• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

1.2 Perumusan Masalah

Pasar tradisional selain merupakan tempat interaksi antara penjual dan pembeli, juga merupakan potensi yang dimiliki oleh Kota Bogor sebagai penghasil Pendapatan Asli Daerah (PAD). Nilai PAD dari pengelolaan tujuh pasar dan pendapatan perizinan kartu kuning, mandi cuci kakus dan pendapatan kerja sama dengan pihak ketiga dalam mengoperasionalkan sebagian pasar, dapat dilihat pada Tabel 1.

Nilai PAD dari pengelolaan pasar, retribusi, mandi cuci kakus dan pendapatan kerja sama dengan pihak ketiga dari tahun 2006 hingga tahun 2010 adalah 12.308 juta, pendapatan tersebut dari tahun ke tahun selalu meningkat. Pendapatan dari pasar tradisional dan Pendapatan tertinggi dari tahun 2006 hingga tahun 2010 berasal dari Pasar Bogor, yaitu sebesar Rp 3.911 juta, selanjutnya adalah Pasar Kebon Kembang sebesar Rp 2.608 juta.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa penerimaan pendapatan operasional dari pasar tradisional pada tahun 2006 hingga 2010 mengalami penurunan, walaupun secara nominal mengalami peningkatan. Peningkatan penerimaan tertinggi pada tahun 2006 ke tahun 2007 rata-rata sebesar 16,8 persen, selanjutnya menurun menjadi 6,6 persen, 4,8 persen dan 0,7 persen. Penurunan terbesar terjadi di Pasar Jambu Dua, sebesar 10,3 persen.

Secara keseluruhan, pada Tabel 1, pertumbuhan pendapatan operasional pasar tertinggi adalah dari tahun 2006 ke tahun 2007 sebesar 12,68 persen, selanjutnya menurun hingga 2,08 persen pada tahun 2009/2010. Pertumbuhan rata-rata dari tahun 2006 hingga tahun 2010 adalah 6,57 persen.

Tabel 1. Pendapatan Operasional Pasar di Kota Bogor (dalam Rp juta)

No Sumber Pendapatan TAHUN Total Pendapatan 2006 2007 2008 2009 2010 1 Retribusi a Pasar Bogor 672 799 804 808 826 3.911 b Kb. Kembang 467 505 526 552 557 2.608 c Merdeka 108 191 197 200 207 906 d Sukasari 107 113 114 122 125 584 e Gunung Batu 71 74 74 77 80 379 f Jambu Dua 53 54 60 65 59 292 g Padasuka 38 39 50 53 54 235 2 Kartu Kuning - - 100 129 112 342 3 MCK 44 34 38 47 48 212 4 Kontraktor a Bina Citra 440 485 480 528 528 2.461 b PROPINDO 45 32 28 28 67 202 c Cardo Lestari 47 32 30 30 30 170 JUMLAH 2.097 2.363 2.505 2.643 2.698 12.308 Pertumbuhan (%) 12,68 6,01 5,51 2,08

Pertumbuhan rata per tahun (%) 6,57

Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor, 2011

Penurunan pertumbuhan pendapatan operasional yang terjadi pada pasar tradisional di Kota Bogor yang dikelola oleh PD Pasar Pakuan Jaya dari tahun 2006 hingga 2010 antara lain dikarenakan oleh berbagai kelemahan, seperti segi manajemen pengelolaan, infrastruktur, kualitas sumberdaya manusia, keberpihakan kebijakan pemerintah dan lemahnya karakter pedagang.

Pasar modern berkembang sangat pesat, dengan sarana dan prasarana yang lengkap, lahan parkir yang cukup luas, keamanan terjamin, antar lantai dihubungkan dengan eskalator dan lif, diruangan pasar memakai ac dan koridor yang cukup lapang serta dikelola dengan mempergunakan teknologi tinggi dan sumber daya manusia yang handal, dan jumlah pasar modern lebih banyak dari pasar tradisional di Kota Bogor.

Kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh pasar tradisional ini menjadi tantangan bagi PD Pasar Pakuan Jaya dalam upaya mengembangkan pasar, agar pasar tradisional dapat memiliki posisi tawar di mata masyarakat dan pasar modern. Oleh karenanya yang menjadi rumusan permasalahan dari penelitian ini adalah :

1. Bagimana kondisi pasar tradisional yang terdapat di Kota Bogor?

2. Bagaiman persepsi pelanggan terhadap pengelolaan dan pelayanan PD Pasar Pakuan Jaya di Kota Bogor?

3. Strategi apa yang digunakan untuk meningkatkan posisi tawar pasar tradisional yang terdapat di Kota Bogor?

1.3 Tujuan

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk merumuskan strategi dan program peningkatan posisi tawar pasar tradisional yang terdapat di Kota Bogor. Sementara tujuan spesifik dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi kondisi pasar tradisional yang terdapat di Kota Bogor. 2. Menganalisis persepsi pelanggan terhadap pasar tradisional di Kota Bogor. 3. Merumuskan strategi untuk meningkatkan posisi tawar pasar tradisional di

Kota Bogor.

1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini di harapkan menjadi bahan acuan bagi pemerintah Kota Bogor dan Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan posisi tawar pasar tradisional di Kota Bogor, serta dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian lain dalam upaya

mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan pasar tradisional di Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pasar

Pasar merupakan suatu lapangan atau pelataran yang sebagian beratap atau sebagian terbuka, seluruhnya terbuka atau tertutup yang sesuai berdasarkan peraturan dan ketentuan pemerintah setempat. Menurut Umar (2005), pasar merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli, atau saling bertemunya antara kekuatan permintaan dan penawaran untuk membentuk suatu harga. Secara fisik pasar merupakan pemusatan beberapa pedagang tetap yang selanjutnya para pedagang tersebut menempati bangunan-bangunan. Sedangkan secara fungsional, pasar adalah suatu tempat dimana terjadi proses tukar menukar dan proses itu berlangsung bila sejumlah penjual dan pembeli bertemu satu sama lainnya yang kemudian sepakat untuk memindah tangankan barang-barang yang diperjualbelikan kepada pembeli yang dinyatakan dengan bentuk transaksi.

Secara ekonomi, pasar merupakan sebagai pusat sosial ekonomi suatu lingkungan, dimana penduduk dapat memenuhi kebutuhannya terutama kebutuhan barang-barang pokok sehari-hari atau kebutuhan jasa-jasa dalam bentuk eceran, sedangkan pengertian dari sudut pelayanannya pasar merupakan sarana umum yang ditempatkan oleh pemerintah sebagai tempat transaksi jual beli umum dimana pedagang secara teratur dan langsung memperdagangkan barang dan jasa dengan mengutamakan adanya barang-barang kebutuhan sehari-hari.

Pasar merupakan sebuah perwujudan kegiatan ekonomi yang telah melembaga serta tempat bertemunya antara produsen (pedagang) dan konsumen (pembeli) untuk melaksanakan transaksi dimana proses jual beli terbentuk yang menurut kelas mutu pelayanan menjadi pasar tradisional dan pasar modern, dan menurut pendistribusiannya dapat digolongkan menjadi pasar eceran dan pasar perkulakan/ grosir (Yogi, 2000).

Jika dilihat dari jenis usahanya, maka pasar di Indonesia terbagi menjadi beberapa jenis usaha, yaitu minimarket, supermarket, hypermarket, toko dengan sistem pembayaran cash and carry, toko kecil dengan layanan penuh dan pasar

tradisional. Secara lengkap dan detil dapat dilihat pada Tabel 2 mengenai batasan fisik dan barang yang dijualnya.

