KAJIAN POTENSI ALIH TEKNOLOGI HCFC KE NON-HCFC
PADA INDUSTRI MANUFAKTUR REFRIGERASI DI
JABODETABEK
ASTUTIE WIDYARISSANTIE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian Potensi Alih Teknologi HCFC Ke Non-HCFC Pada Industri Manufaktur Refrigerasi di Jabodetabek adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Astutie Widyarissantie
RINGKASAN
ASTUTIE WIDYARISSANTIE. Kajian Potensi Alih teknologi HCFC ke Non-HCFC pada Industri Manufaktur Refrigerasi di Jabodetabek. Dibimbing oleh AKHMAD ARIF AMIN dan PURNAMA HIDAYAT.
Hydrochlorofluorocarbon (HCFC) adalah satu satu jenis bahan kimia yang berpengaruh terhadap kelestarian atmosfir terkait dengan kontribusinya sebagai bahan perusak ozon dan salah satu jenis gas rumah kaca yang dapat menyebabkan pemanasan global. Mengingat karakteristik HCFC dan dampak ganda bahan tersebut, maka pada pertemuan para pihak Protokol Montreal yang ke-19 pada tahun 2007 telah disepakati untuk mempercepat penghapusan HCFC dari tahun 2040 menjadi 2030.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh penting pada keberhasilan program alih teknologi HCFC menjadi non HCFC, dan 2) mengetahui potensi sosial, ekonomi, teknis dan lingkungan yang ada di industri manufaktur refrigerasi yang dapat mendukung keberhasilan program alih teknologi HCFC ke non-HCFC.
Penelitian dilakukan di 11 perusahaan manufaktur refrigerasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Waktu penelitian dimulai dari Bulan Maret – Juni 2013. Pengambilan contoh dilakukan secara
purposive sampling dimana responden yang menjadi obyek penelitian merupakan pihak yang mengetahui tentang kegiatan manufaktur refrigerasi, program alih teknologi HCFC menjadi non-HCFC. Metode kualitatif digunakan untuk menggambarkan potensi penghapusan HCFC dari sisi sosial, ekonomi, teknis dan lingkungan dengan analisis deskriptif menggunakan SPSS 21 dan Microsoft Excel 2007. Sementara untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program alih teknologi HCFC menjadi non-HCFC menggunakan metode analisis komponen utama (Principles Component Analysis) dengan SPSS 21.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara sosial masih perlu ada perbaikan sistem terutama terkait dengan aspek keselamatan bahan pengganti HCFC. Dari sisi ekonomi, biaya investasi yang cukup tinggi kurang lebih US$ 450 000 menjadi kendala bagi perusahaan untuk melakukan alih teknologi, terutama bagi perusahaan skala kecil dan menengah. Secara teknis, HFC-32 merupakan pilihan alternatif yang dianggap layak untuk menggantikan HCFC-22, karena jangkauan aplikasinya yang lebih luas dibanding pengganti yang lain. Oleh karena itu HFC-32 dipilih oleh sebagian besar perusahaan responden. Penghapusan HCFC akan memberikan kontribusi penghapusan HCFC-22 sebanyak 440.36 MT atau 24.22 ODP ton, HCFC-141b sebanyak 135.88 MT atau 14.99 ODP ton, serta berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 895 564.60 setara CO2.
Kata kunci: lapisan ozon, bahan perusak ozon, gas rumah kaca,
hydrochlorofluoroarbon (HCFC), hydrofluorocarbon (HFC),
SUMMARY
ASTUTIE WIDYARISSANTIE. Potential Assessment of Technology Transfer of HCFC to Non-HCFC in the Refrigeration Manufacturer in Jabodetabek. It supervised by AKHMAD ARIF AMIN and PURNAMA HIDAYAT.
Hydrochlorofluorocarbons (HCFCs) is one of chemical that have significant influences to the preservation of atmosphere due to their contribution as ozone depleting substance and green house gases. Consider to their characteristic as green house gases, the 19th Meeting of Parties (MOP19) of the Montreal Protocol was decided acceleration of HCFCs phase-out from 2040 to 2030. The objective of this study are 1) to find out social, economy, technical, and environment potential for technology transfer of HCFCs to non-HCFC; 2). To find out factors which have significant contrbution to the succesful of the technology transfer.
The study has been done in 11 refrigeration manufacturer in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi. Duration of the study was 4 months started from March-June 2013. This study used purposive sampling to collect data, and analyzed on qualitative and quantitative methods. Qualitativemethod to describepotential of the HCFCs phase-out on social, economy, technical and environment aspects through descriptive method by SPSS 21 and Microsof Excel 2007. Meanwhile, to find out the significant factors were contributed to the succesful of the program, it used Principles Component Analysis (PCA) by SPSS 21.
The study indicated that social aspect has still need improvement of manufacturer practices due to the safety risk of several HCFCs substitutes. The high investment cost could be an obstacle to manufacturer to transfer HCFCs to non-HCFCs technology. The investment cost of technology transfer process approximately US$450.000 included machine modification and replacement. Technically, HFC32 is the best alternative option to replace HCFC-22. HFC32 has a wide range for the application, and mostly the respondents have chosen it in their technology transfer program. Potential HCFC-22 phase-out in 11 refrigeration manufacturer is 440,36 MT or 24,22 ODP ton, and HCFC-141b is 135,88 MT or 14,95 ODP ton. HCFC-22 phase-out program in 11 companies will contribute to the GHG emission reduction is around 797.051,60 ton CO2-eq, and HCFC-141b is around 98.513 ton CO2-eq.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
KAJIAN POTENSI ALIH TEKNOLOGI HCFC KE NON-HCFC
PADA INDUSTRI MANUFAKTUR REFRIGERASI DI
JABODETABEK
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2014
Judul Tesis : Kajian Potensi Alih Teknologi HCFC ke non-HCFC Pada Industri Manufaktur Refrigerasi di Jabodetabek
Nama : Astutie Widyarissantie NIM : P052110091
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Drh Akhmad Arif Amin Ketua
Dr Ir Purnama Hidayat, M.Sc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof Dr Cecep Kusmana, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 27 Desember 2013
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulis memilih topik penelitian yang berjudul Kajian Potensi Alih Teknologi HCFC Ke Non-HCFC Pada Industri Manufaktur Refrigerasi di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi).
