• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pinjam-meminjam (al-qardh) dalam Islam, hukumnya diperbolehkan karena mengandung beberapa hikmah kebaikan di dalamnya. Salah satu hikmah disyariatkannya al-qardh yaitu melaksanakan kehendak Allah SWT agar kaum muslimin saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, menguatkan ikatan ukhuwah (persaudaraan) dengan cara mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan dan mengalami kesulitan serta dengan bersegera meringankan beban orang yang tengah dilanda kesulitan karena sering kali orang-orang sangat lamban mengeluarkan harta dalam bentuk hibah dan

42

Musthafa Dib al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syari’ah: Menjalin Kerja Sama

Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam, (terj. Fakhri Ghafur),

sedekah. Oleh sebab itu, pinjam-meminjam menjadi solusi yang tepat untuk mewujudkan sikap saling menolong dan berbuat kebaikan.43

Selain dari pada itu, hikmah disyariatkannya al-qardh (utang piutang) dilihat dari sisi yang menerima utang atau pinjaman (muqtaridh) adalah membantu mereka yang membutuhkan. Ketika seseorang sedang terjepit dalam kesulitan hidup, seperti kebutuhan biaya untuk masuk sekolah anak, membeli perlengkapan sekolahnya, bahkan untuk makannya. Kemudian ada orang yang bersedia memberikan pinjaman uang tanpa dibebani tambahan bunga, maka beban dan kesulitannya untuk sementara waktu dapat teratasi. Dilihat dari sisi pemberi pinjaman (muqridh), al-qardh dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan perasaannya, sehingga ia pekat terhadap kesulitan yang dialami oleh saudara, teman, atau tetangganya.44

Transaksi al-qardh (pinjam-meminjam) harus berlandaskan pada prinsip kasih sayang dan memberikan pertolongan kepada si peminjam. Oleh sebab itu, apabila pemberi pinjaman mempersyaratkan harus ada tambahan manfaat bagi dirinya, maka akad pinjam-meminjam telah keluar dari prinsip dasarnya dan tidak sah, karena memberikan keuntungan kepada pemberi pinjaman.45 Sebagaimana pendapat Mazhab Hanafi dalam pendapatnya yang kuat (rajih) menyatakan bahwa al-qardh yang mendatangkan keuntungan hukumnya haram, jika keuntungan tersebut disyaratkan sebelumnya. Jika belum disyaratkan sebelumnya dan bukan merupakan tradisi yang biasa berlaku, maka tidak mengapa. 46

Dalam al-qardh tidak boleh menyertakan syarat jatuh tempo. Peminjam tidak boleh mengajukan syarat kepada orang yang memininjami seperti, “kamu harus menjual kuda atau tanahmu kepadaku dengan harga sekian”, karena

43

Ibid, hlm. 53-54. 44

Ahmad Wardi, Fiqh Muamalah, Cet. II (Jakarta: Amzah, 2003), hlm. 277. 45

Musthafa Dib al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syari’ah: Menjalin Kerja Sama

Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya..., hlm. 66.

46

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, (terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk), Cet.I (Jakarta:Gema Insani, 2011), hlm. 380.

demikian ini merupakan praktik riba, sebab al-qardh diberlakukan atas dasar rasa belas kasihan kepada pihak yang meminjam. Apabila orang yang meminjam melunasi hutangnya dengan barang yang lebih baik atau lebih banyak dari semestinya dia bayar, tanpa dipersyaratkan, maka tindakan ini dibolehkan.47

