• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Habitat dan Ancaman pada Ekosistem Lamun

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pola Habitat dan Ancaman pada Ekosistem Lamun

Lamun hidup dan terdapat pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 0.5 – 10 m, tetapi sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesies lamun lebih banyak terdapat di daerah tropik dari pada di daerah Ugahari (Barber 1985). Habitat lamun dapat dipandang sebagai suatu komunitas, dalam hal ini suatu padang lamun merupakan kerangka struktur dengan tumbuhan dan hewan yang saling berhubungan. Habitat lamun dapat juga dipandang sebagai suatu proses tunggal yang dikendalikan oleh pengaruh–pengaruh interkatif dari faktor–faktor biologis, fisika, kimiawi.

Lamun pada umumnya dianggap sebagai kelompok tumbuhan yang homogen. Lamun terlihat mempunyai kaitan dengan habitat dimana banyak lamun adalah substrat dasar dengan pasir kasar. Lamun jenis Enhalus acoroides dominan hidup pada substrat berpasir dan pasir sedikit bercampur dan kadang–kadang terdapat pada dasar yang terdiri atas campuran pecahan karang yang telah mati. Keberadaan lamun pada kondisi habitat tersebut, tidak terlepas dari gangguan atau ancaman–ancaman terhadap kelangsungan hidupnya baik berupa ancaman alami maupun ancaman dari aktifitas manusia. Banyak kegiatan atau proses, baik alami maupun oleh aktifitas manusia yang mengancam kelangsungan ekosistem lamun. Selain itu kerusakan padang lamun oleh manusia akibat aktifitas perahu di lingkungan pesisir yang tidak terkontrol (Sangaji 1994). Pengamatan lokal di Pulau Pari dan Teluk Banten menunjukkan kerusakan pada lingkungan lamun (Enhalus dan Syrongodium) karena kekeruhan air akibat teraduk oleh lalu lintas perahu dan kapal nelayan. Degradasi padang lamun di Teluk Banten terjadi secara luas sejak reklamasi dimulai tahun 1990 untuk pembangunan kawasan industri dan pelabuhan. Degradasi padang lamun juga terjadi di Teluk Grenyang dan Bojonegara. Sekitar 116 ha atau 26 % dari total luas padang lamun di Teluk Banten telah lenyap (Giesen et al 1990). Hilangnya area padang lamun dari perairan Indonesia dijumpai di Teluk Banten akibat kegiatan reklamasi pantai untuk pembangunan pelabuhan, jalan dan kawasan industri. Luas padang lamun hilang mencapai sekitar 116 ha atau sekitar 25 % dari total luas padang lamun (Douven et al 2004).

Masuknya nutrisi yang berasal dari aktivitas kegiatan manusia ke lingkungan pesisir telah secara dramatis meningkat di berbagai belahan bumi pada ahir abad ke 20 dan telah merubah berbagai ekosistem pesisir. Deegan et al. (2002) mengevaluasi pengaruh-pengaruh dari penambahan nitrogen terhadap struktur komunitas makrofit dan assosiasi biotanya. Pengaruh-pengaruh tersebut adalah 1). Mereka menemukan suatu perubahan dalam produsen primer dari lamun Zostera ke algae makro sebagai reaksi terhadap peningkatan masuknya nutrisi dan perubahan habitat ikan, stuktur kimiawi dan rantai makanan. Akibat peningkatan masuknya nitrogen, mereka menemukan naiknya biomas algae dan turunnya kerapatan dan biomas lamun Zostera, penurunan kelimpahan dan biomas ikan dan dekapoda serta penurunan keanekaragam jenis ikan. 2). Pengurangan makro algae mampu meningkatkan kelimpahan lamun, kualitas perairannya serta kadar oksigen pada lapisan dasarnya. Perubahan dalam struktur fisika dan kimia ekosistem dengan turunnya biomas makro algae menghasilkan lebih tingginya kelimpahan dan biomas ikan dan dekapoda. 3). Kombinasi percobaan dengan penjejak isotop stabil 15N dan pertumbuhan ikan menunjukkan bahwa sedikit sekali produksi dari makro algae yang langsung ditransfer ke tingkat konsumen ke

dua. Nilai δ15

N menunjukkan bahwa kebanyakan ikan tidak menggunakan suatu rantai makanan berdasarkan pada makro algae. Ikan cenderung untuk untuk tumbuh lebih baik dan mempunyai kemungkinan hidup lebih lama pada lingkungan lamun dibandingkan pada habitat makro algae. 4). Peningkatan nutrisi yang berasal dari daratan teleh menyebabkan peningkatan biomas makro algae dan degradasi serta hilangnya habitat lamun.

Ancaman – ancaman alami terhadap ekosistem lamun berupa angin topan, siklon (terutama di Philipina), gelombang pasang, kegiatan gunung berapi bawah laut, interkasi populasi dan komunikasi (pemangsa dan persaingan), pergerakan sedimen dan kemungkinan hama dan penyakit, vertebrata pemangsa lamun seperti sapi laut. Meskipun dampak dari pemakan ini hanya setempat, tetapi jika terjadi ledakan populasi pemakan tersebut akan terjadi kerusakan berat. Gerakan pasir juga mempengaruhi sebaran lamun. Bila air menjadi keruh karena sedimen, lamun akan bergeser ke tempat yang lebih dalam yang tidak memungkinkan untuk dapat bertahan hidup (Sangaji 1994).

