• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Pola Pengelolaan dan Organisasi BTNGP Mandiri

Perubahan model bisnis BTNGP menjadi model bisnis BTNGP Mandiri, akan berimplikasi adanya kebutuhan penyesuaian pada tiga aspek, yaitu: 1) aspek pengelolaan; 2) aspek organisasi; dan 3) aspek peraturan. Hartono (2008a) menyatakan bahwa pengembangan taman nasional menuju ke arah taman nasional mandiri perlu ditelaah secara mendalam, terutama berkaitan dengan batasan dan ruang lingkup kemandirian, payung hukum, strategi dan langkah implementasinya, serta kriteria dan indikator penilaiannya.

5.3.1 Aspek Pengelolaan

Aspek pengelolaan berkaitan dengan bentuk dan prioritas kegiatan, pengelolaan keuangan, dan sistem informasi dan teknologi yang dapat mendukung terciptanya kemandirian taman nasional. Kegiatan yang dilakukan diarahkan untuk mendukung terjaganya kualitas proposisi nilai dan sumberdaya kunci yang menjadi komponen utama dalam model bisnis BTNGP mandiri. Bentuk kegiatan pemanfaatan TNGP mencakup pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, kegiatan teknis yang terkait dengan optimalisasi pemanfaatan potensi kondisi lingkungan perlu diperbanyak. Selain itu, kegiatan pembinaan daerah penyangga taman nasional menjadi sesuatu yang mutlak perlu dilakukan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya kesempatan masyarakat untuk memanfaatkan potensi sumberdaya di taman nasional.

Aspek pengelolaan penting lain yang mendukung kemandirian taman nasional BTNGP ialah pengelolaan keuangan. Saat ini, anggaran pengelolaan dalam bentuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perubahan model bisnis BTNGP menjadi model bisnis BTNGP mandiri menuntut berubahnya sistem pengelolaan anggaran, agar pendapatan dari hasil pembagian keuntungan pengusahaan kondisi lingkungan dengan sistem P3E dapat dikelola secara langsung untuk belanja operasional pengelolaan taman nasional. Pola Pengelolaan Keuangan (PPK) yang memungkinkan BTNGP dapat mengelola keuangan secara langsung ialah Badan Layanan Umum (BLU). Salah satu bentuk PPK-BLU yang

dapat diadopsi ialah BLU pembiayaan taman nasional yang dapat memberikan modal penyertaan dan menerima pendapatan dari usaha yang dilakukan bersama dengan pihak lain.

Sistem informasi dan teknologi dalam pengelolaan taman nasional merupakan kegiatan yang penting dimanfaatkan secara maksimal. Pengelola taman nasional harus menjadi pusat informasi mengenai potensi kondisi lingkungan serta tumbuhan dan satwa liar. Informasi tersebut digunakan sebagai dasar dalam penataan dan alokasi kawasan yang dapat dimanfaatakan potensinya melalui pemberiaan ijin pengusahaan. Oleh karena itu, kegiatan inventarisasi untuk menghimpun data dan informasi sumberdaya hutan harus dilakukan lebih intensif dan berkelanjutan, akurat, tepat waktu, dan tepat guna. Untuk mendukung kegiatan tersebut disarankan menggunakan teknologi terapan yang dapat mempermudah dalam pelaksanaan dan penyempurnaan output yang dihasilkan.

5.3.2 Aspek Organisasi

Aspek organisasi yang perlu disesuaikan dengan perubahan model bisnis BTNGP, antara lain: struktur, tugas, dan fungsinya. Kawasan TNGP telah ditetapkan sebagai KPHK berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.721/Menhut-II/2010 tanggal 26 Desember 2010, akan tetapi tugas dan fungsi organisasi KPHK TNGP belum ditetapkan sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 9 ayat (2) dan (3) PP. 6/2007 jo PP. 3/2008. Hal itu dapat menjadi dasar perlunya transformasi organisasi BTNGP menjadi menjadi bentuk Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (BKPHK). Ditjend PHKA (2011) menyebutkan salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk transformasi organisasi taman nasional yang telah ditetapkan sebagai KPHK dimana wilayahnya hanya terdiri dari satu unit taman nasional, maka balai taman nasional tersebut dapat ditetapkan sebagai lembaga pengelola KPHK taman nasional (Ditjend PHKA 2011).

