• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urgensi izin isteri secara lisan dan tertulis dalam poligami (analisis putusan pengandilan agama rangkasbitung perkara No. 0390/pdt.G/2013/PA.Rks )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Urgensi izin isteri secara lisan dan tertulis dalam poligami (analisis putusan pengandilan agama rangkasbitung perkara No. 0390/pdt.G/2013/PA.Rks )"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

(Analisis Putusan Pengandilan Agama Rangkasbitung Perkara No. 0390/pdt.G/2013/PA.Rks )

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh : JAJANG 1110044100060

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (satu) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan (plagiarisme) dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 07 April 2015

(3)

ii

URGENSI IZIN ISTRI SECARA LISAN DAN TERTULIS DALAM PLIGAMI

(Analisis Putusan Pengandilan Agama Rangkasbitung Perkara No. 0390/pdt.G/2013/PA.Rks)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: Jajang

NIM. 1110044100060

Di Bawah Bimbingan:

Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag NIP. 197308022003121001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(4)

(Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung Perkara No. 0390/pdt.G/2013/PA.Rks)” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan

Hukum Konsentrasi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 07 April 2015.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah.

Jakarta 07 April 2015 Mengesahkan

Dekan,

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A NIP. 196912161996031001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua Prodi : Kamarusdiana, S.Ag., MH. (...) NIP. 197202241998031001

2. Sekretaris Prodi : Sri Hidayati, S.Ag., M.Ag (...) NIP. 197102151997032002

3. Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag (...) NIP. 197308022003121001

4. Penguji I : (...)

NIP.

5. Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag., MH. (...) NIP. 197202241998031001

(5)

Poligami (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung Perkara Nomor: 0390/Pdt.G/2013/PA.Rks.). Skripsi, Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2014 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Urgensi Izin Istri Secara Lisan dan Tertuis Dalam Poligami (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung Perkara Nomor: 0390/Pdt.G/2013/PA.Rks.) Pada penelitian ini penulis memilih objek penelitian di Pengadilan Agam Rangkasbitung. Penulis ingin mengetahui hal-hal yang menyebabkan dikabulkannya izin poligami. Selain itu juga, penulis ingin mengidentifikasi pertimbangan hukum hakim yang memberikan izin poligami kepada suami padahal istri mendapat keturunan dan tidak terdapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menekankan kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus yang berkenaan dengan urgensi izin istri secara lisan dan tertuis dalam poligami, yang terjadi di Pengadilan Agama Rangkasbitung. Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, studi pustaka, dan studi dokumenter.

Hasil penelitian menunjukan bahwa urgensi izin istri secara lisan dan tertuis dalam poligami, dikarenakan hakim berpegang pada hadits nabi : “nahnu nahkumu bi adz-dzohahir” artinya kami menghukumi dengan yang nampak jelas. Maka keadilan seseorang dalam berpoligami secara formal harus dibuktikan minimal dengan surat pernyataan kesanggupan berbuat adil, sehingga apabila di kemudian ia berlaku tidak adil bisa dituntut oleh isteri-isterinya.

Kata Kunci : Urgensi Izin Istri Secara Lisan dan Tertuis Dalam Poligami (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung Perkara Nomor: 0390/Pdt.G/2013/PA.Rks.)

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan kepada penulis, sehingga berkat pertolongan-Nya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan umat-Nya. Skripsi ini penulis persembahkan kepada ayahanda H. Rusdi dan ibunda Hj. Wasti, beserta kakak-kakak penulis dan adik-adik, yang tidak pernah berhenti memberikan motifasi, bimbingan, kasih sayang dan doa. Semoga Allah

subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat dan kasih sayang kepada mereka.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak akan dapat menyelesaikanya jika tanpa dukungan, bantuan dan saran dari berbagai pihak, terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan dengan tulus kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan., M.Ag., Dosen Pembimbing skripsi yang tidak pernah lelah membimbing, mengarahkan dan memotifasi dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Dr. H. Yayan Sopyan, SH., M.Ag., sebagai dosen Pembimbing Akademik yang mengarahkan penulis sejak awal hingga akhir perkuliahan.