Table 2. Jenis Usaha Ritel di Indonesia

Usaha Ritel Batasan Fisik Barang-barang yang

Tersedia Minimarket

“Convenience Stores”

- Mempekerjakan 2–6 orang

- Luasnya kurang dari 350 m3 - Makanan kemasan - Barang-barang higienis pokok Supermarket - Luasnya 350–8000 m3

- Memiliki lebih dari 3 mesin hitung

- Makanan - Barang-barang

rumahtangga Hipermarket - Berdiri sendiri (tanpa

bergabung dengan yang lain)

- Luasnya di atas 8.000 m3

- Memiliki mesin hitung untuk setiap 1.000 m3 - Mempekerjakan 350– 400 orang - Makanan - Barang rumahtangga - Elektronik - Busana/Pakaian - Alat olah raga

Toko dengan sistem pembayaran cash

and carry

- Luasnya lebih dari 500 m3

- Perlu menjadi anggota untuk masuk

- Makanan - Barang

rumahtangga Toko kecil dengan

layanan penuh

- Milik keluarga - Luasnya kurang dari

200 m3 - Independen - Makanan tertentu - Barang rumahtangga tertentu Pasar tradisional - Banyak pedagang

- Lapak kecil dengan ukuran 2–10 m3 - Bahan-bahan segar - Barang-barang produksi rumahtangga - Barang-barang pokok rumahtangga Diadaptasi dari Collett & Wallace (2006), dalam Suryadarma, D et al, 2007

2.2 Pasar Tradisional dan Modern

Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, swasta, koperasi, atau swadaya masyarakat dengan tempat usaha

berupa toko, kios atau los dan tenda, yang dimiliki atau dikelola oleh pedagang kecil dan menengah dan koperasi, dengan usaha skala kecil dan modal kecil dengan proses jual beli melalui tawar menawar. Sedangkan pasar modern adalah pasar yang umumnya dimiliki oleh pemodal kuat, mempunyai kemampuan untuk menggaet konsumen dengan cara memberikan hadiah langsung, hadiah khusus, dan juga discount-discount menarik (Zumrotin, 2002). Pasar modern pada umumnya diisi oleh retailer (pengecer besar), baik perusahaan pengecer dengan skala lokal maupun nasional. Mereka ini merupakan pesaing yang mengancam keberadaan pasar-pasar tradisional. Oleh karena itulah modernisasi pasar dengan manajemen pengelolaan secara modern baik dari sistem pengelolaan maupun kelembagaannya perlu ditingkatkan untuk mengembangkan perekonomian pedagang kecil serta pemacu pertumbuhan ekonomi daerah.

Menurut Yamato (2011) dalam blognya, kelebihan dan kelemahan pasar tradisional dan pasar modern adalah sebagai berikut:

1. Pasar tradisional merupakan pasar yang memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Biasanya lokasi dari pasar tradisional ini strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, memiliki harga yang rendah, serta sistem tawar menawar yang menunjukkan sikap keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan tersendiri yang dimiliki pasar tradisional. Sisi kekeluargaan inilah yang menjadi salah satu pemandangan yang indah kala berada di pasar

2. Pasar tradisional memiliki kelemahan yang sangat urgen ialah pada kumuh dan kotornya lokasi pasar. Bukan hanya itu saja, banyaknya produk yang mayoritas diperjualbelikan oleh oknum pedagang yang tidak bertanggung jawab dengan menggunakan bahan kimia yang tak seharusnya dipakai, dan praktek seperti itu marak sekali terjadi di pasar tradisional. Bukan hanya itu saja, kurang menariknya kemasan produk di pasar tradisional juga yang membuat kurang dilirik konsumen, bahkan makin hari bukannya semakin bagus akan tetapi malah semakin memburuk kondisinya. Dan jelas hal seperti itu cukup membahayakan keberadaan pasar tradisional.

3. Kelebihan pasar modern dibanding pasar tradisional cukup jelas, mereka memiliki banyak keunggulan yakni; nyaman, bersih serta terjamin. Dan tiga hal

tersebut yang membuat para konsumen mau membeli ke pasar modern. Sejuk, bersih, nyaman mempunyai peranan penting bagi pasar modern, dan ketiga komponen tadi menjadi andalan dari pasar modern dan hal tersebut tidak dimiliki oleh pasar tradisional.

