• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

1.2 Perumusan Masalah

Lapisan ozon merupakan lapisan pelindung bumi yang mulai mengalami degradasi akibat penggunaan bahan perusak ozon secara luas di seluruh dunia. Berbagai dampak negatif sudah mulai dapat dirasakan saat ini, seperti makin menurunnya pH air hujan (hujan asam) yang disebabkan oleh bahan pencemar udara dan perubahan proses kimia atmosfer salah satu akibat makin tinggi radiasi ultra violet matahari di atmosfer. Selain itu makin meningkatnya kasus kanker dan katarak, perubahan kondisi ekosistem perairan dengan makin berkurangnya jumlah plankton. Keseimbangan proses pembentukan dan peruraian molekul ozon terganggu akibat makin tingginya tingkat akumulasi bahan perusak ozon di atmosfer. Kondisi lapisan ozon di Indonesia memang masih berada dalam kondisi yang belum mengkhawatirkan tetapi secara global, Indonesia juga mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam merusak lapisan ozon melalui konsumsi BPO di berbagai sektor usaha dan berbagai kegiatan. Salah satu jenis BPO yang punya potensi menguraikan ikatan molekul ozon dan menyebabkan pemanasan global adalah HCFC.

Pengguna terbesar HCFC adalah sektor refrigerasi atau pendingin, baik manufaktur maupun servis. Oleh karena itu sektor ini juga menjadi salah satu prioritas dalam program penghapusan ozon. Untuk mendukung upaya penghapusan HCFC yang akan dimulai periode pembekuannya pada tahun 2013, maka perlu segera dicari teknologi baru yang non-HCFC. Sudah banyak pilihan teknologi non-HCFC yang dikembangkan oleh berbagai pihak, yang perlu dilihat dari semua aspek baik teknis, ekonomi dan sosialnya. Pilihan-pilihan tersebut harus dilihat tidak hanya dari kontribusinya terhadap pemulihan kondisi lapisan ozon tetapi juga dalam pencegahan pemanasan global.

Secara internasional sudah ada Protokol Montreal yang mengatur jadwal pengurangan produksi dan konsumsi HCFC secara bertahap sampai penghapusan total pada tahun 2030. Mengingat potensinya yang dapat

mengakibatkan dual impact yaitu mengurangi kerusakan lapisan ozon dan

pemanasan global, maka implementasi program penghapusan HCFC harus memperhatikan kedua dampak tersebut. Selain dampak lingkungan perlu juga dipertimbangkan dampak yang lebih luas terhadap kehidupan sosial dan perkembangan ekonomi negara secara makro dan mikro. Namun dalam penelitian ini hanya akan melihat dampak ekonomi secara mikro saja. Berbagai aspek ini perlu dianalisis lebih jauh untuk melihat kontribusinya terhadap penerapan ekonomi hijau yang sudah menjadi komitmen

pemerintah yaitu mengembangkan rencana pembangunan negara yangpro-

growth, pro-job dan pro-poor dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi.

Dari hasil perumusan masalah tersebut, diperoleh beberapa pertanyaan yang akan menjadi obyek penelitian yaitu:

8

signifikan terhadap keberhasilan program alih teknologi dari HCFC menjadi non-HCFC.

b. Seberapa besar potensi keberhasilan proses alih teknologi HCFC dari sisi

sosial, ekonomi, teknis dan lingkungan, karena berkaitan dengan potensi kontribusi industri terhadap keberhasilan program penghapusan HCFC.

