• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Pola mempunyai arti bentuk (struktur) yang tetap. Sedangkan Pembinaan berasal dari kata dasar “Bina” dan mendapatkan imbuhan pem-an yang mempunyai arti usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien, dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik Jadi, pola pembinaan adalah bentuk struktur yang tetap dalam suatu tindakan dalam kegiatan membina yang di lakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

Pembinaan juga berarti suatu proses, cara, perbuatan pembinaan atau pembaharuan, penyempurnaan atau usaha, tindakan dan kegiatan yang di lakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik.30

Jadi pola pembinaan adalah merupakan suatu proses yang di lakukan untuk mengubah tingkah laku individu serta membentuk

29

Thamrin, Pola Pembinaan Santri Pada Pesantren Hidayatullah di Kendari,

Skripsi (Kendari: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2016), hal. 14.

30

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 193.

kepribadiannya, sehingga apa yang di cita-citakan dapat tercapai sesuai yang di harapkan.31

2. Ruhiyah

Ruhiyah adalah hubungan hamba dengan Allah Subhahu Wa Ta’ala. ruhiyah adalah kekuatan inti dari seseorang dalam menunaikan kerja-kerja amal dakwah. Dan ruhiyah itu tercermin dari pada keteduhan diri, tilawah qur’an, dan ibadah-ibadah lainnya.32

Ruhiyah berasal dari bahasa arab yang berarti jiwa Al-qur’an merupakan sumber orisinal pengetahuan Islam tentang jiwa. Dan Al-qur’an memberikan kostribusi yang sangat besar terhadap kajian jiwa manusia di kalangan para ilmuan jiwa (para sufi)33

Kata “jiwa” disebut dalam al-qur’an sebanyak 279 kali. Kata “jiwa” menunkukan bahwa lafazh nafs (jiwa) bermakna (insan) juga menunjukkan makna (mahiyah) manusia. Jiwa memiliki tiga karakter yaitu:

• Nafs al-amarah bi al-su’ (jiwa yang menyuruh pada kejelekan). • Nafs al-lawwamah (jiwa yang menyesal),

• Nafs al-mutmainnah (jiwa yang tenang)

dan hampir seluh sufi sepakat bahwa jiwa adalah sumber segala keburukan dan dosa karena ia adalah sumber syahwat dan keinginan meraih kesenagan. Jiwa merupakan musuh paling besar yang wajib

31

Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Cet. II, (Jakarta: Kencana. 2009), hlm. 372. 32

Thamrin, Pola Pembinaan Santri Pada Pesantren Hidayatullah di Kendari,

Skripsi (Kendari: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2016), hal. 10.

33

Thamrin, Pola Pembinaan Santri Pada Pesantren Hidayatullah di Kendari,

dikendalikan dan ditaklukkan. Itulah kadar jiwa yang sama-sama disepakati oleh seluruh sufi.

Jiwa adalah musuh paling bahaya bagi manusia yang ada diantara dua sisi badannya. Oleh karena itu, selayaknya musuh tersebut diatasi dengan cara diikat oleh “rantai-rantai penaklukan” agar tidak liar dan tidak melakukan banyak kesalahan serta kekeliruan. Melepas jiwa dapat menjadikan ia melenggang bebas bersama hasrat dan kecenderungannya yang liar.

Unsur esensial jiwa adalah udara panas-semacam asap-berwarna hitam yang memiliki karakter buruk. Pada dasarnya jiwa bersifat kecahayaan. Ia bisa bertambah baik dengan taufik Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Interaksi yang baik dan rendah hati yang benar. Jiwa dapat bertambah baik dengan cara seseorang menentang hasratnya, tidak menghiraukan ajakannya, serta melatihnya dengan lapar dan amalan-amalan berat. Melalui unngkapan ini, At-Tirmidzi berpandangan bahwa jiwa dapat bisa diperbaiki dan di luruskan.34

3. Santri

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), kata santri mempunyai dua pengertian yaitu:

1. Orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh, orang saleh. Pengertian ini sering digunakan oleh para ahli untuk membedakan

34

Arifin, Psikologi D akwah Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet. 5, 2000), hal. 250.

golongan yang tidak taat beragama yang sering disebut sebagai santri.

