TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak Balita
2.2. Pola Makan Anak Balita
Pola makan (food pattern) adalah kebiasaan memilih dan mengkonsumsi bahan makanan oleh sekelompok individu. Pola makan dapat memberi gambaran mengenai kualitas makanan masyarakat (Suparlan, 2010).
Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati dkk, 2010).
Pola makan di suatu daerah dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan beberapa faktor ataupun kondisi setempat, yang dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu:
a. Faktor yang berhubungan dengan persediaan atau pengadaan bahan pangan. Dalam kelompok ini termasuk faktor geografi, iklim, dan kesuburan tanah yang dapat mempengaruhi jenis tanaman dan jumlah produksinya di suatu daerah.
b. Faktor ekonomi dan adat istiadat. Taraf sosial ekonomi dan adat kebiasaan setempat memegang peranan penting dalam pola konsumsi penduduk. Di samping itu, kebijakan dalam bidang pangan, misalnya pemberian bantuan
atau subsidi terhadap bahan tertentu, dalam berpengaruh dalam pola konsumsi.
Secara umum faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola makan adalah faktor ekonomi, sosial budaya, agama, pendidikan, dan lingkungan. Pola makan yang baik perlu dibentuk sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan gizi dan pola makan yang tidak sesuai akan menyebabkan asupan gizi berlebih atau sebaliknya kekurangan. Asupan berlebih menyebabkan kelebihan berat badan dan penyakit lain yang disebabkan oleh kelebihan gizi. Sebaliknya asupan yang kurang dari yang dibutuhkan akan menyebabkan tubuh menjadi kurus dan rentan terhadap penyakit (Sulistyoningsih, 2011).
Pola makan pada balita sangat berperan penting dalam proses pertumbuhan pada balita, karena dalam makanan banyak mengandung gizi. Gizi menjadi bagian yang sangat penting dalam pertumbuhan. Gizi di dalamnya memiliki keterkaitan yang sangat erat hubungannya dengan kesehatan dan kecerdasan. Apabila terkena defisiensi gizi akan kemungkinan besar sekali anak akan mudah terkena infeksi. Gizi ini sangat berpengaruh terhadap nafsu makan.
Jika pola makan tidak tercapai dengan baik pada balita maka pertumbuhan balita akan terganggu, tubuh kurus, pendek bahkan bisa terjadi gizi buruk pada balita.
Pola pemberian makanan yang baik bagi balita yaitu memenuhi tingkat asupan makanan balita dan frekuensi pola makanan anak balita. Asupan makanan balita yang baik memenuhi kebutuhan kalori 90 kkal/kg BB per hari, frekuensi yang disarankan yaitu 3 kali sehari dengan 2 kali makanan selingan (William, 2010).
Konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan makannya, selain itu juga akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan sehingga kecukupan konsumsi pangan perlu mendapat perhatian. Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi kurang. Mereka mengkonsumsi pangan (energi dan protein) lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada (Khomsan, 2003).
Seorang ibu yang telah menanamkan kebiasaan makan yang baik dengan gizi yang baik pada usia dini tentunya sangat mudah mengarahkan makanan anak, karena dia telah mengenal makanan yang baik pada usia sebelumnya (Erni &
Mariyam, 2013). Penelitian Realita (2010) menjelaskan bahwa konsumsi makanan atau dalam pola pemberian makan yang baik berpengaruh terhadap status gizi (pertumbuhan) balita .
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sumaiyah (2008) yang mengatakan bahwa dalam pola pemberian makan pada balita sebagian besar berada dalam kategori baik sebesar 36 responden (81,2 %). Hal ini dilatarbelakangi oleh tingkat pengetahuan, pendidikan, dan tingkat ekonomi yang baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua maka semakin tinggi pula pengetahuan dan pengalamanya dalam merawat anaknya khususnya dalam pola pemberian makannya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Suhardjo (2010), bila ibu rumah tangga memiliki pengetahuan gizi yang baik maka ibu akan mampu untuk memilih makanan-makanan yang bergizi untuk dikonsumsi.
