• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menimbang, bahwa dalam pokok perkara dalil Penggugat yang pada pokoknya menyatakan bahwa penerbitan objek sengketa (vide bukti: P-3=T-25) oleh Tergugat bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, dan bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik;

Menimbang bahwa Tergugat pada pokoknya membantah dan menyatakan bahwa terbitnya objek sengketa (vide bukti: P-3=T-25) telah sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, dan telah sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik;

Menimbang bahwa berdasarkan jawab jinawab para pihak, bukti yang diajukan dan fakta hukum, Majelis Hakim berpendapat bahwa yang menjadi pokok persengketaan dari segi hukum administrasi yang harus dipertimbangkan dan diuji adalah:

- Apakah Tergugat dalam menerbitkan Objek sengketa a quo telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) baik dari aspek kewenangan, Prosedural dan Substansi?; Menimbang bahwa terlebih dahulu Majelis Hakim akan mempertimbangkan pokok persengketaan dari segi hukum administrasi, yaitu Apakah Tergugat dalam menerbitkan

Halaman 44 dari 69 Halaman, Putusan Nomor : 06/G/2016/PTUN-SMD ….. objek sengketa a quo dalam aspek kewenangan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?;

Menimbang, bahwa objek sengketa adalah Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Nomor: Kep/42/I/2016, Tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Dari Dinas Polri atas nama MORRIS SAHARA, Pangkat Brigadir Polisi (BRIGPOL), NRP 84110401, jabatan Brigadir Polres Bontang tertanggal 25 Januari 2016 (vide bukti P-3= T-25) ;

Menimbang, bahwa dari objek sengketa tersebut diketahui fakta hukum bahwa objek sengketa diterbitkan oleh Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, dan Morris Sahara berpangkat brigadir Polisi yang bertugas di Polres Bontang ;

Menimbang bahwa Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Administrasi Pengakhiran Dinas Pegewai Negeri Sipil Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 38 ayat 1 huruf mengatur bahwa:

1. Tata cara pengajuan PTDH bagi anggota POLRI adalah: a. ……….

b. tingkat Polda:

1) Kapolda mengajukan permohonan tertulis terhadap anggota Polri yang telah mendapat putusan sidang KKEP yang sudah berkekuatan hukum tetap kepada: a). Kapolri bagi anggota Polri berpangkat Kombes Pol ke atas; dan

b) As SDM Kapolri bagi anggota Polri berpangkat IPDA sampai dengan AKBP;

2) Kasatker Polda mengajukan permohonan tertulis terhadap anggota Polri yang telah mendapat putusan sidang KKEP yang sudah berkekuatan hukum tetap kepada Kapolda bagi anggota Polri berpangkat Aiptu ke bawah;

3) Karo SDM Polda meneliti kelengkapan administrasi untuk membuat usulan keputusan PTDH anggota Polri kepada Kapolda bagi anggota Polri berpangkat Aiptu ke bawah;

4) Asli keputusan PTDH disimpan sebagai arsip pada Biro SDM Polda; dan 5) Salinan keputusan PTDH dikirim kepada Kasatker pengusul dan petikan

keputusan diserahkan kepada anggota Polri yang di PTDH;

c. Tingkat Polres, Kapolres mengajukan permohonan tertulis terhadap anggota Polri yang telah mendapat putusan sidang KKEP yang sudah berkekuatan hukum tetap kepada Kapolda.