5. Ibu Yanti dan ibu Aini, terima kasih atas bantuan administrasi pengurusan skripsi dari awal hingga akhir.

6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa menyelesaikan skripsi ini dan staf-staf karyawan yang membantu proses administrasi penulis

7. Seluruh staf Pengadilan Agama Rangkasbitung, dan Panitera Muda Hukum Mas’ud, S.Ag., serta Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung bapak Agus Faisal Yusuf., yang merelakan waktunya untuk penulis. 8. Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan kemudahan dalam mengumpulkan refrensi kepada penulis.

9. Seluruh keluarga besar IMALA yang selalu memberikan support, Do’a dan motifasi khususnya kang Ajuba, kang Dudek, Jaenuri dan lainya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

(8)

11.Teman-teman keluarga Besar Peradilan Agama anggkatan 2010 kelas A dan B yang menjadi temen seperjuangan. Khusus kepada Ibrahim dan Anas Maulana Ibrohim, serta temen-temen yang tidak bisa disebutin semua namanya. Terima kasih atas pinjaman buku dan motifasinya. Kenangan indah yang tidak akan terlupakan bersama kalian semuanya.

Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukunganya, hanya do’a semoga Allah SWT. memberikan ganjaran yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Ciputat, 07 April 2015

(9)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... iii

ABSTRAK... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7

D. Review Study Terdahulu... 8

E. Kerangka Teori... 9

F. Metodologi Penelitian... 11

G. Sistematika Penulisan... 13

BAB II TEORI HUKUM DALAM POLIGAMI ……….. 15

A. Teori Keadilan………. 15

B. Teori Kepastian Hukum……….. 19

C. Teori Maslahat……… 22

BAB II I POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM... 25

A. Pengertian Poligami dan Sejarah Poligami... 25

B. Dasar Hukum dan Syarat Poligami... 31

C. Poligami dalam Hukum Positif di Indinesia... 35

a. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.. 35

(10)

RANGKASBITUNG TERHADAP IZIN POLIGAMI... 44

A. Potret Pengadilan Agama Rangkasbitung……… 44

B. Deskripsi Putusan Pengadian Agama Rangkasbitung.. 46

C. Landasan Yuridis Putusan Pengadilan Agama dan Penetapan Pengadilan Agama ... 49

D. Analisis Penulis………. 53

BAB V PENUTUP... 57

A. Kesimpulan... 57

B. Saran-Saran... 57

DAFTAR PUSTAKA... 59

(11)

Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Karena perkawinan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam maupun di luar percaturan hukum. Dari perkawinan akan timbul hubungan hukum antara suami-istri dan kemudian dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak mereka. Dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan dan timbulkan hubungan hukum antara mereka dengan harta kekayaan tersebut.1

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami isteri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi.Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga yang sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha dari Allah SWT.2

Untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia sebagaimana tersebut di atas, maka diperlukan perkawinan. Kuat lemahnya perkawinan yang di

1

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing. 2011). Cet ke-3 h.1

2

(12)

tegakkan dan dibina oleh suami isteri tersebut sangat tergantung pada kehendak dan niat suami isteri yang melaksanakan perkawinan tersebut. Perkawinan yang dibangun dengan cinta yang semu (tidak lahir batin), maka perkawinan yang demikian itu biasanya tidak berumur lama dan berakhir dengan suatu perceraian. Apabila perkawinan sudah berakhir dengan suatu perceraian maka yang menanggung akibatnya adalah seluruh keluarga yang biasanya sangat memperihatinkan.3 Suatu keluarga hanya terbentuk melalui perkawinan yang sah. Tanpa perkawinan yang sah tiada keluarga. Karena itu Perkawinanlah yang membedakan manusia dengan hewan di dalam memenuhi seksual instingnya.