Pola konsumsi yang dianjurkan di Indonesia sesuai dengan kaidah kesehatan diarahkan pada pola konsumsi yang lebih beragam, bergizi dan
berimbang yang biasa disebut dengan menu seimbang terdiri dari makanan pokok, lauk hewani dan nabati, sayur, buah dan susu. Balita butuh lebih banyak lemak dan lebih sedikit serat agar terjadi penambahan berat badan yang sehat. Akan tetapi pada kenyataannya masih banyak keluarga belum mampu menerapkan pola konsumsi tersebut dalam menu sehari-hari. Hal ini sangat terkait dengan daya beli, ketersediaan pangan, faktor ekonomi, pendidikan dan sosial budaya.
Pada symposium ke 113 Badan Kesehatan Dunia ( WHO) yang membahas makanan, olahraga, dan kebiasaan hidup strategi baru kesehatan global. Dalam strategi baru tersebut mengemukakan pola makan yang tidak sehat merupakan penyebab utama timbulnya bermacam-macam penyakit tidak menular termasuk beberapa jenis kanker.
2.2.1 Jenis makanan yang dikonsumsi
Pola makan yang baik mengandung makanan pokok, lauk-pauk, buah-buahan dan sayur-sayuran serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan. Dengan pola makan yang baik dan jenis hidangan yang beraneka ragam dapat menjamin terpenuhinya kecukupan sumber tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang. Sehingga status gizi seseorang akan lebih baik dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Baliwati dkk, 2004).
2.2.2 Tingkat asupan makanan anak balita
Zat gizi adalah ikatan kimia yang di perlukan tubuh untuk melakukan fungsinya yaitu ,menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan (Almatsier, 2009).
Manusia memerlukan zat gizi agar dapat hidup dengan sehat dan mempertahankan kesehatannya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan internal dan eksternal, pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan, serta untuk aktivitas (Supariasa dkk, 2001).
Anak balita pada usia 1-3 tahun bersifat konsumen pasif dan usia 3-5 tahun bersifat konsumen aktif. Konsumen pasif artinya pada usia 1-3 tahun makanan yang dikonsumsi tergantung pada apa yang disediakan oleh ibu, sedangkan konsumen aktif artinya anak dapat memilih makanan yang disukainya (Supriatin, 2004).
Tahap awal dari kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan penilaian konsumsi pangan. Konsumsi pangan yang kurang akan berdampak terhadap kurangnya zat gizi dalam tubuh. Secara umum terdapat dua kriteria untuk menentukan kecukupan konsumsi pangan, yaitu konsumsi energi dan konsumsi protein. Kebutuhan energi biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok (karbohidrat), sedangkan kebutuhan protein dipenuhi dari konsumsi protein yaitu dari sejumlah substansi hewan, seperti ikan, daging, telur dan susu (Supariasa dkk, 2001).
Angka Kecukupan Gizi (AKG) dapat digunakan ntuk menilai tingkat kecukupan zat gizi individu. Kecukupan gizi tersebut dianjurkan untuk dipenuhi dari konsumsi pangan anak balita setiap harinya. Basis dari AKG adalah kebutuhan (Estimated Average Requirement). Untuk mengetahui kecukupan gizi anak balita digunakan AKG tahun 2013, yang disajikan pada tabel 2.1.
Kecukupan gizi tersebut dianjurkan untuk dipenuhi dari konsumsi pangan balita setiap harinya.
Tingkat kecukupan zat gizi individu dapat diperoleh dari perbandingan antara asupan zat gizi dengan standar angka kecukupan gizi seseorang.
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Balita Rata-Rata
Sumber : Permenkes RI no 75 tahun 2013
2.2.3 Frekuensi pola makan anak balita
Khomsan (2003) menyatakan bahwa frekuensi konsumsi pangan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi pangan pada anak, ada yang terikat pada pola makan 3 kali per hari tetapi banyak pula yang mengkonsumsi pangan antara 5 sampai 7 kali per hari atau lebih. Frekuensi yang disarankan yaitu 3 kali sehari dengan 2 kali makanan selingan. Frekuensi konsumsi pangan bisa menjadi penduga tingkat kecukupan gizi, artinya semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar. Suatu hasil pengamatan terhadap anak-anak di negara Barat memperlihatkan bahwa pada kelompok anak yang frekuensi konsumsi pangannya kurang dari 4 kali per hari mengkonsumsi energi, protein, vitamin C, dan zat besi (Fe) lebih rendah dari rata-rata konsumsi anak-anak yang seumur. Sedangkan konsumsi pada kelompok anak yang frekuensi konsumsi pangannya lebih dari 6 kali per hari ternyata lebih tinggi dari rata-rata konsumsi anak yang seumur.