• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

2. Pola Asuh

Pola asuh adalah interaksi anak dan orang tua mendidik, membimbing, dan mendisplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

3. Orang Tua

Orang tua adalah individu yang berbeda memasuki hidup bersama dengan membawa pandangan, pendapat dan kebiasaan- kebiasaan sehari-hari, bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau tugas rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai bapak dan ibu

10

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab II ini, diuraikan landasan teori yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian. Pembahasan tentang landasan teori terdiri dari tiga bagian yaitu kajian pustaka, penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir.

A. Kajian Pustaka 1. Persepsi

Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Persepsi mengandung pengertian yang sangat luas, menyangkut intern dan ekstern. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Berkenaan dengan perkembangan fungsi kognitif pada anak, bahwa struktur sensori-motorik membentuk sumber bagi operasi-operasi penalaran selanjutnya (Inhelder, 2010).

Leavitt (1978) preseption dalam pengertian sempit adalah “penglihatan”, yaitu bagaimana cara seseorang melihat sesuatu; sedangkan dalam arti luas, preseption adalah “pandangan”, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.

Chaplin (2002) mengartikan persepsi sebagai “proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indra.” Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses pengindraan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris (Walgito, 2005).

Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman (THOHA, 2005). Inti dalam memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi.

Walgito (2004:70) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain.

Faktor-faktor yang berperan dalam persepsi dapat dikemukakan adanya beberapa faktor, yaitu :

a. Obyek yang dipersepsi, objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat b. indera atau reseptor.

c. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf, alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Selain itu harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Alat yang untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris.

d. Perhatian untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi.

Proses terjadinya persepsi yaitu objek menimbulkan stimulus, dan stimulus mengenai indera atau reseptor. Stimulus yang diterima oleh reseptor dilanjutkan oleh syaraf sensoris ke otak. Kemudian otak memproses stimulus tersebut sehingga individu dapat menyadari dan memaknai apa yang ia terima sebagai suatu akibat dari stimulus yang diterimanya Bimo Walgito (2004).

Proses terjadinya persepsi akan lebih jelas terlihat melalui bagan di bawah ini :

Bagan Proses Persepsi Gambar 1.1

OBYEK/PERISTIWA STIMULUS RESEPTOR

SYARAF

SENSORIS OTAK

Perlu dikemukakan bahwa antara objek dan stimulus itu berbeda, tetapi ada kalanya bahwa objek dan stimulus itu menjadi satu. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa persepsi ialah individu menyadari tentang apa yang sedang dilihat, atau apa yang sedang didengar, apa yang sedang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Secara sekematis hal tersebut dapat dapat dikemukakan sebagai berikut :

L ---- S ---- R

Gambar 1.2

L : Lingkungan S : Stimulus

R : Respon atau reaksi

Skema tersebut terlihat bahwa organisme atau individu tidak berperan dalam memberikan respon terhadap stimulus yang mengenainya (Weiner, 1972).

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya.

2. Pola Asuh

Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, system, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. Ketika pola diberi artibentuk atau struktur yang tetap, maka hal tersebut sama artinya dengan istilah kebiasaan.

Asuh yang berarti mengasuh, satu bentuk kata kerja yang bermakna menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih, dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri, memimpin (mengepalai, menyelenggarakan) suatu badan kelembagaan. Kata asuh mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga orang tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat.

Orang tua menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ayah ibu kandung, (orang tua-tua) orang yang dianggap tua (cerdik pandai, ahli, dan sebagainya); orang-orang yang dihormati (disegani) di kampung. Dalam konteks keluarga, tentu saja orang tua yang dimaksud adalah ayah atau ibu kandung dengan tugas dan tanggung jawab mendidik anak dalam keluarga.

Piaget maupun Kohlberg berpendapat bahwa orang tua tidak menyediakan masukan yang unik atau esensial bagi perkembangan moral anak. Mereka berpendapat bahwa orang tua memiliki kewajiban memberikan kesempatan untuk pengambilan peran dan mengalami konflik kognitif, namun mereka menyediakan peran primer dalam perkembangan moral bagi kawan-kawannya (Santrock, 2007).

Tafsir (dalam Djamarah, 51) pola asuh berarti pendidikan. Dengan demikian, pola asuh orang tua adalah upaya orang tua yang konsisten dalam menjaga dan membimbing anak dari sejak dilahirkan hingga remaja. Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relative konisten dari waktu ke waktu.

Pengaruh keluarga memberi dampak yang cepat bagi perkembangan anak dalam usia sekolah dasar. Anak sekolah dasar dalam tingkat perkembangan pribadinya masih menirukan apa yang seringkali dilakukan oleh orang tua saat berada di rumah. Meskipun demikian, ketika anak berangsur-asur menjadi diri sendiri, pengasuhan terhadap mereka dapat menjadi hal yang menentang. Orang tua harus berhadapan dengan seseorang yang memiliki keinginan dan pikiran sendiri, tetapi masih harus belajar banyak mengenai perilaku yang sesuai dalam masyarakat. Lebih dari itu, setiap anak berada dan karakteristik individual ini mempengaruhui tipe pola asuh yang diterima anak. (Diane E. Papalia, 2009 : 404).