1.3 Tujuan Penelitian

Dari uraian perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan:

a. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh penting pada keberhasilan

program alih teknologi HCFC menjadi non-HCFC.

b. Mengetahui potensi HCFC dari aspek sosial, ekonomi, teknis dan

lingkungan yang ada di industri manufaktur refrigerasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak yang terkait, yaitu:

a. Bagi pengambil keputusan: memberi masukan dalam menyusun

kebijakan dan program yang tepat dalam implementasi penghapusan HCFC yang memenuhi kriteria lingkungan, sosial dan ekonomi untuk sektor refrigerasi

b. Bagi pelaku industri: mempunyai pilihan dalam proses alih teknologi

HCFC yang memberikan kontribusi lebih besar terhadap lingkungan, sosial dan perekonomian secara mikro

c. Bagi masyarakat: mempunyai pilihan memilih produk yang ramah ozon

dan iklim, dan mendapatkan lingkungan yang lebih baik.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup potensi keberhasilan dari program alih teknologi dari HCFC menjadi non-HCFC yaitu jumlah konsumsi HCFC secara nasional, jumlah konsumsi industri manufatur refrigerasi yang diteliti berdasarkan jumlah produksi dan penggunaan HCFC untuk masing-masing peralatan, serta dampak dari alih teknologi dari sisi pengurangan emisi GRK dari sumber HCFC yang digunakan pada peralatan yang diproduksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program alih teknologi, serta dampak yang dihasilkan dari program tersebut dilihat dari sisi ekonomi, sosial, teknis dan lingkungan. Lingkup wilayah penelitian mencakup industri manufaktur refrigerasi di Jabodetabek.

9

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Protokol Montreal dan Pemanasan Global

Pada akhir tahun 1920-an, sistem pendingin dan pengatur udara menggunakan bahan kimia seperti amonia, klorometana, propana dan sulfur oksida sebagai bahan pendingin. Walaupun efektif, bahan-bahan kimia tersebut bersifat racun, mudah terbakar dan dapat menyebabkan penyakit dan kematian yang cukup serius. Thomas Midgley, Jr. dan Albert L. Henne mengembangkan suatu bahan yang menggabungkan fluor dan hidrokarbon

menjadi Chlorofluorocarbon atau yang lebih dikenal dengan CFC. “Freon

yang merupakan merek dagang menjadi sebutan umum untuk CFC. Pada

tahun 1974, dua orang ilmuwan yang bernama Sherwood Rowland dan

Mario Molina dari University of California menyampaikan hasil penelitian yaitu bahwa bahan kimia CFC dapat menguraikan ikatan molekul ozon yang berada di statosfir. Lapisan ini berguna untuk melindungi permukaan bumi

dari bahaya radiasi ultraviolet yang berasal dari sinar matahari (Hidayat, et

al., 2010).

Penipisan lapisan ozon dapat berdampak negatif terhadap kehidupan manusia, karena dapat menyebabkan pe rubahan metabolisme sel tumbuhan maupun hewan dan dapat merusak material genetik. Di alam, adanya peningkatan radiasi UV-B yang berlebihan akan dapat mempengaruhi reaksi kimia atmosfer yang dapat memicu terjadinya hujan asam dan pemanasan

global (Hidayat et al. 2010).

Salah satu akibat negatif dari makin menipisnya lapisan ozon adalah gangguan kesehatan yang berupa katarak mata, kanker kulit dan menurunnya efek imunitas tubuh. Menurut US EPA (2011) paparan sinar UV-B dapat menyebabkan kerusakan kumulatif terhadap sistem mata, karena dapat merusak kornea mata, selain itu juga dapar menyebabkan

terjadinya katarak mata. Penggunaan kaca mata hitam (sunglasses) sangat

disarankan pada saat matahari bersinar sangat terang.

Pada penelitian yang dilakukan di Kota Makassar pada tahun 2009- 2010, diperoleh hasil bahwa pada lokasi dengan paparan UV yang rendah mempunyai kecenderungan prevalensi katarak yang lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang mendapatkan paparan UV yang tinggi. Penurunan risiko pada paparan UV rendah mencapai 30%. Kemudian pada daerah dengan lokasi yang terpapar sinar UV pada kadar yang rendah memiliki faktor proteksi terhadap katarak hingga kurang lebih 40%. Namun demikian, perlu juga dilihat adanya faktor lain yang mempengaruhi

prevalensi kasus katarak mata ini (Moeloek et al. 2010).

Pemanasan global merupakan salah satu permasalahan lingkungan global yang saat ini menjadi isu paling hangat seiring dengan makin menghangatnya bumi akibat pemanasan global.