Di dalam akad al-qard dibolehkan adanya kesepakatan yang dibuat untuk mempertegaskan hak milik, seperti persyaratan adanya barang jaminan, penanggung pinjaman (kafil), saksi, bukti tertulis, ataupun pengakuan di depan hakim. Mengenai batas waktu, jumhur ulama menyatakan syarat itu tidak sah, dan Malikiyah menyatakan sah.48 Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta pengganti adalah kapan saja terserah kehendak si yang menerima pinjaman, setelah peminjam menerima pinjamannya. Karena al-qardh merupakan akad yang tidak mengenal batas waktu. Sedangkan menurut Malikiyah, waktu pengembalian itu adalah ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang sudah ditentukan di awal. Karena mereka berpendapat bahwa

al-qardh bisa dibatasi dengan waktu.49

Tidak sah syarat yang tidak sesuai dengan akad al-qardh, seperti syarat tambahan dalam pegembalian, pengembalian harta yang bagus sebagai ganti yang cacat atau syarat jual rumahnya. Adapun syarat fasid (rusak) diantaranya adalah syarat tambahan atau hadiah bagi si pemberi pinjaman. Syarat ini dianggap batal namun tidak merusak akad apabila tidak terdapat kepentingan siapapun. Seperti syarat pengembalian barang cacat sebagai ganti yang sempurna atau yang jelek sebagai ganti yang bagus atau syarat memberikan pinjaman kepada orang lain.50

47

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2, (terj. Muhammad Afifi & Abdul Hafiz), Cet.I, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 23.

48

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa ..., hlm. 379. 49

Ibid. 50

Lain halnya, jika peminjam memberikan barang berupa hadiah kepada pemberi pinjaman tanpa dipersyaratkan dalam akad ketika meminjam, maka hukumnya boleh dan diperbolehkan bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya, sebab hukum pinjam-meminjam telah selesai dan hutang-piutang telah lunas.51 Dalam soal pembayaran hutang, Nabi Muhammad SAW telah menganjurkan agar seseorang menyegerakan pembayaran hutangnya, karena menunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu, termasuk kedzaliman. Oleh sebab itu, muqridh berhak meminta agar harta yang dipinjamkan dikembalikan dengan segera.52 Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

َلَع ُتْأَرَ ق :َلاَق َيَْيَ ُنْب َيَْيَ اَنَ ثَّدَح

َُّللَّا َلْوُسَر َّنَأ َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَع ِجَرْعَلأا ِنَع ِدَنَِّزلا ِبَِأ ْنَع ٍكِلاَم ى

ْعَبْ تَ يْلَ ف ٍءىِلَم ىَلَع ْمُكُدَحَأ َعِبْتُا اَذِإَو ٌمْلُظ ِِّنَغْلا ُِّ ْطَم :َلاَق َمَّلَسَو ِوْيَلَع

Artinya: “Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami, dia berkata: “Aku membacakan hadits kepada Malik yang bersumber dari Az-Zinad, dari Al A’raj, dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “penundaan pembayaran hutang oleh orang kaya adalah perbuatan zalim. Dan apabila salah seorang dari kalian (wahai pemberi utang) dialihkan kepada orang kaya, maka hendaklah ia menurutinya”. [H.R. Muslim]53

Al Qadhi dan yang lainnya mengatakan bahwa makna Al Mathl (لْطَمْلا) adalah mencegah/menunda pembayaran kewajiban yang wajib ditunaikan. Dengan demikian, penundaan pembayaran utang yang dilakukan oleh orang kaya/mampu adalah sebuah perbuatan zalim dan diharamkan, sedangkan penundaan pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang yang tidak kaya/mampu bukanlah sebuah perbuatan zalim dan tidak diharamkan. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits tersebut mengandung dalil yang memperkuat mazhab Maliki, As-Syafi’i dan meyoritas ulama yang mengatakan bahwa orang

51

Ibid, hlm. 68. 52

Rozalinda, Fikih Ekonomi Syari’ah: Prinsip dan Implementasinya Pada Sektor

Keuangan Syari’ah, Cet.I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 236.

