• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

1.2 Perumusan Masalah

Sektor basis merupakan sektor penggerak perekonomian di suatu wilayah. Pertanian di samping memberikan kontribusi terbesar terhadap total PDRB juga sebagai sektor basis baik di tingkat Provinsi Sulawesi Selatan maupun Bulukumba. Kabupaten Bulukumba dengan sektor pertanian diharapkan mampu berperan serta terhadap pembangunan perekonomian provinsi terutama dari sektor pertanian. Tingginya peranan sektor ini ditopang oleh sub-sub sektor di dalamnya yaitu tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Dengan menitikberatkan pembangunan pertanian pada sub-sub sektor pertanian unggulan di Kabupaten Bulukumba diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan pertanian di tingkat provinsi.

Kabupaten Bulukumba, berdasarkan geografisnya mempunyai potensi pengembangan komoditas pertanian secara luas, baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan maupun perikanan. Hal ini tentunya menjadi keuntungan dan juga menjadi tantangan kabupaten dalam membangun pertanian di wilayahnya. Untuk itu, diperlukan suatu penetapan komoditas unggulan melalui identifikasi berbagai komoditas yang dibudidayakan.

Penetapan komoditas unggulan sebagai bentuk kebijakan pemerintah cenderung bersifat “top-down”. Keinginan masyarakat lokal umumnya petani sering kurang dipertimbangkan sehingga dalam pengembangan komoditas menjadi terhambat karena masyarakat merasa tidak menjadi bagian dalam pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian dapat berhasil apabila adanya partisipasi petani dalam setiap kegiatan pertanian guna meningkatkan produksi pertanian mereka. Wujud partisipasi petani dapat dilihat dari pengelolaan usaha tani mereka secara aktif sehingga memberikan hasil atau pendapatan bagi mereka.

Pembangunan pertanian tidak berhenti sampai pada penentuan komoditas unggulan dan pengembangannya tetapi harus dirumuskan dalam program pemerintah dengan menentukan strategi pembangunan pertanian ke depan. Menitikberatkan pada pembangunan pertanian di Kabupaten Bulukumba, strategi yang dikembangkan tidak hanya dengan melihat sisi supply berupa upaya peningkatan produksi pertanian semata. Pembangunan pertanian ke depan diharapkan mempertimbangkan sisi demand guna mendorong tumbuhnya permintaan akan hasil produk pertanian. Strategi yang dapat dikembangkan yaitu pengembangan agroindustri dimana hasil-hasil pertanian sebagai bahan mentah melalui proses pengolahan menjadi bahan jadi sehingga memiliki daya saing yang tinggi dengan wilayah lain untuk komoditi yang sama. Dengan terintegrasinya komoditas unggulan dan agroindustri diharapkan Kabupaten Bulukumba mampu memberikan kontribusi yang besar bagi pembangunan pertanian di tingkat Provinsi Sulawesi Selatan.

Berdasarkan berbagai permasalahan di atas, dalam menyusun strategi pengembangan sektor dan komoditas unggulan serta sektor turunannya disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Sub sektor pertanian mana saja yang menjadi unggulan dari Kabupaten Bulukumba pada lingkup Provinsi Sulawesi Selatan ?

3. Bagaimana tingkat partisipasi petani dalam pengembangan komoditas unggulan di Kabupaten Bulukumba ?

4. Bagaimana arahan dan strategi pengembangan sektor pertanian dan komoditas unggul serta sektor turunannya ?

1.3 Tujuan, Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian secara umum ditujukan untuk menyusun arahan dan strategi pengembangan sektor dan komoditas unggul serta sektor turunannya dan secara khusus tujuan penelitian adalah:

1. Mengidentifikasi sub sektor pertanian unggulan Kabupaten Bulukumba pada lingkup Provinsi Sulawesi Selatan.

2. Mengidentifikasi komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Bulukumba berdasarkan keunggulan komparatif, kompetitif dan pandangan aparat pemerintah.

3. Menganalisis tingkat partisipasi petani dalam pengembangan komoditas unggulan di Kabupaten Bulukumba.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian yakni sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten Bulukumba tentang gambaran komoditas unggulan beserta sentra pengembangannya dan sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten Bulukumba dalam mengembangkan agroindustri berbasis komoditas unggulan.