Ozon mempengaruhi iklim, dan iklim mempengaruhi ozon. Suhu, kelembaban, angin, dan adanya bahan kimia lainnya yang berpengaruh dalam pembentukan ozon atmosfer, dan kehadiran ozon, merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi ruang atmosfer. Interaksi antara ozon dan iklim telah menjadi subyek diskusi sejak awal 1970-an ketika para ahli

10

menyatakan bahwa bahan kimia buatan manusia dapat menguraikan ikatan molekul ozon. Gambar 2.1 menunjukkan kaitan antara penipisan ozon dan perubahan iklim.

Ozon berdampak pada iklim terutama terkait dengan perubahan suhu. Semakin banyak ozon yang ada di kantung udara, maka panas yang ada tetap bertahan. Ozon menghasilkan panas di stratosfer, baik yang berasal dari absorpsi radiasi ultraviolet matahari maupun hasil serapan radiasi infrared di troposfer. Akibatnya, ozon stratosfer makin menurun pada suhu yang makin rendah. Hasil pengamatan menunjukkan,selama beberapa

dasawarsa terakhirsudah terjadi pendinginan sebesar 1 °C sampai 6 °Cpada

jarak 30 hingga 50 kilometer di atas permukaan bumi. Proses penurunan suhu di stratosfer berlangsung bersamaan dengan makin meningkatnya emisi gas rumah kaca di lapisan troposfer.

Penipisan lapisan ozon dan pemanasan global mempunyai kaitan yang sangat erat mencakup masalah ilmiah, teknologi maupun dampaknya. Peningkatan temperatur permukaan bumi menyebabkan turunnya temperatur lapisan stratosfir, sehingga dapat memperlambat pemulihan lapisan ozon. Ilmuwan NASA memperkirakan bahwa terjadinya pemanasan global dapat memperlambat pemulihan lapisan ozon 18 tahun dari perkiraan semula tahun 2050 menjadi 2068. Bahan-bahan perusak ozon seperti CFC, HCFC, Halon, dan Metil bromida memiliki kemampuan yang lebih tinggi

ribuan kali dibandingkan dengan CO2 dalam menyebabkan pemanasan

global. Dengan demikian, refrigeran yang termasuk dalam kelompok halokarbon seperti CFC dan HCFC merupakan GRK yang cukup kuat (Indartono 2009).

Protokol Montreal melalui mekanisme penghapusan BPO yang sudah dijalankan mulai tahun 1987 sampai saat ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pengurangan jumlah emisi GRK, yaitu sebesar 8

Giga ton setara CO2 per tahun atau 30% dari emisi GRK dunia (Shende

2006).

Emisi bahan pendingin dari jenis HCFC pada tahun 2002 mencapai setengah dari konsumsi bahan pendingin total 470 000 ton di seluruh dunia. Apabila tidak ada upaya pengurangan atau penghapusan maka pada tahun 2015 diperkirakan jumlah emisi pendingin bisa mencapai dua kali lipatnya. Dan bila dilakukan berbagai upaya penghapusan emisi bahan pendingin jumlahnya tidak akan bertambah secara signifikan dari jumlah tahun 2002. Jumlah terbesar dari bahan pendingin yang digunakan, jenis HCFC-22 merupakan jumlah yang paling banyak, diikuti oleh CFC-12, dan HFC-134a. Tetapi bila dilihat dari dampak pemanasan global, emisi CFC-12 merupakan emiter terbesar yang diikuti oleh HCFC-22 dan HFC-134a. Pada tahun 2015, dengan skenario tanpa ada upaya penghapusan, maka total emisi bahan

pendingin dapat mencapai 1.5 Giga ton setara CO2 dan apabila dilakukan

berbagai upaya pengurangan, maka jumlah emisi bahan pendingin tersebut

dapat dikurangi sampai 0.8 Giga ton setara CO2 pada tahun 2015. Dari

jumlah prosentasenya, dampak bahan pendingin terhadap pemanasan global mencapai 55% untuk CFC, HCFC (30%) dan HFC memberikan kontribusi pemanasan global sebanyak 15% (Shende 2006).