Transformasi organisasi BTNGP menjadi bentuk BKPHK perlu juga dilakukan sebagai langkah penyesuaian terhadap perubahan model bisnis BTNGP yang mendukung pola pengelolaan dan pemanfaatan kondisi lingkungan melalui sistem P3E. BKPHK ialah suatu bentuk organisasi BTNGP mandiri yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan yang

81

memadukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU). Menurut Putro et al. (2012) organisasi pengelola taman nasional dengan pola pengelolaan keuangan BLU dapat memberikan jawaban dalam mengembangkan kemandirian pengelolaan taman nasional, sepanjang didukung dengan sumber daya manusia yang profesional.

Berdasarkan P. 03/Menhut-II/2007 dengan perubahan P. 52/Menhut-II/2009, BTNGP merupakan organisasi yang diklasifikasikan sebagai UPT taman nasional kelas II dan tipe B. Sementara itu, dalam rangka penyesuaian dengan penetapan TNGP sebagai KPHK dan perubahan model bisnis BTNGP menjadi BTNGP mandiri, maka diperlukan perubahan struktur organisasi menjadi UPT taman nasional tipe A. Perubahan struktur organisasi tersebut dengan cara menambah satu jabatan struktural setingkat eselon IV, yaitu Seksi Pemanfaatan dengan empat unit urusan pemanfaatan. Struktur organisasi tersebut disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23 Bagan organisasi BTNGP Mandiri.

Seksi pemanfaatan pada bagan organisasi BTNGP Mandiri memiliki tugas pokok yang fokus dalam menangani upaya peningkatan, pengawasan, dan pengendalian kegiatan pemanfaatan potensi TNGP. Selain itu, Seksi Pemanfaatan

juga bertugas dalam pengembangan kemitraan dalam pemanfaatan potensi kondisi lingkungan TNGP. Sedangkan Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) lebih fokus dalam melaksanakan kegiatan pada bidang perlindungan dan pengawetan di wilayah seksinya masing-masing. Pembagian tugas pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan pengelolaan taman nasional, sehingga kemandirian pengelolaan BTNGP dapat tercapai dalam waktu tidak terlalu lama.

Struktur organisasi KPHK menekankan pada penguatan peran di tingkat resort yang sejalan dengan paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi dimana aspek pemanfaatan lebih dikedepankan. Oleh karena itu, struktur organisasi juga harus menjadi wadah bagi tumbuh berkembangnya profesionalisme rimbawan ketika berinteraksi dengan potensi dan permasalahan- permasalahan hutan di tingkat tapak (Suwarno et al. 2011). Organisasi KPH merupakan organisasi pengelola hutan yang mampu menyelenggarakan pengelolaan yang dapat menghasilkan nilai ekonomi dari pemanfaatan hutan dalam keseimbangan dengan fungsi konservasi, perlindungan, dan sosial dari hutan; mampu mengembangkan investasi dan menggerakkan lapangan kerja; mempunyai kompetensi untuk melindungi kepentingan hutan termasuk kepentingan publik dari hutan; serta mampu menjawab jangkauan dampak pengelolaan hutan yang bersifat lokal, nasional, dan global (Penjelasan Pasal 8 PP. 6/2007 jo PP. 3/2008).

Organisasi KPH menyelenggarakan fungsi manajemen atau pengelolaan, sedangkan instansi pemerintah seperti kementerian kehutanan dan dinas kehutanan menyelenggarakan fungsi administrasi dan pengurusan hutan (PP. 6/2007 Jo PP. 3/2008). Tugas dan fungsi organisasi KPH antara lain membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan; menyelenggarakan pemanfaatan hutan di wilayah tertentu; pemanfaatan hutan dalam hal pemantauan dan pengendalian terhadap pemegang ijin; perlindungan hutan dan konservasi alam; melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya (PP. 6/2007 jo PP. 3/2008 Pasal 9).

83

Unit Pelaksana Teknis (UPT) taman nasional memiliki tugas untuk melakukan penyelenggaraan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara fungsinya antara lain: pengelolaan kawasan taman nasional; kerjasama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan; serta pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam (P. 03/Menhut-II/2007 Pasal 2).

