• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

C. Pola Penggunaan Obat

Pengobatan Sendiri Di Indonesia” (Supardi, Jamal, Raharni, 2005).

Rancangan penelitian yang digunakan adalah analisis data sekunder hasil SUSENAS 200 berupa kuesioner KOR. Populasi penelitian adalah penduduk Indonesia yang mengeluh sakit dalam kurun waktu sebulan. Sampel adalah penduduk yang mengeluh sakit yang melakukan pengobatan sendiri menggunakan obat, obat tradisional atau cara tradisional. Dari responden tesebut diketahui penduduk yang mempunyai keluhan sakit dalam sebulan sebelum survey sebanyak 225.057 orang (25,3%). Kemudian dari penduduk yang mengeluh sakit sebanyak 129.836 orang (57,7%) melakukan pengobatan sendiri, yaitu menggunakan obat 107.380 orang (82,7%), menggunakan obat tradisional 41.129 orang (31,7%), dan menggunakan cara tradisional 12.772 orang (9,8%).

Perbedaan penelitian yang telah disebutkan di atas dengan penelitian yang sekarang terletak pada tujuan penelitian, subjek atau responden penelitian, lokasi penelitian, waktu pelaksanaan penelitian, teknik pengambilan responden penelitian, dan analisis data. Penelitian ini dilakukan di Desa Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, pada tahun 2015, dimana responden penelitian adalah masyarakat Desa Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Memberikan gambaran mengenai pola dan motivasi penggunaan obat untuk pengobatan mandiri pada masyarakat Desa Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

b. Manfaat Praktis

Dapat menjadi sumber informasi yang berguna mengenai pola dan motivasi penggunaan obat bagi masyarakat.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan pola penggunaan dan motivasi penggunaan obat untuk pengobatan mandiri di kalangan masyarakat Desa Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik masyarakat Desa Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

b. Mengetahui gambaran mengenai pola penggunaan obat untuk pengobatan mandiri di kalangan masyarakat Desa Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, yang meliputi frekuensi penggunaan, lokasi pembelian, jarak pembelian, harga obat, pengguna obat, nama-nama obat, frekuensi dalam mengkonsumsi, cara pemakaian, bentuk-bentuk obat, keluhan/sakit yang diobati, pengalaman penggunaan

obat, efek samping yang dirasakan, sumber informasi, dan frekuensi kesembuhan.

c. Mengetahui gambaran mengenai motivasi penggunaan obat untuk pengobatan mandiri di kalangan masyarakat Desa Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

9 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pengobatan Mandiri

Menurut World Health Organization (WHO) 1998, pengobatan mandiri diartikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat, termasuk pengobatan herbal dan tradisional, oleh individu untuk merawat diri sendiri dari penyakit atau gejala penyakit. Pengobatan mandiri biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang sering dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain.

Keuntungan pengobatan mandiri menurut World Self-Medication Industry (2010), adalah membantu mencegah dan mengobati gejala dan penyakit yang tidak membutuhkan dokter, mengurangi pelayanan-pelayanan medis untuk meringankan penyakit-penyakit ringan, khususnya ketika keuangan dan sumber daya manusia terbatas, dan untuk meningkatkan adanya pelayanan kesehatan untuk penduduk yang tinggal di daerah pedesaan atau terpencil. Proses pengobatan sendiri melibatkan 5 tahap tindakan, yaitu:

1. Mengenali gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit.

2. Menentukan kebutuhan obat sesuai dengan daya kerja dan golongan.

3. Memilih nama dagang berdasarkan komposisi dan zat berkhasiat, indikasi, kontra indikasi, dosis pemakaian serta efek samping obat.

4. Menggunakan obat.

Menurut Zeenot (2013), ada beberapa faktor penyebab pengobatan mandiri yang keberadaanya hingga saat ini mengalami peningkatan, antara lain sebagai berikut:

1. Faktor sosial ekonomi

Seiring dengan semakin meningkatnya pemberdayaan masyarakat, yang berdampak pada semakin meningkatnya tinggi tingkat pendidikan, sekaligus semakin mudahnya akses untuk memperoleh informasi, maka semakin tinggi pula tingkat ketertarikan masyarakat terhadap kesehatan. Sehingga, hal itu kemudian mengakibatkan terjadinya peningkatan dalam upaya untuk berpartisipasi langsung terhadap pengambilan keputusan kesehatan oleh masing-masing individu tersebut.

