• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Penggunaan lahan

LANDASAN TEORI A.Kajian teori

5. Pola Penggunaan lahan

Secara umum penggunaan tanah di Indonesia dapat disederhanakan, kiranya akan terdapat pola sepeti gambar 2.1 seandainya :

a. Ada daerah dengan sifat –sifat topografi “ tertentu”

b. Sejulah manusia dengan tingkatan pengetahuan teknologi tertentu c. Mereka mempunyai suatu tingkatan kehidupan tertentu

d. Sejulah manusia itu kemudian menduduki suatu daera tertentu dengan jumlah yang berkembang.

Maka akan Nampak suatu perkembangan pola penggunaan tanah di daerah tersebut seperti yang nampak pada skema dari A sampai dengan I. (Sandy, 1977:53)

 Skema A

Manusia belum lagi ada didaerah yang bersangkutan. Seluruh daerah masih tertutup hutan. Daerah yang letaknya dibawah ketinggian 10 meter masih tertutup hutan. Daerah – daerah yang letaknya dibawah ketinggian 10 meter masih tertutup oleh rawa dan hutan.

commit to user  Skema B

Manusia pertama datang, yang sudah mengenal cara bertani dan masih hidup sederhana. Manusia mulai tanah perladangan dengan berpindah – berpindah. Sampai jumlah mereka semakin banyakdan merasa perlu untuk tingga di tempat yang tetap dan tempat bertani yang tetap.  Skema C

Sebagaian luas ladang telah dijadikan persawahan dan tempat tinggal mereka sudah menetap dalam bentuk perkampungan –

perkampungan. Selain itu manusia juga sudah mengetahui cara untuk mentertibkan sungai sehingga tanaman mereka tidak bergantung pada air hujan yang jatuh hanya semusim saja.

 Skema D

Sebagian tepat berladang telah berubah wajah menjadi sejenis

“kebun campuran”. Maksudnya umbi – umbian seperti sereh, kunir atau

lainnya,yang merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari yang juga nampak lebih meningkat.

Daerah perladangan masih juga nampak, karena rupanya luas tanah masih memungkinkan. Nampak juga, bahwa semua perkembangan

perluasan daerah pertanian itu dilaksanakan “ keatas”, maksudnya kearah

pegunungan. Daerah hutan yang letaknya lebih rendah dan rawa yang lebih dibawah lagi, masih tetap utuh.

 Skema E

Perkembangan selanjutnya telah pula menampakkan segi – segi yang baru. Pada taraf ini dengan sendirinya telah pula dibayangkan, bahwa jumlah manusia telah pula bertambah besar. Perkampungan makin banyak dan makin bertambah besar pula. Dengan demikian, kebutuhan hidup makin terasa keras, sehingga nampak usaha untuk mengusahakan tanah yang lebih intensif. Sebagian dari pada tanah yang tadinya merupakan

kebun campuran,kini nampak telah diusahakan sebagai “tegalan”. Namun

begitu, baik kebun campuran maupun tanah perladangan masih juga terdapat, akan tetapi atas pengorbanan hutan di tempat yang lebih tinggi

commit to user  Skema F

Lambat laun cara bertani Ladang makin tidak bisa lagi dipertahankan. Ladang telah dirubah menjadi kebun – kebun campuran yang ditanami dengan macam – macam buah – buahan dan rempah –

rempah.  Skema G

Tekanan kebutuhan rupanya memaksa mereka untuk bergerak lebih tinggi lagi dalam membuat tanah – tanah perkebunan. Disamping itu, telah pula nampak usaha – usah kearah pengeringan rawa – rawa yang ada di tepi pantai.

 Skema H

Tekanan jumlah manusia nampaknya telah sagat terasa,kebun –

kebun campuran mereka yang tadinya masih banyak mengandung pohon –

pohon kayu yang besar, nampaknya sudah tidak bisa lagi memenuhi akan kayu. Baik untuk keperluan bahan bangunan, maupun untuk keperluan kayu – bakar. Lambat laun nampak bahwa hutan yang ada diatas, dilereng

–lereng gunung telah mulai jarang penumbhannya, karena ditebangi. Demikan juga nampak bahwa disekitar pantai, tanah yang tadinya tidak pernah dijamah, karena selalu dilanda banjir, terpaksa pula dihuni atau dipergunakan untuk prsawahan, meskipun air pengaran tidak mungkin lagi sampai ke tempat itu.