53

Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim Jilid 9, (terj. Ahmad Khotib), Cet.I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), hlm 683.

yang sedang dalam kesulitan itu tidak boleh dipanjafkan, tidak boleh dibebani pembayaran utang dan tidak boleh ditagih hingga ia mendapatkan kelapangan.54 Transaksi pinjam-meminjam dengan mewajibkan adanya penambahan jumlah atas barang yang dipinjam merupakan transaksi riba. Sebagaimana pendapat para ulama Malikiyah berpendapat bahwa tidaklah sah akad qardh yang mendatangkan keuntungan karena ia adalah riba. Dan haram hukumnya mengambil manfaat dari harta peminjam, seperti menaiki hewan tunggangannya dan makan di rumah orang yang diberi pinjaman karena alasan hutang tersebut dan bukan karena penghormatan atau semisalnya. Begitu juga hadiah dari peminjam adalah diharamkan bagi pemilik harta jika tujuannya untuk penundaan pembayaran hutang dan sebagainya, padahal sebelumnya tidak ada kebiasaan memberikan hadiah pada orang yang memberi hutang yang mana hadiah dimaksudkan untuk itu semua dan bukan karena alasan utang.55 Hukum haram ini berlaku bagi penerima dan pemberi hadiah, sehingga wajib mengembalikannya kembali kalau memang masih ada. Apabila sudah tidak ada, maka wajib baginya mengembalikan harta semisal jika hadiah itu berupa barang

mitsli dan nilai yang sesuai jika barang qimiy.56

Pendapat ini selaras dengan Ulama Syafiiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa al-qardh yang mendatangkan keuntungan tidak diperbolehkan, seperti mengutangkan seribu dinar dengan syarat orang itu menjual rumahnya kepadanya, atau dengan syarat dikembalikan seribu dinar dengan mutu koin dinar yang lebih baik atau dikembalikan lebih banyak dari itu. Alasannya karena Nabi SAW melarang akad salaf (utang) bersama jual beli.

Salaf adalah al-qardh dalam bahasa rakyat Hijaz. Oleh karena itu, dalam

keadaan ini, akad al-qardh itu tetap sah tapi syarat keuntungannya adalah batal, baik keuntungan itu berupa uang maupun barang, banyak maupun sedikit.57

54

Ibid, hlm. 684. 55

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa ..., hlm. 380. 56

Ibid. 57

Oleh karenanya debitor tidak boleh mengembalikan kepada kreditor kecuali apa yang telah dihutangnya atau yang serupa dengannya.58 Sesuai dengan kaedah fiqih yang mengatakan:

اَبِر َوُهَف اًعْفَن َّرَج ِضَّرَق ُّلُك “Semua utang yang menarik manfaat, maka ia termasuk riba”.59

Kaidah tersebut maksudnya berkaitan dengan hutang-piutang yang di dalamnya terdapat tambahan yang disyaratkan oleh pemberi pinjaman, meskipun disetujui oleh peminjam, maka hal tersebut tergolong ke dalam riba. Hal ini berbeda jika tidak disyaratkan sebelumnya oleh pemberi pinjaman, melainkan hanya keridhaan pihak peminjam karena jasa yang telah diberikan pemberi pinjaman. Maka, hal tersebut tidak tergolong riba. Tidak ada pertentangan diantara para ulama mengenai masalah tersebut.60

Secara etimologi, riba berarti tambahan atau al-ziyadah. Sementara menurut istilah, riba adalah tambahan yang disyaratkan ketika akad oleh pemberi pinjaman kepada peminjam.61 Menurut istilah syara’, riba adalah tambahan sebagai imbalan pemberian tempo dalam utang piutang.62 Dalam istilah hukum Islam, riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda maupun jasa yang mengharuskan pihak pinjaman untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu.63

Menurut kalangan Syafi’iyah, riba adalah bentuk transaksi dengan cara menetapkan pengganti tertentu (‘iwadh makhshush) yang tidak diketahui kesamaannya dengan yang ditukar) dalam ukuran syar’i pada saat transaksi atau

58

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 5, (terj, Mujahidin Muhayan), Cet. V, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2013), hlm. 119

59

Enang Hidayat, Kaidah Fikih Muamalah, Cet. I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2019), hlm. 306. 60 Ibid, hlm. 307. 61 Ibid, hlm. 303. 62

Muhammad Ahmad Ad-Da’ur, Riba & Bunga Bank Haram, Cet. II (Bogor: Al-Azhar Press, 2014), hlm. 59.