Terima kasih penulis kepada Bapak Dr Drh Akhmad Arif Amin dan Bapak Dr Ir Purnama Hidayat, MSc, selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
Selain itu, penulis juga menyampaikan penghargaan kepada para pimpinan perusahaan manufaktur refrigerasi dan Unit Ozon Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup atas dukungan dan bantuannya dalam proses pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada alm. ayah, ibu, suami, dan anak-anakku serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR TABEL xiii
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 7
1.3 Tujuan Penelitian 8
1.4 Manfaat Penelitian 8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian 8
2 TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1 Protokol Montreal dan Pemanasan Global 8
2.2 HCFC dan Refrigerasi 14
3 METODE 16
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 16
3.2 Rancangan Penelitian 16
3.3 Pelaksanaan Penelitian 18
3.4 Alat dan Bahan 20
3.5 Prosedur Analisis Data 20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23
4.1 Profil Perusahaan Manufaktur Refrigerasi di Jabodetabek 23 4.2 Identifikasi faktor yang berpengaruh terhadap
keberhasilan alih teknologi
25 4.3 Potensi Alih Teknologi HCFC ke Non-HCFC 29
5 SIMPULAN DAN SARAN 55
5.1 Simpulan 55
5.2 Saran 56
DAFTAR PUSTAKA 56
LAMPIRAN 59
RIWAYAT HIDUP 86
DAFTAR TABEL
1.1 Jumlah permintaan peralatan pendingin selama tahun 2010-2012 4 1.2 Konsumsi HCFC sektor manufaktur refrigerasi pada tahun 2009 4 2.1 Nilai ODP dan GWP beberapa jenis bahan pendingin 12
2.2 Jenis BPO dan penggunaannya 13
2.3 Jadwal penghapusan HCFC menurut Protokol Montreal 13
2.4 Karakteristik kimia dan fisika HCFC 14
3.1 Variabel dan indikator penelitian 18
3.2 Matriks metode analisis data 21
4.1 Jenis dan penggunaan HCFC pada 11 industri manufaktur refrigerasi
Lanjutan Daftar Tabel
4.3 Total varians hasil analisis komponen utama faktor ekonomi 27 4.4 Total varians hasil analisis komponen utama faktor teknis 28 4.5 Total varians hasil analisis komponen utamafaktor lingkungan 29 4.6 Transformasi nilai skor Z tentang pemahaman responden 29 4.7 Transformasi nilai skor Z untuk tingkat kepuasan responden 32 4.8 Nilai ekonomi HCFC di 11industri manufaktur refrigerasi di
Jabodetabek
41 4.9 Jumlah realisasi impor HCFC nasional pada tahun 2009 44 4.10 Jumlah konsumsi HCFC di Industri Manufaktur Refrigerasi di
Jabodetabek tahun 2009
45
4.11 Teknologi pengganti HCFC 49
4.12 Potensi penyebab perusakan ozon dan pemanasan global dari penggunaan HCFC-22 dan HCFC-141b
54
DAFTAR GAMBAR
1.1 Luas “lubang ozon” tahun 1979-2012 2
1.2 Konsentrasi molekul ozon pada kurun waktu 1979-2012 2 1.3 Konsumsi HCFC di Indonesia tahun 1992-2012 5 2.1 Kaitan Penipisan Ozon dan Perubahan iklim 11
2.2 Kemasan HCFC-22 14
2.3 Kemasan HCFC-141b 15
4.1 Proses produksi panel busa 24
4.2 Panel busa siap rakit 25
4.3 Titik batas antar kategori 30
4.4 Batas bawah dan batas atas dengan selang interval 30 4.5 Tingkat pemahaman pelaku industri tentang isu perlindungan
lapisan ozon dan perubahan iklim
31
4.6 Titik batas antar jenis kategori 32
4.7 Batas bawah, batas atas dan selang interval 32 4.8 Tingkat kepuasan pelaku industri manufaktur refrigerasi 33 4.9 Sumber informasi tentang perlindungan lapisan ozon dan
perubahan iklim
34 4.10 Kepemilikan sertifikat kompetensi pekerja di 11 perusahaan
manufaktur refrigerasi
35 4.11 Pengalaman kerja pekerja di industri manufaktur refrigerasi 36 4.12 Ketrampilan dan pendidikan bagi pekerja 36 4.13 Jam kerja pekerja di 11 industri manufaktur refrigerasi 37 4.14 Perlengkapan kerja karyawan di 11 industri manufaktur
refrigerasi
38 4.15 Komitmen perusahaan terhadap pelaksanaan Keamanan dan
Keselamatan Kerja (K3)
39
4.16 Pelaksanaan kegiatan pelatihan K3 40
4.17 Harga pembelian HCFC-22 41
Lanjutan Daftar Gambar
4.19 Cara pembelian HCFC oleh industri manufaktur refrigerasi 42 4.20 Skenario pengurangan HCFC Indonesia tahun 2009 – 2030 44
4.21 Alasan perusahaan menggunakan HCFC 45
4.22 Jenis kegiatan alih teknologi yang dilakukan oleh perusahaan 46
4.23 Pilihan teknologi pengganti HCFC-22 48
4.24 Pilihan teknologi pengganti HCFC-141b 48
4.25 Alasan penggantian HCFC oleh pelaku industri 50 4.26 Jumlah stok HCFC yang disimpan dalam gudang 51 4.27 Jumlah stok HCFC yang tidak terpakai/kadaluarsa 52 4.28 Proses pengelolaan limbah HCFC yang tidak terpakai 52
4.29 Limbah lain yang dihasilkan 53
4.30 Pengelolaan limbah jenis lain 53
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peraturan nasional tentang program penghapusan BPO 59 2 Kuesioner kepada industri manufaktur refrigerasi 61 3 Hasil analisis dengan Analisis Komponen Utama (AKU) pada
faktor potensi sosial
67 4 Hasil analisis dengan Analisis Komponen Utama (AKU) pada
faktor potensi ekonomi
72 5 Hasil analisis dengan Analisis Komponen Utama (AKU) pada
faktor potensi teknis
75 6 Hasil analisis dengan Analisis Komponen Utama (AKU) pada
faktor potensi lingkungan
80 7 Hasil analisis pembobotan kriteria untuk pemahaman dengan
pendekatan distribusi Z
86 8 Hasil analisis pembobotan kriteria untuk tingkat kepuasan
dengan pendekatan distribusi Z
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lapisan Ozon merupakan salah satu komponen yang ada di atmosfer, terutama di lapisan stratosfer yang berada di ketinggian antara 10-50 kilometer dari permukaan bumi. Ozon merupakan molekul yang terdiri atas
3 atom Oksigen (O3) yang jumlahnya sangat kecil di udara. Dan dari setiap
milyar molekul udara yang ada di atmosfer hanya terdapat 12 000 molekul ozon. Konsentrasi molekul ozon inilah yang disebut lapisan ozon. Keberadaan lapisan ozon di atmosfer ada di dua lapisan, yaitu di lapisan troposfer (10%) yang bersifat negatif karena merupakan akumulasi dari pencemar udara yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan lapisan ozon yang kedua berada di lapisan stratosfer (90%). Lapisan ozon di stratosfer mempunyai peran dan fungsi yang sangat penting, yaitu menjadi penyerap radiasi sinar Ultra Violet (UV) yang sangat berbahaya yang berasal dari sinar matahari. Ada tiga jenis sinar UV, yaitu sinar UV-A (315-400 nm), UV-B (280-315 nm) dan UV-C (100-280 nm). Seluruh radiasi sinar UV-C, dan 90% dari sinar UV-B dapat diserap oleh ozon dan oksigen, sedangkan untuk sinar UV-A tidak terlalu dipengaruhi oleh atmosfer. Dengan demikian, hanya sinar UV-A dan UV-B saja yang dapat mencapai permukaan bumi. Penurunan konsentrasi lapisan ozon dapat meningkatkan radiasi sinar UV-B yang mencapai permukaan bumi (Aucamp 2006).
Ketebalan lapisan ozon berubah-ubah sesuai musim dan geografi.
Pengukuran konsentrasi molekul ozon dilakukan menggunakan Dobson
Spektrofotometer, yang diambil dari nama seorang ahli meteorologi Inggris yang bernama G.M.B. Dobson. Satuan dari ketebalan atau konsentrasi
lapisan ozon adalah Dobson Unit (DU). Konsentrasi ozon yang disebut
sebagai normal adalah apabila berada pada konsentrasi 300–350 DU. Bila konsentrasi ozon berada dibawah 200 DU, maka sudah terjadi penipisan konsentrasi molekul ozon, kondisi ini yang disebut sebagai “lubang ozon” (Sivasakthivel and Reddy 2011).
Pengamatan data ozon global dan “lubang ozon” di wilayah kutub selatandari tahun ke tahun dilakukan oleh NASA Ozone Watch. Gambar 1.1 menyajikan data luasan “lubang ozon” mulai dari tahun 1979 sampai 2012, dan dari gambaran tersebut diketahui bahwa bumi pernah mengalami
fenomena “lubang ozon” dengan luas terbesar yaitu 26.6 juta km2 yang
2
a
Sumber: diolah dari data ozon total oleh NASA Ozone Watch 2013
Gambar 1.1 Luas “lubang ozon” tahun 1979-2012
a
Sumber: diolah dari data ozon total oleh NASA Ozone Watch 2013
Gambar 1.2 Konsentrasi molekul ozon pada kurun waktu 1979-2012
Penipisan lapisan ozon dapat mengakibatkan radiasi sinar UV-B tidak terserap dengan efektif sehingga memberikan dampak yang merugikan bagi kehidupan manusia secara langsung maupun tidak langsung. Sivasakthivel and Reddy (2011) menyampaikan berbagai dampak yang dapat terjadi
0 5 10 15 20 25 30
1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009 2012
Luas lubang ozon (km2)
Tahun
0 50 100 150 200 250
1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009 2012
Konsentrasi molekul ozon di atmosfir (DU)
3
akibat penipisan lapisan ozon. Penipisan lapisan ozon akan meningkatkan radiasi UV-B yang dapat menyebabkan kerusakan sistem mata, katarak, kanker kulit, penurunan sistem kekebalan tubuh. Penipisan ozon juga berpengaruh terhadap tanaman yaitu dapat mengakibatkan perubahan atau mutasi terhadap komposisi spesies, bentuk tanaman, kualitas produktifitas tanaman, keseimbangan sistem kompetitif suatu spesies dan mengubah keragaman hayati suatu ekosistem. Pada sistem perairan, meningkatnya paparan radiasi sinar UV-B akibat tidak diserap oleh lapisan ozon secara efektif juga dapat menganggu sistem distribusi fitoplankton yang merupakan dasar siklus makanan di sistem perairan, dan lebih lanjut dapat mengganggu siklus rantai makanan di perairan yang akan berpengaruh terhadap produktifitas perikanan ataupun sumber protein bagi manusia. Penipisan lapisan ozon juga memberikan dampak kurang baik terhadap kualitas udara karena pengurangan ozon stratosfir dan peningkatan paparan radiasi sinar UV-B akan meningkatkan disosiasi foto yang lebih tinggi dari gas-gas yang penting dalam proses kimia di troposfir. Selain itu, material bangunan juga dapat terkena dampak peningkatan radiasi sinar UV-B berupakerusakan terhadap bahan polimer sintetik, mengurangi umur hidup suatu jenis material, menyebabkan diskolorisasi atau warna menjadi cepat kusam. Dampak terhadap perubahan iklim, bervariasi tergantung di bagian mana terjadi perubahan molekul ozon, karena selain menyerap radiasi sinar matahari, ozon juga berfungsi untuk mengatur keseimbangan temperatur di permukaan bumi.
