• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pola Penggunaan Obat untuk Pengobatan Mandiri di Kalangan

Pola penggunaan obat dalam penelitian ini meliputi: frekuensi penggunaan obat dalam satu bulan terakhir, lokasi pembelian obat, jarak pembelian obat, harga obat, pengguna obat, nama-nama obat, frekuensi menggunakan obat, cara pemakaian obat, bentuk-bentuk obat, keluhan/sakit yang diobati responden dengan obat, pengalaman penggunaan obat sebelumnya untuk pengobatan mandiri, efek samping yang dirasakan setelah menggunakan obat, sumber informasi mengenai obat, dan frekuensi kesembuhan responden setelah diobati dengan obat.

1. Frekuensi penggunaan obat untuk pengobatan mandiri dalam satu bulan terakhir

Pengobatan mandiri mempunyai kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Bahkan tidak bisa disangkal bahwa setiap individu pernah melalukan pengobatan mandiri untuk diri sendiri, keluarga, ataupun teman. Penelitian ini ingin melihat dan mengetahui seberapa sering responden melalukan pengobatan mandiri dalam satu bulan terakhir. Rentang waktu yang diberikan hanya satu bulan karena untuk bertujuan memberikan batasan waktu agar mempermudah responden dalam mengingat obat apa yang mereka konsumsi untuk pengobatan mandiri dan untuk menghindari terjadinya bias.

Menurut Perwitasari (2009), batasan sakit pada diri seseorang dapat berupa batasan sakit menurut orang lain dan batasan sakit menurut diri sendiri. Batasan sakit menurut orang lain adalah pernyataan dari orang-orang di sekitar individu yang

mengatakan bahwa dia sakit dan perlu pengobatan. Batasan sakit menurut diri sendiri adalah bahwa individu itu mengenal gejala penyakitnya dan menentukan apakah akan mencari pengobatan atau tidak (Sarwono, 1997).

Gambar 6. Frekuensi penggunaan obat untuk pengobatan mandiri dalam satu bulan terakhir, n=30

Hasil penelitian menunjukkan dalam satu bulan terakhir, dari 30 responden diperoleh sebesar 67% (Gambar 6) responden menggunakan obat untuk pengobatan mandiri sebanyak satu kali. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cristiana (2014), dimana pengobatan mandiri cenderung meningkat dari waktu ke waktu. 67% 10% 10% 3% 10% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%

2. Lokasi pembelian obat untuk pengobatan mandiri

Berdasarkan lokasi pembelian obat untuk pengobatan mandiri, responden paling sering membeli di warung-warung dengan persentase sebesar 80% sedangkan di apotek dengan persentase 17%. Gambar 7 menunjukkan persentase lokasi pembelian obat untuk pengobatan mandiri.

Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa responden cenderung membeli obat di warung-warung terdekat yang dapat dijangkau dengan jarak rumah mereka. Hal ini juga memperlihatkan bahwa pengetahuan mereka untuk membeli obat hanya di warung terdekat saja, padahal apabila dalam melakukan pengobatan mandiri responden dapat memperoleh obat di apotek atau toko obat yang menyediakan lebih beragam obat untuk keluhan sakit mereka dan mendapatkan

3% 3% 17% 80% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90%

Bidan Sales Apotek Warung

kebenaran informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut tidak menjadi masalah apabila responden sudah paham betul mengenai kesehatan yang sedang dialami, dan terkait indikasi dan bentuk sediaan obat yang akan mereka beli dan konsumsi. Penelitian ini juga sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Perwitasari (2009) dan Pangastuti (2014) sebelumnya bahwa kebanyakan masyarakat membeli obat di warung-warung terdekat.

Namun selain membeli obat di warung, ada responden yang menyatakan bahwa mereka memperoleh obat tersebut dari bidan dan sales. Berikut merupakan hasil wawancara dengan responden yang memperoleh obat dari bidan dan sales:

“Saya, memperoleh obatnya dari orang yang menjual obat-obat dari rumah

ke rumah mbak. Obatnya saya pakai untuk daya tahan tubuh karena saat itu saya merasa sangat capek.”