2. Gaya hidup

Kesadaran tentang adanya dampak beberapa gaya hidup yang bisa berpengaruh terhadap kesehatan, mengakibatkan banyak orang yang memiliki kepedulian lebih untuk senantiasa menjaga kesehatannya daripada harus mengobati ketika sedang mengalami sakit pada waktu-waktu mendatang. 3. Kemudahan memperoleh produk obat

Saat ini tidak sedikit dari pasien atau pengguna obat lebih memilih kenyamanan untuk membeli obat dimana saja bisa diperoleh dibandingkan dengan harus mengantri lama di Rumah Sakit maupun klinik.

4. Faktor kesehatan lingkungan

Dengan adanya praktik sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang benar sekaligus lingkungan perumahan yang sehat, berdampak pada semakin

meningkatnya kemampuan masyarakat untuk senantiasa menjaga dan mempertahankan kesehatannya sekaligus mencegah terkena penyakit.

5. Ketersediaan produk baru

Sekarang, produk baru yang sesuai dengan pengobatan sendiri atau pengobatan mandiri semakin mengalami peningkatan. Selain itu, terdapat pula beberapa produk lama yang keberadaanya juga sudah cukup populer dan semenjak lama sudah memiliki indeks keamanan yang baik, juga telah dimasukkan dalam kategori obat bebas. Secara tidak langsung, hal tersebut langsung membuat pilihan produk obat untuk pengobatan sendiri atau pengobatan mandiri semakin banyak tersedia.

Di dalam melakukan pengobatan mandiri dengan benar, masyarakat perlu mengetahui informasi yang jelas dan terpercaya mengenai obat-obat yang digunakan. Apabila pengobatan mandiri tidak dilakukan dengan benar, maka dapat berisiko munculnya keluhan lain karena penggunaan obat yang tidak tepat (InfoPOM, 2004). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 919/Menkes/Per/X/1993 dituliskan bahwa untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan, dirasa perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional.

Pengobatan mandiri membawa beberapa risiko, yaitu gejala tersamarkan dan tidak dikenali sebagai penyakit serius, selain penggunaan obat yang kurang tepat (Tan dan Rahardja, 2010). Menurut World Self-Medication Industry (2010), kekurangan pengobatan mandiri adalah kurangnya perawatan kesehatan yang

profesional dan kurangnya pengawasan untuk penyakit kronis, kurangnya kesempatan berinteraksi dengan tenaga kesehatan yang profesional, dan tidak tepat obat.

B. Obat

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Menurut Putra (2012), secara umum obat merupakan suatu bahan atau campuran bahan (obat) untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan, termasuk untuk memperoleh tubuh atau bagian tubuh manusia.

Adapun menurut bentuk sediaannya, obat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

1. Bentuk padat, seperti serbuk, tablet, pil, kapsul, dan supositoria.

2. Bentuk setengah padat, seperti salep, krim, pasta, cerata, gel, dan salep mata. 3. Bentuk cair/larutan, seperti potio, sirup, eliksir, obat tetes, gargarisma, ijeksi,

infirs intravena, lotio, dan lain-lain.

Untuk penggolongan obat di Indonesia berdasarkan data dari Depkes RI, 2008, penggolongan obat di Indonesia terdiri dari 5 golongan, yaitu obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras (termasuk di dalamnya obat wajib apotek), psikotropik dan narkotika. Obat bebas dan obat bebas terbatas merupakan kategori obat yang digunakan masyarakat dalam upaya pengobatan mandiri, karena obat bebas dan obat bebas terbatas merupakan golongan obat tanpa resep dokter (Anonim, 2006).

1. Obat Bebas (OB)

Obat bebas merupakan sejenis obat yang bisa secara bebas dijualbelikan, baik di apotek, toko obat maupun di warung-warung kecil yang biasa menjajakan berbagai jenis obat dan tidak termasuk dalam jenis narkotika dan psikotropika. Obat bebas bisa dibeli tanpa harus menggunakan resep dari dokter. Obat sejenis ini biasa ditandai dengan lingkaran hijau bergaris tepi hitam (Zeenot, 2013).

Gambar 1. Lambang Obat Bebas

(Media Sosialisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, 2014).

2. Obat Bebas Terbatas (OBT)

Obat bebas terbatas merupakan jenis obat keras yang dalam takaran tertentu masih bisa diperjualbelikan di apotek tanpa harus menggunakan resep dari dokter. Biasanya obat golongan ini ditandai dengan lingkaran biru bergaris tepi hitam (Zeenot, 2013).

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 6355/Dir. Djen/S.K/69 tanggal 28 Oktober 1969, harus dicantumkan tanda peringatan pada wadah dan kemasannya. Sesuai obatnya, pemberitahuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. P. no. 1. Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya di dalam. 2. P. no. 2. Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan. 3. P. no. 3. Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan. 4. P. no. 4. Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.