Menimbang, bahwa terhadap frase dalam pasal 38 ayat 1 huruf b angka 3 yang menyatakan “….untuk membuat usulan keputusan PTDH anggota Polri kepada Kapolda…” nampak bahwa tahapan setelah usulan Karo SDM adalah apakah Kapolda menerima atau menolak usulan tersebut, jika Kapolda menerima tersebut maka Kapolda

Halaman 45 dari 69 Halaman, Putusan Nomor : 06/G/2016/PTUN-SMD ….. menerbitkan Keputusan PTDH, Karena dalam ketentuan tersebut tidak ada tindak lanjut yang harus dilakukan Kapolda kecuali menanggapi usulan tersebut;

Menimbang, bahwa dari Pasal 38 Ayat 1 huruf b angka 1) Jo, Pasal 38 Ayat 1 huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Administrasi Pengakhiran Dinas Pegewai Negeri Sipil diketahui bahwa yang berwenang menerbitkan Keputusan Pemberhentian dengan Tidak Hormat (PTDH) untuk Polisi yang berpangkat AIPTU ke bawah yang bertugas di tingkat Polres adalah Kepala Polisi Daerah (KAPOLDA);

Menimbang, bahwa dikarenakan Penggugat berpangkat Brigadir atau Aiptu kebawah di Polres Bontang sehingga Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur berwenang dalam menerbitkan objek sengketa;

Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim mempertimbangkan kewenangan Tergugat dalam menerbitkan objek sengketa, selanjutnya Majelis Hakim mepertimbangkan terkait prosedur penerbitan objek sengketa;

Menimbang, bahwa terkait dalil prosedur penerbitan objek sengketa penggugat pada pokoknya mendalilkan sebagai berikut:

- Bahwa tahapan audit investigasi tidak dilaksanakan sesuai tahapan yang semestinya dan pada saat audit investigasi Tim audit investigasi tidak pernah memeriksa saksi yang meringankan Penggugat dan tidak juga menghadirkan saksi ahli ;

- Bahwa Penggugat tidak didampingi oleh pendamping pada saat pemeriksaan pendahuluan, dan Penggugat didampingi hanya saat sidang kode etik sehingga dengan tidak adanya pendamping pada pemeriksaan pendahuluan Penggugat telah kehilangan hak-hak dan kesempatan untuk pembelaan diri secara layak;

- Bahwa selama Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) Penggugat tidak memperoleh hak-haknya sebagai terperiksa secara layak, Penggugat tidak menerima turunan berita acara pemeriksaan pendahuluan ataupun resume pemeriksaan pendahuluan sehingga Penggugat tidak memperoleh kesempatan untuk mempersiapkan pembelaan diri secara layak dihadapan sidang kode etik. Berita

Halaman 46 dari 69 Halaman, Putusan Nomor : 06/G/2016/PTUN-SMD ….. acara pendahuluan hanya diterima pendamping penggugat menjelang sidang KKEP akan dimulai sehingga pendampingan tidak mengakomodir hak-hak Penggugat dan tidak ada ahli maupun saksi yang meringankan;

- Bahwa Kapolresta Bontang selaku atasan langsung yang berhak menghukum (ANKUM) tidak pernah dimintai pendapat atau saran;

- Bahwa keberatan yang diajukan oleh Penggugat dan meminta pemeriksaan pada komisi banding namun tidak mendapat tanggapan serta tidak memperoleh penjelasan yang transparan dari Tergugat bahkan Penggugat menolak dan ingin menyatakan permintaan pemeriksaan banding kepada komisi banding namun hal ini tidak pernah dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang;

Menimbang, bahwa atas dali-dalil Penggugat tersebut pada pokoknya Tergugat menyatakan bahwa penerbitan objek sengketa telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik;

Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah penerbitan objek sengketa a quo mengandung cacat prosedur sebagaimana didalilkan Penggugat sebagai berikut:

Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan dalil-dalil Penggugat, Majelis Hakim akan mempertimbangkan terlebih dahulu esensi dari prosedur penegakkan Kode Etik Profesi Polri, berdasarkan Pasal 11,12,13,14 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang pada pokoknya mengatur bahwa: Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian (KKEP) Negara Republik Indonesia sehingga syarat mutlak pemberhentian tidak dengan hormat dari Polri adalah adanya sidang KKEP.