4. Secara sekilas, tidak terdapat kelemahan dari pasar modern ini. Mungkin kelemahannya terdapat pada praktik jual belinya dimana konsumen tidak bisa menawar harga barang yang hendak dibelinya.

Secara keseluruhan kelebihan dan kekurangan dari kedua pasar ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kelebihan dan Kekurangan Pasar Tradisional dan Pasar Modern

Pasar Tradisional Pasar Modern

Kelebihan - lokasi yang strategis - area penjualan yang luas - keragaman barang yang

lengkap

- harga yang rendah

- keakraban antara penjual dan pembeli dengan adanya sistem tawar menawar

- mendongkrak perekonomian daerah untuk kalangan menengah ke bawah - nyaman - bersih - terjamin Kekurangan - kumuh - kotor

- banyaknya produk yang diperjualbelikan oleh oknum pedagang yang tak

bertanggung jawab

menggunakan bahan kimia yang tak seharusnya dipakai - cara pengemasan di pasar

tradisional yang kurang baik

- konsumen tidak bisa menawar harga

Sumber: http://fhryamato.blogspot.com/2011/03/kekurangan-dan-kelemahan-pasar-modern.html

2.3 Permasalahan Utama Pasar

Pasar sebagai suatu infrastruktur publik yang disediakan oleh pemerintah tentunya memiliki berbagai permasalahan yang perlu diselesaikan oleh pengelola. Beberapa permasalahan utama pasar yang berasal dari Zumrotin, 2002:

1. Pengelolaan : Ketidakmampuan dalam mengelola pasar tradisional untuk menciptakan pasar yang bersih, aman, nyaman, serta tidak adanya upaya untuk melakukan pembinaan kepada para pedagang untuk berpraktek dagang yang sehat dan jujur akan menyebabkan konsumen enggan berbelanja dipasar tradisional. Selain itu pasar yang becek, berbau tidak sedap, tidak aman/ rawan keamanan, dan praktek dagang yang tidak sehat akan menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan konsumen sehingga mereka lebih baik meninggalkan pasar tradisional karena memiliki resiko tinggi

2. Tata Ruang dan Lokasi : Masalah timbul dari operasional tata ruang, lokasi dan masih tersdianya tempat usaha yang tidak produktif.

3. Pola Pembangunan dan Pendanaan : Selama ini pemerintah melakukan sistem pengadaan atau penyediaan pasar khususnya pasar tradisional sebagai salah satu infrastruktur, yaitu dengan melakukan pembangunan fisik pasar yang belum ada wujudnya, dimulai dengan penyediaan lahan sampai berdirinya bangunan pasar yang dioperasikan (Thamrin, 2000). Keterbatasan dan tantangan yang dihadapi oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pengelola pasar tradisional (Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) saat ini adalah adanya kebijakan regulasi di bidang dunia usaha nasional yang mulai menitikberatkan pada usaha perekonomian rakyat. Situasi pasar yang lebih bebas dengan tingkat kepuasan konsumen terhadap kualitas dan kuantitas menghasilkan produk yang lebih tinggi. Kurang dan terbatasnya modal yang diperlukan oleh perusahaan untuk operasional dan pemeliharaan perusahaan, dan rendahnya hasil usaha, mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan pengembangan investasi, kurangnya profesionalisme, transparansi, dan pengawasan dalam manajemen pengelolaan perusahaan serta banyaknya BUMD yang mengalami kesulitan keuangan (Subowo, 2002).