11                                                                a Sumber:Bournay 2007

Gambar 2.1 Kaitan Penipisan Ozon dan Perubahan iklim Perubahan sirkulasi laut global Proses perusakan molekul ozon stratosfir Pendinginan Suhu Stratosfir Terjadi peningkatan Penurunan kerentanan manusia Pembentukan awan stratosfir kutub Peningkatan

radiasi sinar UV- lubang ozon di atas

Antartika (dan konsentrasi yang lebih rendah di atas

PENIPISAN OZON GLOBAL PERUBAHAN IKLIM Perubahan sirkulasi atmosfir Perubahan curah hujan Pencairan es Perubahan luasan tutupan salju Perubahan tutupan awan Kenaikan suhu rata2 (pemanasan Pelepasan atom klorin dan bromin Sinar UV Matahari Terjadi peningkatan Pengurangan Peningkatan efek rumah kaca

Bahan Perusak Ozon Gas Rumah Kaca

Carbon Tetrachloride Methyl ChlorideMethyl Bromide CFC Methyl Chloroform Halon HCFC HFC CO 2 N 2O CH4 Aktivitas Manusia

12

HCFC sebagai bahan pendingin atau refrigeran tidak hanya mempunyai nilai ODP tetapi juga mempunyai nilai GWP yang mengacu

pada nilai CO2.Tabel 2.1. menunjukkan perbandingan nilai ODP dan GWP

dari beberapa jenis bahan pendingin.

Tabel 2.1 Nilai ODP dan GWP beberapa jenis bahan pendingina

Jenis BPO Rumus

Kimia

Umur Hidup (Tahun)

Nilai ODP Nilai GWP (100 thn) CFC CFC-11 CCl3F 45 1 4600 CFC-12 CCl2F2 100 1 10600 HCFC HCFC-22 CHClF2 12 0.055 1810 HCFC-141b CCl2F-CH3 9.3 0.11 700 HFC HFC-32 CH2F2 5 0 550 HFC-125 CHF2-CF3 29 0 3400 HFC-134a CF3-CH2F 13.8 0 1300 HFC-143a CH3-CF3 52 0 4300 HFC-152a CHF2-CH3 1.4 0 120 Alami Amonia NH3 1 0 0 Karbondiok sida CO2 120 0 0 Isobutan CH(CH3)3 1 0 3 a Sumber: Indartono 2009

Pada tanggal 22 Maret 1985, para negara yang berada dibawah PBB sepakat untuk melakukan aksi nyata melindungi lapisan ozon dalam bentuk kerjasama penelitian dan penyebarluasan informasi tentang penipisan lapisan ozon. Kesepakatan tersebut ditandatangani di Wina, Austria sehingga disebut sebagai Konvensi Wina. Sebagai tindakan nyata untuk mengimplementasikan kesepakatan tersebut, pada tanggal 16 September 1987 telah disahkan Protokol Montreal yang mengatur pembatasan dan penghapusan tingkat produksi dan konsumsi berbagai jenis BPO. BPO adalah bahan-bahan kimia baik yang berbentuk tunggal ataupun senyawa yang digunakan sebagai bahan dasar atau bahan pembantu dalam proses produksi suatu jenis industri yang mempunyai potensi untuk merusak molekul ozon stratosfer. Jenis-jenis BPO yang diatur dalam Protokol Montreal dan penggunanya dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Sesuai perkembangan waktu, Protokol Montreal perlu dilakukan pemutahiran secara terus menerus sesuai kebutuhan sehingga dilakukan beberapa amandemen terhadap kesepakatan tersebut. Pada amandemen kedua, yaitu Amandemen Kopenhagen yang disahkan pada tahun 1992, disepakati

untuk menambahkan jenis bahan yang diawasi dan diatur yaitu Metil bromida

dan HBFC dan HCFC.