Menimbang, bahwa terkait kedudukan Pemeriksaan pendahuluan dalam penegakan kode etik profesi Majelis Hakim mengkajinya sebagai berikut: berdasarkan Pasal 1 angka 11 Peraturan Kepala Polisi Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polisi Republik Indonesia diketahui bahwa “pemeriksaan pendahuluan bertujuan

Halaman 47 dari 69 Halaman, Putusan Nomor : 06/G/2016/PTUN-SMD ….. untuk membuat terang tentang terjadinya dugaan pelanggaran KEPP dan menemukan pelanggarnya.” Berdasarkan tujuan pemeriksaan pendahuluan tersebut menyebabkan perbedaan tingkat urgensi pemeriksaan pendahuluan terhadap pelanggaran kode etik yang diawali dengan tindakan pidana yang telah memiliki putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dan pelanggaran yang tidak diawali atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Perbedaan urgensi ini dikarenakan tindak pidana yang telah berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap telah terang dan terbukti siapa pelanggar dan jenis pelanggaran kode etiknya (berdasarkan Pasal 12 ayat(1) huruf a PPRI Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian anggota polri dan Pasal 21 ayat (3), 22 ayat 1 huruf a perkap Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri bahwa tindakan yang telah terbukti dengan putusan tindak pidana merupakan pelanggaran kode etik, sedangkan terhadap pelanggaran yang belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap masih harus menemukan dugaan pelanggaran dan menemukan pelakunya melalui rangkaian investigasi dan pemeriksaan dalam pemeriksaan pendahuluan;

Menimbang, bahwa dalam perkara a quo penegakkan kode etik profesi Polri didasarkan atas ada laporan Pelanggaran Kode Etik Profesi yang dilakukan oleh Penggugat, Nomor : 02/V/2014/RES BTG tertanggal 20 Mei 2014 (vide bukti T- 3) yang esensi pelanggarannya sama dengan tindak pidana yang dilakukan oleh penggugat dan telah berkekuatan hukum tetap (vide bukti T-2 konform bukti T-11 lampiran lembar berita acara pelaksanaan putusan pengadilan dan bukti T-11 lampiran lembar Surat Perintah pelaksanaan Putusan Pengadilan Nomor: PRIN-139/q.4.18/Euh.3/04/2014 serta vide bukti T-9);

Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dalil Penggugat yang pada pokoknya menyatakan bahwa tahapan audit investigasi tidak dilaksanakan sesuai tahapan yang semestinya dan pada saat audit investigasi Tim audit investigasi tidak pernah memeriksa saksi yang meringankan Penggugat dan tidak juga menghadirkan saksi ahli ;

Halaman 48 dari 69 Halaman, Putusan Nomor : 06/G/2016/PTUN-SMD ….. Menimbang, bahwa terkait dalil tersebut Majelis Hakim berdasarkan Pasal 100 Jo. Pasal 107 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara telah mempertimbangkan alat bukti sehingga memperoleh fakta hukum sebagai berikut:

- Bahwa telah ditunjuk petugas untuk melakukan audit investigasi terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penggugat (vide bukti T-4) dan ditindaklanjuti dengan wawancara audit investigasi terhadap terduga pelanggar (vide bukti T-9, III nomor 3 huruf d) terhadap Rayendra Purba (vide bukti T-5), terhadap Suryadi, SH (vide bukti T-6), terhadap Arfan Hidayat (vide bukti T-7) serta dilakukan gelar hasil audit investigasi dugaan pelanggaran yang dilakukan MORRIS SAHARA (vide bukti T-8) setelah Audit Investigasi telah selesai dibuat laporan Audit Investigasi, yang merekomendasikan kegiatan audit investigasi ditingkatkan menjadi kegiatan pemeriksaan terhadap perkara illegal loging dengan terduga pelanggaran atas nama MORRIS SAHARA (vide bukti T-9);