“Saya udah pakai obatnya dari lama mbak, pertama kali saya periksa ke bidan dan dikasih obat itu dan obatnya cocok. Jadi jika maag saya kambuh saya tidak periksa lagi ke bidan tapi langsung menebus obatnya saja di

bidan.”

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden tersebut, dapat dilihat bahwa responden yang memperoleh obat dari sales termasuk melakukan pengobatan mandiri karena membeli obat tanpa resep dokter. Namun, perlu diperhatikan dan ditinjau lebih lanjut lagi apabila membeli obat di sales, karena fenomena sales seperti obat rentengan sedang marak dikalangan masyarakat, dan saat diwawancara lebih lanjut responden lupa nama obat yang dibeli dari sales tersebut.

Selanjutnya adalah hasil wawancara dengan responden yang menjawab memperoleh obat dari Bidan, menujukkan bahwa sebelumnya memang responden

memeriksakan terlebih dahulu ke bidan. Namun, karena responden tersebut sudah lama menggunakan obat tersebut dan merasa cocok, saat merasakan penyakitnya kambuh maka responden tersebut kembali membeli obat tersebut. Hal ini juga masih termasuk dalam pengobatan mandiri karena responden menggunakan obat tersebut apabila penyakitnya kambuh saja tanpa harus memeriksakan diri ke bidan lagi, jadi responden tahu tentang keadaannya sendiri.

3. Jarak pembelian obat untuk pengobatan mandiri

Berdasarkan wawancara peneliti dengan responden, didapatkan hasil bahwa jarak yang paling banyak ditempuh responden memperoleh obat untuk pengobatan mandiri adalah ±10 – 50 meter dengan presentase 39%. Ada juga responden yang tidak mengetahui seberapa jauh antara rumah mereka dengan tempat memperoleh obat tersebut, dimana persentasenya sebesar 7%. Hasil jarak pembelian obat untuk pengobatan mandiri dapat dilihat pada Tabel II.

Tabel II. Jarak pembelian obat untuk pengobatan mandiri, n=30

Jarak Persentase (%) ± 10 – 50 meter 39 ± 100 – 500 meter 17 ± 2 – 5 meter 16 ± 26 km 13 ± 26 km 13 ± 1,5 km 3 Tidak tahu 7

Jarak juga merupakan faktor dalam masyarakat melakukan pengobatan mandiri. Terlihat dari hasil penelitian bahwa responden memperhitungan jarak

pembelian obat yang akan mereka konsumsi. Apabila keluhan sakit yang mereka alami seperti batuk, sakit kepala, flu, demam dan pegal linu, maka mereka akan memperoleh obat di warung dengan jarak yang dekat dengan rumah mereka. Dimana selain menjual kebutuhan sehari-hari warung juga menjual obat-obatan yang dapat dibeli masyarakat tanpa resep dengan nama dagang yang sudah dikenal oleh masyarakat. Namun dapat dilihat juga bahwa adapun responden yang membeli obat dengan jarak yang tidak dekat yaitu di apotek yang berada di Kabupaten Wonosobo yang berjarak sekitar 26 km (13%). Responden yang memperoleh obat dengan jarak yang lumayan jauh tersebut, yaitu di apotek yang berada di luar Kecamatan Kejajar saat itu sedang pergi dan memutuskan membeli obat sekalian untuk mengatasi keluhan sakit yang dialami responden saat itu.

4. Harga obat yang digunakan untuk pengobatan mandiri

Alasan terbanyak yang dipilih responden saat melakukan pengobatan mandiri adalah karena biaya lebih murah, dimana sebanyak 44% responden dapat membeli obat dengan biaya murah. Salah satu faktor yang mempengaruhi praktik swamedikasi adalah kondisi ekonomi (Djunarko, 2011). Menurut Pangastuti (2014), mahalnya pelayanan kesehatan (dokter, klinik, rumah sakit), merupakan penyebab masyarakat berusaha mencari pengobatan yang lebih murah untuk penyakit ringan, yaitu pengobatan mandiri.

