• Tidak ada hasil yang ditemukan

Al-qardh (pinjam-meminjam) hukumnya boleh dan dibenarkan syariat.

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal ini. Orang yang membutuhkan boleh menyatakan ingin meminjam.13 Karena pada dasarnya, Islam menganjurkan umatnya untuk saling tolong menolong dalam kebaikan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:

َلا َو َى ْدَهْلا َلا َو َما َر َحْلا َرْهَّشلا َلا َو ِالله َرِئاَعَش اوُّلِحُتَلا اوُنَماَء َنٌِذَّلا اَهٌَُّأاٌَ

َلَقْلا

ْمُتْلَل َح اَذِإ َو اًنا َوْض ِر َو ْمِهِّبَّر نِّم ًلْضَف َنوُغَتْبٌَ َما َرَحْلا َتٌَْبْلا َنٌِّمآَءَلآ َو َدِئ

اوُدَت ْعَت نَأ ِما َرَحْلا ِدِجْسَمْلا ِنَع ْمُكوُّدَص نَأ ٍم ْوَق ُناَئَنَش ْمُكَّنَم ِر ْجٌَ َلا َو اوُداَطْصاَف

ْقَّتلا َو ِّرِبْلا ىَلَع اوُن َواَعَت َو

َالله َّنِإ َالله اوُقَّتا َو ِنا َوْدُعْلا َو ِمْثِلإْا ىَلَع اوُن َواَعَتَلا َو ى َو

ِباَقِعْلا ُدٌِدَش

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan Haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) menggganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Rabbnya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah

12

Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khattab, Cet. IV (Jakarta Timur: Pustaka AL-Kautsar, 2015), hlm. 101.

kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. [Q.S. Al-Maidah (5): 2].14

Jumhur ulama membolehkan adanya transaksi pinjam-meminjam tanpa imbalan dengan syarat pinjaman tersebut dapat dikembalikan dengan utuh.15 Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang berbunyi:

ِوْيَلِإَو ُطُصْبَ يَو ُضِبْقَ ي ُاللهَو ًةَيرِثَكاًفاَعْضَأ ُوَل ُوَفِعاَضُيَ ف اًنَسَح اًضْرَ ق َالله ُضِرْقُ ي يِذَّلا اَذ نَّم

َنوُعَجْرُ ت

Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. [QS. Al-Baqarah (2): 245].16

نَّم

ٌمٌ ِرَك ٌر ْجَأ ُهَل َو ُهَل ُهَفِعاَضٌَُف اًنَسَح اًض ْرَق َالله ُض ِرْقٌُ يِذَّلا اَذ

Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak”. [QS. (Al-Hadid (57): 11]17

َنوُحِلْفُ ت ْمُكَّلَعَل َالله اوُقَّ تاَو ًةَفَعاَضُّم اًفاَعْضَأ َبَِّرلا اوُلُكَْتَ َلا اوُنَماَء َنيِذَّلا اَهُّ يَأ َيَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. [QS. Ali- Imran (3): 130]18

14

Kementerian Agama Republik Indonesia, At-Thayyib: Al-Qur’an Transliterasi Per

Kata dan Terjemah Per Kata, (Jawa Barat: Cipta Bagus Segara, 2010), hlm. 106.

15

Rozalinda, Fikih Ekonomi Syari’ah: Prinsip dan Implementasinya pada Sektor

Keuangan Syari’ah, ..., hlm. 170.

16

Kementerian Agama Republik Indonesia, At-Thayyib: Al-Qur’an Transliterasi Per

Kata..., hlm. 39.