HCFC ditambahkan sebagai jenis BPO yang perlu diatur produksi dan konsumsinya menurut Protokol Montreal, selain itu HCFC juga merupakan gas rumah kaca yang mempunyai potensi cukup besar dalam menyebabkan pemanasan global. Nilai ODP dari berbagai jenis HCFC berkisar antara 0.02– 0.11 sedangkan nilai GWP dari berbagai jenis HCFC berkisar antara 76–2270. Oleh karena itu HCFC juga perlu masuk dalam perencanaan pengurangan

13

emisi gas rumah kaca selain CO2 dan metana (Berglof 2010).

Tabel 2.2 Jenis BPO dan penggunaannyaa

Sektor pengguna  Jenis produk  Jenis BPO Yang Digunakan

 

Foam/Busa  Kasur busa, kemasan makanan, jok

kursi sofa, jok mobil, sol sepatu, dll 

CFC-11,

HCFC-141b 

Refrigerasi

/Pendingin 

Kulkas, dispenser, chiller, AC,

kendaraan berpendingin 

CFC-11, CFC-12

HCFC-22, HCFC-123 

Pemadam api  Pemadam api portable; terpasang  Halon 1211, Halon

1301, HCFC-123 

Solvent/Pelarut

Kimia 

Pelarut kimia dalam: industri logam, suku cadang kendaraan,

karbon aktif 

CFC-113, Carbon

Tetra Chloride (CTC)

Trichloroethane (TCA) 

Aerosol  Pengharum ruangan, obat nyamuk

semprot, parfum, dll 

CFC-12 

Tembakau  Pengembang dalam produksi rokok   CFC-11 

Pertanian  Pestisida utk hama penyakit,

pengolahan tanah, karantina dan

pra pengapalan, dll 

Metil Bromida 

a

Sumber: Hidayat et al. 2010;

Shende,et al. (2006) menyampaikan bahwa program penghapusan BPO

melalui skema Protokol Montreal telah memberikan kontribusi pengurangan

emisi HCFC sebanyak 2000 kali dibandingkan dengan jenis CO2, dan juga

memberikan kontribusi penghematan energi pada peralatan pendingin dan pengatur udara.

Meeting of Parties (MOP) ke-19 di Montreal, Kanada pada tanggal 17– 21 September 2007 dihasilkan keputusan yang cukup krusial yaitu percepatan

penghapusan bahan perusak ozon jenis HCFC. Decision XIX/6menetapkan

penjadwalan baru untuk penghapusan HCFC, termasuk untuk negara berkembang, seperti yang ditampilkan pada Tabel 2.3.

 

Tabel 2.3 Jadwal penghapusan HCFC menurut Protokol Montreala

Penghapusan HCFC = produksi + impor – ekspor

Base level= rata-rata konsumsi HCFC tahun 2009 dan 2010 

1 Januari 2013  Periode pembekuan (Freeze period) 

1 Januari 2015  Pengurangan konsumsi sebesar 10% 

1 Januari 2020  Pengurangan konsumsi sebesar 35% 

1 Januari 2025  Pengurangan konsumsi sebesar 67.5% 

1 Januari 2030  Pengurangan konsumsi sebesar 100% 

Setelah 2030 hanya 2.5% base levelb

a

Sumber: KLH 2010; bUntuk kegiatan perawatan masih diperbolehkan konsumsi tahunan sebesar 2,5% dari baseline selama periode 2030 – 2040 

Pemerintah telah melakukan perencanaan secara bertahap untuk pengurangan konsumsi HCFC. Untuk tahap pertama dengan periode waktu

14

2011–2015 dengan target penghapusan sebesar 402.16 MT pada tahun 2011 dan 361.94 MT pada tahun 2015 diharapkan dapat mengurangi 1.5 juta ton

setara CO2.