2. Orang yang mendalami pengajiannya dalam agama Islam dengan berguru ke tempat yang jauh seperti pesantren dan lain sebagainya.35

Santri, sebutan santri ini diberikan kepada yang belajar di Pondok Pesantren, baik ia menetap ataupun tidak, sebab itu tidak terdapat istilah santri kalong, yaitu mereka yang tidak menetap di Pondok. Santri ini tidak hanya dari daerah sekitar pesantren tetapi yang jauh di pesantren itu. Bahkan ada yang berasal dari luar negeri. Dalam sistem Pondok Pesantren, santri dibagi dalam dua yakni santri mukim dan santri kalong.

Santri mukim yaitu santri yang tinggal atau menetap di Pondok Pesantren biasanya santri yang berasal dari daerah yang jauh dari Pondok Pesantren tempat ia belajar, sedangkan santri kalong yaitu santri yang langsung pulang kerumah setelah belajar artinya santri ini tinggalnya di Pondok Pesantren, biasanya santri jenis ini tempat tinggalnya di Pondok Pesantren.36

c.

Strategi Pembinaan Ruhiyah Santri

Di tinjau dari sejarahnya pondok pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Pondok pesantren sudah dikenal

35

Thamrin, Pola Pembinaan Santri Pada Pesantren Hidayatullah di Kendari,

Skripsi (Kendari: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2016), hal. 14.

36

Aminudin Rasyad dan Baihaki, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), h. 59.

jauh sebelum Indonesia merdeka bahkan sejak Islam masuk ke Indonesia terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan pada umumnya.

Sebagaimana tujuan daripada pesantren adalah membina generasi agar memiliki keimanan yang kokoh, ketaqwaan yang tinggi pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan dapat memberi manfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat. Namun untuk dapat mewujudkannya tidak semudah membalikkan telapak tangan, melaikan butuh metode yang jitu dan memadai serta butuh proses yang panjang. Oleh karena itu, pondok pesantren dalam memilih metode pembinaan sangat berbeda-beda antara pesantren yang satu dengan yang lain.

Maka sebagai akibat dari perbedaan metode dalam membina santrinya tersebut, tidak sedikit terjadi berbagai gesekan atau konflik antar pesantren maupun antar kelompok. Menurut Ali (2001), Hal ini terjadi, karma selain adanya klaim-klaim kebenaran yang merasa dan menganggap agamanyalah yang paling benar, juga karma adanya klaim penyelamatan yang sangat meyakini bahwa jalan menuju ke surga, hanya dapat digapai dengan memeluk dan mengamalkan agamanya. Fenomena seperti ini, tampak tidak hanya terjadi dalam konstalasi kehidupan antara penganut agama yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, secara internal pada penganut agama yang sama, juga terjadi benturan konsep, persepsi dan interpretasi sebagai akibat dari proses sosialisasi dan doktrinasi yang melatarinya. Misalnya, NU dan

Muhammadiyah sebagai dua komunitas organisasi Islam terbesar di Indonesia, serta demikian pula antara Protestan dan Khatolik sebagai penganut agama Kristen.37 Dalam memajukan pesatren maka sangat diperlukan pemahaman mengenai psikologi dan kejiwaan para santri, Agar pembelajaran di Pondok Pesantren tidak hanya mempengaruhi pengetahuan akademik saja, namun juga dapat menanamkan karekter yang posif atau perilaku yang baik, sehingga generasi Islam tetap menjadi power untuk memajukan bangsa dan negara.38

Adapun peranan dakwah dalam mempengaruhi ruhiyah santri sebagai berikut:

1. Proses Dakwah Dalam Menghadapi ruhiyah Santri

Dalam psikologi dakwah dapat didefinisikan sebagai ilmu pengatahuan yang bertugas mempelajari atau membahas tentang gejala-gejala hidup kejiwaan yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah dimana sasarannya adalah manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Didalamnya melibatkan sikap dan kepribadiaan para da’i. Disini terlibat adanya hubungan atau antar hubungan serta saling mempengaruhi antara lain. Sehingga terjadilah suatu proses yang berupa motivasi dakwah yang dibawah oleh da’i dengan sikap dan kepribadiaannya terhadap mad’u yang berupa manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Dalam berdakwah da’i harus memperhatikan psikologi mad’u. Mengingat bermacam-macam tipe manusia yang dihadapi da’i dan berbagai jenis

37

Thamrin, Pola Pembinaan Santri Pada Pesantren Hidayatullah di Kendari, Skripsi (Kendari: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2016), hal. 14.

