• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pola Pengobatan

Gambaran umum distribusi penggunaan obat pada pasien asma rawat inap

berdasarkan kelas terapi menurut MIMS Indonesia disajikan pada Tabel II.

Penggunaan obat terbanyak adalah kelas terapi obat yang bekerja pada sistem

pernapasan, vitamin dan mineral, dan kortikosteroid.

Tabel II. Profil penggunan obat pada pasien anak dengan asma di Instalasi

Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013

Kelas Terapi Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase

(%)

Sistem pernapasan 25 100

Kortikosteroid 25 100

Vitamin dan mineral 25 100

Antiinfeksi 20 80

Sistem saraf pusat 5 20

Alergi dan sistem imun 2 8

Sistem gastrointestinal dan hepatobilier 3 12

a. Sistem pernapasan

Obat saluran pernapasan merupakan terapi utama dalam

pengobatan pasien asma anak dengan indikasi untuk meredakan gejala

maupun gangguan pada saluran pernapasan (Handayani, 2010). Obat yang

bekerja pada sistem pernapasan yang digunakan pada penelitian ini yaitu

golongan preparat antiasma dan PPOK serta obat batuk dan pilek. Preparat

antiasma dan PPOK yang digunakan dalam penelitian ini adalah

salbutamol, teofilin, aminofilin, kombinasi salbutamol dan ipratropium

bromida serta kombinasi salbutamol dan guaifenesin. Salbutamol

merupakan beta-2 adrenergik kerja cepat yang berfungsi sebagai

bronkodilator yang dapat memperbaiki jalan napas sehingga gejala sesak

napas dapat berkurang (Kelly and Sorkness, 2008; Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2003). Mekanisme kerja beta-2 agonis yaitu relaksasi otot

polos saluran napas, meningkatkan mucociliary clearance, menurunkan

permeabilitas pembuluh darah, dan memodulasi pelepasan mediator dari

sel mast (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Aminofilin dan teofilin juga dapat berfungsi sebagai bronkodilator.

Aminofilin intravena dapat digunakan pada tata laksana serangan asma

berat dengan memperhatikan dosis awal dan dosis rumatan (Ikatan Dokter

Anak Indonesia, 2009). Konsentrasi teofilin dalam darah harus

diperhitungkan untuk menghindari toksisitas akibat penggunaan teofilin

dan garamnya (aminofilin) karena kedua obat ini memiliki indeks terapi

yang sempit. Toksisitas akibat penggunaan obat ini dapat dihindari dengan

pemberian dosis yang tepat dan pemantauan kadar teofilin darah.

Antikolinergik merupakan bronkodilator yang efektif walaupun

tidak seefektif beta-2 adrenergik kerja cepat. Mekanisme dari obat

antikolinergik adalah menghambat secara kompetitif pada reseptor

muskarinik M3 sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi dan

pengurangan volume sputum (Balsamo, Lanata, and Egan, 2010; Kelly

and Sorkness, 2008). Bronkodilator juga dapat meningkatkan cough

clearance melalui peningkatan aliran udara ekspirasi (Balsamo, Lanata,

and Egan, 2010). Antikolinergik yang digunakan dalam penelitian ini

adalah ipratoprium bromida.

Guaifenesin umumnya digunakan sebagai ekspektoran.

Guaifenesin menunjukkan manfaat dalam terapi hipersekresi mukus

melalui penurunan sekresi mucin dan peningkatan mucociliary clearance

(Seagrave, Albrecht, Hill, Rogers, and Salomon, 2012). Guaifenesin dapat

menurunkan kekentalan mukus (Balsamo, Lanata, and Egan, 2010).

Obat yang termasuk golongan obat batuk dan pilek menurut MIMS

Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini adalah ambroksol HCl,

bromheksin HCl, serta erdostein. Ambroksol dapat menstimulasi produksi

surfaktan yang menyebabkan terjadinya penurunan adesifitas mukus

(Balsamo, Lanata, and Egan, 2010). Erdostein memiliki potensi dapat

modulasi produksi mukus dan meningkatkan mucociliiary clearance

(Balsamo, Lanata, and Egan, 2010). Gambaran penggunaan obat yang

bekerja pada sistem pernapasan dapat dilihat pada Tabel III.