2.2 HCFC dan Refrigerasi

HCFC mempunyai nama kimia chlorodifluoromethane atau

difluoromonochloromethane denga formula molekul CHClF2merupakan

salah satu jenis Bahan Perusak Ozon (BPO) yang banyak digunakan setelah

Chlorofluorocarbon (CFC) dilarang untuk diproduksi dan digunakan sejak 1 Januari 2011 sesuai jadwal penghapusan yang diatur dalam Protokol Montreal.Karakteristik fisika dan kimia HCFC adalah sebagai berikut:

Tabel 2.4 Karakteristik kimia dan fisika HCFCa

Karakteristik Nilai

Densitas (ρ) pada -69 °C (cairan) 1.49 g/cm3

Densitas (ρ) pada suhu 15 °C (gas) 3.66 kg/m3

Suhu kritis (Tc) 96.2 °C

Tekanan kritis (pc) 4 936 MPa (49.36 bar)

Densitas kritis (ρc) 6.1 mol/liter

Viskositas (η) at 0 °C 12.56 Ns/m2 (0.1256 cP) a Sumber:Honeywell 2000 a Sumber: Photobucket 2013 Gambar 2.2 Kemasan HCFC-22

15

a

Sumber: Photobucket 2013

Gambar 2.3 Kemasan HCFC-141b

HCFC banyak digunakan di sektor refrigerasi dan pengatur udara

(77%), busa (foam) (10%), bahan pemadam api (1%), propelan pada produk

aerosol, solven (2%) dan juga sebagai feedstock pada industri kimia. Dari

sekian jumlah volume konsumsi HCFC di seluruh dunia, sekitar 75% digunakan pada sektor refrigerasi dan pengatur udara. Jenis HCFC yang paling banyak digunakan adalah HCFC-22, tetapi HCFC juga bisa dicampur dengan bahan pendingin jenis lain. Jenis HCFC lain yang juga digunakan dalam sektor industri ini adalah HCFC-141b yang merupakan bahan pengembang dalam proses pembuatan insulasi pada proses produksi peralatan pendingin.

Industri refrigerasi terbagi menjadi beberapa sub sektor kegiatan, dan penggunaan utama bahan pendingin HCFC ada di sub sektor refrigerasi komersial, refrigerasi industri, transportasi refrigerasi, pompa panas,

pengatur udara dan chiller.

EPA memperkirakan bahwa pada tahun 2009, terdapat 1.5–1.8 milyar

peralatan refrigerasi domestik dan freezer yang masih beroperasi dengan

baik, dan kurang 100 juta unit baru diproduksi dan dijual setiap tahunnya. Dalam setiap unit peralatan refrigerasi menggunakan bahan pendingin kurang lebih 0.05–0.25 kg dan lebih dari 1 kg bahan pengembang untuk insulasinya. Dari jumlah tersebut dapat dibayangkan seberapa besar penggunaan BPO dari jenis HCFC-22 dan HCFC-141b yang digunakan yang dapat memberikan kontribusinya terhadap penipisan lapisan ozon dan pemanasan global.

Untuk Indonesia, peningkatan suhu akibat pemanasan global juga berpengaruh terhadap permintaan peralatan pendingin yang makin banyak. Untuk sektor retail, dari data yang disampaikan oleh Asosiasi Rantai Pendingin terjadi kenaikan sebesar 13.6% untuk permintaan peralatan

16

pendingin di sektor retail, dari 3.96 juta unit menjadi 4.5 juta unit pada tahun 2012. Kebutuhan akan bahan pendingin juga makin bertambah dari 264 MT pada tahun 2011 menjadi 300 MT pada tahun 2012.

Protokol Montreal melalui program penghapusan BPO telah mendorong tidak hanya perbaikan kualitas lingkungan tetapi juga terhadap peningkatan ekonomi yang seimbang antara ekonomi secara definitif maupun ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan. Dari sisi ekonomi, Protokol Montreal mendorong inovasi yang terus menerus untuk melakukan alih teknologi dari BPO menjadi non-BPO, menciptakan teknologi yang lebih efisien tidak hanya dari sisi ekonomi produksi tetapi juga ekonomi secara makro melalui peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Dari sisi sosial, kegiatan pelatihan bagi pemangku kepentingan turut meningkatkan pengetahuan dan pendidikan tenaga kerja karena makin banyak teknologi baru yang perlu dipelajari. Dengan adanya alih teknologi maupun penghapusan BPO dapat membantu mengurangi risiko masyarakat terhadap efek sosial berupa penyakit. Dari sisi lingkungan, tentunya sudah pasti penghapusan BPO mendorong upaya konservasi dan pemulihan terhadap kualitas lingkungan atmosfer, dan mengurangi pemanasan global mengingat BPO juga merupakan GRK.