Tingginya intervensi manusia melalui penggunaan Bahan Perusak Ozon (BPO) menyebabkan terganggunya keseimbangan produksi dan penguraian molekul ozon di stratosfer. Potensi suatu BPO dalam
menyebabkan kerusakan lapisan ozon diistilahkan sebagai Ozone Depleting
Potential (ODP). Sedangkan Global Warming Potential (GWP)merupakan satuan potensi suatu bahan yang dapat mengakibatkan pemanasan global. Berbagai jenis BPO selain dapat merusak ikatan molekul ozon juga dapat memicu terjadinya pemanasan global, bahkan nilai potensinya lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis Gas Rumah Kaca (GRK) lain seperti CO2 dan
CH4.
Protokol Montreal yang merupakan perangkat global yang disepakati secara internasional telah melarang produksi dan konsumsi CFC, halon, CTC, TCA dan metil bromida untuk penggunaan tertentu. Salah satu jenis bahan alternatif sementara yang digunakan untuk menggantikan jenis BPO
yang sudah dihapuskan tersebut, adalah Hydrochlorofluorocarbon (HCFC).
HCFC mempunyai nama kimia chlorodifluoromethane atau
difluoromonochloromethane dengan formula molekul CHClF2 merupakan
salah satu jenis BPO yang banyak digunakan setelah Chlorofluorocarbon
4
Pertumbuhan ekonomi yang makin pesat terutama di sektor retail mendorong makin tingginya permintaan terhadap peralatan pendingin komersial untuk mengawetkan sayuran, ikan, daging, buah-buahan dan produk lainnya yang memerlukan suhu tertentu dalam penyimpanannya. Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI) menyampaikan bahwa selama tahun 2010–2012 terjadi peningkatan permintaan peralatan pendingin. Data asosiasi tersebut disajikan dalamTabel 1.1.
Tabel 1.1 Jumlah permintaan peralatan pendingin selama tahun 2010-2012a
Tahun Jumlahb
(unit)
2010 3 500 000
2011 3 900 000
2012 4 500 000
a
Sumber: Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia; b Merupakan angka prediksi
Menurut ARPI, pada tahun 2010 tercatat penggunaan bahan pendingin sebanyak 235 Metrik Ton (MT), dan diperkirakan pada tahun 2012 akan mengalami kenaikan menjadi 300 MT. Pelarangan konsumsi CFC mendorong perusahaan manufaktur untuk menggunakan HCFC sebagai penggantinya karena harganya yang cukup ekonomis dibandingkan dengan jenis bahan pengganti lain, kemudian secara teknis juga tidak perlu terlalu banyak melakukan modifikasi sehingga dari sisi investasi juga lebih murah. Jumlah impor HCFC yang masuk ke Indonesia selama kurun waktu 1992–2010 terus mengalami kenaikan. Gambaran analisis trend produksi dan konsumsi HCFC di Indonesia disajikan dalam Gambar 1.3. Total konsumsi HCFC sampai tahun 2009 mencapai 5832 MT, dengan rincian HCFC-22 sebanyak 4327 MT (75%) dan HCFC 141-b sebanyak 1186 MT (20%).
Untuk sektor refrigerasi atau pendingin dibagi menjadi sub sektor manufacturing dan servicing. Terdapat 33 perusahaan manufaktur refrigerasi yang menggunakan HCFC, dan perusahaan yang berada dalam 3 grup perusahaan besar menjadi konsumer terbesar yaitu 60%.
Tabel 1.2 Konsumsi HCFC sektor manufaktur refrigerasi pada tahun 2009
Sub Sektor Penggunaan Konsumsi HCFC (MT)
HCFC-22 HCFC 141-b Total
Komersial
(<12 HP)
Peralatan pendingin retail dan perlengkapan
pendingin dapur
39 28 67
Industri
(>12 HP)
Ruang pendingin industri, gudang
berpendingin
53 60 113
Total 92 88 180
a
Sumber : KLH 2010
5
a
Sumber: Diolah dari data laporan konsumsi HCFC kepada Sekretariat Ozon, UNEP 2011;
Gambar 1.3Konsumsi HCFC di Indonesia tahun 1992-2012
Total konsumsi HCFC pada tahun 2009 untuk sektor refrigerasi sebesar 1703 MT, dan 33% diantaranya dikonsumsi oleh sektor manufaktur refrigerasi yaitu sebesar 578 MT, dan sisanya 64% atau 1125 MT digunakan di sektor servis/pemeliharaan peralatan refrigerasi. Pada sub sektor refrigerasi komersial, HCFC-22 digunakan sebagai refrigeran atau bahan pendingin, dan HCFC-141b sebagai bahan pengembang pada proses insulasi. Data konsumsi HCFC untuk sektor manufaktur refrigerasi dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Pada Meeting of Parties (MOP) ke-19 yang dilaksanakan di Montreal,
Canada pada tanggal 17 sampai dengan 21 September 2007 dihasilkan keputusan yang cukup krusial yaitu percepatan penghapusan bahan perusak
ozon jenis HCFC. Decision XIX/6 menetapkan bahwa negara berkembang
yang termasuk dalam negara Artikel 5 menurut Protokol Montreal mempunyai kewajiban menghapuskan HCFC 100% pada tahun 2030 (2.5% untuk kebutuhan servicing sampai tahun 2040), dan untuk negara maju yang termasuk dalam negara Non Artikel 5 mempunyai kewajiban menghapus 100% konsumsi dan produksinya pada tahun 2020 (Kozakiewicz 2010).
Salah satu alasan keputusan percepatan penghapusan konsumsi dan produksi HCFC adalah selain karena masih punya potensi merusak molekul ozon juga memicu adanya pemanasan global. HCFC sebagai bahan perusak ozon mempunyai nilai ODP yang berkisar antara 0.02 (HCFC-123) sampai 0.11 (HCFC-141b), sementara itu HCFC juga mempunyai nilai GWP yang cukup tinggi yaitu 76 (HCFC-123) sampai 2270 (HCFC-142b) (Kozakiewicz 2010).
Dalam dokumen pedoman kebijakan HCFC dan pilihan
pengaturannya (Kozakiewicz 2010) dinyatakan bahwa negara-negara Artikel 5 diharapkan dapat mengadopsi teknologi yang ramah ozon dan ramah iklim, meningkatkan efisiensi energi, mendorong lapangan kerja, dan
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 201
1
2012 2013
Konsumsi HCFC (MT)
6
memberikan kontribusinya untuk pengembangan ekonomi hijau.
Protokol Montreal melalui program penghapusan BPO telah mendorong tidak hanya perbaikan kualitas lingkungan tetapi juga terhadap peningkatan ekonomi yang seimbang antara ekonomi secara definitif maupun ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan. Dari sisi ekonomi, penggantian teknologi HCFC harus mampu mendorong inovasi yang terus menerus untuk melakukan alih teknologi yang benar-benar bersih memberikan pengaruh negatif paling minimal terhadap lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Proses inovasi untuk menciptakan teknologi non-HCFC yang lebih efisien tidak hanya dari sisi ekonomi produksi tetapi juga ekonomi secara makro melalui peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Dari sisi sosial, proses alih teknologi HCFC menjadi teknologi baru yang non-HCFC dapat mendorong dilaksanakannya
kegiatan pelatihan bagi pemangku kepentingan sehingga turut
meningkatkan pengetahuan dan pendidikan tenaga kerja karena makin banyak teknologi baru yang perlu dipelajari. Dengan adanya alih teknologi maupun penghapusan HCFC dapat membantu mengurangi risiko masyarakat terhadap efek sosial berupa penyakit akibat dampak tidak langsung dari penipisan ozon maupun bahaya langsung dari penggunaan HCFC. Dari sisi lingkungan, tentunya sudah pasti penghapusan HCFC mendorong upaya konservasi dan pemulihan terhadap kualitas lingkungan atmosfer, dan mengurangi pemanasan global mengingat BPO juga merupakan GRK.
Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam sambutan di KTT G20 yang diselenggarakan di Pittsburgh, USA pada bulan September 2009 menyampaikan komitmen Indonesia untuk secara sukarela menurunkan
emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dengan kondisi Bussiness As
Usual (BAU) dan 41% apabila ada skenario bantuan pendanaan dan teknologi. Untuk mewujudkan hal tersebut telah disusun suatu Rencana Aksi Nasional (RAN) yang melibatkan berbagai sektor yang mempunyai kontribusi besar dalam emisi GRK. belum dilakukan penghitungan potensi penghapusan HCFC dalam mendukung upaya pencapaian target pengurangan emisi GRK 26% tersebut.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui potensi kontribusi penghapusan HCFC melalui alih teknologi non-HCFC yang rendah karbon, dengan memperhatikan aspek sosial dan ekonomi mikro pada sektor refrigerasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok,Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Dengan berbagai program dan peraturan yang telah diterbitkan dan dilaksanakan, yang dikombinasikan dengan kondisi sesungguhnya dari industri refrigerasi atau pendingin maka program penghapusan HCFC dapat diketahui potensi keberhasilannya dan faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan dan faktor kendala yang dapat menghalangi keberhasilan program tersebut.