- Bahwa guna melakukan pemeriksaan pendahuluan dibuat Surat Perintah dalam rangka pemeriksaan saksi, ahli dan terduga pelanggar dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap nama MORRIS SAHARA, tertanggal 13 Juni 2014 (vide bukti T-10) dan dilakukan pemeriksaan saksi atas nama Bripka Supriyadi, SH, Briptu Rayendra Purba, Arfan Hidayat, Manongan Manurung (vide bukti T-11 bagian lembar berita acara-berita acara pemeriksaan saksi) serta dilakukan pemeriksaan Terduga Pelanggar atas nama MORRIS SAHARA (vide bukti T-11,bagian lembar berita acara terduga pelanggar) selain itu Pemeriksaan pendahuluan menggunakan alat bukti berupa: Surat Keputusan Kapolri tentang Pengangkatan pertama No.Pol: SKEP/1009/XII/2003 tanggal 2003 tanggal 24 Desember 2003 atas nama MORRIS SAHARA, Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.sidik/25/I/2014/Reskrim, tanggal 27 Januari 2014, Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/09/II/2014/Reskrim, tanggal 02 Februari 2014, Surat Perpanjangan Penahanan Nomor: Print-2014/Q.4.18/Euh.1/02/2014 tanggal 17 Februari 2014 atas nama tersangka MORRIS SAHARA, (vide bukti T-11 berkas pemeriksaan

Halaman 49 dari 69 Halaman, Putusan Nomor : 06/G/2016/PTUN-SMD ….. pendahuluan pelanggaran kode etik POLRI bagian lembar berita acara atau surat tanda penerimaan alat bukti) dan Petikan putusan Pengadilan Negeri Bontang Nomor:48/Pid.B/2014/PN.Btg tanggal 29 April 2014 atas nama Tersangka MORRIS SAHARA (vide bukti T-2)

Menimbang bahwa Pasal 31 ayat (1) huruf a jo. Pasal 36 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2012 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur bahwa:

Pasal 31

Pemeriksaan Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a dilaksanakan melalui tahapan:

a. audit investigasi; b. pemeriksaan; dan c. pemberkasan. Pasal 36

1. Audit Investigasi dilaksanakan dengan cara:

a. wawancara terhadap terduga Pelanggar dan Saksi;

b. mencari, mengumpulkan dan mencatat bukti-bukti yang memiliki hubungan dengan pelanggaran KEPP;

c. memeriksa, meneliti dan menganalisis dokumen yang memiliki hubungan dengan dugaan Pelanggaran KEPP; dan

d. mendatangi tempat-tempat yang berhubungan dengan pelanggaran KEPP.

2. Pelaksanaan audit dibuat dalam bentuk laporan hasil audit investigasi, dan dilaporkan kepada pejabat yang menerbitkan surat perintah.

3. Format laporan hasil audit investigasi tercantum dalam lampiran “E” yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini.

Menimbang, bahwa terhadap Pasal 36 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2012 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia Majelis berpendapat bahwa norma tersebut merupakan cara atau teknik investigasi yang dapat digunakan untuk menemukan dugaan pelanggaran kode etik sehingga cara tersebut tidak harus digunakan seluruhnya, apabila Tim investigasi telah menemukan dugaan pelanggaran kode etik;

Menimbang, bahwa terhadap dalil Penggugat yang menyatakan bahwa tim pemeriksa tidak pernah memeriksa saksi yang meringankan Penggugat dan tidak juga menghadirkan saksi ahli Majelis Hakim berpendapat bahwa menghadirkan saksi

Halaman 50 dari 69 Halaman, Putusan Nomor : 06/G/2016/PTUN-SMD ….. meringankan atau menghadirkan ahli tergantung pada perkembangan pemeriksaan dan fakta hukum, Penggugat tidak dapat membebankan pada tim pemeriksa untuk menghadirkannya, terlebih pasal 18 ayat 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur bahwa “Untuk kepentingan pembelaan, Terduga Pelanggar diberi hak untuk mengajukan saksi-saksi yang meringankan” sehingga berdasar norma tersebut diketahui bahwa untuk menghadirkan saksi meringankan merupakan hak Penggugat bukan tanggung jawab Tim pemeriksa sehingga apabila hak tersebut tidak digunakan oleh Penggugat akan gugur dengan sendirinya dan bukan merupakan kesalahan Tergugat;