Tabel III. Frekuensi harga obat untuk pengobatan mandiri Harga obat (Rp) Persentase (%) 500 – 1.500 40 2.000 – 7.000 44 15.000 – 75.000 13 Tidak dapat menyebutkan 3

Dari hasil (Tabel III) tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat lebih memilih membeli obat yang relatif murah dan harga terjangkau dibandingkan mendapatkan pelayanan kesehatan yang relatif mahal. Hal ini juga terkait dengan karakteristik responden dimana sebagian besar responden berpenghasilan rendah. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Angkoso (2006), bahwa harga obat yang digunakan dalam swamedikasi relatif lebih murah dibandingkan jika harus pergi ke dokter dan pelayanan kesehatan yang lainnya.

Selain itu, ada juga responden yang memperoleh obat dengan harga yang lumayan mahal, yaitu berkisar antara Rp 15.000,00-75.000,00 dengan presentase 13%. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, obat yang diperoleh responden ini merupakan obat penurun kolesterol yang dibeli dari sales dengan harga yang mahal.

5. Pengguna obat untuk pengobatan mandiri

Menurut penelitian Pangastuti (2014), pengobatan mandiri dapat dilakukan oleh seseorang untuk teman maupun keluarga yang mengalami keluhan sakit. Dalam penelitian ini demikian juga, terdapat 70% responden melakukan pengobatan mandiri

untuk dirinya sendiri, dan sebanyak 30% responden melakukan pengobatan mandiri untuk keluarganya.

Dari hasil dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mengkonsumsi obat dalam pengobatan mandiri untuk dirinya sendiri. Responden yang menggunakan obat untuk dirinya sendiri ini dipastikan sudah mengetahui tentang keadaan kesehatannya sehingga mampu menggunakan obat tersebut sendiri.

6. Nama-nama obat untuk pengobatan mandiri

Produk obat yang beredar di pasaran sangat beragam dan banyak dijumpai di media cetak maupun media elektronik. Tersedianya banyak produk obat tersebut menjadi bagian penting dalam pengobatan mandiri. Tabel IV menunjukkan bahwa 23% responden menggunakan obat Bodrex® dan Paramex® dalam pengobatan mandiri untuk mengatasi keluhan sakit mereka. Sebanyak 7% responden menggunakan obat Bodrexin®, Neuromacyl® dan Ultraflu®. Sisanya sebanyak 3% responden menggunakan obat Cataflam® dan lain sebagainya yang dapat dilihat pada Tabel IV. Diri sendiri; 70% Keluarga; 30%

Tabel IV. Nama-nama obat untuk pengobatan mandiri

Nama obat Persentase

(%) Bodrex® 23 Paramex® 23 Bodrexin® 7 Neuromacyl® 7 Ultraflu® 7 Natureindo® 3 Inzana® 3 Oskadon® 3 Hufamag plus® 3 Ponstan® 3 Promag® 3 Woods® 3 Vitamin 3 Cataflam®* 3

Tidak dapat menyebutkan 3

Keterangan : *Cataflam® merupakan obat keras (OK)

Menurut Donatus (2000), penggunaan obat tanpa resep pada hakekatnya ditujukan untuk gejala-gejala penyakit ringan dan mudah diobati. Pengetahuan yang cukup seharusnya dimiliki oleh penderita sakit sehingga dapat memilih obat dengan tepat (Perwitasari, 2009).

Berdasarkan nama-nama obat yang peneliti dapat dari hasil wawancara dengan responden, paling banyak obat-obat tersebut adalah golongan obat bebas. Obat bebas adalah obat yang dapat dibeli secara bebas dan tidak membahayakan bagi si pemakai. Terdapat tanda lingkaran hijau dengann garis tepi hitam (Wibowo, 2010). Obat yang banyak dibeli responden dan tergolong obat bebas adalah Bodrex® dengan persentase 23%. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Primantana

(2001), obat sakit kepala yang paling sering diperhatikan adalah Bodrex® dengan persentase 23,09%.