Tujuan perkawinan menurut Islam untuk membentuk suatu keluarga bahagia dan harmonis, suatu keuarga yang hidup tenang, rukun dan damai serta diliputi oleh rasa kasih sayang untuk mendapatkan keturunan yang sah yang akan melanjutkan cita-cita orang tuanya.4

Di dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 3 ayat 1 tentang perkawinan dikatakan. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.5

Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah

(13)

tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda (madunya istri tua) menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi kalau ayah telah meninggal dunia. Agar hal yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang kawin lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan mengantisifasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertetu. Undang. Undang perkawinan memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu betul-betul membawa manfaat kepadamereka yang melaksanakanya.6

Pandangan Islam terhadap poligami lebih banyak resiko atau madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut hukum Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis.

Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang perasaan timbulnya perasaan cemburu, iri hati atau dengki,

6

(14)

dan suka mengeluh dalam kadar tinggi sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya isteri ternyata mandul sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah adanya keturunan yang shaleh yang selalu berdo’a untuknya. Maka dalam keadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.7

Dalam pasal 4 Undang-Undang perkawinan dinyatakan: seorang suami yang akan beristeri lebih dari satu orang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai seorang istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Dengan adanya bunyi pasal-pasal yang membolehkan untuk berpoligami kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh undang-undang perkawinan adalah asas monogami. Poligami hanya ditempatkan pada setatus hukum darurat saja atau dalam keadaan yang luar biasa. Di samping itu lembaga poligami tidak semata-mata sebagai kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari hakim pengadilan.

7

(15)

Adapun syarat lain yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang ingin melakukan poligami ialah seperti yang termuat dalam pasal 5 ayat 1 undang-undang perkawinan iyalah :

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-itri dan anak-anak mereka

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka

Untuk membedakan persyaratan yang ada dalam pasal 4 dan 5 adalah, pada pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah persyaratan kumulatif di mana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.8

Dari penjelasan-penjelasan di atas berbeda dengan alasan pemohon terhadap izin poligami dan bertentangan dengan undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 4 tentang perkawinan, yang dijadikan alasan pemohon poligami adalah antara lain:

a. Pemohon merasa sanggup untuk berbuat adil terhadap istri-irtri pemohon

b. Pemohon ingin membantu sebuah keluarga/calon istri ke-2 dari segi ekonomi

8

(16)

c. Pemohon sangat kawatir apabila antara pemohon dengan calon istri pemohon tidak segera melangsungkan pernikahan akan terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.

Dalam hal ini tidak ada penjelasan atau alasan yang signifikan dengan pasal 4 ayat 2 undang-undang tetang perkawinan yang seharusnya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Memang isteri telah memberikan pernyataan rela terhadap suami yang akan melangsungkan pernikahan dengan istri ke dua dan pernyataan suami menjamin akan berlaku adil dengan melihat penghasilan lebih yang dimilikinya. Kemudian pembuktian yang hanya berdasarkan kesaksian kepada para saksi saja, padahal pernikahan tersebut (pemohon dan termohon) telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan dikaruniai dua orang anak, maka seyogyanya hakim tidak terlalu mudah memberikan izin poligami kepada pemohon karena mungkin saja mendapat tekanan dari suami supaya istri tersebut memberikan izin kepadanya.

Untuk menjawab hal tersebut penulis menuangkan dalam sebuah skripsi

yang berjudul “ URGENSI IZIN ISTRI SECARA LISAN DAN TERTULIS DALAM POLIGAMI” (Analisis putusan Pengandilan Agama Rangkasbitung Perkara No. 0390/pdt.G/2013/PA.Rks )

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan masalah

(17)

masalah dalam skripsi ini pada persoalan poligami dalam penetapan perkara No. 0390/pdt.G/2013/PA.Rks.