7
HCFC dalam mendukung upaya pencapaian target pengurangan emisi GRK 26% tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Lapisan ozon merupakan lapisan pelindung bumi yang mulai mengalami degradasi akibat penggunaan bahan perusak ozon secara luas di seluruh dunia. Berbagai dampak negatif sudah mulai dapat dirasakan saat ini, seperti makin menurunnya pH air hujan (hujan asam) yang disebabkan oleh bahan pencemar udara dan perubahan proses kimia atmosfer salah satu akibat makin tinggi radiasi ultra violet matahari di atmosfer. Selain itu makin meningkatnya kasus kanker dan katarak, perubahan kondisi ekosistem perairan dengan makin berkurangnya jumlah plankton. Keseimbangan proses pembentukan dan peruraian molekul ozon terganggu akibat makin tingginya tingkat akumulasi bahan perusak ozon di atmosfer. Kondisi lapisan ozon di Indonesia memang masih berada dalam kondisi yang belum mengkhawatirkan tetapi secara global, Indonesia juga mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam merusak lapisan ozon melalui konsumsi BPO di berbagai sektor usaha dan berbagai kegiatan. Salah satu jenis BPO yang punya potensi menguraikan ikatan molekul ozon dan menyebabkan pemanasan global adalah HCFC.
Pengguna terbesar HCFC adalah sektor refrigerasi atau pendingin, baik manufaktur maupun servis. Oleh karena itu sektor ini juga menjadi salah satu prioritas dalam program penghapusan ozon. Untuk mendukung upaya penghapusan HCFC yang akan dimulai periode pembekuannya pada tahun 2013, maka perlu segera dicari teknologi baru yang non-HCFC. Sudah banyak pilihan teknologi non-HCFC yang dikembangkan oleh berbagai pihak, yang perlu dilihat dari semua aspek baik teknis, ekonomi dan sosialnya. Pilihan-pilihan tersebut harus dilihat tidak hanya dari kontribusinya terhadap pemulihan kondisi lapisan ozon tetapi juga dalam pencegahan pemanasan global.
Secara internasional sudah ada Protokol Montreal yang mengatur jadwal pengurangan produksi dan konsumsi HCFC secara bertahap sampai penghapusan total pada tahun 2030. Mengingat potensinya yang dapat
mengakibatkan dual impact yaitu mengurangi kerusakan lapisan ozon dan
pemanasan global, maka implementasi program penghapusan HCFC harus memperhatikan kedua dampak tersebut. Selain dampak lingkungan perlu juga dipertimbangkan dampak yang lebih luas terhadap kehidupan sosial dan perkembangan ekonomi negara secara makro dan mikro. Namun dalam penelitian ini hanya akan melihat dampak ekonomi secara mikro saja. Berbagai aspek ini perlu dianalisis lebih jauh untuk melihat kontribusinya terhadap penerapan ekonomi hijau yang sudah menjadi komitmen
pemerintah yaitu mengembangkan rencana pembangunan negara yang
pro-growth, pro-job dan pro-poor dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi.
Dari hasil perumusan masalah tersebut, diperoleh beberapa pertanyaan yang akan menjadi obyek penelitian yaitu:
8
signifikan terhadap keberhasilan program alih teknologi dari HCFC menjadi non-HCFC.
b. Seberapa besar potensi keberhasilan proses alih teknologi HCFC dari sisi
sosial, ekonomi, teknis dan lingkungan, karena berkaitan dengan potensi kontribusi industri terhadap keberhasilan program penghapusan HCFC.
1.3 Tujuan Penelitian
Dari uraian perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan:
a. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh penting pada keberhasilan
program alih teknologi HCFC menjadi non-HCFC.
b. Mengetahui potensi HCFC dari aspek sosial, ekonomi, teknis dan
lingkungan yang ada di industri manufaktur refrigerasi.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak yang terkait, yaitu:
a. Bagi pengambil keputusan: memberi masukan dalam menyusun
kebijakan dan program yang tepat dalam implementasi penghapusan HCFC yang memenuhi kriteria lingkungan, sosial dan ekonomi untuk sektor refrigerasi
b. Bagi pelaku industri: mempunyai pilihan dalam proses alih teknologi
HCFC yang memberikan kontribusi lebih besar terhadap lingkungan, sosial dan perekonomian secara mikro
c. Bagi masyarakat: mempunyai pilihan memilih produk yang ramah ozon
dan iklim, dan mendapatkan lingkungan yang lebih baik.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
9
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Protokol Montreal dan Pemanasan Global
Pada akhir tahun 1920-an, sistem pendingin dan pengatur udara menggunakan bahan kimia seperti amonia, klorometana, propana dan sulfur oksida sebagai bahan pendingin. Walaupun efektif, bahan-bahan kimia tersebut bersifat racun, mudah terbakar dan dapat menyebabkan penyakit dan kematian yang cukup serius. Thomas Midgley, Jr. dan Albert L. Henne mengembangkan suatu bahan yang menggabungkan fluor dan hidrokarbon
menjadi Chlorofluorocarbon atau yang lebih dikenal dengan CFC. “Freon”
yang merupakan merek dagang menjadi sebutan umum untuk CFC. Pada
tahun 1974, dua orang ilmuwan yang bernama Sherwood Rowland dan
Mario Molina dari University of California menyampaikan hasil penelitian yaitu bahwa bahan kimia CFC dapat menguraikan ikatan molekul ozon yang berada di statosfir. Lapisan ini berguna untuk melindungi permukaan bumi
dari bahaya radiasi ultraviolet yang berasal dari sinar matahari (Hidayat, et
al., 2010).
Penipisan lapisan ozon dapat berdampak negatif terhadap kehidupan manusia, karena dapat menyebabkan pe rubahan metabolisme sel tumbuhan maupun hewan dan dapat merusak material genetik. Di alam, adanya peningkatan radiasi UV-B yang berlebihan akan dapat mempengaruhi reaksi kimia atmosfer yang dapat memicu terjadinya hujan asam dan pemanasan
global (Hidayat et al. 2010).
Salah satu akibat negatif dari makin menipisnya lapisan ozon adalah gangguan kesehatan yang berupa katarak mata, kanker kulit dan menurunnya efek imunitas tubuh. Menurut US EPA (2011) paparan sinar UV-B dapat menyebabkan kerusakan kumulatif terhadap sistem mata, karena dapat merusak kornea mata, selain itu juga dapar menyebabkan
terjadinya katarak mata. Penggunaan kaca mata hitam (sunglasses) sangat
disarankan pada saat matahari bersinar sangat terang.
Pada penelitian yang dilakukan di Kota Makassar pada tahun 2009-2010, diperoleh hasil bahwa pada lokasi dengan paparan UV yang rendah mempunyai kecenderungan prevalensi katarak yang lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang mendapatkan paparan UV yang tinggi. Penurunan risiko pada paparan UV rendah mencapai 30%. Kemudian pada daerah dengan lokasi yang terpapar sinar UV pada kadar yang rendah memiliki faktor proteksi terhadap katarak hingga kurang lebih 40%. Namun demikian, perlu juga dilihat adanya faktor lain yang mempengaruhi
prevalensi kasus katarak mata ini (Moeloek et al. 2010).
Pemanasan global merupakan salah satu permasalahan lingkungan global yang saat ini menjadi isu paling hangat seiring dengan makin menghangatnya bumi akibat pemanasan global.
10
menyatakan bahwa bahan kimia buatan manusia dapat menguraikan ikatan molekul ozon. Gambar 2.1 menunjukkan kaitan antara penipisan ozon dan perubahan iklim.
Ozon berdampak pada iklim terutama terkait dengan perubahan suhu. Semakin banyak ozon yang ada di kantung udara, maka panas yang ada tetap bertahan. Ozon menghasilkan panas di stratosfer, baik yang berasal dari absorpsi radiasi ultraviolet matahari maupun hasil serapan radiasi infrared di troposfer. Akibatnya, ozon stratosfer makin menurun pada suhu yang makin rendah. Hasil pengamatan menunjukkan,selama beberapa
dasawarsa terakhirsudah terjadi pendinginan sebesar 1 °C sampai 6 °Cpada
jarak 30 hingga 50 kilometer di atas permukaan bumi. Proses penurunan suhu di stratosfer berlangsung bersamaan dengan makin meningkatnya emisi gas rumah kaca di lapisan troposfer.