5. P. no. 5. Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.

6. P. no. 6. Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan (Sartono, 1993).

Gambar 2. Lambang Obat Bebas Terbatas

(Media Sosialisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, 2014).

3. Obat Keras (OK)

Obat keras merupakan jenis obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan menggunakan resep dokter. Biasanya, obat sejenis ini ditandai dengan lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf “K” di dalamnya (Zeenot, 2013). Menurut Media Sosialisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (2014), obat jenis ini tidak dapat dikonsumsi sembarangan karena bisa berbahaya, memperparah penyakit, meracuni tubuh, atau bahkan

menyebabkan kematian. Obat keras ini juga merupakan obat golongan wajib apotek dengan simbol yang sama. Salah satu contoh obat keras yang termasuk obat tanpa resep (OTR) untuk pengobatan mandiri adalah OWA (Obat Wajib Apotek).

Gambar 3. Lambang Obat Keras

(Media Sosialisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, 2014).

4. Obat Wajib Apotek (OWA)

Pada dasarnya, obat wajib apotek merupakan sejenis obat keras, yang keberadaannya bisa diperjualbelikan di apotek tanpa harus menggunakan resep dari dokter dan harus diserahkan oleh apoteker sendiri. Sampai saat ini, daftar obat wajib apotek sudah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Nomor: 347/MenKes/SK/VII/1990, tanggal 16 Juli 1990, yaitu OWA. No.1, OWA. No.2, dan OWA. No.3. Contoh OWA sendiri meliputi Antalgin 500 mg, Asam mefenamat 500 mg, dan Piroxicam 10 mg.

Pertimbangan kebijakan obat wajib apotik, yaitu:

a. Bahwa untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dirasa perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional;

b. Bahwa peningkatan pengobatan mandiri secara tepat, aman, dan rasional dapat dicapai melalui peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan untuk pengobatan mandiri sekaligus menjamin penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional;

c. Bahwa oleh karena itu, peran apoteker di apotik dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri; d. Bahwa untuk itu, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang obat

keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker di apotik (KepMenKes, 1990).

C. Pola Penggunaan Obat

Penggunaan obat yang rasional adalah suatu tindakan pengobatan terhadap suatu penyakit dan pemahaman aksi fisiologis yang benar dari suatu penyakit atau gejala-gejalanya. Obat yang digunakan harus tepat dosis, tepat penderita, tepat indikasi, tepat cara pemakaian, tepat jumlah dan frekuensi serta lama pemakaian, terpilih untuk penyakitnya, tepat kombinasi, dan tepat informasinya, serta waspada terhadap adanya efek samping obat. Penggunaan dikatakan tidak rasional jika boros, berlebihan, kurang, salah, majemuk atau polifarmasi (Ikawati, 1994).

Perilaku masyarakat dalam pengobatan mandiri disebut juga sebagai perilaku kesehatan. Perilaku kesehatan merupakan suatu respon seseorang terhadap stimulus atau suatu objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,

sistem pelayanan kesehatan, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2007). Pengobatan mandiri mempunyai kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Bahkan tidak bisa disangkal bahwa setiap individu pernah melalukan pengobatan mandiri, baik untuk diri sendiri, keluarga, ataupun teman.

Menurut Perwitasari (2009), obat tanpa resep dapat diperoleh mulai dari apotek hingga warung-warung kecil. Obat tanpa resep yang ada di apotek dan toko obat lebih beragam jumlahnya lebih terjamin daripada di warung, tetapi kebenaran informasi yang diberikan tergantung dari siapa yang memberikan informasi. Warung merupakan outlet obat yang paling mudah dicapai oleh masyarakat. Biasanya obat-obat yang dijual di warung adalah untuk keluhan sakit yang diketahui jelas oleh orang awam seperti demam, batuk, pegal linu, sakit kepala, dan lain-lain.

Jarak merupakan faktor utama dalam pertimbangan membeli obat. Seperti yang dituliskan Perwitasari (2009) dalam penelitiannya, bahwa faktor jarak yang relatif dekat menjadi pilihan utama dibandingkan dengan jarak yang harus ditempuh jauh.

Masyarakat lebih memilih pengobatan mandiri daripada dokter karena biaya lebih murah. Hal tersebut didukung dengan teori Djunarko dan Hendrawati (2011) yang menyatakan bahwa semakin tinggi biaya pelayanan kesehatan oleh rumah sakit, klinik, dokter, dan dokter gigi menyebabkan masyarakat memilih melakukan pengobatan mandiri untuk memperoleh biaya yang terjangkau dan lebih murah untuk mengobati penyakit yang dialaminya.

