 2004).

Dilihat dari tingkat produktivitas dari masing-masing bentuk pengusahaan perkebunan, baik perkebunan kelapa sawit maupun perkebunan karet produktivitas PR masih lebih rendah dibandingkan dengan PBS dan PBN. Menurut data Ditjenbun (2009a), untuk komoditas kelapa sawit pada tahun 2008 produktivitas PR 3.32 ton/ha, PBN 3.81 ton/ha, dan PBS 3.42 ton/ha. Sedangkan untuk komoditas karet pada tahun 2008 produktivitas PR 0.91 ton/ha, PBN 1.34 ton/ha, dan PBS 1.59 ton/ha (Ditjenbun, 2009b).

Peluang pasar domestik dan luar negeri sangat besar bagi produk pertanian Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar merupakan pasar dalam negeri yang potensial bagi produk pertanian. Pada tahun 2009 jumlah penduduk Indonesia tercatat sebesar 230.63 juta jiwa dengan pertumbuhan 1.25 persen per tahun. Era globalisasi dan pemberlakuan pasar bebas, produk pertanian Indonesia juga berpeluang untuk dipasarkan ke pasar internasional. Perkembangan jumlah ekspor Indonesia ke masing masing negara tujuan ekspor berfluktuasi dari tahun

9

ke tahun dan cenderung megalami peningkatan. Potensi Indonesia untuk meningkatkan ekspor komoditas pertanian dengan ketersediaan sumberdaya alam untuk meningkatkan produksi tidak cukup tanpa adanya kegiatan pemasaran dan kebijakan perdagangan yang mendukung.

Di negara maju maupun negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, umumnya pemerintah melakukan intervensi baik dalam hal produksi maupun perdagangan komoditas pertanian yang pada akhirnya pasar komoditas pertanian terdistorsi. Harga komoditas pertanian di pasar internasional dan pasar domestik tidak hanya digerakkan oleh kekuatan permintan dan penawaran, tetapi juga dipengaruhi oleh kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia maka usaha-usaha di bidang pertanian akan menghadapi lingkungan yang berbeda karena adanya perubahan-perubahan secara internasional maupun domestik. Perubahan lingkungan internasional antara lain adanya liberalisasi ekonomi dan perdagangan, dengan disepakatinya perjanjian General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO). Dalam perjanjian tersebut kebijakan ekonomi yang terdistorsif seperti pengenaan pajak ekspor output, tarif impor input, subsidi input, pengaturan tataniaga, intervensi terhadap nilai tukar, dan penetapan suku bunga bank baik untuk kegiatan produksi maupun perdagangan komoditas pertanian. Negara-negara yang kebijakan menyebabkan pasar domestik sangat terdistorsi harus mengurangi dukungannya kepada komoditas yang bersangkutan secara bertahap (Hadi et al. 1999). Sebagai konsekuensi dari teratifikasinya perjanjian-perjanjian tersebut, maka negara-negara yang memiliki posisi ekspor kuat akan memperoleh manfaat yang besar (Stephenson dan Erwidodo, 1995).

Komoditi utama tanaman perkebunan Indonesia (kelapa sawit, karet, kelapa, kopi, kakao, lada cengkeh) banyak dikelola oleh perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta. Setiap petani atau pengusaha memiliki kebebasan dalam menentukan komoditi apa yang akan diproduksinya. Dengan demikian dalam melakukan usaha taninya ada keterkaitan antar komoditi dalam menggunakan sumberdaya lahan yang tersedia. Berdasarkan hal tersebut kebijakan terhadap suatu komoditi memiliki implikasi terhadap komoditi lainnya.

Berdasarkan uraian di atas penelitian ini memfokuskan kajian pada tiga permasalahan pokok yaitu:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya perubahan luas areal tanaman, produksi, produktivitas pada setiap bentuk pengusahaan dan konsumsi serta harga di pasar domestik untuk komoditi kelapa sawit (CPO) dan karet alam ?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perkembangan penawaran ekspor Indonesia, permintaan impor negara importir utama, konsumsi dan harga di pasar internasional untuk komoditi kelapa sawit (CPO) dan karet alam ?

3. Bagaimana dampak kebijakan ekonomi terhadap perkembangan industri komoditi kelapa sawit dan karet alam Indonesia dan distribusi kesejahteraan produsen, konsumen dan penerimaan devisa.

Dokumen terkait