Pengembangan penyediaan prasarana yang efisien melalui keterlibatan pihak swasta tidak lain karena untuk memenuhi keinginan masyarakat, artinya tidak saja efisien dan ekonomis tetapi juga harus memiliki dimensi sosial. Keterlibatan swasta dalam sektor prasarana dikarenakan hal-hal sebagai berikut (Darrin dan Mervin, 2001) :

1. Keterbatasan pemerintah dalam membiayai pembangunan infrastruktur, di satu sisi disebabkan oleh keterbatasan teknologi, daya dan dana. Sedangkan di pihak lain kebutuhan akan infrastruktur semakin mendesak.

2. Partisipasi pembangunan berdasarkan keinginan masyarakat (Community Driven Development) melalui pembagian resiko yang sebelumnya menjadi tanggungjawab pemerintah, didistribusikan kepada pihak swasta.

3. Motivasi profit dari pihak swasta akan mendorong organisasi yang dikelola menjadi lebih efisien, transparan dan kompetitif.

4. Capacity Building

5. Kebijakan pemerintah, diantaranya adalah terdapatnya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perusahaan daerah yang masih berlaku hingga saat ini adalah undang-undang No 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dalam rangka melakukan usaha Perusahaan Daerah mengenai “Bisnis Birokrasi” yaitu kebijakan pengembangan sangat ditentukan oleh pemerintah daerah sebagai pihak yang mewakili daerah sebagai pemilik Perusahan Daerah. Pada masa itu direksi dan mayoritas pegawai merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari birokrasi pemerintahan daerah. Sehingga dalam prakteknya pengelolaan mirip dengan pengelolaan lembaga birokrasi. Akibatnya dalam banyak kasus, manajemen kurang memiliki independensi dan fleksibilitas inovasi usaha guna mencapai tujuan organisasinya (Subowo, 2002).

Pengaturan misi Perusahaan Daerah secara luas yaitu memberi jasa, menyelenggarakan kepentingan umum, dan memupuk pendapatan tanpa melihat apakah usaha Perusahaan Daerah tersebut sesungguhnya merupakan bidang komersial atau bukan. Keberadaan Perusahaan Daerah berorientasi ganda yaitu public sevice oriented dalam rangka menyelenggarakan kemanfaatan umum dan profit oriented dalam rangka memupuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akan tetapi jika dilihat secara profesional berdasarkan prinsip-prinsip koperasi, public mission dan profit hal tersebut merupakan dua sisi yang sangat sulit untuk disatukan. Menurut Davey adalah ‘Bagaimana Perusahaan daerah memaksimumkan keuntungan tanpa mengorbankan layanan terhadap masyarakat, terutama kelas bawah dan menengah’ (Davey, 1983).

2.4 Manajemen Pasar

Manajemen berasal dari kata to manage yang mempunyai arti mengatur. Pada hakikatnya manajemen merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Untuk dapat mengatur kegitan yang berlangsung maka harus terdapat unsur-unsur manajemen yang menunjang proses kegiatan tersebut yaitu : manusia, uang, metode, material, mesin dan pasar. Keenam unsur tersebut perlu diatur agar lebih berdaya guna, berhasil guna, terintegrasi dan terkoordinasi dalam mencapai tujuan yang dinginkan (Hasibuan, 1996). Adapun pengertian umum manajemen adalah pendayagunaan sumberdaya manusia dengan cara yang paling baik agar dapat mencapai rencana-rencana dan sasaran perusahaan (Madura, 2001).

Manajemen pasar merupakan proses pengaturan kegiatan perdagangan yang berlangsung dipasar dengan sumber daya meliputi pedagang, tempat usaha dan pengorganisasiannya. Serangkaian aktivitas yang dilakukan dalam fungsi-fungsi manajemen pasar merupakan sebuah proses manajemen. Untuk melaksanakan manajemen tersebut maka diperlukan adanya manajer yang dalam pelaksanaan tugas kegiatan serta kepemimpinannya harus melakukan tahap-tahap seperti dibawah ini :

1. Perencanaan, adalah suatu proses penentuan tujuan dan pedoman pelaksanaan dengan memilih alternatif yang terbaik dan beberapa perencanaan yang ada. 2. Pengorganisasian, adalah suatu proses penentuan, pengelompokan, dan

pengaturan bermacam-macam aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan, menempatkan orang-orang pada setiap aktivitasnya masing-masing, menyediakan alat-alat yang diperlukan, dan menetapkan wewenang secara relatif untuk kemudian didelegasikan kepada setiap individu yang melakukan aktivitas-aktivitas tersebut.