Pola asuh orang tua memiliki dalam hal disiplin yaitu metode pembentukan karekter anak serta mengajarkan mereka untuk melakukan kontrol diri dan melakukan kontrol diri dan melakukan perilaku yang dapat diterima. Hukuman fisik didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan fisik dengan tujuan agar anak merasakan rasa sakit tetapi tidak menciderai, untuk memperbaiki atau mengontrol perilaku anak. Penonjolan kekuasaan ditujukan untuk menghentikan atau menekankan perilaku yang tidak diinginkan melalui kontrol orang tua yang dilakukan secara verbal atau fisik. Agresi psikologis serangan verbal terhadap anak, dapat mengakibatkan kerugian psikologis (Papalia, 2009 : 404 – 407).

Pola pengasuhan orang tua dalam mendidik anak dapat bervariasi, setiap orang tua memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengasuh anak. Dalam penelitian ini peneliti berpedoman pada tiga tipe pola pengasuhan anak menurut

Papalia (2009) yaitu : otoriter, permisif, dan otoritatif. Ketiga tipe pola pengasuhan orang tua tersebut di atas dapat diperinci sebagai berikut :

a. Pola Asuh Otoriter (authoritarian)

Pola asuh otoriter cara ini menekankan pada kontrol dan kepatuhan yang tidak boleh dipertanyakan oleh anak, orang tua berusaha membuat anaknya melakukan rangkaian standar yang sudah dibuat dan menghukum mereka semena-mena dan dengan paksa jika anak melanggar. Orang tua cenderung terpisah dengan anak dan kurang hangat daripada orang tua lainnya. Anak mereka cenderung menarik diri, tidak percaya, dan tidak berkomunikasi dengan orang tua. Anak cenderung tidak senang, menarik diri, dan tidak percaya. Hal tersebut, pada inti pola asuh otoriter yaitu pola asuh orang tua yang menekankan pada kontrol dan keputusan. (Papalia, 2014:294).

Yusuf (2010:51) pola asuh otoriter yaitu dimana orang tua memiliki sikap yang rendah hati namun dengan kontrol pengawasan yang tinggi. Orang tua yang memiliki kebiasaan dalam mengasuh anak dengan pola asuh otoriter sukanya menghukum anak secara fisik, dengan contoh orang tua memukul anak, orang tua bersikap pada anak dengan mengomando untuk mengatur anak melakukan hal yang diinginkan orang tua namun anak tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Pola asuh otoriter menurut Hartono (2009:28-29) pola asuh otoriter sama dengan pola asuh orang tua yang “tidak menyetujui”, dalam pola asuh tersebut orang tua memiliki kecenderungan untuk meremehkan kemampuan yang dimiliki oleh anak. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter pada anak seperti ini, yang sering memberi hukuman hal ini dilakukan

terkadang anak tidak melakukan keselahan. Widyarini (2009:11) memiliki pemikiran tentang pola asuh otoriter yaitu orang tua berusaha untuk mengendalikan serta memberi evaluasi pada perilaku anak berdasarkan nilai-nilai kepatuhan yang sudah menjadi keputusan oleh orang tua.

Gunarsa (2004:280) perpendapat bahwa orang tua dengan pola asuh otoriter juga tidak melakukan komunikasi yang baik dengan anak. Komunikasi yang terjadi hanyalah komunkasi satu arah, yaitu dari orang tua ke anak. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak menyebabkan ketrampilan komunikasi anak menjadi kurang. Salin hal tersebut Gunarsa (2004:280) menambahkan bahwa pola asuh otoriter ini sering kali membuat anak meberontak. Anak akan bersikap bermusuhan kepada orang tua serta seringkali menyimpan perasaan tidak puas terhadap dominasi orang tua bila orang tuanya keras, tidak adil, dan tidak menunjukan afeksi.

Uraian yang terdapat di atas pola asuh otoriter memiliki ciri menuntut anak untuk menerima aturan dan standar yang ditetapkan orang tua tanpa mempersoalkannya, membuat peraturan untuk mengendalikan perilaku anak, membatasi keterlibatan anak dalam membuat keputusan, dan berusaha mengendalikan perilaku, sikap anak sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Pola asuh otoriter tersebut pola asuh dimana orang tua memiliki sikap tegas dan disiplin. Hal ini dilakukan oleh orang tua supaya apa yang menajadi harapan untuk anak dapat memenuhi keinginan orang tua serta membiasakan adanya perdebatan secara verbal.

b. Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif menekankan pada pengekspresian diri dan regulasi diri. Orang tua membuat sedikit permintaan dan memberikan anak untuk memonitor aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin. Ketika orang tua harus membuat aturan, mereka akan mendiskusikan dengan anaknya, menjelaskan alasannya. Orang tua berdiskusi dengan anak mengenai pengambilan keputusan dan jarang menghukum anak. Mereka cenderung hangat, tidak terlalu mengontrol, dan tidak terlalu menuntut. Anak prasekolah mereka cenderung menjadi kurang dewasa-kurang dapat mengontrol diri, dan kurang bereksplorasi. Hal tersebut, pada inti pola asuh permisif yaitu pola asuh yang menekankan ekspresi diri dan regulasi diri (Diane: 2014).