Menimbang, bahwa selain pertimbangan di atas berdasarkan fakta hukum dalam tahapan investigasi maupun pemeriksaan telah ditunjuk petugas pelaksana melalui surat perintah, telah dilakukan pemeriksaan saksi, alat bukti maupun telah dilakukan pemeriksaan Terduga Pelanggar atas nama MORRIS SAHARA serta telah dibuat laporan hasil audit investigasi sehingga tindakan Tergugat tidak melanggar ketentuan Pasal 31 ayat (1) huruf a jo. Pasal 36 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2012 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dalil Penggugat yang pada pokoknya menyatakan bahwa Penggugat tidak pernah didampingi, pada saat pemeriksaan pendahuluan;

Menimbang, bahwa terkait dalil tersebut Majelis Hakim berdasarkan Pasal 100 jo. Pasal 107 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara telah mempertimbangkan alat bukti sehingga memperoleh fakta hukum sebagai berikut:

- Bahwa Penggugat tidak didampingi oleh pendamping pada saat pemeriksaan pendahuluan (dalil Penggugat yang tidak dibantah oleh Tergugat dan diperkuat oleh keterangan saksi JIMUN,SH) pada pemeriksaan pendahuluan tersebut Penggugat pernah menyatakan tidak menggunakan haknya untuk menggunakan pendamping (vide bukti T-11 resume pemeriksaan pendahuluan, angka ke 6 tentang

Halaman 51 dari 69 Halaman, Putusan Nomor : 06/G/2016/PTUN-SMD ….. pemeriksaan terduga pelanggar, penjelasan angka ke 3 dan bukti T-11 lembar berita acara Pemeriksaan Terduga Pelanggar atas nama MORRIS SAHARA, pertanyaan dan jawaban angka ke 4 );

- Bahwa pada saat sidang KKEP penggugat hadir dengan didampingi pendamping yaitu JIMUN (kesaksian saksi JIMUN dan pengakuan para pihak dan vide bukti T-20 bagian berkas Surat Perintah Nomor Sprint/1i556/X/2015 tentang penunjukan JIMUN, SH selaku pendamping tanggal 6 Oktober 2015);

Menimbang, bahwa Pasal 18 ayat (1) dan (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur:

(1) Dalam penegakan KEPP, Terduga Pelanggar dapat didampingi Anggota Polri yang ditunjuk oleh Terduga Pelanggar pada tingkat pemeriksaan pendahuluan, Sidang KKEP, dan Sidang Komisi Banding.

(2) Dalam hal Terduga Pelanggar tidak menunjuk Anggota Polri sebagai pendamping, pengemban fungsi hukum wajib menunjuk pendamping.

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum Penggugat tidak menggunakan haknya untuk menggunakan pendamping sehingga Penggugat tidak didampingi oleh pendamping pada saat pemeriksaan pendahuluan, kemudian hak MORRIS SAHARA untuk didampingi telah dipenuhi pada sidang KKEP dengan penunjukkan JIMUN sebagai Pendamping dalam Pelaksanaan Sidang KKEP sehingga bila dihubungkan dengan bunyi ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan (2) Peraturan Kepala Polisi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polisi Republik Indonesia, dan tingkat urgensi pemeriksaan pendahuluan bagi pelanggaran kode etik yang diawali dengan tindak pidana yang berkekuatan hukum tetap karena telah terang pelanggar dan dugaan pelanggarannya maka Majelis Hakim menilai hal ini tidak merupakan suatu keharusan, terlebih apabila dengan tidak adanya pendamping dalam pemeriksaan pendahuluan tetap tidak mengurangi hak-hak penggugat pada saat pemeriksaan pendahuluan;