3. Pengarahan, adalah mengarahkan semua bawahan agar mau bekerjasama secara aktif untuk mencapai tujuan. Tujuan dan pengarahan untuk membuat semua anggota kelompok mau bekerjasama dan bekerja secara ikhlas untuk mencapai tujuan dengan perencanaan dan usaha-usaha pengorganisasian. 4. Pengendalian, adalah proses pengaturan berbagai faktor dalam suatu

untuk mengukur dan memperbaiki kinerja bawahan, apakah sudah sesuai dengan rencana sebelumnya atau tidak.

2.5 Pedagang dan Struktur Kegiatannya

Kegiatan perdagangan di pasar merupakan suatu kegiatan ekonomi pasar, seperti yang digambarkan oleh Geertz (1969), yaitu suatu perekonomian dimana arus total perdagangan terpecah-pecah menjadi transaksi-transaksi orang ke orang yang masing-masing tidak ada hubunganya yang mana jumlahnya sangat besar, sangat berbeda dengan ekonomi barat yang berpusatkan firma, dimana perdagangan dan industri dilakukan melalui serangkaian pranata sosial yang tidak bersifat pribadi, yang mengorganisasikan berbagai pekerjaan yang bertalian dengan tujuan-tujuan produksi dan distribusi tertentu, maka ekonomi jenis ini adalah berdasarkan pada kegiatan yang independen dan pedagang terpacu untuk bersaing secara sehat antara satu dengan lainnya (Nas, 1986).

Pedagang yang menempati kios dianggap telah masuk kedalam sektor formal karena telah menjadi pedagang yang tetap di pasar. Pedagang tetap ini merupakan kelompok pedagang yang telah mapan di kota, yang berusaha mengorganisasikan kegiatan mereka dengan lebih sistematis dengan modal usaha yang besar seperti yang dahulu pernah dilakukan oleh orang tua mereka. Sedangkan pedagang yang tidak menempati kios menjadi sektor informal atau yang lebih dikenal dengan pedagang kaki lima (PKL) atau pedagang pengecer, hanya menggunakan jalan masuk dan wilayah sekitar pasar sebagai tempat menggelar dagangannya. Jenis kegiatan usahanya cenderung berkelompok sesuai dengan ciri-ciri khas daerah atau suku bangsa mereka. Barang dagangan mereka peroleh dari juragan atau tokoh yang menjadi patron bagi pedagang kaki lima sekaligus menyewakan peralatan jualan yang berupa gerobak ataupun meja gelaran.

Mengingat Pasar Tradisional memiliki peranan yang sangat strategis, selain akan menciptakan lapangan kerja juga akan menumbuhkan dunia usaha dan kewiraswastaan baru dalam jumlah banyak sehingga kelompok ini mempunyai keterkaitan dengan sektor industri dan jasa lainnya. Dalam kegiatan inilah membangun pasar tradisional menjadi perlu dilakukan. Pembinaan dan penataan

melalui uluran tangan pemerintah secara terus menerus perlu dilakukan. Dengan demikian, diharapkan karena peranannya maka pasar tradisional dapat menumbuhkan tata perdagangan yang lebih mantap, lancar, efektif, efisien dan berkelanjutan dalam satu mata rantai perdagangan nasional yang kokoh (Yogi, 2000).