17

Ibid, hlm. 538. 18

Pada dasarnya hukum pinjam-meminjam adalah sunnah bagi orang yang meminjamkan dan mubah bagi orang yang meminjam.19 Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an yang berbunyi:

َنوُحِلْفُت ْمُكَّلَعَل َرٌْ َخْلا اوُلَعْفا َو ْمُكَّب َر اوُدُبْعا َو اوُدُجْسا َو اوُعَك ْرا اوُنَماَء َنٌِذَّلا اَهٌَُّأاٌَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. [QS. Al-Hajj (22): 77]20

Bagi orang yang meminjamkan hutang dianjurkan untuk mempermudah pada saat penagihan hutang walaupun telah jatuh tempo. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

َل َناَك ِوِّلِح َدْعَ ب ُهَرَظْنَأ ْنَم :َلاَق َمَّلسَو ِوْيَلَع ٌَّللَّا ىَّلَص َِّبَِّنلا ِنَع ِّيِمَلْسَلألا َةَدْيَرُ ب ْنَع

ِِّّ ُك ِِ ُوُلْ ثِم ُو

ٌةَقَدَص ٍمْوَ ي

Artinya: “Dari Buraidah Al-Aslami, dari Nabi saw bersabda, “Barang siapa yang mempermudah penagihan piutang (memberikan tenggat waktu), maka setiap hari baginya bernilai sedekah. Dan barang siapa yang mempermudah tagihan utang sampai setelah jatuh tempo, maka baginya pahala yang sama, yakni setiap hari baginya adalah bernilai sedekah”. [H.R. Ibnu Majah]21

Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad yang dikutip oleh Ahmad Wardi dalam bukunya Fiqih Muamalah, pinjaman atau al-qardh baru berlaku dan mengikat apabila barang atau uang telah diterima. Apabila seseorang meminjam sejumlah uang dan ia telah menerimanya maka uang tersebut menjadi miliknya, dan ia wajib mengembalikan dengan sejumlah uang yang

19

Wahbah Zuhaily, Fiqih Imam..., hlm. 19.

20 Kementerian Agama Republik Indonesia, At-Thayyib: Al-Qur’an Transliterasi Per

Kata dan Terjemah..., hlm. 341.

21

Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah Jilid II, (Terj. Ahmad Taufiq Abdurrahman), Cet. I, (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), Hlm. 409.

sama (mitsli), bukan uang yang diterimanya. 22 Menurut Malikiyah, al-qardh hukumnya sama dengan hibah, shadaqah dan ‘ariyah, berlaku dan mengikat dengan telah terjadinya akad (ijab qabul), walaupun muqtaridh belum menerima barangnya.23

Selanjutnya, menurut pendapat yang shahih dari Syafi’iyah dan Hanabilah, kepemilikan dalam qardh berlaku apabila barang telah diterima. Selanjutnya manurut Syafi’iyah, muqtaridh harus mengembalikan barang yang sama. Menurut Hanabilah dalam barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat), sesuai dengan kesepakatan fuqaha dikembalikan dengan barang yang sama.24 Sedangkan dalam barang yang bukan makilat dan

mauzunat, ada dua pendapat. Pertama, dikembalikan dengan harganya yang

berlaku pada saat berutang. Kedua, dikembalikan dengan barang yang sama yang sifat-sifatnya mendekati dengan barang yang diutang atau dipinjam.25

Ada situasi-situasi yang bisa mengubah hukumnya yang bergantung pada sebab seseorang meminjam. Oleh karenanya, hukum pinjam-meminjam dapat berubah sebagai berikut:

1. Haram, apabila seseorang memberikan pinjaman padahal dia mengetahui bahwa pinjaman tersebut akan digunakan untuk perbuatan haram, seperti untuk minum khamar, judi, dan perbuatan haram lainnya:

2. Makhruh, apabila yang memberi pinjaman mengetahui bahwa peminjam akan menggunakan hartanya bukan untuk kemashlahatan, tetapi untuk berfoya-foya dan menghambur-hamburkannya.

3. Wajib, apabila ia mengetahui bahwa peminjam membutuhkan harta untuk menafkahi dirinya, keluarga dan kerabatnya sesuai dengan ukuran

22

Ahmad Wardi, Fiqh..., hlm 280. 23 Ibid.

24 Ibid. 25

yang disyariatkan, sedangkan peminjam itu tidak memiliki cara lain untuk mendapatkan nafkah itu selain dengan meminjam.26

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya hukum pinjam-meminjam adalah sunnah bagi yang memberi pinjaman dan mubah bagi yang meminjam. Akan tetapi dengan beberapa sebab dan alasan maka transaksi pinjam-meminjam dapat dihukumkan menjadi haram, makhruh maupun wajib sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Dokumen terkait