Menimbang bahwa walaupun Penggugat tidak didampingi pada saat pemeriksaan pendahuluan tetapi berdasarkan bukti 2, 3, bukti 4, 5, 6, 7,8,9,10, T-11 prosedur pemeriksaan pendahuluan telah dilaksanakan sesuai tahapan, dengan tidak

Halaman 52 dari 69 Halaman, Putusan Nomor : 06/G/2016/PTUN-SMD ….. terbuktinya dalil Penggugat yang menyatakan hak-haknya tidak terpenuhi dalam pemeriksaan pendahuluan sehingga tindakan tergugat tidak melanggar Pasal 18 ayat 1 dan 2 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dalil Penggugat yang pada pokoknya menyatakan selama Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) Penggugat tidak memperoleh hak-haknya sebagai terperiksa secara layak, Penggugat tidak menerima turunan berita acara pemeriksaan pendahuluan ataupun resume pemeriksaan pendahuluan sehingga Penggugat tidak memperoleh kesempatan untuk mempersiapkan pembelaan diri secara layak dihadapan sidang kode etik. Berita acara pendahuluan hanya diterima pendamping penggugat menjelang sidang KKEP akan dimulai sehingga pendampingan tidak mengakomodir hak-hak Penggugat dan tidak ada ahli maupun saksi yang meringankan”.

Menimbang, bahwa terkait dalil tersebut Majelis Hakim berdasarkan Pasal 100 Jo. Pasal 107 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara telah mempertimbangkan alat bukti sehingga memperoleh fakta hukum sebagai berikut:

- Bahwa pada saat sidang KKEP penggugat hadir dengan didampingi pendamping yaitu JIMUN (kesaksian Saksi JIMUN,SH. , pengakuan para pihak dan vide bukti T-20 bagian berkas Surat Perintah Nomor Sprint/1i556/X/2015 tentang penunjukan JIMUN. SH selaku pendamping tanggal 6 Oktober 2015):

- Bahwa saksi JIMUN menyatakan berdasarkan surat perintah ditunjuk menjadi pendamping MORRIS SAHARA, dan sebelum menjadi pendamping MORRIS SAHARA pernah menjadi pendamping dalam perkara yang lain;

- Bahwa saksi JIMUN. menyatakan bahwa telah menerima berita acara pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 7 Oktober sehari sebelum sidang KKEP dan telah mempelajarinya dan dalam sidang KKEP tidak mengajukan saksi yang meringankan Penggugat karena tidak ada, selain itu juga tidak mengajukan ahli (vide bukti T-20 bagian lembar berita acara Sidang KKEP);

Halaman 53 dari 69 Halaman, Putusan Nomor : 06/G/2016/PTUN-SMD ….. - Bahwa JIMUN sebagai pendamping telah membacakan nota pembelaan yang

disampaikan secara lisan di sidang Komisi Kode Etik Polri (vide bukti T-20 bagian lembar berita acara pelaksanaan sidang KKEP halaman 7);

Menimbang bahwa pasal 47 ayat (3), Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.19 tahun 2012 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara RI mengatur bahwa:

Pasal 47 ayat 3:

Berkas Pemeriksaan Pendahuluan Pelanggaran KEPP dibuat rangkap 7 (tujuh) dan didistribusikan kepada:

a. Ketua dan anggota KKEP : 3 (tiga) berkas; b. Penuntut : 1 (satu) berkas;

c. Terduga Pelanggar : 1 (satu) berkas; d. fungsi hukum Polri : 1 (satu) berkas; dan e. Sekretariat KKEP : 1 (satu) berkas. Pasal 74 mengatur bahwa:

1). Terduga pelanggar berhak:

a. menerima turunan Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan; b. menunjuk Pendamping;

c. mengajukan Saksi yang meringankan; d. menerima salinan surat persangkaan; e. mengajukan eksepsi/bantahan; f. menerima salinan tuntutan; g. mengajukan pembelaan;

h. menerima salinan putusan Sidang KKEP;

i. mengajukan banding atas putusan Sidang KKEP; dan j. menerima salinan putusan Sidang Banding.