2.6 Persepsi Pelanggan

Persepsi merupakan suatu proses memperhatikan dan menyeleksi, mengorganisasikan dan menafsirkan stimulus lingkungan melalui panca indra (pendengaran, penglihatan, perasa, penciuman, dan peraba). Namun demikian, makna dari proses persepsi tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu individu yang bersangkutan. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi pelanggan adalah harga, citra, tahap pelayanan dan momen pelayanan. Persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa berpengaruh terhadap tingkat kepentingan pelangggan, kepuasan pelanggan, dan nilai pelanggan (Rangkuti, 2003).

2.6.1 Tingkat Kepentingan Pelanggan

Tingkat kepentingan pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk jasa yang akan dijadikannya standar acuan dalam menilai kinerja produk jasa tersebut (Rangkuti, 2003). Menurut Lovelock dan Wraight (2005), menyatakan bahwa ada dua tingkat kepentingan pelanggan, yaitu :

1. Adequate service, adalah tingkat kinerja jasa minimal yang akan diterima pelanggan tanpa merasa tidak puas.

2. Desire service, adalah tingkat kualitas jasa yang diidam-idamkan yang diyakini pelanggan dapat dan seharusnya diberikan.

Diantara adequate service dengan desire service terdapat zone of tolerance, yaitu rentang dimana variasi pelayanan yang masih dapat diterima oleh pelanggan.

Kepuasan pelanggan merupakan persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa yang telah memenuhi harapannya (Irawan, 2007). Pelanggan tidak akan puas apabila pelanggan mempunyai persepsi bahwa harapannya belum terpenuhi dan sebaliknya pelanggan akan puas apabila persepsinya sama atau lebih dari yang diharapkan. Kepuasan pelanggan, selain dipengaruhi oleh persepsi kualitas jasa, juga ditentukan oleh kualitas produk, harga, kualitas pelayanan dan faktor-faktor yang bersifat situasional.

Kepuasan didefinisikan juga sebagai perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja (hasil) suatu produk dan harapan-harapannya. Jika kinerja berada dibawah harapan maka pelanggan tidak puas, jika kinerja memenuhi harapan maka pelanggan puas dan jika kinerja melebihi harapan pelanggan sangat puas (Kotler, 2005). Sedangkan menurut Lovelock dan Wright (2005), kepuasan pelanggan adalah keadaan emosional, reaksi pasca pembelian mereka dapat berupa kemarahan, ketidakpuasan, kejengkelan, netralitas, kegembiraan, atau kesenangan.

2.6.3 Nilai Pelanggan

Tugas pertama bagi sebuah perusahaan adalah untuk menciptakan pelanggan. Nilai yang diterima pelanggan (Customer Delivered Value) adalah selisih antara total customer value atau jumlah nilai bagi pelanggan dan total customer cost atau biaya total pelanggan. Total customer value adalah kumpulan manfaat yang diharapkan diperoleh pelanggan dari produk atau jasa tertentu. Total customer cost adalah kumpulan pengorbanan yang diperkirakan pelanggan akan terjadi dalam mengevaluasi, memperoleh dan menggunakan produk jasa tersebut (Druker dalam Kotler, 2005).

Menurut Lovelock dan Wright (2005), dalam menciptakan nilai untuk pelanggan berkaitan dengan konsep 8 P, yaitu :

1. Place and Time (tempat dan waktu), keputusan manajemen tentang kapan, dimana, dan bagaimana menyampaikan jasa tersebut kepada pelanggan.

2. Process (proses), metode pengoperasian atau serangkaian tindakan tertentu, yang umumnya berupa langkah-langkah yang diperlukan dalam suatu urutan yang telah ditetapkan.

3. Productivity (produktivitas), seberapa efisien pengubahan input jasa menjadi output yang menambah nilai bagi pelanggan.

4. Product (produk), semua komponen kinerja jasa yang menciptakan nilai bagi pelanggan.

5. People (orang), karyawan (kadang-kadang pelanggan lain) yang terlibat dalam proses produksi.

6. Promotion and Education (promosi dan edukasi), semua aktivitas dan alat yang menggugah komunikasi yang dirancang untuk membangun prefensi pelanggan terhadap jasa dan penyedia jasa tertentu.