Sebagai akibat dari pada penggunaan lahan yang “marjinal” itu,

timbullah macam – macam problema kemudian.  Skema I

Hutan yang baik, jumlahnya sudah sangat terbatas. Hutan belukar atau semak – semak melingkari daerah hutan yang masih baik itu. Tidak lama lagi, mungkin seluruhnya merupakan hutan belukar. Sebagian akibat dari pada itu, makin sedikitnya penutupan tanaman atas tanah yang berlereng cukup terjal itu. Kerusakan – kerusakan terhadap tanah tidak bisa dihndarkan. Erosi dibagian lereng – lereng pegunungan telah pula nampak. Hal ini tentu tidak akan terbatas pada tanah itu saja, akan tetapi

commit to user

pasti lambat laun akn menghadapi pula tanah kebun yang ada dibawahnya. Rawa yang tadinya terletak dipinggir pantai, telah pula dikeringkan. Sehingga pada musim penghujan tiba tanah – tanah tersebut akan tergenangi dan setiap tahun akan terdengar teriakan banjir.

Untuk dapat mengeringkan rawa tadi, digalilah parit – parit pembuangan air disekitar rawa – rawa itu, sampai ke pantai. Semasa rawa itu masih berair, selama itu fungsi parit pembuangan itu memenuhi kegunaannya. Pada satu saat air telah tiada lagi. Lebih – lebih pada musim kemarau, air yang biasanya ada didalam rongga – rongga tanahpun menguap. Dengan demikian, tiada lagi yang menghalangi air laut untuk menyusup ke rongga - rongga tanah tersebut. Makin lama proses peyusupa itu makin jauh, dan kadar garam makin tinggi da sudah tidak dapat digunakan lagi ntuk bercocok tanam. Bersamaan meningkatnya kadar garam pada tanah, kadar garam pada airtanahpun juga meningkat, sehingga untuk minumpun air sumur yang terdapat ditempat – tempat itu sudah tidak bisa lagi.

Kerusakan tanah telah terjadi baik di pegunungan maupun ditepi

pantai. Ini semua akibat “over use” atau penggunaan tanah yang

commit to user Gam b ar 2 .1. P o la P erub ah a n P eng g u n aan L ah an S u mbe r : S a n d y, ( 1 9 9 7 : 5 3 )

commit to user 6. Gaya Grafitasi

Pola penyebaran penggunaan lahan perkotaan banyak dipengaruhi oleh faktor – faktor pembentuk kota yang memungkinkan. Salim (1992) dalam Koestor (1997:49) menyebutkan bahwa dalam mengungkap pola pembentukan kota berlanjut ada lima faktor yang berperan, yaitu penduduk, pertumbuhan industri, jasa, pendapatan dan simpul – simpul aksesbilitas terhadap aktivitas ekonomi kota.

Kota dapat ditinjau sebagai pola ruang terhadap aspek kesempatan aktivitas sosial dan ekonomi. Pola penyebaran kesempatan akses penduduk terhadap lokasi merupakan salah satu contoh yang menonjol, yang tidak banyak didiskusikan dalam perencanaan lingkungan dan studi perkotaan. Pengukuran kesempatan akses diturunkan dari teori dasar gaya tarik menarik. Teori gravitasi merupakan formula Newton dalam bidang Fisika. Pada dasarnya hukum ini berdasarkan atas asumsi bahwa tiap massa mempunyai gaya tarik terhadap tiap titik yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu bila ada dua massa yang berhadapan satu sama lain, kedua massa tersebut akan saling menarik. Menurut hukum Newton, gaya tarik menarik tersebut berbanding lurus dengan massanya dan berbanding terbalik dengan kaudrat jarak kedua massa itu ( Koestoer, 1997: 49).