Tabel III. Penggunaan obat yang bekerja pada sistem pernapasan pada

pasien asma anak di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013

Golongan Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase

(%)

Preparat

antiasma dan

PPOK

Salbutamol 22 88

Teofilin 6 24

Aminofilin 8 32

Kombinasi Salbutamol

dan Ipratropium Bromida 5 20

Kombinasi Salbutamol

dan Guaifenesin 7 28

Obat batuk

dan pilek

Ambroksol HCl 7 28

Erdostein 3 12

Bromheksin HCl 2 8

b. Kortikosteroid

Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi peradangan pada jalan

napas. Obat golongan kortikosteroid umumnya diberikan saat pasien tidak

menunjukkan perkembangan setelah pemberian beta-2 adrenergik kerja

cepat saat serangan (Global Initiative for Asthma, 2014). Kortikosteroid

merupakan agen antiinflamasi yang paling efektif dalam pengobatan asma.

Kerja kortikosteroid dalam pengobatan asma antara lain dengan

meningkatkan jumlah reseptor beta-2 adrenergik dan meningkatkan

sensitivitas reseptor terhadap stimulasi beta-2 adrenergik, mengurangi

produksi dan hipersekresi mukus, mengurangi hipersensitivitas bronkus,

dan mengurangi edema jalan napas (Kelly and Sorkness, 2008).

Kortikosteroid sistemik diindikasikan untuk semua pasien asma akut parah

yang tidak mengalami perbaikan setelah pemberian inhalasi beta-2

adrenergik, penggunaannya dapat dikombinasikan dengan bronkodilator

lain (Kelly and Sorkness, 2008; Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Kortikosteroid yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini

adalah deksametason. Deksametason merupakan analog glukokortikoid

yang memiliki efek antiinflamasi dan imunosupresif yang poten dengan

efek samping penggunaan jangka panjang berupa obesitas, moon face, dan

osteroporosis (Nugroho, 2011). Gambaran penggunaan obat

kortikosteroid pada penelitian ini disajikan dalam tabel IV.

Tabel IV. Penggunaan kortikosteroid pada pasien asma anak di Instalasi

Rawat Inap RS RK Charitas Palembang periode Juli-Desember 2013

Golongan Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase

(%)

Kortikosteroid Deksametason 24 96

Metilprednisolon 3 12

Flutikason 3 12

Budenosid 2 8

Prednison 1 4

Triamsinolon 1 4

c. Vitamin dan mineral

Penggunaan vitamin dan mineral pada penelitian ini adalah 100%

dari total kasus yang diteliti. Elektrolit dan mineral yang diberikan secara

intravena banyak digunakan pada pasien asma anak karena bertujuan

untuk mencegah dehidrasi pada pasien, sementara multivitamin berfungsi

untuk pemeliharaan kondisi tubuh pasien. Distribusi penggunaan obat

vitamin dan mineral dapat dilihat pada Tabel V.

Tabel V. Penggunaan vitamin dan mineral pada pasien anak dengan asma di

Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013

Golongan Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase

(%)

Elektrolit dan mineral KAEN 1B

®

20 80

RL

®

5 20

KAEN 3A

®

1 4

Multivitamin Proza

®

1 4

d. Antiinfeksi

Obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi digunakan

sebanyak 76% pada total kasus yang diteliti. Obat yang digunakan untuk

pengobatan infeksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah antibiotik.

Penggunaan antibiotik umumnya ditujukan untuk mencegah maupun

mengatasi infeksi oleh mikroorganisme. Penggunaan antibiotik pada

pasien asma anak tidak disarankan jika anak tidak mengalami demam

(Global Initiative for Asthma, 2014; World Health Organization, 2013).

Distribusi penggunaan obat antiinfeksi pada penelitian ini dapat dilihat

pada Tabel VI.