Penipisan lapisan ozon dan pemanasan global mempunyai kaitan yang sangat erat mencakup masalah ilmiah, teknologi maupun dampaknya. Peningkatan temperatur permukaan bumi menyebabkan turunnya temperatur lapisan stratosfir, sehingga dapat memperlambat pemulihan lapisan ozon. Ilmuwan NASA memperkirakan bahwa terjadinya pemanasan global dapat memperlambat pemulihan lapisan ozon 18 tahun dari perkiraan semula tahun 2050 menjadi 2068. Bahan-bahan perusak ozon seperti CFC, HCFC, Halon, dan Metil bromida memiliki kemampuan yang lebih tinggi
ribuan kali dibandingkan dengan CO2 dalam menyebabkan pemanasan
global. Dengan demikian, refrigeran yang termasuk dalam kelompok halokarbon seperti CFC dan HCFC merupakan GRK yang cukup kuat (Indartono 2009).
Protokol Montreal melalui mekanisme penghapusan BPO yang sudah dijalankan mulai tahun 1987 sampai saat ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pengurangan jumlah emisi GRK, yaitu sebesar 8
Giga ton setara CO2 per tahun atau 30% dari emisi GRK dunia (Shende
2006).
Emisi bahan pendingin dari jenis HCFC pada tahun 2002 mencapai setengah dari konsumsi bahan pendingin total 470 000 ton di seluruh dunia. Apabila tidak ada upaya pengurangan atau penghapusan maka pada tahun 2015 diperkirakan jumlah emisi pendingin bisa mencapai dua kali lipatnya. Dan bila dilakukan berbagai upaya penghapusan emisi bahan pendingin jumlahnya tidak akan bertambah secara signifikan dari jumlah tahun 2002. Jumlah terbesar dari bahan pendingin yang digunakan, jenis HCFC-22 merupakan jumlah yang paling banyak, diikuti oleh CFC-12, dan HFC-134a. Tetapi bila dilihat dari dampak pemanasan global, emisi CFC-12 merupakan emiter terbesar yang diikuti oleh HCFC-22 dan HFC-134a. Pada tahun 2015, dengan skenario tanpa ada upaya penghapusan, maka total emisi bahan
pendingin dapat mencapai 1.5 Giga ton setara CO2 dan apabila dilakukan
berbagai upaya pengurangan, maka jumlah emisi bahan pendingin tersebut
dapat dikurangi sampai 0.8 Giga ton setara CO2 pada tahun 2015. Dari
jumlah prosentasenya, dampak bahan pendingin terhadap pemanasan global mencapai 55% untuk CFC, HCFC (30%) dan HFC memberikan kontribusi pemanasan global sebanyak 15% (Shende 2006).
11 a Sumber:Bournay 2007
Gambar 2.1 Kaitan Penipisan Ozon dan Perubahan iklim Perubahan sirkulasi laut global Proses perusakan molekul ozon stratosfir Pendinginan Suhu Stratosfir Terjadi peningkatan Penurunan kerentanan manusia Pembentukan awan stratosfir kutub Peningkatan
radiasi sinar
UV-lubang ozon di atas Antartika (dan konsentrasi yang lebih rendah di atas
PENIPISAN OZON GLOBAL PERUBAHAN IKLIM Perubahan sirkulasi atmosfir Perubahan curah hujan Pencairan es Perubahan luasan tutupan salju Perubahan tutupan awan Kenaikan suhu rata2 (pemanasan Pelepasan atom klorin dan bromin Sinar UV Matahari Terjadi peningkatan Pengurangan Peningkatan efek rumah kaca
Bahan Perusak Ozon Gas Rumah Kaca
12
HCFC sebagai bahan pendingin atau refrigeran tidak hanya mempunyai nilai ODP tetapi juga mempunyai nilai GWP yang mengacu
pada nilai CO2.Tabel 2.1. menunjukkan perbandingan nilai ODP dan GWP
dari beberapa jenis bahan pendingin.
Tabel 2.1 Nilai ODP dan GWP beberapa jenis bahan pendingina
Jenis BPO Rumus
Kimia
Umur Hidup (Tahun)
Nilai ODP Nilai GWP (100 thn)
CFC CFC-11 CCl3F 45 1 4600
CFC-12 CCl2F2 100 1 10600
HCFC HCFC-22 CHClF2 12 0.055 1810
HCFC-141b CCl2F-CH3 9.3 0.11 700
HFC HFC-32 CH2F2 5 0 550
HFC-125 CHF2-CF3 29 0 3400
HFC-134a CF3-CH2F 13.8 0 1300
HFC-143a CH3-CF3 52 0 4300
HFC-152a CHF2-CH3 1.4 0 120
Alami Amonia NH3 1 0 0
Karbondiok sida
CO2 120 0 0
Isobutan CH(CH3)3 1 0 3
a
Sumber: Indartono 2009
Pada tanggal 22 Maret 1985, para negara yang berada dibawah PBB sepakat untuk melakukan aksi nyata melindungi lapisan ozon dalam bentuk kerjasama penelitian dan penyebarluasan informasi tentang penipisan lapisan ozon. Kesepakatan tersebut ditandatangani di Wina, Austria sehingga disebut sebagai Konvensi Wina. Sebagai tindakan nyata untuk mengimplementasikan kesepakatan tersebut, pada tanggal 16 September 1987 telah disahkan Protokol Montreal yang mengatur pembatasan dan penghapusan tingkat produksi dan konsumsi berbagai jenis BPO. BPO adalah bahan-bahan kimia baik yang berbentuk tunggal ataupun senyawa yang digunakan sebagai bahan dasar atau bahan pembantu dalam proses produksi suatu jenis industri yang mempunyai potensi untuk merusak molekul ozon stratosfer. Jenis-jenis BPO yang diatur dalam Protokol Montreal dan penggunanya dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Sesuai perkembangan waktu, Protokol Montreal perlu dilakukan pemutahiran secara terus menerus sesuai kebutuhan sehingga dilakukan beberapa amandemen terhadap kesepakatan tersebut. Pada amandemen kedua, yaitu Amandemen Kopenhagen yang disahkan pada tahun 1992, disepakati
untuk menambahkan jenis bahan yang diawasi dan diatur yaitu Metil bromida
dan HBFC dan HCFC.
13
emisi gas rumah kaca selain CO2 dan metana (Berglof 2010).
Tabel 2.2 Jenis BPO dan penggunaannyaa
Sektor pengguna Jenis produk Jenis BPO Yang Digunakan
Foam/Busa Kasur busa, kemasan makanan, jok
kursi sofa, jok mobil, sol sepatu, dll
CFC-11,
HCFC-141b
Refrigerasi
/Pendingin
Kulkas, dispenser, chiller, AC,
kendaraan berpendingin
CFC-11, CFC-12
HCFC-22, HCFC-123
Pemadam api Pemadam api portable; terpasang Halon 1211, Halon
1301, HCFC-123
Solvent/Pelarut
Kimia
Pelarut kimia dalam: industri logam, suku cadang kendaraan,
karbon aktif
CFC-113, Carbon
Tetra Chloride (CTC)
Trichloroethane (TCA)
Aerosol Pengharum ruangan, obat nyamuk
semprot, parfum, dll
CFC-12
Tembakau Pengembang dalam produksi rokok CFC-11
Pertanian Pestisida utk hama penyakit,
pengolahan tanah, karantina dan
pra pengapalan, dll
Metil Bromida
a
Sumber: Hidayat et al. 2010;
Shende,et al. (2006) menyampaikan bahwa program penghapusan BPO
melalui skema Protokol Montreal telah memberikan kontribusi pengurangan
emisi HCFC sebanyak 2000 kali dibandingkan dengan jenis CO2, dan juga
memberikan kontribusi penghematan energi pada peralatan pendingin dan pengatur udara.
Meeting of Parties (MOP) ke-19 di Montreal, Kanada pada tanggal 17– 21 September 2007 dihasilkan keputusan yang cukup krusial yaitu percepatan
penghapusan bahan perusak ozon jenis HCFC. Decision XIX/6menetapkan
penjadwalan baru untuk penghapusan HCFC, termasuk untuk negara berkembang, seperti yang ditampilkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Jadwal penghapusan HCFC menurut Protokol Montreala
Penghapusan HCFC = produksi + impor – ekspor
Base level= rata-rata konsumsi HCFC tahun 2009 dan 2010
1 Januari 2013 Periode pembekuan (Freeze period)
1 Januari 2015 Pengurangan konsumsi sebesar 10%
1 Januari 2020 Pengurangan konsumsi sebesar 35%
1 Januari 2025 Pengurangan konsumsi sebesar 67.5%
1 Januari 2030 Pengurangan konsumsi sebesar 100%
Setelah 2030 hanya 2.5% base levelb
a
Sumber: KLH 2010; bUntuk kegiatan perawatan masih diperbolehkan konsumsi tahunan sebesar 2,5% dari baseline selama periode 2030 – 2040
14
2011–2015 dengan target penghapusan sebesar 402.16 MT pada tahun 2011 dan 361.94 MT pada tahun 2015 diharapkan dapat mengurangi 1.5 juta ton
setara CO2.