Hukum Newton ini kemudian diadopsi oleh geografi untuk mengukur interaksi keruangan. Aplikasi konsep gravitasi dalam geografi diperkenalkan oleh W.J. Reilly (1929) dalam membahas cara pembentukan wilayah perdagangan. Model gravitasi dalam geografi dapat diestimasikan ukuran arus/aliran material maupun nonmaterial diantara dua region dengan mengalikan kedua massa dari kedua region yang akan diukur, yang kemudian dibagi oleh kuadrat jarak diantara dua region tersebut.

commit to user 7. Aksesbilitas

Aksesbilitas merupakan aspek spatial untuk berbagai aktivitas. Blunder dan black (1984) dalam Koestoer (1997 : 69) mendefinisikan :

“Accesbility at point 1 to a particular type of activity at area 2…is directly proportional to the zise of the activity at area 2…. and

inversely proportional to some function of distance separating point 1

and area 2”

Aksesibilitas merupakan tingkat kemudahan dari penduduk yang tersebar dalam mencapai fasilitas pelayanan (pusat kota). Analisis aksesibilitas dapat diketahui dengan menghitung jarak antar permukiman dengan pusat

pelayanan. (Muta’ali, 2000 : 21).

Aksesibilitas juga dapat diukur dengan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana transportasi/ komunikasi, dengan ukuran yang dapat kita modifikasi sendiri, dengan tetap mengingat esensi definisi. (Muta’ali, 2000 :

22).

Rondinelli (1985) dalam Koestoer (1997:69) mengatakan bahwa aksesbilitas dihitung berdasarkan jumlah waktu dan jarak yang dibutuhkan oleh seseorang dalam menempuh perjalanan antara tempat – tempat dimana fungsi –

fungsi fasilitas berada.

Berdasarkan uraian di atas terdapat parameter aksesibilitas sangat berkaitan dengan jarak, parameter-parameter tersebut antara lain adalah jarak terhadap pusat perdagangan, pusat pemerintahan serta jarak terhadap fasilitas pelayanan umum lainnya seperti jarak terhadap layanan kesehatan dan pendidikan. Dengan kata lain aksesibilitas sangat berkaitan dengan sistem transportasi atau prasarana transportasi yang ada yaitu jalan. Berdasarkan UU No 38 Tahun 2004 pengelompokkan jalan umum menurut fungsinya adalah sebagai berikut :

a. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.

commit to user

b. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan ratarata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.

c. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

d. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

Kualitas jalan akan berpengaruh terhadap distribusi hasil pertanian, distribusi barang dan jasa dari produsen ke konsumen maupun sebaliknya. Hal ini dapat diketahui apabila kualitas jalan yang tidak baik akan menambah waktu tempuh sehingga biaya transportasi akan bertambah. Dalam pemilihan lokasi permukiman, industri maupun penggunaan lahan terbangun lainnya, selain berdasarkan lokasi juga memperhatikan faktor aksesibilitasnya, yaitu faktor kemudahan jangkauan dan akses terhadap pusat kegiatan (pemerintahan, perdagangan, dan kesehatan). Masyarakat juga mempertimbangkan tersedia atau terjangkau tidaknya lokasi tersebut oleh transportasi umum. Parameter aksesibilitas yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2. Parameter Aksesibilitas Lahan No Parameter Aksesbilitas Lahan 1 Jarak terhadap jalan kolektor

2 Jarak terhadap jalur transportasi umum 3 Jarak terhadap tempat perdagangan

4 Jarak terhadap tempat pelayanan kesehatan 5 Jarak terhadap tempat pendidikan

6 Jarak terhadap pusat pemerintahan 7 Jarak terhadap tempat ibadah

commit to user 8. Kelengkapan Utilitas Umum

Utilitas umum merupakan bangunan – bangunan yang dibutuhkan dalam sistem pelayanan lingkungan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pembangun swasta (Koestoer, 1997:129). Utilitas yang dimaksud adalah penyediaan yang menyangkut jaringan air bersih, listrik, pembuangan sampah, telephone dan gas.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1987, Utilitas adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan. Utilitas ini meliputi :

a. Jaringan air bersih. b. Jaringan listrik. c. Jaringan gas. d. Jaringan telepon.

e. Terminal angkutan umum / bus shelter. f. Kebersihan / pembuangan sampah. g. Pemadam kebakaran.

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, utilitas umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan. Utilitas umum meiliputi antara lain jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan gas, jaringan transportasi, dan pemadam kebakaran. Utilitas umum membutuhkan pengelolaan secara berkelanjutanatur dan profesional oleh badan usaha agar dapat memberikan pelayanan memadai kepada masyarakat.