Menurut Sarwono (1997), dalam menganalisa kondisi tubuhnya biasanya orang melalui dua tingkat analisa, yaitu:

1. Batasan sakit menurut orang lain

Orang-orang di sekitar individu yang sakit mengenali gejala sakit pada diri individu tersebut dan mengatakan bahwa dia sakit dan perlu mendapat pengobatan. Penilaian orang lain ini sangat besar artinya pada anak-anak dan bagi orang dewasa yang menolak kenyataan bahwa dirinya sakit.

2. Batasan sakit menurut diri sendiri

Individu tersebut mengenali gejala penyakitnya dan menentukan apakah dirinya akan mencai pengobatan atau tidak. Analisa orang lain dapat sesuai atau bertentangan dengan analisa individu, namun biasanya analisa itu mendorong individu untuk mencari upaya pengobatan.

Penggunaan obat tanpa resep pada hakekatnya ditujukan untuk gejala-gejala penyakit ringan dan mudah diobati (Donatus, 2000). Perwitasari (2009), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa responden yang pengetahuan tentang obat-obatnya terbatas, rentan terjadi ketidakrasionalan dalam memilih dan menggunakan obat tanpa resep, terutama karena pengaruh persuasif dari iklan semata.

Bentuk-bentuk sediaan yang banyak dikenal oleh masyarakat meliputi: 1. Kapsul

Kapsul merupakan bentuk sediaan padat yang terbungkus dalam suatu cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Ada dua jenis kapsul, yaitu kapsul cangkang keras dan kapsul cangkang lunak

2. Larutan

Larutan merupakan sedian cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang terlarut

3. Pulvis dan Pulveres

Pulvis dan pulveres termasuk sediaan obat dalam bentuk serbuk. Serbuk adalah sediaan dalam bentuk setengah padat (Putra, 2012).

Ada juga sediaan berbentuk tablet. Tablet merupakan sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet sendiri dibagi menjadi beberapa macam, yaitu tablet kunyah, tablet lepas-lambat, dan tablet hisap (Lozenges) (Anonim, 2015).

Rute penggunaan obat dapat melalui beberapa cara:

1. Oral

Obat dimasukkan melalui mulut, kemudian melewati tenggorokan dan ke perut. Penggunaan obat melalui oral adalah yang paling menyenangkan, murah, dan paling aman

2. Topikal

Obat digunakan untuk daerah luar, yaitu kulit. Penggunaan obat pada kulit dimaksudkan untuk memperoleh efek pada atau di dalam kulit

3. Parenteral

Arti parenteral adalah suatu rure yang tidak melalui usus. Istilah umum yang lain adalah injeksi (Anief, 1995).

Dalam melakukan pengobatan mandiri, ada beberapa masyarakat yang sebelumnya pernah menggunakan obat tanpa resep tersebut dan ada juga masyarakat yang belum pernah menggunakannya sama sekali. Menurut Dharmmesta dan Handoko (2000), pengalaman adalah proses ketika konsumen (manusia) menyadari dan menginterpretasikan aspek lingkungannya. Hasil dari pengalaman individu akan membentuk suatu pandangan tertentu terhadap suatu produk sehingga akan menciptakan proses pengamatan dan perilaku pembelian yang berbeda-beda.

Dalam pelaksanaan pengobatan mandiri, obat-obat yang dikonsumi dapat menimbulkan efek samping. Namun ada juga beberapa individu yang tidak merasakan adanya efek samping obat. Anief (1995) menjelaskan bahwa efek samping obat merupakan efek yang tidak diinginkan untuk tujuan efek terapi dan tidak ikut pada kegunaan terapi.

Sumber informasi yang didapat masyarakat terkait dengan pengobatan mandiri juga menjadi hal yang perlu untuk diketahui. Pada kebanyakan penelitian dan pengalaman, sumber informasi yang paling berperan adalah TV (iklan) dan keluarga sendiri. Penyampaian iklan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan membahayakan kesehatan, karena informasi dari iklan obat tersebut kurang lengkap. Pakar komunikasi Amerika Serikat menyatakan bahwa televisi merupakan media yang telah berhasil mengubah kehidupan sehari-hari manusia atau masyarakat (Biagi, 2010). Begitu pula dengan keluarga, dimana keluarga menurut Dharmmesta dan Handoko (2000) menyatakan bahwa keluarga

memainkan peran terbesar dan terlama dalam pembentukan sikap dan perilaku manusia.

Dokumen terkait