63

Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqih Muamalah, Cet. IV (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 217.

disertai penangguhan terhadap kedua barang yang dipertukarkan ataupun terhadap salah satunya.64 Menurut ulama Hanafiyah, riba adalah nilai lebih yang tidak ada pada barang yang ditukar berdasarkan ukuran syar’i yang dipersyaratkan kepada salah satu pihak yang berakad pada saat transaksi.65

Riba semacam ini disebut dengan riba nasiah. Menurut Satria Effendi, riba nasiah adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam kepada yang meminjam tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam.66

Orang yang melakukan transaksi riba disebut dengan rentenir. Menurut

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, rentenir adalah orang yang mencari nafkah

dengan membungakan uang, tukang riba, pelepas uang, lintah darat.67 Menurut

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, rentenir adalah orang yang

mempunyai modal dan bersedia untuk dihutangkan terhadap orang yang membutuhkannya dengan syarat harus ada keuntungan yang berupa bunga terhadap modal asal dan dibayar secara cicilan setiap harinya dalam jumlah tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula.68 Secara istilah, rentenir adalah seseorang yang melakukan kegiatan peminjaman uang atau modal. Renten atau kegiatan renten merupakan suatu aktifitas dimana seseorang meminjamkan uang dengan bunga yang berlipat-lipat yang memungkinkan bunga tersebut melebihi huutang pokoknya jika cicilannya terlamat.69

Pelaksanaan praktik pinjaman rentenir menurut hukum Islam hukumnya haram. Hal ini dikarenakan, prinsip pinjaman yang awalnya bersifat

64

Musthafa Dib Al-bugha, Buku..., hlm. 1-2. 65

Ibid, hlm. 63.

66 Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqih..., hlm. 218. 67

Tri Kurnia Nurhayati, Kamus Lengkap Bahasa..., hlm. 603. 68

Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Cet. III (Jakarta: Pustaka Amani, 2006), hlm. 354.

69

https://media.neliti.com/media/publications/32220-ID-rentenir-analisis-terhadap-fungsi-pinjaman-berbunga-dalam-masyarakat-rokan-hilir.pdf, diakses pada tanggal 25 Desember 2019.

menolong tidak dapat terpenuhi karena pihak pemberi pinjaman mengambil keuntungan dari pihak peminjam, sehingga dapat merugikan salah satu pihak. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa riba dalam akad pinjaman dapat terjadi jika seseorang meminjamkan orang lain sejumlah uang dengan kesepakatan bahwa orang tersebut akan mengembalikan dengan tambahan tertentu, atau jika dalam suatu masyarakat telah terjadi kebiasaan untuk mengembalikan pinjaman dengan tambahan tertentu. Bisa juga dengan mensyaratkan pembayaran tambahan tertentu yang dibayarkan setiap bulan atau setiap tahun sebagaimana yang telah terjadi saat ini pada transaksi yang dilakukan beberapa pengusaha terhadap harta sebagian masyarakat dan ini semua hukumnya adalah haram.70

Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa pelaksanaan transaksi pinjaman rentenir menurut hukum Islam tidaklah diperbolehkan dan hukumnya haram. Islam melarang keras memberikan pinjaman uang dengan bunga baik untuk keperluan konsumtif maupun modal usaha untuk berdagang. Besarnya jumlah pinjaman uang yang diberikan oleh pemberi pinjaman, maka sejumlah itulah kewajiban peminjam untuk mengembalikannya tanpa ada penambahan nilai nominal (bunga). Kegiatan pinjaman rentenir yang dilarang karena melanggar dan jauh dari nilai-nilai agama, karena dalam agama kegiatan membungakan uang adalah hal yang tidak dapat membantu masyarakat yang membutuhkan dana.

70

31

PAJAK PAGI KECAMATAN LAWE BULAN ACEH TENGGARA

Dokumen terkait