Tabel VI. Penggunaan obat antiinfeksi pada pasien anak dengan asma di

Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013

Golongan Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase

(%)

Penisilin Amoxicillin 1 4

Sefalosporin Ceftriaxon 6 24

Ceftazidim 2 8

Aminoglikosida Gentamisin 8 32

Amikasin 1 4

Makrolida Azitromisin 1 4

Spiramisin 3 12

Kloramfenikol Tiamfenikol 1 4

e. Sistem saraf pusat

Penggunaan obat sistem saraf pusat adalah sebanyak 20% pada

kasus dalam penelitian ini. Obat yang digunakan adalah parasetamol yang

merupakan analgesik dan antipiretik. Parasetamol merupakan analgesik

dan antipiretik yang memiliki potensi yang mirip dengan NSAID, namun

tidak memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi (Jozwiak-Bebenista and

Nowak, 2014).

f. Alergi dan sistem imun

Antihistamin bekerja dengan menghambat aksi histamin pada

reseptor histamin (Nugroho, 2011). Obat golongan antihistamin yang

digunakan dalam penelitian ini adalah cetirizin HCl yang umum

digunakan pada pengobatan asma alergi (Nugroho, 2011) dan triprolidin

yang keduanya merupakan H-1 blocker. Triprolidin merupakan

antihistamin H-1 generasi pertama, sementara cetirizin merupakan

generasi kedua. Antihistamin generasi pertama sebaiknya tidak digunakan

pada pasien asma karena memiliki aksi antimuskarinik yang dapat

menyebabkan efek mulut kering dan penggunaan obat ini dalam jangka

panjang juga dapat meningkatkan gejala penyempitan bronkus (Scoor,

2012; Balsamo, Lanata, and Egan, 2010; Camelo-Nunes, 2006). Distribusi

penggunaan obat alergi dan sistem imun dapat dilihat pada tabel VII.

Tabel VII. Penggunaan obat alergi dan sistem imun pada pasien anak

dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013

Golongan Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase

(%)

Antihistamin dan antialergi Triprolidin 1 4

g. Sistem gastrointestinal dan hepatobilier

Obat sistem gastrointestinal dan hepatobilier digunakan sebanyak

12% pada kasus dalam penelitian ini. Obat yang digunakan yaitu ranitidin

yang termasuk dalam kelompok obat antasida, obat antirefluks dan

ulserasi. Ranitidin merupakan H-2 blocker yang bekerja dengan

menghambat aksi histamin pada reseptor histamin H-2 pada sel parietal

mukosa lambung (Nugroho, 2011). Umumnya obat golongan ini

digunakan untuk pengobatan pada tukak peptik dan refluks

gastrointestinal. L-Bio

®

merupakan digestan yang diindikasikan untuk

memelihara kesehatan fungsi saluran pencernaan. Distribusi penggunaan

obat sistem gastrointestinal dan hepatobilier dapat dilihat pada tabel VIII.

Tabel VIII. Penggunaan obat sistem gastrointestinal dan hepatobilier pada

pasien anak dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas

Palembang periode Juli-Desember 2013

Golongan Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase

(%)

Antasida, obat antirefluks,

dan ulserasi Ranitidin 2 8

Digestan L-Bio

®

1 4

2. Rute Pemberian Obat

Gambaran umum penggunaan obat berdasarkan rute pemberian dapat

dilihat pada tabel IX. Seluruh kasus dalam penelitian ini menggunakan obat

dengan rute pemberian enteral maupun parenteral. Obat yang diberikan secara

enteral yang diberikan dalam penelitian ini umumnya adalah obat yang bersifat

sebagai controller maupun obat untuk mengurangi gejala asma yang diberikan

secara per oral. Obat parenteral digunakan karena kondisi pasien yang umumnya

dirawat inap karena serangan asma sehingga pemberian oral sulit dilakukan. Obat

parenteral diberikan karena dapat memberikan efek yang cepat. Rute parenteral

intravena diberikan untuk merehidrasi pasien sehingga kebutuhan cairan pasien

tercukupi. Obat diberikan secara inhalasi dengan tujuan agar lebih efektif untuk

dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas, efek sistemik minimal atau

dihindarkan, dan ada beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi karena

tidak terabsorpsi pada pemberian oral (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Obat dengan rute inhalasi pada penelitian ini diberikan melalui nebulisasi.

Tabel IX. Penggunaan obat berdasarkan rute pemberian pada pasien anak

dengan asma di Instalasi Rawat Inap RS RK Charitas Palembang

periode Juli-Desember 2013

Rute Pemberian Jumlah Kasus

(n=25)

Persentase

(%)

Enteral 25 100

Parenteral 25 100

Dokumen terkait