2. Perumusan Masalah

Menurut peraturan perundang-undangan, apabila seorang suami ingin melakukan poligami harus mendapatkan putusan izin dari pengadilan. Namun pada kenyataanya banyak yang melakukan poligami tidak mendapat izin dari Pengandilan Agama. Untuk memudahkan penulis dalam penulisan skripsi ini, maka rincian rumusan masalah skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Apa urgensi izin isteri dalam poligami ?

2. Mengapa Hakim Agama Rangkasbitung mengabulkan permohonan poligami ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana tata cara proses penetapan izin poligami yang dilakukan oleh majlis hakim di Pengadilan Agama Rangkasbitung. b. Untuk mengetahui pula sejauhmana peranan pembuktian dalam penetapan

izin poligami

c. Untuk mengetahui seperti apa pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam menetapkan izin poligami

2. Manfaat Penelitian

(18)

b. Memberikan pengetahuan secara mendalam mengenai pertimbangan majlis hakim pada putusan penetapan permohonan izin poligami karena suami mampu berlaku adil

c. Menambah khazanah keilmuan yang secara spesifik membahas tentang proses berjalannya suatu perkara perceraian di pengadilan agama dengan harapan akan menunjang kemampuan mahasiswa mengenai hukum formil dan pengetahuan beracara di lingkungan peradilan agama

D. Studi Review Terdahulu

Beberapa penelitian yang penulis temukan yang membahas tentang kajian yang terkait dengan penelitian ini antara lain adalah:

1. Ratri Rahayu, izin poligami bagi PNS. Skripsi ini menjelaskan tentang izin poligami bagi PNS, dalam skripsi yang penulis bahas menitik beratkan pada ketentuan berpoligami yakni harus ada izin dari pejabat yang berwenang dan tidak tertera untuk melakukan sebuah uji materil. Namun pada kenyataanya dalam masyarakat di luar sana masih ada seorang pegawai negeri sipil yang tidak sesuai dengan PP tersebut namun mengajukan uji materil. Studi terhadap putusan Mahkamah Agung, Fakultas Syariah dan Hukum 2012.

(19)

3. Ahmad Sufiyan, Skripsi ini menjelaskan tentang adil sebagai syarat permohonan poligami. Skripsi ini fokus kepada pemahaman Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang adil dalam poligami dam membahas mengenai mampu berlaku adil yang menjadi salah satu syarat izin poligami dalam pasal 5 ayat 1 poin c undang-undang No. 1 tahun 1974 tetntang perkawinan. Studi atas persepsi Hakim Pengadilan Agama Jakarta timur fakultas syariah dan 2011 E. Kerangka Teori

Kata-kata poligami terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimilogi,

poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi, poligami itu artinya beristri

banyak. Secara terminologi, poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih

dari satu istri”. Atau, “seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tapi dibatasi

paling banyak empat orang” 9

Poligami adalah sistem yang cukup dominan sebelum datangnya Islam, kemudian datanglah Islam dengan membolehkan poligami ketika poligami itu merupakan sistem yang sangat kuat di dalam kehidupan masyarakat Arab, yang merupakan konsekuensi dari tabiat biologis dan realita sosial mereka. Islam yang lurus tidak melarang poligami tetapi juga tidak membiarkan bebas tanpa aturan, akan tetapi Islam mengaturnya dengan syarat-syarat imaniah yang jelas disebutkan dalam hukum-hukum al-Qur’an.10 Allah SWT membolehkan berpoligami sampai 4 orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam arti melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, giliran dan

(20)

segala hal yang bersifat lahiriah. Hal ini sesuai dengan firman Allah surah an-Nisa

”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu

miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Ada beberapa alasan dan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang berniat untuk melakukan poligami, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 4 dan 5 UU perkawinan. Alasan yang diperbolehkan seorang suami melakukan poligami adalah istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah persetujuan dari istri atau istri-istri, kalau ada harus diucapkan di muka majelis hakim, kemampuan dari material suami yang bermaksud untuk melakukan poligami dan jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah.11