Penelitian dibatasi pada penggunaan data PDRB Kabupaten Bulukumba sebagai unit wilayah dan PDRB Provinsi Sulawesi Selatan sebagai wilayah agregat dalam menentukan sub sektor unggulan pada sektor pertanian. Dalam penentuan komoditas unggulan di Kabupaten Bulukumba, komoditas yang diidentifikasi merupakan komoditas yang dominan dibudidayakan untuk masing- masing sub sektor pertanian dan terdata pada instansi tertentu serta melalui pendekatan aspek ekonomi dan aspek sosial.

1.4 Kerangka Pemikiran

Sulawesi Selatan sebagai salah satu provinsi di Kawasan Timur di Indonesia berperan penting dalam perekonomian nasional utamanya sektor pertanian. Pertanian merupakan sektor basis di Sulawesi Selatan begitupun halnya dengan kabupaten atau kota yang ada dalam wilayahnya sehingga majunya pembangunan pertanian di kotamadya atau kabupaten akan memberikan dampak positif terhadap pertanian di tingkat provinsi.

Sektor basis merupakan sektor yang aktivitasnya berorientasi ekspor (barang dan jasa) keluar batas wilayah perekonomian yang bersangkutan dan berperan sebagai penggerak utama dalam pertumbuhan suatu wilayah (Adisasmita 2005). Sektor yang paling dominan berdasarkan kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Bulukumba adalah sektor pertanian, di samping menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak. Sektor Pertanian memberikan konstribusi yang tinggi terhadap perekonomian sehingga merupakan sektor basis dan perlu dikembangkan secara sektoral (Jamil 2011).

Kebijaksanaan pewilayahan komoditi yang dikembangkan di Sulawesi Selatan merupakan upaya untuk memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dalam rangka mengacu pertumbuhan ekonomi dimana sektor pertanian sebagai kekuatan pokok. Pewilayahan komoditi dengan pendekatan wilayah menetapkan Kabupaten Bulukumba sebagai sentra pengembangan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan untuk beberapa komoditi. Pewilayahan ini menggambarkan Kabupaten Bulukumba dipandang sebagai kabupaten yang memiliki potensi besar dalam membudidayakan berbagai komoditi pertanian secara luas.

Pewilayahan komoditi yang diterapkan Provinsi Sulawesi Selatan didukung dengan adanya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah yang mengisyaratkan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan daerahnya masing-masing menurut potensi wilayahnya dimana setiap daerah memiliki potensi yang dapat dijadikan sumber pendapatan daerah. Untuk itu, pemerintah daerah harus jeli dalam mengelola potensi yang dimiliki.

Dasar pemikiran dalam penentuan komoditas unggulan adalah beragamnya jenis komoditi yang dikembangkan di Kabupaten Bulukumba dan setiap wilayah umumnya memiliki kekhasan tersendiri dalam menghasilkan komoditas baik secara geografis, ekonomi maupun sosial. Sifat kekhasan inilah dengan komoditas di wilayah tersebut berpotensi untuk dikembangkan guna kesejahteraan masyarakat. Penentuan komoditas unggulan baik dari segi komparatif maupun kompetitif dimaksudkan agar komoditas tersebut dalam pengembangannya lebih terfokus dan terarah sehingga pihak pemerintah maupun pihak lain yang berkepentingan dapat memprioritaskan kebijakan ekonomi melalui pengembangan komoditi unggulan tersebut sebagai bentuk upaya peningkatan pendapatan masyarakat, kesejahteraan meningkat dan tingkat kemiskinan berkurang. Hal ini tentunya diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik di Kabupaten Bulukumba maupun tingkat provinsi.

Penentuan komoditas unggulan Kabupaten Bulukumba, tidak hanya didukung oleh kondisi geografi semata, tetapi perlunya sinkronisasi antara pandangan aparat pemerintah dengan keinginan petani. Aparat pemerintah dalam hal ini pemangku kebijakan diharapkan bertindak sebagai fasilitator dan regulator dalam pengembangan komoditas unggulan ke depannya dan petani diharapkan mampu berpartisipasi dalam pengembangan komoditas tersebut.