2.2 HCFC dan Refrigerasi
HCFC mempunyai nama kimia chlorodifluoromethane atau
difluoromonochloromethane denga formula molekul CHClF2merupakan
salah satu jenis Bahan Perusak Ozon (BPO) yang banyak digunakan setelah
Chlorofluorocarbon (CFC) dilarang untuk diproduksi dan digunakan sejak 1 Januari 2011 sesuai jadwal penghapusan yang diatur dalam Protokol Montreal.Karakteristik fisika dan kimia HCFC adalah sebagai berikut:
Tabel 2.4 Karakteristik kimia dan fisika HCFCa
Karakteristik Nilai
Densitas (ρ) pada -69 °C (cairan) 1.49 g/cm3
Densitas (ρ) pada suhu 15 °C (gas) 3.66 kg/m3
Suhu kritis (Tc) 96.2 °C
Tekanan kritis (pc) 4 936 MPa (49.36 bar)
Densitas kritis (ρc) 6.1 mol/liter
Viskositas (η) at 0 °C 12.56 Ns/m2 (0.1256 cP)
a
Sumber:Honeywell 2000
a
Sumber: Photobucket 2013
15
a
Sumber: Photobucket 2013
Gambar 2.3 Kemasan HCFC-141b
HCFC banyak digunakan di sektor refrigerasi dan pengatur udara
(77%), busa (foam) (10%), bahan pemadam api (1%), propelan pada produk
aerosol, solven (2%) dan juga sebagai feedstock pada industri kimia. Dari
sekian jumlah volume konsumsi HCFC di seluruh dunia, sekitar 75% digunakan pada sektor refrigerasi dan pengatur udara. Jenis HCFC yang paling banyak digunakan adalah HCFC-22, tetapi HCFC juga bisa dicampur dengan bahan pendingin jenis lain. Jenis HCFC lain yang juga digunakan dalam sektor industri ini adalah HCFC-141b yang merupakan bahan pengembang dalam proses pembuatan insulasi pada proses produksi peralatan pendingin.
Industri refrigerasi terbagi menjadi beberapa sub sektor kegiatan, dan penggunaan utama bahan pendingin HCFC ada di sub sektor refrigerasi komersial, refrigerasi industri, transportasi refrigerasi, pompa panas,
pengatur udara dan chiller.
EPA memperkirakan bahwa pada tahun 2009, terdapat 1.5–1.8 milyar
peralatan refrigerasi domestik dan freezer yang masih beroperasi dengan
baik, dan kurang 100 juta unit baru diproduksi dan dijual setiap tahunnya. Dalam setiap unit peralatan refrigerasi menggunakan bahan pendingin kurang lebih 0.05–0.25 kg dan lebih dari 1 kg bahan pengembang untuk insulasinya. Dari jumlah tersebut dapat dibayangkan seberapa besar penggunaan BPO dari jenis HCFC-22 dan HCFC-141b yang digunakan yang dapat memberikan kontribusinya terhadap penipisan lapisan ozon dan pemanasan global.
16
pendingin di sektor retail, dari 3.96 juta unit menjadi 4.5 juta unit pada tahun 2012. Kebutuhan akan bahan pendingin juga makin bertambah dari 264 MT pada tahun 2011 menjadi 300 MT pada tahun 2012.
Protokol Montreal melalui program penghapusan BPO telah mendorong tidak hanya perbaikan kualitas lingkungan tetapi juga terhadap peningkatan ekonomi yang seimbang antara ekonomi secara definitif maupun ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan. Dari sisi ekonomi, Protokol Montreal mendorong inovasi yang terus menerus untuk melakukan alih teknologi dari BPO menjadi non-BPO, menciptakan teknologi yang lebih efisien tidak hanya dari sisi ekonomi produksi tetapi juga ekonomi secara makro melalui peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Dari sisi sosial, kegiatan pelatihan bagi pemangku kepentingan turut meningkatkan pengetahuan dan pendidikan tenaga kerja karena makin banyak teknologi baru yang perlu dipelajari. Dengan adanya alih teknologi maupun penghapusan BPO dapat membantu mengurangi risiko masyarakat terhadap efek sosial berupa penyakit. Dari sisi lingkungan, tentunya sudah pasti penghapusan BPO mendorong upaya konservasi dan pemulihan terhadap kualitas lingkungan atmosfer, dan mengurangi pemanasan global mengingat BPO juga merupakan GRK.
3
METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Jakarta dan pengumpulan data yang diperoleh dari sumber data Unit Ozon Nasional dibawah Kementerian Lingkungan Hidup, dan industri manufaktur refrigerasi.
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret 2013 dan memakan waktu empat bulan sampai bulan Juni 2013.
Tempat penelitian di 11 lokasi industri manufaktur refrigerasi yang tersebar di Jakarta Utara; Cileungsi, Bogor; Depok, daerah Cikupa Tangerang; dan Bekasi.
3.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan
survey dan expose facto. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan
sekunder. Penelitian ini menggambarkan variabel-variabel yang diamati, gejala dan keadaan.
17
Metode pengambilan contoh dilakukan berdasarkan teknik purposive
sampling atau pemilihan contoh dilakukan dengan sengaja dengan pertimbangan bahwa responden adalah pelaku baik individu atau lembaga yang dianggap mengerti permasalahan mengenai penghapusan HCFC, kegiatan manufaktur refrigerasi dan alih teknologi HCFC. Pengambilan contoh dilakukan dengan cara wawancara, observasi, kuesioner dan dokumentasi. Besaran contoh disesuaikan dengan kebutuhan data yang akan diolah.
Populasi dalam penelitian ini adalah populasi pemangku kepentingan yang terkait dengan upaya perlindungan lapisan ozon dan penghapusan HCFC di Indonesia. Contoh penelitian adalah industri refrigerasi yang terkait langsung dengan tujuan penelitian, dan populasi target ini diambil
population sampling.
Sumber data untuk industri refrigerasi dilakukan dengan pengambilan contoh yang dianggap representatif yang dapat menggambarkan kondisi pada industri refrigerasi yang akan melakukan alih teknologi dari HCFC menjadi non-HCFC.
Jumlah populasi industri yang terdata saat ini di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi mencapai 22 perusahaan. Dari jumlah populasi yang ada ditentukan jumlah besaran contoh dengan menggunakan rumus Slovin:
N n = jumlah contoh
n =
1 + Ne2 N = Jumlah populasi
e =kesalahan
Jumlah populasi perusahaan diperkirakan berjumlah 22 perusahaan. Tingkat kesalahan pengambilan contoh ditentukan sebanyak 5%, dengan demikian dapat dihitung jumlah contoh yang digunakan sebanyak 20 perusahaan.
22
n = = 20
1 + 22(0,05)2
Namun dalam pelaksanaannya, ada kesulitan untuk masuk ke dalam lingkungan industri manufaktur refrigerasi yang menjadi target contoh, sehingga jumlah data yang diperoleh menjadi tidak lengkap karena dari 20 perusahaan yang dihubungi hanya 11 perusahaan yang bersedia menerima kuesioner dan kunjungan.
Wawancara dan kuesioner yang dilakukan terhadap responden yang menjadi sumber data dalam bentuk pertanyaan untuk menggali informasi
sesuai tujuan, check list maupun pilihan menggunakan skala Likerts (1 =
tidak tahu, 2=cukup tahu, 3=tahu, 4=sangat tahu), dan skala Guttman
18
3.3 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian diawali dengan inventarisasi data dan informasi terkait dengan lingkup penelitian melalui berbagai sumber, selanjutnya divalidasi dan dianalisis sehingga diperoleh gambaran awal mengenai lingkup dan permasalahan penelitian.
Selanjutnya dilakukan penyebaran kuesioner dan wawancara untuk mendapatkan data lebih lanjut terkait dengan permasalahan. Wawancara atau kuesioner ditujuan kepada pelaku usaha pengguna HCFC mengenai konsumsi HCFC di industri manufaktur, alih teknologi yang sudah dilakukan, jumlah bahan pengganti HCFC yang digunakan, jenis alat yang digunakan, konsumsi energi dan sumber daya, kualitas produk akhir, efisiensi penggunaan teknologi, efisiensi energi dan sumber daya yang diperoleh dari proses alih teknologi, rencana alih teknologi dan kelayakan secara teknis, ekonomi dan keberlanjutannya, kendala dalam penerapan alih teknologi HCFC yang rendah karbon, tingkat pendidikan pekerja dan kondisi kesehatan, pekerja.
[image:31.595.82.469.343.766.2]Kisi-kisi pertanyaan dalam kuesioner yang harus diisi oleh responden adalah sebagaimana disajikan dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Variabel dan indikator penelitian
No. Variabel Indikator Jumlah
pertanyaan
Skala pengukuran
1 Tingkat
pemahaman industri terhadap program perlindungan lapisan ozon dan pengendalian pemanasan global
a. Industri manufaktur
refrigerasi
memahami tentang isu penipisan ozon dan pemanasan global,
penyebabnya, dan dampak yang ditimbulkannya
b. Industri manufaktur
refrigerasi memahami peraturan tentang program penghapusan BPO terutama HCFC
11 •Ordinal
dalam bentuk skala Likert (1=tidak tahu/tidak puas; 2=Cukuptahu /sedikit puas; 3=tahu/puas; 4=sangat tahu/sangat puas •Kategorial (nominal)
2 Tingkat
19
Lanjutan Tabel 3.1.