38

antara dia dengan mereka serta berbagai kondisi psikologi mereka, setiap da’i yang mengharapkan kesejukan dalam aktivitas dakwahnya harus memperhatikan kondisi psikologi mad’u. Kalau kita perhatikan gaya perbedaan dakwah sebelum dan sesudah hijrah, sewaktu di Mekkah ataupun di Madinah tampaknya disebabkan oleh berbedanya kondisi psikologis kelompok-kelompok yang didakwahi.

Seorang da’i harus memperhatikan kedudukan sosial mad’u. Jika seorang da’i mencium adanya sikap memusuhi Islam dalam diri mad’u, maka dengan alasan apapun dia tidak boleh memeperburuk situasi. Dia mesti berusaha sebisa-bianya untuk menghilangkan sikap permusuhan tersebut. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan dalam pengembangan agama Islam, maka perlu di perhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Diperlukan dakwah dan strategi yang jitu, sehingga perubahan yang ada akibat jalannya dakwah tidak terjadi secara frontal, tetapi bertahap sesuai fitra manusia. Laksana air yang berjalan dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, biarlah kebaikan itu mengalir dari sungai perangi da’i dari kanal-kanal relung hati setiap insan.

b. Dakwah Islam seharusnya dilakukan dengan mengejukkan. Mencari titik persamaan bukan perbedaan, meringankan bukan memberatkan, memudahkan bukan mempersulit, menggembirakan bukan menakut-nakuti, bertahap dan berangsur-angsur bukan secara frontal. Sebagaimana pula dakwah yang dijalankan oleh Rasulullah Sallallahu

A’laihi Wasallam. Ketika mengubah kehidupan jahiliyah menjadi kehidupan Islamiyah.

c. Dalam dakwah tidak mengenal kata keras kalau yang dimaksud keras adalah kasar dan frontal. Tetapi, apabila yang di maksud keras adalah tegas maka itu merupakan tahapan terakhir ketika jalan kedamaian buntu untuk dilalui. Ini pun harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu: bila dakwah secara reguler telah dijalankan secara maksimal, jihad harus dijalankan oleh orang-orang sholeh, jihad harus dijalankan dibawah pimpinan dan komando seorang Amirul Mukminin yang berdaulat dan hasil jihad adalah perolehan kekuasaaan yang Islami. Dan ini merupakan tugas bersama yang menjadi lapangan kerja dakwah dan negara Islam.39

Dalam berdakwah juga memerlukan interaksi dan komunisasi sosial dalam proses dakwah, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’la dalam surah Ali-Imran ayat 104.

َكِئََٰٓلْوُأَو ِِۚرَكنُهتلٱ ِوَع َنتوَهتنَيَو ِفوُرتعَهتلٱِب َنوُرُمتأَيَو ِ تيَۡلۡٱ ت لَِإ َنوُعتدَي ٞةَّنَ ُأ تمُكنِّن وُكَلَۡوت

ُمُُ

َنوُحِلتفُهتلٱ

Terjemahannya:

“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeruh kepada kebajikan , menyeruh berbuat yang makruf, dan

39

Sugiono,Metodologi Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta,2012), hal. 14-15

mencegah dari kemungkaran . dan mereka iyulah orang-orang yang beruntung.” 40

Ayat diatas merupakan landasan dari proses kegiatan dakwah. Didalam proses kegiatan dakwah terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kegiatan dakwah dapat berlangsung dengan baik. Namun dalam prosesnya faktor-faktor diperlukan adanya sistem interaksi dan komunikasi yang mantap dan terarah secara sistematis dan konsisten, sehingga terbentuklah pola hubungan yang bersifat interaksional (saling terpengaruh satu sama lain).41