Gunarsa (2004: 281) berpendapat bahwa pola asuh permisif menyebabkan anak tidak memiliki kontrol diri yang baik, anak menjadi egois, selalu memaksa kehendaknya sendiri tanpa memperdulikan perasaan orang lain. Menurut Hartono (2009:27-28) pola asuh permisif merupakan pola asuh yang mana orang tua tidak mementingkan perasaan yang sedang dirasakan oleh anak, dan tidak mau merespon apa yang dilakukan oleh anak. Hal ini dikarenak orang tua tidak nyaman dengan apa yang sedang dilakukan oleh anak, dan orang tua merasa kurang bisa mengondisikan emosi yang sedang anak miliki.

Ciri-ciri pola asuh permisif yaitu : memberi kebebasan sepenuhnya kepada anak untuk berbuat semaunya tanpa ada pengendalian, dan cenderung menerima dan pasif dalam membiasakan disiplin.

Berdasarkan penjelasan di atas dalam pola asuh permisif orang tua cenderung membebaskan anak untuk melakukan apapun yang mereka inginkan dan bersikap kurang tegas. Pola asuh permesif juga cenderung menempatkan orang tua pada posisi pasif, dalam arti orang tua cenderung membiarkan anak bersikap tanpa batas, aturan, dan larangan yang jelas.

c. Pola Asuh Demokratis (authoritative)

Pola asuh otoritatif menekankan pada individualitas anak, tetapi juga tidak meninggalkan aturan sosial. Orang tua memeliki keprcayaan diri pada kemampuan mereka untuk mengarahkan anak, tetapi otang tua juga menghargai apa yang menjadi keputusan, keinginan, opini, dan pribadi anak. Hal tersebut, pada inti pola asuh otoritatif yaitu pola asuh yang memadukan penghargaan anak secara individu dengan usaha untuk tetap sesuai dengan nilai sosial (Papalia: 2014).

Hartono (2009:30-31) pola asuh otoritatif merupakan pola asuh di mana orang tua menjadi pelatih emosi anak. Orang tua otoritatif dalam hal tersebut merupakan orang tua yang memiliki kepribadian sabar, berempati dengan semua yang dikatakan maupun yang sedang dirasakan, membantu anak untuk menyelesaiakan yang permasalahan yang sedang di alami serta memberikan nasehatan pada anak atas kesalahan yang sedang dialami oleh anak.

Pendapat yang terdapat pada Widyarini (2009:11) pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang mana orang tua berusaha mengarahkan anaknya secara rasional, menghargai komunikasi yang sedang terjadi antara anak dengan orang tua maupun dengan orang lain, serta memberi kesempatan pada anak untuk

mengutarakan apa yang menjadi keinginannya. Yusuf (2010:52) memiliki pemikiran dalam pola asuh otoritatif merupakan pola asuh di mana orang tua memiliki sikap yang responsif atas apa yang dibutuhkan oleh anak, membantu anak supaya mampu mengungkapkan pendapat maupun hal-hal yang ingin anak ketahui, serta orang tua memberikan penjelasan pada anak mengenai akibat dari perbuatan baik maupun kurang baik.

Berdasarkan penejelasan di atas pola asuh Otoritatif memiliki ciri menghargai anak sebagai pribadi yang mandiri, bekerjasama dalam membuat keputusan, mendorong tumbuhnya interaksi saling memberi dan menerima, dan mendukung serta bertanggung jawab dalam mempertimbangkan berbagai alternatif tetapi tidak mendominasi dari sudut pengertian orang tua.

Dari penjelasan di atas pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, perlindungan, dan lain-lain), serta sosilaisasi norma-norma yang berlaku dimasyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangkan pendidikan karakter anak.

Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik anaknya disebut sebagai pola pengasuhan. Interaksi anak dengan orang tua, anak cenderung menggunakan cara-cara tertentu yang dianggap paling baik bagi anak. Disinilah letaknya terjadi beberapa perbedaan dalam pola asuh. Disatu sisi orang tua harus bisa menetukan

pola asuh yang tepat dalam mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak, disisi lain sebagai orang tua juga mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk anak seseorang yang dicita-citakan yang tentunya lebih baik dari orang tuanya.

Dokumen terkait