No. Variabel Indikator Jumlah
pertanyaan dalam Kuesioner
Skala pengukuran
3 Sumber
informasi
Responden
memperoleh informasi tentang penipisan lapisan ozon dan perubahan iklim dari koran, internet, televisi, dan lain-lain.
1 Kategorial
4 Potensi Sosial a. Tingkat pendidikan
pekerja
b. Pengalaman kerja
pegawai
c. Jumlah jam kerja
d. Kegiatan pelatihan
untuk pegawai
e. Program
Keselamatan, Keamanan dan Kesehatan (K3) pegawai
5 Potensi
Ekonomi
a. Jumlah pembelian
dan penggunaan HCFC serta jenis HCFC yang digunakan
b. Cara pembelian
HCFC
12 •Ordinal
dengan skala Guttman (0=tidak; 1=ya)
•Kategorial/n
ominal
6 Potensi Teknis a. penggunaannya
untuk apa
b. Alasan
menggunakan HCFC
c. Rencana
penggantian HCFC dan rencana
teknologi penggantinya
d. Alasan
penggantian HCFC
e. Kendala yang
20
Lanjutan Tabel 3.1.
No. Variabel Indikator Jumlah
pertanyaan dalam Kuesioner
Skala pengukuran
dihadapi dalam alih teknologi HCFC menjadi non-HCFC
6 Potensi
Lingkungan
a. Jumlah limbah
HCFC yang
dihasilkan tiap bulan
b. Jenis limbah lain
5 •Skala
interval
•Kategorial/
Nominal
yang dihasilkan dalam produksi peralatan manufaktur
yangmenggunakan HCFC
d. Cara pengelolaan
HCFC dan limbah lain
3.4 Alat dan Bahan
Dalam penelitian ini, bahan yang digunakan berupa data primer dan sekunder yang terkait dengan tujuan penelitian.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian berupa alat tulis, kamera,
komputer yang mempunyai program microsoft excel 2007 dan SPSS 21
untuk analisa data.
3.5 Prosedur Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan kuantitatif, dan analisis data yang dihasilkan dalam penelitian ini dilakukan menggunakan uji statistik non parametrik, hal ini mengingat data yang diperoleh berupa
data kategorial atau data nominal, dan data ordinal (skala likerts dan skala
guttman).
21
Tabel 3.2 Matriks metode analisis data
No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data
1 Analisis faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap keberhasilan alih teknologi non-HCFC
Data primer (wawancara dan kuesioner), dan data sekunder
Principal Component Analysis (PCA)
menggunakan SPSS 21
2 Analisis potensi sosial Data primer
(wawancara dan kuesioner)
Analisis deskriptif dengan
Microsoft Excel 2007
3 Analisis potensi
ekonomi
Data primer (wawancara dan kuesioner), dan data sekunder
Analisis deskriptif dan perhitungan biaya penggantian teknologi
4 Analisis potensi teknis Data primer
(wawancara dan kuesioner), dan data sekunder
Analisis deskriptif dan analisis kebutuhan penggantian teknologi
5 Analisis potensi
lingkungan
Data primer (wawancara dan kuesioner), dan data sekunder
Analisis deskriptif dengan
Microsoft Excel 2007
perhitungan reduksi emisi GRK
Proses analisis data dilakukan dengan menyusun tabulasi hasil kuesioner, dan karena jumlah contoh yang kecil, serta sifat data non parametrik maka sifat distribusi tidak terlalu diperhatikan. Untuk mengetahui faktor-faktor yang paling signifikan berpengaruh terhadap keberhasilan proses alih teknologi digunakan metoda PCA. Untuk analisis potensi dilakukan dengan statistik deskriptif yang menggambarkan secara nyata kondisi yang ada dan diperoleh di lapangan dalam bentuk tabulasi frekuensi dan prosentase serta dijelaskan dalam bentuk grafik batang. Sementara untuk potensi HCFC secara lingkungan, dilakukan analisis terhadap nilai ODP dan GWP dari HCFC yang digunakan dan bahan penggantinya.
22
a. Uji Correlation Matrix
Uji ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antar variabel yang didasarkan pada determinan, bila nilai determinan mendekati 0 maka dapat dikatakan antar variabel terdapat korelasi yang terkait satu sama lain.
b. Uji Keiser-Meyer-Olkin (KMO)
Uji KMO dilakukan untuk mengetahui indeks perbandingan antara koefisien korelasi dengan koefisien parsialnya, dengan maksud menguji apakah contoh yang digunakan cukup baik dan layak untuk dianalisis lebih lanjut. Bila nilai KMO yang dihasilkan dalam analisis sama dengan atau lebih besar dari 0.5 maka dapat disimpulkan bahwa variabel data yang digunakan baik dan layak untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Uji Measure Sampling Adequacy (MSA)
Dilakukan untuk mengetahui data variabel yang digunakan valid dan dapat dianalisis lebih lanjut. Variabel yang memenuhi syarat kecukupan contoh harus mempunyai nilai > 0.5.
d. Uji Communalities
Uji communalitiies dilakukan untuk mengetahui jumlah varians (%) dari suatu variabel berperan dalam pembentukan sebuah faktor yang dianggap berpengaruh signifikan terhadap sebuah respon. Jumlah variabel yang dianggap dapat menjadi pembentuk faktor didasarkan
pada nilai eigen yang dihasilkan harus lebih besar dari 1. Hal tersebut
juga dapat dilihat pada grafik scree plot yang dihasilkan dalam proses
analisis menggunaan SPSS.
e. Uji Rotated Component Matrix
Tujuan uji ini adalah untuk memperjelas distribusi variabel yang masuk ke dalam faktor tertentu yang telah terbentuk.
Untuk mengetahui sikap pemahaman dan kepuasan responden digunakan pengukuran skala likert. Analisis pembobotan pernyataan responden terhadap pemahaman dan kepuasan mereka tentang perlindungan lapisan ozon dan pemanasan global menggunakan pendekatan distribusi Z. Langkah-langkah analisis sebagai berikut:
1. Menghitung frekuensi (f) dari seluruh jawaban responden
2. Menentukan proporsi (p) dengan membagi f dengan banyaknya subyek
3. Menentukan titik tengah proporsi kumulatif (pk) dengan menambahkan
p dengan proporsi kategori dipaling kiri
4. Menentukan titik tengah proporsi kumulatif (pk-t)
5. Dari pk-t dapat dicari nilai Z pada tabel normal distribusi Z
6. Mengetahui nilai skor Z dengan menambahkan nilai Z dengan nilai
23
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil Perusahaan Manufaktur Refrigerasi di Jabodetabek
Perusahaan yang bergerak dibidang pendingin atau refrigerasi terbagi menjadi beberapa kegiatan, yaitu (1) manufaktur yang menghasilkan produk
refrigerasi termasuk Air Conditioning (AC), 2) perusahaan perakit
komponen peralatan dihasilkan oleh perusahaan lain ataupun hasil impor menjadi produk refrigerasi, dan 3) perusahaan distributor yang hanya melakukan pengisian bahan pendingin sementara mesin ataupun produk dihasilkan oleh produsen lain ataupun impor.
Sebagian besar penggunaan HCFC adalah untuk sektor refrigerasi atau pendingin, dan yang masuk dalam lingkup penelitian ini adalah peralatan refrigerasi domestik maupun komersial dan pengatur udara ringan. Perusahaan yang dipilih untuk menjadi target contoh merupakan perusahaan yang sudah disurvey awal oleh Kementerian Lingkungan Hidup yang masih menggunakan HCFC dan berpotensi untuk dapat menerima bantuan hibah dalam alih teknologi HCFC menjadi non-HCFC.
Industri manufaktur refrigerasi beragam dari skala kecil, menengah dan besar dilihat dari permodalan maupun kapasitas produksi. Sebagian besar merupakan perusahaan modal dalam negeri, dan sebagian dari perusahaan tersebut masih menggunakan sistem manajemen kekeluargaan. Hal ini berpengaruh terhadap konsumsi HCFC yaitu perusahaan skala menengah dengan kapasitas produksi yang tidak terlalu besar memberikan kontribusi konsumsi HCFC yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan industri yang mempunyai kapasitas produksi yang besar.
Sifat perusahaan yang tertutup menjadi salah satu kendala dalam melakukan penelitian ini, hal ini disebabkan oleh:
a. Ketidakpercayaan, karena ada kekuatiran data perusahaan akan
diberikan kepada perusahaan kompetitor atau disalahgunakan untuk kepentingan lain
b. Persaingan usaha, perusahaan menjaga supaya data teknis produk
tidak tersebar kepada perusahaan lain
c. Sikap antipati terhadap pemerintah, karena adanya ketakutan terhadap
kewajiban tertentu, misalnya pembayaran pajak.