3 METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Jakarta dan pengumpulan data yang diperoleh dari sumber data Unit Ozon Nasional dibawah Kementerian Lingkungan Hidup, dan industri manufaktur refrigerasi.

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret 2013 dan memakan waktu empat bulan sampai bulan Juni 2013.

Tempat penelitian di 11 lokasi industri manufaktur refrigerasi yang tersebar di Jakarta Utara; Cileungsi, Bogor; Depok, daerah Cikupa Tangerang; dan Bekasi.

3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan

survey dan expose facto. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan

sekunder. Penelitian ini menggambarkan variabel-variabel yang diamati, gejala dan keadaan.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh secara langsung dari responden, maupun data sekunder yang berasal dari pihak ketiga dari institusi terkait. Bentuk data skematik, narasi atau uraian, data numerik yang berasal dari narasumber dalam bentuk dokumen pemerintah, catatan lapangan, rekaman dan foto sebagai dokumentasi.

17

Metode pengambilan contoh dilakukan berdasarkan teknik purposive

sampling atau pemilihan contoh dilakukan dengan sengaja dengan pertimbangan bahwa responden adalah pelaku baik individu atau lembaga yang dianggap mengerti permasalahan mengenai penghapusan HCFC, kegiatan manufaktur refrigerasi dan alih teknologi HCFC. Pengambilan contoh dilakukan dengan cara wawancara, observasi, kuesioner dan dokumentasi. Besaran contoh disesuaikan dengan kebutuhan data yang akan diolah.

Populasi dalam penelitian ini adalah populasi pemangku kepentingan yang terkait dengan upaya perlindungan lapisan ozon dan penghapusan HCFC di Indonesia. Contoh penelitian adalah industri refrigerasi yang terkait langsung dengan tujuan penelitian, dan populasi target ini diambil

population sampling.

Sumber data untuk industri refrigerasi dilakukan dengan pengambilan contoh yang dianggap representatif yang dapat menggambarkan kondisi pada industri refrigerasi yang akan melakukan alih teknologi dari HCFC menjadi non-HCFC.

Jumlah populasi industri yang terdata saat ini di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi mencapai 22 perusahaan. Dari jumlah populasi yang ada ditentukan jumlah besaran contoh dengan menggunakan rumus Slovin:

N n = jumlah contoh

n =

1 + Ne2 N = Jumlah populasi

e =kesalahan

Jumlah populasi perusahaan diperkirakan berjumlah 22 perusahaan. Tingkat kesalahan pengambilan contoh ditentukan sebanyak 5%, dengan demikian dapat dihitung jumlah contoh yang digunakan sebanyak 20 perusahaan.

22

n = = 20

1 + 22(0,05)2

Namun dalam pelaksanaannya, ada kesulitan untuk masuk ke dalam lingkungan industri manufaktur refrigerasi yang menjadi target contoh, sehingga jumlah data yang diperoleh menjadi tidak lengkap karena dari 20 perusahaan yang dihubungi hanya 11 perusahaan yang bersedia menerima kuesioner dan kunjungan.

Wawancara dan kuesioner yang dilakukan terhadap responden yang menjadi sumber data dalam bentuk pertanyaan untuk menggali informasi

sesuai tujuan, check list maupun pilihan menggunakan skala Likerts (1 =

tidak tahu, 2=cukup tahu, 3=tahu, 4=sangat tahu), dan skala Guttman

18

3.3 Pelaksanaan Penelitian

Penelitian diawali dengan inventarisasi data dan informasi terkait dengan lingkup penelitian melalui berbagai sumber, selanjutnya divalidasi dan dianalisis sehingga diperoleh gambaran awal mengenai lingkup dan permasalahan penelitian.

Selanjutnya dilakukan penyebaran kuesioner dan wawancara untuk mendapatkan data lebih lanjut terkait dengan permasalahan. Wawancara

Dokumen terkait