Alternatif yang diambil oleh pemerintah Kabupaten Bulukumba untuk pembangunan jangka panjang adalah pengembangan agroindustri. Agroindustri memberikan gambaran terhadap perekonomian Kabupaten Bulukumba yaitu adanya pergeseran struktur ekonomi yang dominan dalam memberikan konstribusi PDRB yakni sektor pertanian menuju ke sektor industri dengan tetap berlandaskan pada sektor pertanian. Pengembangan agroindustri sangat tergantung dari peningkatan produktivitas komoditas unggulan sebagai sub sistem produksi (farming) dari agribisnis dan diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi petani sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan memberikan pendapatan bagi daerah. Berdasarkan uraian di atas, dapat digambarkan kerangka pemikiran seperti yang tertera pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Pembangunan Kabupaten Bulukumba

Sektor pertanian Sektor basis : - PDRB - Penyerapan tenaga kerja Penentuan komoditas unggulan Dasar Pelaksanaan : - Kondisi geografis - Pewilayahan komoditi Pengembangan agribisnis berbasis komoditas unggulan Misi pembangunan daerah Kab. Bulukumba Aspek sosial dan

ekonomi :

-Tingkat partisipasi -Pandangan aparat pemerintah -Produksi Pertanian

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah merupakan tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan wilayah tersebut dengan meningkatkan pemanfaatan potensi guna menambah kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya (Mulyanto 2008).

Pengembangan wilayah harus didasarkan pada potensi sumber daya yang ada pada daerah tersebut untuk pertumbuhan wilayahnya. Menurut Rustiadi et al.

(2011), terdapat dua strategi pengembangan wilayah. Pertama, strategi Demand Side, yaitu strategi pengembangan wilayah yang dupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal dengan tujuan meningkatkan taraf hidup penduduk. Kedua, strategi Supply Side,

yaitu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi keluar dengan tujuan untuk meningkatkan pasokan dari komoditi yang pada umumnya diproses dari sumber daya alam lokal.

Konsep pengembangan wilayah didasarkan pada prinsip: (1) berbasis sektor unggulan, (2) dilakukan atas dasar karakteristik daerah, (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu, (4) mempunyai keterkaitan kuat ke depan dan belakang dan (5) dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi (Setiawan 2010).

Menurut Riyadi (2000), terdapat tiga indikator keberhasilan pengembangan wilayah sebagai bentuk kesuksesan pembangunan daerah. Indikator pertama adalah produktivitas, yang dapat diukur dari perkembangan kinerja suatu institusi beserta aparatnya. Indikator kedua adalah efisiensi, yang terkait dengan meningkatnya kemampuan teknologi/sistem dan kualitas sumber daya manusia dalam pelaksanaan pembangunan. Ketiga adalah partisipasi masyarakat, yang dapat menjamin kesinambungan pelaksanaan suatu program di suatu wilayah. Ketiga indikator tersebut terkait erat dengan faktor-faktor yang menjadi ciri suatu wilayah dan membedakannya dengan wilayah lainnya seperti kondisi politik dan sosial, struktur kelembagaan, komitmen aparat dan masyarakat dan tingkat kemampuan/pendidikan aparat dan masyarakat. Pada akhirnya, keberhasilan pengembangan suatu wilayah bergantung pula pada kemampuan berkoordinasi, mengakomodasi dan memfasilitasi semua kepentingan serta kreativitas yang inonatif untuk terlaksananya pembangunan yang aspiratif dan berkelanjutan.

Pengembangan wilayah melalui kebijaksanaan pewilayahan komoditi yang dikembangkan di Sulawesi Selatan pada Pelita V berakar pada salah satu teori pertumbuhan regional yang dikembangkan oleh Douglas C. North dan dilanjutkan kemudian oleh Tiebout yaitu “Export Base Models” dengan mendasarkan pandangannya dari sudut Teori Lokasi. Teori ini berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan lebih banyak ditentukan oleh jenis keuntungan lokasi yang selanjutnya dapat digunakan oleh daerah tersebut sebagai kekuatan ekspor. Keuntungan lokasi tersebut umumnya berbeda-beda setiap wilayah tergantung keadaan geografi. Ini berarti bahwa untuk dapat meningkatkan pertumbuhan

ekonomi suatu wilayah, strategi pembangunannya harus disesuaikan dengan keuntungan lokasi yang dimilikinya (Bappeda Prov.Sul-Sel 1988).

2.2 Pembangunan Pertanian

Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk mengembangkan kapasitas masyarakat pertanian, khususnya memberdayakan petani, peternak dan nelayan agar mampu melaksanakan kegiatan ekonomi produktif secara mandiri dan selanjutnya mampu memperbaiki kehidupannya sendiri (Solahuddin 2009).

Menurut Dillon (2004), sektor pertanian mempunyai 4 fungsi yang sangat fundamental bagi pembangunan suatu bangsa, yaitu: (1) mencukupi pangan dalam negeri, (2) penyediaan lapangan kerja dan berusaha, (3) penyediaan bahan baku untuk industri dan (4) sebagai penghasil devisa negara.