Apabila perkawinan poligami itu tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan undang-undang perkawinan, maka perkawinan poligami itu harus dinyatakan tidak sah, dinyatakan batal demi hukum dan dianggap tidak terjadi. Bahkan pelakunya harus dikenakan sanksi yang diatur dalam pasal 44 dan 45 undang-undang perkawinan. Poligami bagi sebagian masyakatat kita khususnya

11

(21)

bagi perempuan merupakan hal yang ditakuti. Adanya pembatasan poligami bertujuan untuk menghindari ekses negatif dalam menegakkan rumah tangga. Percekcokan rumah tangga kerap terjadi dalam keluarga yang melakukan poligami. Pertengkaran antara suami istri, intri tua dan istri muda, anak dan bapak, dan anak dari istri tua dan istri muda bukan hal yang baru, bahkan membahayakan dan mengancam kelangsungan hidup. Pembatasan poligami dalam undang-undang ini merupakan langkah antisipasi terhadap perpecahan rumah tangga.12 F. Metode Penelitian

Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan beberapa metode, yaitu:

1. Pendekata masalah

Pendekatan masalah di sini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan menggunakan analisa isi dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga dapat menemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam penulisan skripsi ini. 2. Data Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu:

a. Data Primer, yaitu data yang bersifat utama dan penting yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi berkaitan dengan penelitian, yaitu:

12

(22)

1) Salinan putusan atau berkas perkara poligami Pengadilan

Agama rangkasbitung Nomor Perkara

0390/pdt.G/2013/PA.Rks.

2) Informasi dari hakim dan atau panitera yang menangani perkara poligami perkara Pengadilan Agama Rangkasbitung perkara nomor 0390/pdt.G/2013/PA.Rks.

Kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara mengadakan studi pustaka atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah Al-Quran, Al-Hadis, Undang-undang, Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan-peraturan lainnya, buku-buku karangan ilmiah serta buku-buku-buku-buku lainnya yang berkaitan dengan masalah ini.

3. Metode pengumpulan data Interview/wawancara

(23)

4. Teknik pengolahan data

Data yang telah terkumpul akan diolah, dianalisis dan diinterpretasikan untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Seleksi data: setelah memperoleh data dan bahan-bahan penelitian baik melalui obsevasi, studi dokumentasi maupun waawancara, lalu diperiksa kembali satu persatu agar tidak terjadi kekeliruan

b. Klasifikasi data: setelah data dan bahan diperiksa lalu diklasifikasikan dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil kesimpulan.

5. Analisis data

Teknis analisis yang digunakan adalah content analiysist dan analisis wacana. Dalam hal ini, setiap data akan dianalisis dari beberapa sudut pandang. Data yang dianalisis merupakan data yang bersumber dari sumber data, baik yang didapat melalui wawancara, observasi ataupun studi dokumenter.

6. Pedonam Penulisan Skripsi

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada “buku pedoman penulisan

skripsi tahun 2012” yang diterbitkan oleh fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta G. Sistematika Penulisan

(24)

BAB I merupakan bab pendahuluan dalam membuka penulisan skripsi ini, dengan uraian bahasan meliputi : latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi review terdahulu, kerangka teori, metode dan teknik penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II bab ini berkenaan dengan teori hukum dalam poligami meliputi teori keadilan, teori kepastian hukum dan teori maslahat.

BAB III bab ini menjelaskan tentang pengertian poligami dan sejarah poligami, dasar hukum dan sejarah, poligami dalam hukum positif di Indonesia, undang-undang Nomor 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), meurut PP nomor 9 tahun 1975 dan hikmah poligami.

BAB IV bab ini menjelaskan putusan Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung terhadap izin poligami meliputi potret Pengadilan Agama Rangkasbitung, deskripsi putusan Pengadilan Agama Rangkasbitung, landasan yuridis Putusan Pengadilan Agama dan penetapan Pengadilan Agama dan analisis penulis.