2). Terduga pelanggar wajib:

a. memenuhi panggilan pemeriksaan pendahuluan dan sidang KKEP; b. menghadiri sidang KKEP;

c. mentaati tata tertib sidang KKEP;

d. berperilaku sopan santun selama pemeriksaan pendahuluan dan sidang KKEP; dan e. memberikan keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan

Pasal 75 Mengatur bahwa:

1). Pendamping Terduga Pelanggar berhak:

a. menerima turunan Berita Acara Pemeriksaan Terduga Pelanggar;

b. mendampingi Terduga Pelanggar pada saat pemeriksaan pendahuluan dan Sidang KKEP;

c. menerima jadwal pelaksanaan pemeriksaan pendahuluan dan Sidang KKEP;

d. mengajukan pertanyaan terhadap Saksi, Ahli, dan Terduga Pelanggar yang diajukan oleh penuntut dalam Sidang KKEP;

e. mengajukan Saksi dan barang bukti dalam Sidang KKEP; f. mengajukan pembelaan dalam Sidang KKEP;

g. mengajukan keberatan kepada KKEP atas pertanyaan yang diajukan penuntut yang bersifat menyesatkan, menjebak, dan menyimpulkan;

Halaman 54 dari 69 Halaman, Putusan Nomor : 06/G/2016/PTUN-SMD ….. h. menerima salinan putusan Sidang KKEP;

i. mengajukan Banding;

j. menerima salinan putusan Sidang Banding; dan k. menerima hak atas jasa profesi.

2). Pendamping Terduga Pelanggar wajib:

a. memiliki surat kuasa dari Terduga Pelanggar atau surat perintah dari atasannya; b. memberikan saran dan pertimbangan hukum kepada Terduga Pelanggar;

c. menyusun dan membacakan nota eksepsi/bantahan dan nota pembelaan dalam sidang KKEP; membela hak-hak Terduga Pelanggar; dan

d. menyusun dan menyampaikan memori Banding. Pasal 76 mengatur bahwa:

Pendamping Terduga Pelanggar adalah pegawai negeri pada Polri yang memenuhi persyaratan:

a. berpendidikan Sarjana Hukum dan/atau Sarjana Ilmu Kepolisian;

b. memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan beracara secara teknis dan taktis dalam Sidang KKEP;

c. tidak sedang menjalani proses hukum atau menjalani hukuman; d. memiliki surat kuasa dari Terduga Pelanggar; dan/atau

e. memiliki surat perintah dari atasan Pendamping.

Menimbang, bahwa terhadap dalil Penggugat tesebut Penggugat tidak pernah membuktikan dipersidangan atau setidaknya-tidaknya mengajukan keberatan karena tidak menerima berita acara ataupun resume pemeriksaan pendahuluan sebelum sidang KKEP ataupun pada saat sidang KKEP, karenanya dalam Berita Acara Pelaksanaan Sidang KKEP (vide bukti T-20, bagian Berita Acara Pelaksanaan Sidang KKEP) tidak ada keterangan yang pada pokoknya menyatakan Penggugat keberatan karena belum menerima berita acara maupun resume pemeriksaan pendahuluan bahkan dalam gugatan Penggugat halaman 11 poin 24 menyatakan bahwa “Turunan berita acara pemeriksaan pendahuluan hanya diterima pendamping penggugat…” sehingga secara substansi Penggugat telah menerima berita acara pemeriksaan pendahuluan melalui pendamping dengan demikian tidak terbukti bahwa Tergugat melanggar pasal 47 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.19 tahun 2012 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara RI;

Menimbang, bahwa dalam sidang KKEP Penggugat telah didampingi oleh pendamping yang telah memenuhi persyaratan, bernama JIMUN yang telah ditunjuk berdasarkan surat perintah dari atasan pendamping (vide bukti bundel T-20, bagian surat perintah penunjukan pendamping dan keterangan saksi JIMUN dan Saksi HENDRA

Dokumen terkait