Pembangunan pertanian di Kabupaten Bulukumba menurut Patedduri (2004) harus mencakup empat hal penting sebagai grand strategy, yaitu:

1. Pembangunan pertanian harus menjadi inti pembangunan Kabupaten Bulukumba, dengan kata lain program pembangunan harus menjadi skala prioritas dari keseluruhan rencana pembangunan di Kabupaten Bulukumba. 2. Pembangunan pertanian melalui pendekatan sistem agribisnis. Dalam kurun

waktu lama, petani telah memperlihatkan keterampilan yang memadai pada komoditi tertentu namun untuk mencapai kesejahteraan perlu dibangun suatu interaksi terkait antara petani sebagai produsen hasil pertanian, pengusaha pengolah komoditas pertanian, pihak-pihak yang memasarkan produk-produk hasil olahan dan para pengusaha yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan, pengkreditan dan lain-lain.

3. Keberpihakan pemerintah daerah pada pembangunan sektor pertanian yang ditandai dengan membangun sistem koordinasi yang akurat untuk semua sektor pendukung lainnya.

4. Pengembangan agribisnis harus dalam upaya meningkatkan daya saing, membangun ekonomi kerakyatan dan berkelanjutan. Peran pemerintah daerah sangat penting untuk mencari pelaku pasar dan pelaku agribisnis lainnya.

2.3 Sektor dan Komoditas Unggulan

Pengembangan sektor memiliki relevansi yang kuat dengan pengembangan wilayah. Wilayah dapat berkembang melalui berkembangnya sektor unggulan pada wilayah tersebut mendorong pengembangan sektor lainnya yang terkait sehingga membentuk suatu sistem keterkaitan antar sektor. Pengembangan.sektor inilah yang menjadi salah satu pendekatan yang perlu dipertimbangkan untuk pengembangan wilayah (Djakapermana 2010).

Sektor basis yaitu sektor yang produksinya diekspor ke luar wilayahnya dan pendapatannya merupakan sumber pendapatan wilayah bersangkutan. Sektor non basis merupakan sektor yang kegiatannya melayani kebutuhan hidup penduduk di wilayahnya saja (Setiono 2011).

Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis, baik berdasarkan baik pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagan (penguasaan teknologi, kemampuan sumber daya manusia, infrastruktur dan kondisi sosial budaya setempat), untuk dikembangkan di suatu wilayah (Yulianti 2011). Kriteria komoditi unggul menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010) yang disesuaikan dengan analisis dalam penelitian ini yaitu:

1. Harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian. Dengan kata lain, komoditas unggulan tersebut dapat memberikan konstribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran.

2. Mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lainnya (competitiveness) di pasar nasional dan pasar internasional, baik dalam harga produk, biaya produksi dan kualitas pelayanan.

3. Pengembangannya harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan, misalnya keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas intensif dan lain-lain.

Keunggulan komparatif (comparative advantage) merupakan keunggulan suatu sektor/komoditi dalam suatu wilayah relatif terhadap sektor/komoditi pada wilayah lainnya dalam suatu wilayah lebih luas. Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan keunggulan suatu sektor/komoditi relatif terhadap sektor/komoditi lainnya dalam suatu wilayah (Djakapermana 2010).

Metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA) merupakan dua metode yang mengindikasikan sektor/komoditi basis yang selanjutnya digunakan sebagai indikasi sektor/komoditi unggulan. LQ menggambarkan keunggulan komparatif dan SSA menggambarkan keunggulan kompetitif (Rustiadi et al. 2011). LQ adalah rasio dari peranan sektor lokal tertentu terhadap sektor yang sama di tingkat ekonomi acuan yang lebih luas. Jika nilai LQ untuk suatu sektor di perekonomian lokal lebih besar dari satu maka dianggap produksi lokal pada sektor yang bersangkutan relatif lebih tinggi daripada produksi rata- rata wilayah acuan. Oleh sebab itu, wilayah lokal memiliki potensi untuk mengekspor produk sektor bersangkutan (Setiono 2011). Differential shift (DS) merupakan komponen dari SSA yang menunjukkan daya saing yang dimiliki suatu sektor di suatu wilayah dibandingkan dengan sektor yang sama pada wilayah acuan (Daryanto dan Hafizrianda 2010).