Sebagai makhluk sosial manusia dalam kegiatan hidupnya tidak dapat terlepas dari faktor pengaruh sosial-kultural dimana ia hidup. Pengaruh demikian sangat besar artinya bagi perkembangan hidup sehari-hari, sehingga segala tingkah lakunyapun senantiasa berada dalam ruang lingkupnya.42

2. peranan dakwah dalam mempengaruhi Ruhiyah Santri

Di lihat dari segi psikologis kehidupan jiwa keagaamaan manusia primitif adalah sederhana, tidak banyak dipengaruhi kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Dengan demikian maka corak kejiwaannyapun tidak bersifat kompleks dan lebih mudah untuk dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan dari luar asal kebutuhan hidup rohaniyah dan jasmaniyahnya

40

Almumayyaz, Al-Qur’an Tajwid Warna Terjemahan Per kata,(Bekasi: Cipta

Bagus Sagara, 2014), hal.50. 41

Arifin, psikologi dakwah Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, cet. 5, 2000) hal. 66.

42

Arifin,psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, cet. 5, 2000), hal 35.

dapat terpuaskan. Sedang orang modern dalam masyarakat kota-kota besar oleh karena dorongan dari kebutuhan hidup yang selalu meningkat yang menuntut pemenuhan-pemenuhan, sedang pemenuhan tersebut harus diusahakan dengan melalui perjuangan yang tidak sederhana, maka jiwa orang-orang modern masa sekarang masih semakin kompleks dan diliputi banyak ketengangan-ketengangan, oleh karenanya semakin sulit untuk didekati oleh ajaran agama, sikap dan tingkah lakunyapun tidak sederhana.sebab tujuan hidupnya tersirat dalam semua lapangan hidup.

Semakin meningkat kebutuhan hidup suatu masyarakat atau seseorang, semakin kompleks pula kehidupan jiwanya. Dan semakin kompleks jiwa seseorang, semakin sulit dalam penerimaan ajaran agama yang dibawakan oleh para da’i.

Asumsi demikian berlaku bagi semua orang dewasa yang hidup dalam masyarakat modern yang disebut masyarakat beradab. Oleh karena itu dalam melakukan kegiatan dakwah dalam kedua macam tipe massyarakat tersebut dituntut pendekatan dan metode yang berbeda-beda karena tipe hidup kejiwaan mereka pun tidak sama.

Adapun sikap tingkah laku agamis dikalangan remaja juga telah diselidiki oleh beberapa ahli psikologi yang secara garis besarnya dapat disimpulkan bahwa sikap dan tingkah laku keagamaan mereka senantiasa mengalami perkembangan setingkat demi setingkat. Perkembangan

tersebut membutuhkan bimbngan dan pembinaan dalam proses dahwah yang berencana.

Dengan tanpa memahami perkembangan sikap dan tingkah laku agamis demikian, maka dakwah sulit untuk memperoleh keberhasilan sebagai yang diharapkan. Kita jarus memahami bahwa pekembanga sikap keagamaan anak sangat erat hubunganya dengan sikap percaya dengan Tuhan yang telah ditanamkan didalam lingkungan keluargaa dan lingkungan pergaulan yaitu sikap tersebut senantiasa mendapatkaan doronngan dari orang tuanya dan juga teman sepergaulannya sampai kepada pengalaman ajaran agama serta penghayatan terhadap nilai-nilai spritual agama dalam kegiatan hidupnya dikemudian hari.

Oleh karena itu tugas pengamatan yang pertama-tama harus dilakukan oleh da’i sebagai penyuluh ialah pengamatan langsung pada situasi dan sikap agama dari keluarga dan lingkungan hidup anak bimbing yang selanjutnya dijadikan bahan dasar pengertian didalam melaksanakan tugas sesuai dengan metode mana yang hendak dipakai dalam proses dakwah secara individual.43

43

Arifin, Psikologi D akwah Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet. 5, 2000), hal. 125.

BAB III

Dokumen terkait