Sejalan dengan perintah UU. 41/1999 dan diterbitkannya PP. 3/2008 jo PP. 6/2007 kelembagaan balai taman nasional sedang dikaji untuk didesain ulang menjadi KPHK yang diharapkan akan memperkuat posisi TN sebagai lembaga dengan kewenangan yang lebih luas, sehingga mampu mendorong percepatan TN menjadi pusat plasma nutfah sekaligus penghela pembangunan ekonomi kehutanan di masa mendatang (Kemenhut 2011a). Apabila ditinjau dari aspek kewenangan dalam hal pemanfaatan hutan, KPHK seyogianya dapat menyelenggarakan pengelolaan yang dapat menghasilkan nilai ekonomi secara langsung dan dapat dijadikan sebagai sumber dana pengelolaan (Suwarno et al. 2011). Perbedaan karakter organisasi BTNGP dan BTNGP mandiri disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25 Perbedaan karakter organisai BTNGP dan BTNGP Mandiri

BTNGP Unsur BTNGP Mandiri

DIPA-APBN Keuangan PPK-BLU dengan kontribusi

minimal 80% dari biaya operasional pengelolaan taman nasional

Lebih fokus pada perlindungan dan pengawetan hutan

Kegiatan Lebih fokus pada kegiatan pemanfaatan yang mendukung upaya pelestarian

Fungsi administrasi, penyelenggaraan, dan pengelolaan

Organisasi KPHK dengan fungsi pengelolaan

Informasi sumberdaya hutan belum dihimpun intensif

Informasi dan Teknologi

Menghimpun informasi

sumberdaya hutan lebih intensif untuk mendukung pemanfaatan

5.3.3 Aspek Peraturan

Peraturan merupakan aspek yang akan menjadi dasar hukum dan pra-syarat bagi aspek pengelolaan dan pengorganisasian BTNGP Mandiri. Menurut Hartono (2008a) pengelolaan taman nasional menuju taman nasional mandiri hanya dapat dilakukan apabila payung hukum ke arah tersebut sudah dibuat. Selain itu, diperlukan juga konsep yang jelas dalam bentuk arahan dan pedoman tentang bagaimana mengelola taman nasional mandiri. Putro et al. (2012) menyatakan bahwa salah satu persoalan pokok aspek legal dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah desain organisasi pengelola yang berciri sebagai organisasi birokrasi, sehingga melemahkan kapasitasnya sebagai pengelola kawasan konservasi yang berorientasi pada kinerja pengelolaan.

Pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif telah menjadi perhatian para pihak dan mendapatkan dukungan legal melalui Peraturan Menteri Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA. Menurut Putro et al. (2012) terbitnya PP. 36/2010 dan PP. 28/2010, serta prioritas nasional pembangunan KPHK, memberikan sedikit ruang bagi PKTN untuk menemukan koridor bagi peran publik, swasta, dan masyarakat madani yang menjamin keberlanjutan dan kemandirian pengelolaan taman nasional.

Badan usaha dapat berperan dalam kerja sama penyelenggaraan KPA dan KSA sebagaimana diatur dalam Pasal 43, dalam hal: (a) penguatan fungsi KSA dan KPA; dan (b) kepentingan pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan. Kemitraan publik-privat dalam pengelolaan kolaboratif taman nasional mendapatkan dukungan legal melalui pasal tersebut. Momentum perubahan dari BB/BTN dan BB/BKSDA menjadi KPHK sebagaimana dimandatkan dalam PP 6 Tahun 2007 jo PP 8 Tahun 2008 dapat dimanfaatkan untuk mendorong penerapan pengelolaan keuangan BLU dalam pengelolaan kawasan konservasi. Penerapan Pengelolaan Keuangan BLU/D (PPK- BLU/D) mengacu pada PP 23 Tahun 2005. BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan.

Berdasarkan hasil analisis isi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait pengembangan taman nasional mandiri, dapat disimpulkan sebagai berikut:

85

1) pengelolaan taman nasional dapat dioptimalkan melalui optimalisasi pemanfaatan hutan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya; 2) badan usaha dapat berperan dalam kerja sama dalam penyelenggaraan taman nasional untuk penguatan fungsi KSA dan KPA serta kepentingan pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan. Peran tersebut dapat dilakukan dalam bentuk kemitraan kolaboratif antara publik-privat dalam pengusahaan pemanfaatan kondisi lingkungan di taman nasional; 3) Organisasi pengelola taman nasional yang ada saat ini perlu dilakukan transformasi kepada kelembagaan KPHK yang mengedepankan aspek pemanfaatan. Pembentukan wilayah dan organisasi pengelola dalam bentuk KPHK merupakan amanah dari UU No. 41/1999, PP No.44/2004, dan PP No.6/2007; dan 4) momentum perubahan dari BB/BTN dan BB/BKSDA menjadi KPHK sebagaimana dimandatkan dalam PP. 6 Tahun 2007 jo PP. 8 Tahun 2008 dapat dimanfaatkan untuk mendorong penerapan pengelolaan keuangan BLU/D dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Sejalan dengan transformasi dari organisasi UPT taman nasional kepada KPHK, maka harus disertai dengan pembuatan peraturan tentang tugas dan fungsi organisasi KPHK sebagaimana diamanahkan PP. 6/2007 jo PP No.3 /2008 Pasal 9 yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi organisasi KPH tentang perlindungan hutan dan konservasi alam diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah yang lain. Sampai sejauh ini peraturan pemerintah tersebut belum dikeluarkan sehingga terjadi ketimpangan kebijakan apabila Menteri Kehutanan telah menetapkan suatu taman nasional menjadi KPHK, dimana UPT taman nasional tersebut bertindak sebagai organisasi KPHK, sementara PP tentang tupoksi organisasi KPHK sebagai tindak lanjut dari klausul di atas belum ada. Oleh karena itu, Menteri Kehutanan wajib mengeluarkan peraturan tentang kriteria dan penetapan organisasi KPHK (PP. 6/2007 Pasal 8 jo PP. 3/2008). Bentuk organisasi UPT taman nasional yang ada saat ini didasarkan pada P.03/Menhut-II/2007 jo P.52/Menhut-II/2009, kedua Permenhut ini belum menggunakan UU. 41/1999, PP. 44/2004, dan PP. 6/2007 sebagai acuan yang mengamanahkan dibentuknya organisasi pengelola dalam bentuk KPHK. Analisis peraturan terkait pengembangan taman nasional mandiri disajikan pada Tabel 26.

Tabel 26 Analisis isi peraturan perundang-undangan terkait pengembangan taman nasional mandiri

Isi Peraturan Perundangan Keterangan

Pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh Pemerintah. Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat (UU. 5/ 1990 Pasal 34)

Mendukung

Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat (UU.41/1999 Pasal 30)

Mendukung

Penyelenggaraan KSA dan KPA dapat dikerjasamakan dengan badan usaha, lembaga internasional, atau pihak lainnya (PP. 28/2011 Pasal 43)

Mendukung Izin pengusahaan pariwisata alam dapat diajukan oleh: a) perorangan; b) badan

usaha; atau c) Koperasi. Pemegang izin pengusahaan pariwisata alam, dapat melakukan kerja sama pengusahaan pariwisata alam antara lain meliputi: a) kerja sama teknis; b) kerja sama pemasaran; dan/atau c) kerja sama permodalan (PP. 36/2010 Pasal 7, 8, dan 26).

Mendukung

Pendapatan hasil pemanfaatan hutan pada kawasan konservasi disetorkan ke kas negara dalam bentuk PNBP (PP. 59/1998; Kep.Menkeu. 656/KMK.06/2001)

Membatasi Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi : a) menyelenggarakan pengelolaan

hutan b) menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikan; c) melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian; d) Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya; dan e) membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan (PP.6/2007 Pasal 9)

Mendukung

Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif. Persyaratan substantif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan: a) Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum; b) Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat (PP. 23/2005 Pasal 4).

Mendukung

Status BLU secara penuh diberikan apabila Satker telah memenuhi persyaratan substantif, persyaratan teknis, dan persyaratan administratif. Satker tersebut diberikan fleksibilitas dalam hal pengelolaan investasi, pengelolaan utang, dan pengadaan barang/jasa (119/PMK.05/2007 Pasal 14 dan 15)

Mendukung

Bentuk izin pengusahaan tersebut, yaitu: (a) Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) adalah izin usaha yang diberikan untuk penyediaan jasa wisata alam pada kegiatan pariwisata alam; dan (b) Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) adalah izin usaha yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana serta pelayanannya yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata alam (P.48/2010 jo P.4/Menhut-II/2012 Pasal 9).

Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA adalah pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan KSA dan KPA secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku (P.19/Menhut-II/2004 Pasal 1)

Dokumen terkait