Kelemahan metode LQ mengasumsikan homogenitas suatu kegiatan dalam suatu perhitungannya sangat kuat. Perhitungannya didasarkan pada pola kegiatan basis ekonomi yang pada kenyataannya kegiatan ekonomi sering juga dipengaruhi oleh mekanisme perdagangan/pemasaran, aspek politik dan keamanan (Djakapermana 2010).

Keunggulan SSA yaitu dapat memotret tingkat keunggulan kompetitif secara tepat dan memetakan sejauh mana pengaruh pergeseran sektor tertentu di wilayah agregat terhadap kinerja sektor tertentu di wilayah tertentu. Keterbatasan analisis ini yaitu tidak mempertimbangkan perbedaan tingkat sektor antar wilayah dan hanya mengidentifikasi keunggulan kompetitif wilayah berdasarkan kinerja sektor dalam dua titik waktu sehingga tidak mempertimbangkan keunggulan komparatif aktual wilayah (Pribadi et al. 2011). Analisis SSA dalam hal ini

differential shift digunakan untuk melengkapi analisis LQ dalam melihat keunggulan suatu sub sektor atau komoditi.

2.4 Agribisnis dalam Pembangunan Pertanian

Agribisnis adalah bisnis yang berbasis pertanian yang dilaksanakan secara terpadu mulai dari hulu sampai ke hilir sesuai dengan sistem-sistem input produksi dan keluaran. Lingkup kegiatan usaha agribisnis mulai dari sub sistem input, sub sistem produksi, sub sistem agroindustri dan sub sistem pemasaran (Pasaribu 2012).

Potensi komoditi pertanian di Indonesia cukup besar dan beberapa jenis komoditi sudah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri sehingga peranannya dalam ekonomi nasional dapat ditingkatkan. Upaya pengolahan komoditi pertanian menjadi beberapa produk sangat penting dalam rangka meningkatkan nilai tambah daya guna dari komoditi tersebut serta meningkatkan taraf hidup petani secara tidak langsung (Tambunan et al. 1993).

Berkembangnya sektor pertanian yang kuat akan memberikan landasan bagi pengembangan industri berdaya saing tinggi dengan dukungan sumber daya yang memadai. Industri yang tumbuh pesat akan mampu menyerap dukungan sektor pertanian sekaligus meningkatkan nilai tambahnya (Sastrosoenarto 2006).

Agroindustri berbasis sumber daya lokal pada era globalisasi akan berprospek cerah sehingga dimungkinkan akan menjadi leading sector. Pembangunan pertanian ke depan, strategi pembangunan agroindustri harus menjadi pilihan utama karena merupakan upaya peningkatan kesempatan kerja, peningkatan ekspor, pertumbuhan, pemerataan, pengentasan kemiskinan dan ketahanan nasional dapat terjamin sehingga agroindustri dapat dipandang sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi di Indonesia (Antuli 2007).

2.5 Partisipasi Petani

Proses pembangunan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat dimulai dari aktivitas pemilihan komoditi dan jasa beserta keahlian dan cara-cara produksi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai potensi untuk dikembangkan dan menjadi prime mover dari kegiatan masyarakat tersebut. Karena itu, diharapkan dapat terciptanya nilai tambah mulai dari sisi bahan baku hingga sisi produknya. Dengan tujuan akhir bahwa penciptaan nilai tambah tersebut mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat (Fitria 2004).

Kaitannya dengan pembangunan, menurut Slamet (2003), untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan ada tiga syarat utama yaitu:

1. Kemauan berpartisipasi

Kemauan partisipasi bersumber pada faktor psikologis individu yang menyangkut emosi dan perasaan yang melekat pada diri manusia. Faktor- faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti dan tidak mudah dikomunikasikan akan tetapi selalu ada pada setiap individu dan merupakan faktor penggerak perilaku manusia. Dalam proses pembangunan, faktor-faktor yang akan

mempengaruhi segi emosi dan perasaan itu adalah obyek pembangunan, pemrakarsa pembangunan, penggerak pembangunan serta kondisi-kondisi lingkungan tempat proses pembangunan itu berlangsung.

2. Kemampuan berpartisipasi

Tingkat kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan tergantung banyak faktor yang saling berinteraksi, utamanya faktor pendidikan, keterampilan, pengalaman dan ketersediaan modal.

3. Kesempatan berpartisipasi

Tingkat kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan tergantung banyak faktor yang saling berinteraksi, utamanya faktor ketersediaan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pembangunan, kelembagaan yang mengatur interaksi antar warga masyarakat dalam proses pembangunan. Birokrasi yang mengatur rambu- rambu serta menyediakan kemudahan-kemudahan dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan serta faktor sosial budaya masyarakat akan sangat menentukan corak perilaku masyarakat dalam proses pembangunan. Faktor-faktor lainnya adalah kesesuaiannya dengan hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat, ketersediaannya pada saat dibutuhkan.