17

Limbah pertanian, industri dan rumah tangga yang dibuang ke laut, pengerukan lumpur dan lalu lintas perahu yang padat dapat merusak lamun. Di tempat hilangnya padang lamun, diperkirakan terjadi perubahan sebagai berikut (Fortes 1989).

1. Reduksi detritus dari daun lamun sebagai konsekuensi perubahan dalam jaring – jaring makan di daerah pantai dan komunitas ikan.

2. Perubahan dalam produsen yang dominan dari yang bersifat bentik ke yang bersifat planktonik.

3. Perubahan dalam morfologi pantai sebagai akibat hilangnya sifat–sifat pengikat lamun.

4. Hilangnya struktural dan biologi dan digantikan oleh pasir yang gundul. Berbagai tekanan terhadap padang lamun yang terjadi di lingkungan baik dari darat maupun dari pantai yaitu :

a. Eutrofikasi dari sumber hara di darat seperti saluran air kotor, pupuk, sungai, limbah tambak, dapat menimbulkan peledakan epifit lamun dan mengurangi cahaya ke tumbuhan tersebut. Hilangnya tumbuhan lamun mengarah ke erosi lokal, yang meningkatkan gerakan ombak di dasar laut dan kekeruhan serta lebih jauh lagi mengurangi cahaya

b. Meskipun tumbuhan lamun dapat hidup pada tingkat sedimentasi tertentu, kekeruhan berlebihan dapat merusak yang disebabkan oleh penambangan, pengerukan, jaring pukat serta sedimen dari buruknya pemanfaat tanah di daerah aliran sungai

c. Perubahan struktur garis pantai (bangunan, hilangnya mangrove) dapat mengubah sirkulasi air dan habitat yang dibutuhkan untuk tumbuhan lamun

d. Eksploitasi perikanan berlebihan di dalam padang lamun dapat menjadi masalah

e. Polusi yang bersumber dari darat dapat menyebabkan akumulasi zat pencemar (biasanya logam berat) di dalam jaringan tumbuhan lamun dan di dalam binatang yang memakan lamun.sumber

Selain beberapa ancaman tersebut, kondisi lingkungan pertumbuhan juga mempengarui kelangsungan hidup suatu jenis lamun seperti yang dinyatakan oleh Barber (1985) bahwa temperatur yang baik untuk mengkontrol produktifitas lamun pada air adalah sekitar 20o sampai dengan 30oC untuk jenis lamun Thalassia testudium dan sekitar 30oC untuk Syringodium filiforme. Intensitas cahaya untuk laju fotosintesis lamun menunjukkan peningkatan dengan meningkatnya suhu dari 20oC sampai 35oC untuk Zoantera marina, 30oC untuk Cymodoceae nodosa dan 25 – 30oC untuk Possidonia oceania.

Kondisi ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia sekitar 30 – 40%. Di pesisir pulau Jawa kondisi ekosistem padang lamun telah mengalami gangguan yang cukup serius akibat pembuangan limbah industri dan pertumbuhan penduduk. Diperkirakan sebanyak 60% lamun telah mengalami kerusakan. Di pesisir pulau Bali dan Lombok gangguan bersumber dari penggunaan potassium sianida dan telah berdampak pada penurunan nilai dan kerapatan spesies lamun. Rekolonisasi ekosistem padang lamun dari kerusakan yang telah terjadi membutuhkan waktu antara 5 – 15 tahun dan biaya yang dibutuhkan dalam mengembalikan fungsi ekosistem padang lamun di daerah tropis berkisar 22.800 – 684.000 US $/ha. Oleh karena itu aktivitas pembangunan di wilayah pesisir hendaknya dapat meminimalkan dampak negatif melalui pengkajian yang mendalam pada tiga aspek yang tekait yaitu : aspek kelestarian lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial (Fortes 1989).

Ancaman kerusakan ekosistem padang lamun di perairan berasal dari aktifitas manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya ekosistem padang lamun dengan menggunakan potasium sianida, sabit dan gareng serta pembungan limbah industri pengolahan ikan, sampah rumah tangga dan pasar tradisional. Dalam hal ini Fauzi (2000) menulis bahwa dalam menilai dampak suatu aktifitas manusia terhadap kerusakan lingkungan seperti ekosistem padang lamun dapat digunakan dengan metode teknik evaluasi lingkungan yang dikenal dengan istilah Environmental Impact Assesment (EIA). Metode ini telah dijadikan instrumen universal dalam mengevaluasi dampak lingkungan akibat aktifitas pembangunan, disamping itu metode evaluasi ekonomi dapat menjembatani kepentingan ekonomi masyarakat dan kebutuhan ekologi dari sumber daya alam.

19