Namun ada juga responden yang menggunakan Cataflam®, dimana kandungan obat ini adalah natrium diklofenak. Cataflam® merupakan golongan obat keras dimana untuk memperolehnya harus dengan resep dokter dan harus diserahkan oleh apoteker sendiri. Pada kenyataannya, berdasarkan wawancara dengan responden obat Cataflam® dapat diperoleh dan digunakan oleh responden untuk keluhan sakit responden tersebut tanpa menyerahkan resep dari dokter. Berdasarkan pernyataan dari responden tersebut, perlu dilakukan peningkatan pengetahuan responden agar responden tau obat mana yang bisa digunakan untuk pengobatan mandiri

7. Frekuensi dalam mengkonsumsi obat tersebut untuk pengobatan mandiri Dari Tabel V diketahui sebanyak 67% menyatakan kadang kala dalam mengkonsumsi obat untuk pengobatan mandiri. Kadang kala disini dapat diartikan seperti saat capek saja, hanya sekali, jika tidak ada keluhan sakit lagi, dan saat penyakit kambuh/sakit.

Tabel V. Frekuensi konsumsi obat untuk pengobatan mandiri Frekuensi konsumsi Persentase

(%) Kadang kala 67

1x sebulan 20

2x sebulan 7

3x sebulan 7

Berdasarkan keputusan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1997), cara penggunaan obat yang benar adalah minum sesuai dengan petunjuk/aturan yang

terdapat dalam kemasan obat bebas dan bebas terbatas tersebut dan tidak untuk digunaka secara terus menerus dalam jangka waktu lama. Hal ini sudah sesuai dengan jawaban responden, yaitu jika responden mengkonsumsi tidak secara terus menerus atau dalam jangka waktu yang panjang, namun apabila responden merasakan keluhan sakit saja.

8. Cara pemakaian obat tersebut untuk pengobatan mandiri

Untuk cara pemakaian obat, responden sebanyak 20 responden (67%) (Tabel VI) melakukan dengan cara langsung diminum dengan menggunakan air putih. Kemudian ada juga responden mengkonsumsi obat dengan cara dioles (sediaan topikal), diminum setelah dan sebelum makan, pagi dan sore hari, malam hari dan digerus (untuk anak dari responden).

Tabel VI. Cara pemakaian obat untuk pengobatan mandiri

Cara pemakaian Persentase

(%) Langsung diminum 67 Malam hari 13 Digerus 3 Dioles 3 Sebelum makan 3 Setelah makan 3

Pagi dan sore hari 3 Tidak dapat menyebutkan 3

Langsung diminum disini sama dengan pemberian secara per oral. Pemberian obat secara per oral merupakan pemberian obat melalui mulut. Pemberian obat melalui per oral bertujuan terutama untuk mendapatkan efek sistemik, yaitu obat beredar melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh (Anief, 1995).

Menurut Depkes RI (2008), semua obat harus digunakan sesuai dengan aturan pakai yang terdapat dalam kemasan obat tersebut. Penggunaan obat harus sesuai dengan aturan pakai yang tertera dalam kemasan, sehingga penggunaan obat menjadi rasional. Dari hasil penelitian, sebagian besar responden menjawab

langsung diminum”. Hal ini menunjukkan bahwa responden sudah memahami

dengan aturan pakai obat yang digunakan. Terdapat juga responden yang menjawab

dioles” dan “sebelum makan”, yang menunjukkan responden mengetahui bahwa

obat tersebut termasuk obat untuk pemakaian luar dan obat golongan antasida bila dikonsumsi sebelum makan. Responden sudah dapat memilih obat dengan baik dan benar untuk mengatasi keluhannya dengan melihat terlebih dahulu indikasi dan aturan pakai dalam kemasan.