Menurut Sahidu (1998), partisipasi masyarakat dalam pembangunan hanya dapat ditingkatkan melalui peningkatan kemauan, kemampuan dan kesempatan karena sesungguhnya perilaku partisipasi merupakan hasil interaksi faktor-faktor kemauan, kemampuan dan kesempatan. Ketiga faktor tersebut bagi masyarakat dapat ditingkatkan melalui peningkatan penyediaan dan pelayanan sarana dan prasarana pertanian, peningkatan “demokrasi pertanian” (pendekatan pembangunan yang lebih berorientasi pada semakin berperannya petani dalam mengambil keputusan usaha taninya) serta peningkatan pemanfaatan potensi sumber daya lokal (tokoh masyarakat dan kelembagaan petani yang tumbuh dan berkembang di kalangan warga masyarakat setempat).

Salah satu ciri daerah yang mandiri adalah peranan masyarakat yang tinggi dalam pembangunan. Mayarakat akan semakin terbuka, makin berpendidikan dan makin tinggi kesadarannya dengan demikian makin tanggap dan kritis terhadap segala hal yang menyangkut kehidupannya. Dalam masyarakat yang semakin maju dan berkembang, rakyat akan semakin aktif ikut serta dalam menentukan nasibnya sendiri. Peran masyarakat yang aktif akan lebih menumbuhkan potensi daerah, sehingga dapat mempercepat proses pertumbuhan daerah (Sumodiningrat 2011).

4 GAMBARAN UMUM LOKASI

4.1 Keadaan Geografis

Kabupaten Bulukumba merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang terletak terletak di bagian selatan dengan jarak kurang lebih 153 kilometer dari ibukota Propinsi Sulawesi Selatan (Makassar). Secara geografis, Kabupaten Bulukumba terletak antara 5o20” sampai 5o40” lintang selatan dan 119o58” sampai 120o28” bujur timur. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, sebelah timur dengan Teluk Bone, sebelah selatan dengan Laut Flores dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng (Gambar 4).

Gambar 4 Peta Administrasi Kabupaten Bulukumba

Kabupaten Bulukumba secara administratif terbagi menjadi 10 kecamatan meliputi 27 kelurahan dan 99 desa dengan luasan sekitar 1 154.7 km2 atau sekitar 2.5 persen dari luas wilayah Sulawesi Selatan. Kecamatan Gantarang dan Bulukumpa merupakan dua wilayah kecamatan terluas masing-masing 173.5 km2 dan 171.3 km2 (sekitar 30 persen dari luas kabupaten), sedangkan Kecamatan Ujung Bulu yang merupakan pusat kota kabupaten memiliki luas wilayah terkecil yaitu 14.4 km2 atau hanya sekitar 1 persen (Tabel 5).

Kabupaten Bulukumba memiliki keistimewaan tersendiri dari aspek geografisnya dimana kondisi wilayahnya ada yang bergunung, bergelombang dan rata serta memiliki garis pantai dengan panjang kurang lebih 128 km dan luas lautan kurang lebih 921.6 km2 yang berbatasan langsung dengan Laut Flores pada bagian selatan dan Teluk Bone pada bagian timur. Kabupaten Bulukumba memiliki wilayah dengan ketinggian bervariasi dari 0 meter dpl hingga di atas

1000 m. Sebagian besar wilayahnya berada pada ketinggian 0 sampai 500 m dpl, dimana terdapat 7 kecamatan yang merupakan daerah pesisir yaitu Gantarang, Ujung Bulu, Ujung Loe, Bonto Tiro, Bonto Bahari, Kajang dan Herlang. Kecamatan Ujung Bulu 100 persen wilayahnya berada pada ketinggian 0 sampai 25 m dpl dan hanya Kecamatan Kindang yang memiliki ketinggian di atas 1000 m dpl dengan luasan sekitar 34 persen dari luas kecamatan tersebut.

Tabel 5 Luas Wilayah Kabupaten Bulukumba Dirinci menurut Kecamatan Tahun 2010 No Kecamatan Ibukota kecamatan Luas (km 2 ) Persentase terhadap luas kabupaten 1 Gantarang Ponre 173.5 15.03

Dokumen terkait