(25)

BAB II

TEORI HUKUM DALAM POLIGAMI

A. Teori Keadilan

Berbicara tentang keadilan pastinya tidak ada pendefinisian yang dapat dikatakan sama, konsep keadilan selalu diartikan dengan berbagai definisi dan selalu dilatarbelakangi dari sisi orang yang mendefinisikan. Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial.

Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari

bahasa latin “justitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).13

Perdebatan tentang keadilan telah melahirkan berbagai aliran teori yang berbeda.14 Disini penulis akan menguraikan salah satu teori keadilan yang berasal dari pemikiran John Rawls. John Rawls merupakan salah satu filsuf berpengaruh yang mendobrak kebuntuan filsafat politik di paruh kedua abad ke-20. Dalam

13

http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html .

14

(26)

teorinya, Rawls menjelaskan ada dua langkah penting yang harus diperhatikan demi terciptanya keadilan yang ia sebut fairness. Pertama, ditekankan pentingnya posisi asali. Posisi asali ini tidak dianggap sebagai kondisi historis, apalagi sebagai kondisi primitif kebudayaan. Diantara bentuk esensial dari situasi ini adalah bahwa tak seorangpun tahu tempatnya, posisi atau status sosialnya dalam masyarakat, tidak ada pula yang tahu kekayaannya, kecerdasannya, kekuatannya, dan semacamnya dalam distribusi aset serta kekuatan alam. Rawls mengasumsikan bahwa pihak-pihak dalam posisi asali tidak mengetahui konsepsi tentang kebaikan atau kecenderungan psikologis. Posisi asali menjadi kondisi awal dimana rasionalitas, kebebasan (freedom) dan kesamaan hak (equality) merupakan prinsip-prinsip pokok yang diandaikan dianut dan sekaligus menjadi sikap dasar dari semua pihak yang terkait dalam proses pemilihan prinsip-prinsip keadilan.

(27)

formal cenderung dipaksakan secara sepihak oleh penguasa. Oleh karena itu, betapapun pentingnya keadilan formal, Rawls tidak ingin berhenti pada taraf ini. Ia menyeberangi formalisme ini dengan merumuskan sebuah teori keadilan yang lebih memberi tempat kepada kepentingan semua pihak yang terjangkau kebijakan publik tertentu. Untuk itu Rawls percaya bahwa sebuah teori keadilan yang baik adalah teori keadilan yang bersifat kontrak yang menjamin kepentingan semua pihak secara fair.15

Adapun keadilan dalam ajaran Islam merupakan ajaran sentral dalam Islam dan bersifat universal. Sifat universal itu dapat dilihat dari keberadaan manusia di mana pun dan kapan pun yang selalu mendambakan hadirnya keadilan. Dalam diri manusia, terdapat potensi ruhaniah yang membisikkan perasaan keadilan sebagai sesuatu yang benar dan harus ditegakkan. Penyimpangan terhadap keadilan menodai esensi kemanusiaan. Karena itu, Islam yang bermisi utama rahmatan li al-alamin, pembawa rahmat bagi seluruh alam, menempatkan keadilan sebagai sesuatu yang asasi.

Dari segi bahasa, menurut Muhammad Isma„il Ibrahim dalam

Noordjannah Djohantini dkk16. keadilan berarti berdiri lurus (istiqam), menyamakan (taswiyyah), netral (hiyad), insaf, tebusan (fida), pertengahan (wasth), dan seimbang atau sebanding (mitsal). Dalam hal ini terdapat dua bentuk keseimbangan, dalam bahasa Arab, dibedakan antara al-„adlu yang berarti

15

John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, h. 17

16

(28)

keseimbangan abstrak dan al-„idlu yang berarti keseimbangan konkret dalam wujud benda. Misalnya, al-„idlu menunjuk pada keseimbangan pikulan antara bagian depan dan belakang, seda ngkan al-„adlu menunjuk pada keseimbangan abstrak, tidak konkret, yang muncul karena adanya persamaan manusia.

