• Tidak ada hasil yang ditemukan

Poligami Dalam Hukum Positif di Indonesia a. Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

BAB V bab ini adalah penutup yang merupakan kesimpulan dari keseluruhan bab terdahulu yang mana didalamnya juga dikemukakan saran-saran sebagai jalan

POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM

C. Poligami Dalam Hukum Positif di Indonesia a. Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

Dalam Undang-unang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan aturan tentang kebolehan beristri lebih dari seorang terdapat dalam pasal 3, 4 dan 5 yang berisikan alasan serta syarat beristri lebih dari sorang (poligami). Pasal 3 ayat 2 menerangkan bahwa pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Ayat ini jelas sekali bahwa undang-undang perkawinan telah

melibatkan Peradilan Agama sebagai instansi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami untuk seseorang.42

Kemudian dalam pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa apabila seorang suami yang akan melakukan poligami, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan alasan-alasan pengadilan mengizinkan seorang suami berpoligami, apabila: (1) istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri (2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapa disembuhkan dan (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Alasan di atas bernuansa fisik kecuali alasan yang ketiga. Alasan yang ketiga terkesan suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal artinnya istri tidak mendaptkan keturunan, maka alternatifnya adalah poligami. Dalam pasal 5 undang-undang No. 1 tahun 1974 memberikan sejumlah persyaratan bagi seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang.43 Di antaranya adalah: (a) adanya perjanjian dari istri atau istri-istri (b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka dan (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Namun, apabila istri atau istrinya tidak mungkin dimintai dalam perjanjianya, tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun dan sebab-sebab lain yang

42

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 156

43

Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indoneia, (Jakarta: PT. sinar Grafika, 2006), Cet Ke-1 h. 47

perlu mendapat penilaian dari pengadilan, maka suami tidak memerlukan persetujuan dari istri atau istri-istrinya.44

Pada pasal 5 dan 2 di atas adalah persyaratan tentang poligami. Perlu kita ketahui bahwa pasal 4 adalah persyaratan alternatif, artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah persyaratan kumulatif di mana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

KHI lahir dari keinginan untuk menyatukan hukum Islam yang tersebar di

seluruh nusantara. Tujuan utamanya adalah selain mempositifkan syari’at Islam

dalam bidang keperdataan (ahwalusyakhsiyah), juga ingin mengkodifikasi dan menyamakan kitab fiqih yang akan dipakai di pengadilan. Karena pada saat itu terjadi keberagaman putusan pengadilan terhadap perkara yang serupa. Dengan tujuan tersebut maka timbullah keinginan penyeragaman dan kebonafitan hukum untuk umat Islam.45

Kompilasi hukum Islam hadir pada tata hukum Nasional Indonesia melalui instrumen hukum dalam bentuk isntruksi presiden (inpres) No. 1 tahun 1991 tanggal 2 juli 1991. Terpilihnya instrumen inpres ini menimbulkan dua pandangan. Pandangan pertama melihat inpres tersebut mempunyai kemampuan mandiri untuk berlaku efektif di samping isntrumen lainnya, dan karenanya memiliki daya atur tersendiri dalam sistem hukum Nasional, sedangkan

44

Pasal 5 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan 45

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Peradilan Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999) Cet kKe-2 h. 1-2

pandangan lain melihat bahwa inpres yang dimaksud dalam tata hukum Indonesia tidak terlihat dalam tata urutan peraturan perundangan nasional.

Materi pokok poligami dalam kompilasi hukum Islam terdapat dalam buku I tentang perkawinan bab IX pasal 55-59 yang menerangkan cakupan untuk beristri lebih dari seorang.

Secara umum ketentuan-ketentuan yang diatur KHI dalam bidang hukum perkawinan pada intinya merupaka penegasan ulang tentang hal-hal yang telah diatur dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975.46 Mengenai perihal poligami hal itu bisa dilihat pasal 57, 58 dan 59. Namun esensi yang dibangun KHI mengenai poligami terdapat pada pasal 55 lebih mengedepankan nilai keadilan suami bagi para istri. Berikut poligami dalam KHI tersebut:

Pasal 55 menerangkan bahwa beristri lebih dari seorang pada satu waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri dengan syarat utama dari seorang suami harus mempu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Dan apabila syarat utama yang disebut tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Pasal 56 bahwa suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan Agama dengan melakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintah No 9 tahun 1975. Berikut juga menerangkan perkawinan yang dilakukan dengan istri kdua, ketiga,

46

Yahya Harahap, Informasi Materil Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Dalam Brbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: 1991), h. 81

atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dalam pasal 57 pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beritri lebih dari satu orang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. Istri tidak dapat melairkan keturunan

Pasal 58 menerangkan bahwa untuk memperoleh izin pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:

a. Adanya persetujuan istri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

Kemudian mengatur mengenai persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang pengadilan agama dan perstujuan dimaksud tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau itri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuanya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila istri tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.

Pasal 59 menerangkan dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah

satu alas an yang diatur, pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

Permasalahan keadilan berpoligami dalam KHI merupakan concern KHI sendiri melihat permasalahn hukum Islam dalam pandangan fiqh yang ada. Manusia memang terbatas mengenai keadilan, akan tetapi tetap bias dinilai dengan pola berfikir positif dan realistis dalam kasus poligami.

Hakim yang dipercaya sebagai orang yang dianggap penengah dalam masalah apapun tak luput dari kekurangan mengenai keadilan. Keadilan seorang hanya bisa dinilai oleh orang lain selain dirinya, maka timbul siapa orang dipercaya dalam hal ini. Jawaban yang kongkrit adalah hakim itu sendirilah yang disepakati publik menilai keadilan seseorang karena mempunyai keahlian yang telah dipelajari secara khusus mengenai masalah-masalah apapun.

Penjabaran tersebut dimaksudkan untuk membawa ketentuan-ketentuan undang-undang No 1 tahun 1974 ke dalam ruang lingkup yang bernafas dan

bernilai syari’at Islam. Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam undang-undang no 1 tahun 1974 dijabarkan dan dirumuskan menjadi ketentuan yang bersifat khusus dan sebagai aturan hukum Islam yang diberlakukan khusus bagi mereka yang beragama Islam.

c. Menurut PP Nomor 9 Tahun 1975

Dalam penjelasan PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 menerangkan dalam pasal 40, 41, 42, 43 dan pasal 44. Dalam pasal

40 berbicara mengenai “apabila sorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan scara tertulis kepada

pengadilan” dan pada pasal 41 pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin lagi b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.

c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak.

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak ,mereka dengan persyaratan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pasal 42 menerangkan dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41, pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan dan pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lamiranya.

Pasal 43 menerangkan apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang dan pasal 44 menerangkan bahwa pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43.

Undang-undang poligami di atas membolehkan untuk beristri lebih dari satu orang dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi terbatas hanya sampai empat orang. Adapun syarat yang harus dipenuhi di antaranya suami mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya dalam hal nafkah dan keadilan. Apabila suami tidak bisa memanuhi, maka suami dilarang beristri lebih dari satu. Di samping itu suami harus terlebih dahulu mendapat izin dari pengadilan agama. Jika tanpa izin pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dokumen terkait