9. Bentuk-bentuk obat yang digunakan responden saat melakukan pengobatan mandiri

Menurut Depkes RI (2008), terdapat beberapa bentuk sediaan obat, yaitu kapsul, tablet, pulvis, puyer, sirup dan larutan obat luar (tetes hidung dan mata). Dalam hasil penelitian, didapatkan bahwa sebagian responden tahu dan paham macam-macam bentuk sediaan obat yang dikonsumsi untuk pengobatan mandiri. Yang paling banyak digunakan oleh responden dalam pengobatan mandiri adalah obat dengan bentuk tablet, yaitu sebesar 87% (Gambar 9).

Tablet adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa (Anonim, 2015). Tablet sendiri dibagi menjadi beberapa macam, yaitu tablet kunyah, tablet lepas-lambat, dan tablet hisap (Lozenges).

10. Keluhan/sakit yang diobati responden dengan obat untuk pengobatan mandiri

Pengobatan mandiri dilakukan untuk mengatasi keluhan sakit yang dirasakan dan dialami oleh penderita. Terdapat banyak keluhan dan penyakit yang dapat diatasi dengan pengobatan mandiri, seperti batuk, demam, flu, pusing, pegal, maag, dan lain sebagainya. Tabel VII menunjukkan keluhan responden ketika melakukan pengobatan mandiri. Dari tabel di bawah dapat dilihat bahwa keluhan terbanyak yang dialami oleh patisipan adalah sakit kepala, yaitu dengan persentase sebesar 54%.

Kapsul 7% Salep 3% Sirup 3% Tablet 87%

Tabel VII. Keluhan/sakit yang dialami responden Keluhan/sakit Persentase (%) Sakit kepala 54 Pegal 10 Demam 7 Maag 7 Sakit gigi 7 Pilek 3 Batuk berdahak 3

Batuk dan pilek 7

Daya tahan tubuh 3

Kolesterol 3

Sakit kepala merupakan suatu rasa nyeri yang dirasakan sebagai tekanan, sukar dilokalisasi dan kebanyakan menyebar ke wajah dan daerah dis ekitar wajah lainnya. Sakit kepala termasuk dalam nyeri somatik, rasa nyeri ini terasa di bagian dalam sehingga disebut sebagai nyeri somatik dalam (nyeri yang datang mendadak). Rasa sakit kepala yang dirasakan bisa bervariasi; beberapa mengalami sakit kepala yang amat sakit sehingga membutuhkan pengobatan, sementara yang lainnya tidak (Arif, 2008).

Secara umum, berdasarkan hasil nama-nama obat yang diperoleh atau dibeli oleh responden jika dikaitkan dengan keluhan/sakit yang dialami responden, menunjukkan bahwa responden mampu dalam melakukan pengobatan mandiri dengan tepat dan baik dalam mengenali penyakit yang mereka alami dengan memilih obat secara mandiri. Namun demikian, untuk evaluasi ketepatan pemilihan obat untuk pengobatan mandiri perlu dikaji lebih mendalam lagi.

11. Pengalaman penggunaan obat sebelumnya untuk pengobatan mandiri Pada hasil Gambar 10, diketahui bahwa responden dengan persentase 77% pernah menggunakan atau mengkonsumsi obat untuk pengobatan mandiri. Sebaliknya, sebanyak 23% responden belum pernah mengkonsumsi atau menggunakan obat tersebut untuk pengobatan mandiri.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Liliani (2004), dijelaskan bahwa pengguna yang merasa puas atas hasil utama obat yang digunakan, maka ia akan memutuskan untuk menggunakan kembali obat yang sama untuk keluhan yang sama juga.

12. Efek samping yang dirasakan setelah menggunakan obat untuk pengobatan mandiri

Menurut Aziz, dkk (2008), efek samping obat merupakan setiap respon yang merugikan dan tidak diharapkan muncul pada dosis terapi. Respon yang merugikan tersebut dapat berupa nyeri lambung, mual, muntah, mengantuk, ruam kulit, gatal-gatal dan sebagainya. Anief (1995) juga menjelaskan bahwa efek samping obat

Pernah 77% Tidak

pernah 23%

merupakan efek yang tidak diinginkan untuk tujuan efek terapi dan tidak ikut pada kegunaan terapi.