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam menunjukkan praktik penegakan keadilan, menghargai dan mengangkat derajat orang-orang yang berbuat adil, serta melarang dan mencela tindak ketidakadilan. Al-Qur’an juga menempatkan keadilan sebagai asas yang harus dipegang oleh setiap manusia dalam seluruh aktivitas kehidupannya. Adil merupakan kebajikan yang paling dekat dengan takwa karena keadilan merupakan refleksi dari ketakwaan. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 8:

 orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui

apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Ma’idah: 8).

(29)

B. Teori Kepastian Hukum

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma, norma adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam masyarakat, aturan-aturan itu menjadi batasan dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.17

Kepastian hukum yang biasanya di pertentangkan dengan keadilan, sesungguhnya mengandung unsur keadilan itu sendiri. Untuk menghukum suatu perbuatan pihak yang berkuasa menghukum, sebelumnya harus memastikan kepada objek hukumanya terlebih dahulubahwa perbuatan dapat dihukum. Tanpa adanya pemberitahuan atau kepastian semacam itu, akan terbuka ruang bagi timbulnya kesewenang-wenangan pihak yang berkuasa menghukum. Bukankah tidak mungkin dalam hal tersebut terjadi perbedaan nilai antara penegak hukum dan obyek hukumnya, tidak adanya kepastian akan membuat tindakan penegak hukum kehilangan legitimasinya sehingga system hukumtidak akan berjalan. Namun demikian, lingkup kepastian hukum sebenarnya tidak cukup sampai di situ. Ketentuan-ketentuan pidana yang kemudian dianggap berlaku pun pada dasarnya masih bersifat abstrak sedang bagaimana ketentuan tersebut diterapkan akan sangat bergantung pada bagaimana penilaian hakim.

17

(30)

Aturan yang masih berbentuk abstrak itu, pada prakteknya masih harus di terjemahkan oleh hakimke dalam suatu aturan yang konkkrituntuk menjawab pertanyaanapakah dalam kasus bersangkutan pihak yang akan dihukum benar-benar melakukan perbuatan itu, hal ini terjadi karena dalam menilai suatu perbuatan berdasarkan aturan yang sudah ada sekalipun, terbuka adanya perbedaan tafsir antara penegak hokum dan pihak yang akan dihukum.

Dengan demikian, kepastian hokum bukan saja penting karena terkait pengaturan dalam bentuk abstrak (sebelumnya harus ada kepastian aturan tertentu), tapi penting juga terkait penerapannya dalam suatu perkara konkrit (dalam penerapan aturan itu harus ada kepastian perlakuan yang sama). Sehingga meskipun hakim pada dasarnya bebas untuk memutuskan dan menilai apakah suatu perkara konkrit memenuhi atau tidak unsur-unsur suatu aturan, namun dirinya juga terikat bahwa penilaianya harus berlaku umum. Atau dengan kata lain, untuk suatu kasus serupa yang harus diberlakukan pula ketentuan yang serupa serta untuk suatu kasus yang berbeda maka hakim harus berbeda pula penilaiannya.

(31)

perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan pemisahan kekuasaan dari Montesquieu.18

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan kegiatan-kegiatanyang diperlukan dalam kehidupan masyarakat guna memahami secara jelas mengenai kepastian hukum itu sendir.

Menurut Gustav Radbruch ada 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu:19

Pertana, bahwa hukum itu positif, artinya hokum positif itu adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh diubah.

Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atau suatu ketentuan hukum dan hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan.