Berdasarkan Peraturan Mentri Perumahan Rakyat No. 1 Tahun 2009, utilitas umum terdiri dari :

a. jaringan air bersih komunal merupakan jaringan air bersih selain distribusi yang dimanfaatkan bersama seluruh penghuni;

b. penerangan jalan umum lingkungan yang dibangun secara swadaya yang operasionalnya dibiayai oleh kesediaan penghuni dalam rangka menjaga keamanan lingkungan;

c. sarana telekomunikasi antara lain meliputi jaringan telepon dan multi media lainnya; dan

commit to user

d. jalur transportasi publik dan penghuni meliputi jalan lingkungan yang digunakan oleh masyarakat umum dan penghuni sehari-hari dalam berkehidupan.

Sedangkan menurut Peraturan Mentri dalam Negeri No. 9 tahun 2009, Utilitas umum ini meliputi:

a. jaringan air bersih b. jaringan listrik c. jaringan telepon d. jaringan gas

e. jaringan transportasi f. pemadam kebakaran

g. sarana penerangan jasa umum.

Menurut Koestoer (1997:135), unsur – unsur primer utilitas adalah air dan listrik, sedangkan unsur – unsur yang lain dapat dikatakan sekunder, karena penyediaannya dapat menyusul. Namun kebutuhan seperti telephone bagi golongan masyarakat menengah keatas dapat merupakan kebutuhan utama pula. Sehubungan dengan itu penyediaan utilitas semacam ini dapat menjadi kunci penarik bagi para developer dan investor. Dengan meningkatnya developer dan investor yang masuk, maka akan meningkatkan alih fungsi lahan di daearah tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka parameter utilitas umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. jaringan air bersih b. jaringan listrik c. jaringan telepon d. jaringan gas

e. jaringan transportasi f. pemadam kebakaran

g. sarana penerangan jasa umum h. Kebersihan / pembuangan sampah.

commit to user 9. Sruktur Ruang Kota

Kota yang dipandang sebagai obyek studi, yang didalamnya terdapat masyarakat manusia yang sangat komplek, telah mengalami proses interelasi antar manusia dengan lingkungan. Produk hubungan tersebut ternyata mengakibatkan terciptanya pola keteraturan penggunaan lahan. Kota juga di pandang sebagai regional city, merupakan wilayah tertentu yang keberadaannya jauh lebih luas daripada local city dan secara morfologis meliputi seluruh daerah disekitar kota yang terkena pengaruh bentuk – bentuk penggunaan lahan kekotaan.

Robin Pryor (1971), dalam Yunus (2010 : 165) membagi struktur ruang kota dari urban – rural berdasarkan dominasi penggunaan lahan. Teknik yang digunakan Pryor adalah dengan menghitung prosentase penggunaan lahan kekotaan, prosentase penggunaan lahan kekotaan dan prosentase jarak dari lahan kekotaan utama (built – up land) ke lahan kedesaan utama. Ketiga komponen ini digabungkan sedemikian rupa didalam segitiga penggunaan lahan desa – kota (rural – urban land use triangle)

Gambar 2.2. Segita Penggunaan Lahan Desa – Kota Keterangan :

A : Percentage Distance Urban to Rural land. B : Percentage Distance Urban Land Use

C : Percentage Distance Rural Land Use D :Boundary of Built-up Urban Area E : Boundary of Salely Rural Land

commit to user

Berdasarkan gambar diatas Pryor mengemukakan 4 macam istilah untuk sub zone yang berbeda – beda didalam reginal city, yaitu : (1) urban area, (2) urban fringe, (3) rural fringe dan (4) rural area.

Urban area adalah daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi kekotaan. Urban fringe area adalah daerah (zona) yang sebagian besar penggunaan lahannya didominasi oleh bentuk – bentuk penggunaan

lahan kekotaan ( 60% penggunaan lahannya berupa “urban land use” dan <

40% penggunaan lahannya berupa “rural land use”). Rural fringe area adalah

subzone yang prosentase penggunaan lahan kekotaannya seimbang, dengan prosentase penggunaan lahan kedesaan (perbandingan antara keduannya berkisar 40 % sampai 60 % dengan penjabaran, > 40 % adalah penggunaan lahan kedesaan dan < 60 % adalah penggunaan lahan kekotaan). Rural area adalah suatu daeah yang 100% penggunaan lahannnya berupa bentuk bentuk –

bentuk penggunaan lahan yang berorientasi agraris.