Tabel VIII. Efek samping obat yang dirasakan

Efek samping Persentase

(%)

Tidak ada 77

Mengantuk 10

Tidak dapat menyebutkan 10

Berdebar 3

Hasil dari penelitian (Tabel VIII) didapatkan bahwa sebagian besar responden menyatakan tidak mengalami efek samping dalam penggunaan obat dengan persentase sebesar 77%. Namun ada juga responden yang menjawab mengalami efek samping mengantuk dan berdebar setelah mengkonsumsi obat tersebut untuk pengobatan mandiri. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa sebagian responden telah tahu efek samping yang muncul pada saat menggunakan obat dan pengetahuan responden mengenai efek samping obat adalah baik.

13. Sumber informasi mengenai obat untuk pengobatan mandiri

Tabel IX memperlihatkan bahwa sebanyak 54% menyatakan memperoleh informasi obat tersebut dari TV (iklan). Kemudian sebanyak 23% responden menyatakan bahwa mereka memperoleh informasi obat tersebut dari keluarga. Sedangkan sisanya sebanyak 13% responden memperoleh informasi obat dari kemasan obat dan sebanyak 10% responden memperoleh informasi dari tetangga.

Tabel IX. Persentase sumber informasi obat Sumber informasi Persentase

(%)

TV (iklan) 54

Turun-temurun/keluarga 23

Kemasan 13

Tetangga 10

Iklan adalah salah satu bentuk promosi yang paling dikenal dan paling banyak dibahas orang. Sedangkan iklan obat adalah pesan yang disampaikan melalui komunikasi media massa oleh perusahaan farmasi tertentu untuk meningkatkan pemasaran (Morissan, 2010). Fungsi iklan meliputi fungsi informasi (menginformasikan informasi produk, ciri-ciri, dan memberitahu konsumen tentang produk-produk baru); fungsi persuasif (membujuk konsumen untuk membeli merek-merek tertentu); dan fungsi pengingat (terus-menerus mengingatkan para konsumen tentang sebuah produk, sehingga konsumen akan membeli produk yang diiklankan) (Lee dan Johnson, 2004).

Tujuan iklan supaya membantu konsumen dalam membuat keputusan yang rasional pada penggunaan obat yang ditetapkan sebagai obat tanpa resep. Jadi apabila responden mengetahui informasi obat melalui TV (iklan) adalah bersifat wajar, asalkan TV (iklan) tersebut memberikan informasi yang akurat adanya.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pangastuti (2014), diketahui bahwa responden melakukan pengobatan mandiri dan memperoleh obat yang digunakan dari berbagai macam tempat. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2010) bahwa informasi terbanyak yang mempengaruhi sikap seseorang

dalam hal kesehatan berasal dari iklan pada media cetak maupun elektronik, sehingga pemberian informasi kesehatan lewat media tersebut sebaiknya sesuai dan benar agar masyarakat tidak salah menerima informasi.

14. Frekuensi kesembuhan responden setelah diobati dengan obat untuk pengobatan mandiri

Hasil pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa frekuensi terbanyak responden setelah diobat obat untuk pengobatan mandiri adalah sembuh dengan persentase 83%. Sisanya adalah dengan menjawab belum sembuh dengan presentase 17%.

Berdasarkan hasil persentase terbanyak responden yang berhasil sembuh dalam menggunakan obat untuk pengobatan mandiri, membuktikan bahwa responden mampu dalam menggunakan obat secara baik dan benar, sesuai dengan aturan pakai yang mereka lakukan, sehingga obat tetap efektif dan aman untuk digunakan.

Sembuh 83% Belum

sembuh 17%

Gambar 11. Presentase kesembuhan responden setelah menggunakan obat untuk pengobatan mandiri

C. Motivasi Penggunaan Obat Untuk Pengobatan Mandiri di kalangan

Dokumen terkait