Lokasi industri manufaktur refrigerasi sebagian besar berada di kawasan industri yang ada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Dari 11 perusahaan yang disurvey hanya satu perusahaan yang berada dikawasan yang bukan khusus industri.
HCFC-24
141b yang merupakan bahan alternatif sementara dari CFC-11 yang selain digunakan untuk bahan pendingin juga sebagai bahan pengembang dalam produksi panel pendingin.
Jenis peralatan pendingin yang diproduksi sebagian besar berupa peralatan pendingin komersial, dan yang masuk dalam lingkup penelitian ini
adalah (1) Pengatur udara komersial, yaitu ducted split; 2) Peralatan
pendingin dapur, yaitu chiller upright 4 doors, cold room; dan 3) Pengatur
udara residensial, yaitu AC split.
Tabel 4.1 menggambarkan jumlah perusahaan yang menggunakan 22 dan 141b. Perusahaan yang hanya menggunakan
HCFC-22 sebagai pendingin adalah perusahaan perakit (assembler) dan distributor.
Kedua jenis perusahaan tersebut melakukan perakitan dan pemasangan sistem pendingin di lokasi konsumen, dan mengisi bahan pendingin HCFC-22 ke dalam sistem tersebut.
Tabel 4.1 Jenis dan penggunaan HCFC pada 11 industri manufaktur refrigerasi
Jenis HCFC Jenis Penggunaan Jumlah pengguna
(perusahaan)
Persentase (%)
HCFC-22 Bahan pendingin 5 45
HCFC-141b Bahan pengembang - -
HCFC-22 danHCFC-141b
Bahan pendingin dan pengembang
6 55
Jumlah 11 100
Perusahaan yang menggunakan HCFC-22 dan HCFC-141b adalah perusahaan yang melakukan produksi mulai dari komponen-komponen penyusun sistem pendingin sampai melakukan pemasangan di tempat konsumen. Dalam sistem pendingin tersebut, ada bagian komponen yang perlu dilapis dengan busa untuk menahan panas maupun dingin. Proses
produksi komponen tersebut menggunakan bahan baku kimia isocyanat dan
polyol yang ditambah HCFC-141b sebagai bahan pengembang busa. Selanjutnya apabila komponen-komponen tersebut telah dirakit menjadi sistem pendingin dan siap dipasang di lokasi konsumen, perusahaan akan mengisi bahan pendingin HCFC-22 ke dalam sistem tersebut.
25
Gambar 4.2 Panel busa siap rakit
4.2 Identifikasi faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan alih teknologi
Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap berhasilnya program alih teknologi dari HCFC menjadi non-HCFC. Dalam kajian ini identifikasi faktor-faktor potensi yang dianggap memberikan kontribusi penting dalam pelaksanaan alih teknologi tersebut. Potensi-potensi tersebut dilihat dari sisi sosial, ekonomi, teknis dan lingkungan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan kuesioner dan wawancara kepada responden yang merupakan pengelola industri manufaktur refrigerasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
Untuk menentukan faktor-faktor yang dianggap memberikan pengaruh signifikan terhadap keberhasilan program alih teknologi ini dilakukan analisis dengan metodePCA, yaitu salah satu jenis analisis faktor yang merupakan salah satu analisis multivariat generasi ke-2 sama halnya dengan analisis regresi. Rancangan penelitian menggunakan 40 indikator tetapi hanya menggunakan 22 contoh dan ternyata hanya 11 yang masuk, sehingga dilakukan reduksi indikator.
a. Faktor sosial
26
Nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy (KMO)
digunakan untuk mengukur kecukupan contoh/contoh dengan cara membandingkan koefisien korelasi yang diamati dengan koefisien parsialnya. Dari hasil analisis dengan SPSS 21 yang disampaikan dalam Tabel 4.2 dihasilkan nilai KMO sebesar 0.46, sehingga dapat dikatakan hasil analisa ini cukup baik untuk dapat dianalisis lebih lanjut. Dari hasil analisis komponen utama diperoleh hasil faktor-faktor yang berpengaruh terhadap aspek sosial dalam program alih teknologi ini adalah persyaratan kompetensi (Sos-2), pengalaman kerja (Sos-3), ketrampilan kerja yang diperlukan (Sos-4), jumlah jam kerja (Sos-7), perlengkapan kerja (Sos-8), komitmen perusahaan dalam K3 (Sos-11) dan pelatihan rutin K3 (Sos-12). Dari variabel-variabel tersebut dikelompokkan dalam tiga faktor yaitu faktor 1 yang terdiri dari Sos-8 dan Sos-11. Faktor 2 terdiri dari Sos-3, dan Sos-7, sedangkan faktor 3 terdiri dari Sos-2 dan Sos-4. Faktor 1 dapat disebut sebagai faktor “kompetensi”, faktor 2 disebut faktor pengalaman kerja, dan faktor 3 disebut faktor keamanan dan keselamatan kerja (K3).
Tabel 4.2 menunjukkan faktor yang berhasil dibentuk ada 3 dengan
nilai eigen sebesar 2.78, 1.76, dan 1.45. Nilai eigen tersebut
menggambarkan jumlah variabel pembentuk faktor, bila nilai eigen < 1
maka tidak ada variabel pembentuk. Total varians yang diperoleh dari hasil analisis faktor tersebut adalah 6. Apabila jumlah faktor sudah diketahui dan jumlah varians variabel juga sudah dapat diketahui, maka faktor sosial dapat dijelaskan dengan variabel-variabel Sos-2; Sos-3; Sos-4; Sos-8; Sos-11 dan Sos-12 sebesar 85.12%, dan sisanya 14.88% dijelaskan oleh faktor yang lain.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberhasilan alih teknologi dari HCFC menjadi non-HCFC dipengaruhi oleh 3 faktor sosial, yaitu kompetensi pekerja, pengalaman kerja dan faktor keamanan dan keselamatan kerja.
Tabel 4.2 Total varians hasil analisis komponen utama untuk faktor sosial Com
pone nt
Initial Eigenvalues Extraction Sums of
Squared Loadings
Rotation Sums of Squared Loadings
Total %
Variance
Comula tif %
Total %
Variance
Comulat if %
Total %
Variance
Comula tif % 1 2.78 39.76 39.76 2.78 39.76 39.76 2.54 36.21 36.21
2 1.76 25.09 64.85 1.76 25.09 64.85 1.75 24.97 61.18
3 1.45 20.66 85.51 1.45 20.66 85.51 1.70 24.33 85.51
4 0.44 6.34 91.85 5 0.29 4.19 96.04
6 0.19 2.75 98.79
7 0.09 1.21 100.00
b. Faktor ekonomi
27
pengumpulan data melalui kuesioner dan wawancara. Dari enam pertanyaan yang terkait dengan faktor ekonomi, setelah dilakukan reduksi dengan analisis komponen utama diperoleh hasil bahwa variabel ketersediaan di pasar (Eko-6) harus dihilangkan karena untuk semua perusahaan mempunyai nilai yang sama sehingga tidak bisa dibedakan. Setelah dilakukan analisis kembali, nilai KMO belum dapat diperoleh sehingga data variabel dianggap belum cukup baik untuk dianalisis, oleh karena itu harus dilakukan reduksi lagi. Eko-1 dan eko-2 mempunyai nilai angka yang sama sehingga salah satu harus dihilangkan, dalam hal ini eko-2 dipilih untuk dihilangkan dengan alasan karena konsumsi HCFC di Indonesia dihitung dari nilai impor atau nilai pembelian, sementara jumlah penggunaan dipengaruhi oleh jumlah pembelian. Setelah dilakukan analisis faktor kembali maka diperoleh nilai KMO 0.54> 0.5 sehingga dapat dilakukan analisis lebih lanjut.
Berdasarkan hasil analisis lanjutan dari faktor ekonomi ini diperoleh hasil terbentuk dua faktor yaitu faktor pembelian dengan variabel pembentuknya jumlah pembelian HCFC dan harga pembelian HCFC-22. Faktor yang kedua adalah faktor cara pembelian dengan variabel pembentuknya adalah harga pembelian HCFC-141b dan cara pembelian.
Tabel 4.3 Total varians hasil analisis komponen utama untuk faktor ekonomi Com
pone nt
Initial Eigenvalues Extraction Sums of
Squared Loadings
Rotation Sums of Squared Loadings
Total %
Variance
Comula tif %
Total Total % Variance
Comula tif %
% Variance
Total
1 1.70 42.48 42.48 1.70 42.48 42.48 1.60 39.92 39.92 2 1.09 27.29 69.77 1.09 27.29 69.77 1.19 29.85 69.77
3 0.78 19.52 89.29
4 0.43 10.71 100.00
Tabel 4.3 menjelaskan tentang varians dari variabel pembentuk dua fakt