18

www. Ngobrolinhukum.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/. Diakses pada tanggal 08-04-2015. Jam. 13.39

19

(32)

C. Teori Maslahat

Islam sebagai agama universal memiliki sumber-sumber yang tidak lekang oleh zaman dan tidak surut oleh waktu, hukum-hukum Islam senantiasa di up to date di segala tempat dan masa. Kekekalan hukum islam tercermin dari sifat-sifat hukumnyayang elastis dan fleksibel dalam menerima perubahan zaman. Dalam hal ini bukan berarti hukum Islam mengikuti perkembangan zaman dalam makna negatif namun perubahan zaman akan selalu dicounter oleh hokum Islam selama perubahan tersebut bukan berkaitan drngan hal-hal yang prinsip maka Islam dapat menerimanya20

Maslahat adalah satu term yang populer dalam kajian mengenai hukum Islam. Hal tersebut disebabkan maslahat merupakan tujuan syara’(maqashid

as-syari’ah) dari ditetapkannya hukum Islam. Maslahat di siniberarti jalb

al-manfa’ah wa daf’ almafsadah (menarik kemanfaatan dan menolak kemudaratan).

Meski demikian, keberadaan maslahat sebagai bagian tak terpisahkan dalam hukum Islam tetap menghadirkan banyak polemik dan perbedaan pendapat di kalangan ulama, baik sejak Ushul Fiqh masih beradapada masa sahabat, masa Imam madzhab, maupun pada masa ulama kontemporer saat ini.

Perbedaan penentuan pola, kriteria, dan prioritas maslahat tidak jarang justru melahirkan sebuah mafsadat berupa pertikaian antara sesama kaum muslim. Perang Jamal, pada masa khalifah Ali RA, yang telah mengorbankan beribu-ribu putra terbaik Islam misalnya, hanyalah bermula dari perbedaan pandangan di dalam menentukan skala prioritas maslahat, apakah harus mencari para pelaku

20

(33)

kerusuhan dan pembunuhan terhadap khalifah Utsman RA, ataukah harus ditertibkan dahulu negara dengan membai’at seluruh rakyat baru kemudian melacak para perusuh.

Perdebatan semacam ini akan berujung pada perdebatan peran akal dan wahyu. Oleh karena itu, perlu dikemukakan bahwa sejauh mengenai hubungan maslahat dengan nash syara, para fuqaha sendiri terbagi menjadi tiga golongan:

Pertama, golongan yang hanya berpegang pada nash saja dan mengambil

zahir nash serta tidak melihat pada suatu kemaslahatan yang tersirat dalam nash itu. Demikianlah kehadiran golongan Zahiriyah, golongan yang menolak qiyas.

Mereka mengatakan “tak ada kemaslahatan melainkan yang didatangkan syara.

Kedua, golongan yang berusaha mencari maslahat dari nash untuk

mengetahui illat-illat nash, maksud dan tujuan-tujuannya. Golongan ini mengqiyaskan segala yang terdapat padanya maslahat kepada nash yang mengandung maslahat itu. Hanya saja mereka tidak menghargai mashlahat terkecuali ada syahid (persaksian). Jadi maslahat yang mereka i'tibarkan hanyalah maslahat yang disaksikan oleh suatu nash atau dalil. Hal inilah yang mereka jadikan illat qiyas.

Ketiga, golongan yang menetapkan setiap mashlahat yang masuk kedalam

jenis maslahat yang ditetapkan oleh syara.Walaupun tidak disaksikan oleh sesuatu dalil tertentu namun maslahat itu diambil dan dipegangi sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri dan mereka namakan mashlahat mursalah

(34)

dikehendaki karena sebab mencapai kemanfaatan dan menafikan kemadharatan adalah merupakan tujuan atau maksud dari makhluk, adapun kebaikan atau kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka, akan tetapi yang dimaksudkan dengan maslahat adalah menjaga atau memelihara tujuan syara, adapun tujuan syara yang berhubungan dengan makhluk ada lima, yakni: pemeliharaan atas mereka (makhluk) terhadap agama mereka, jiwa mereka, akal mereka, nasab atau keturunan mereka, dan harta mereka, maka setiap sesuatu yang mengandung atau mencakup pemeliharaan atas lima pokok dasar tersebut adalah maslahat dan setiap sesuatu yang menafikan lima pokok dasar tersebut adalah mafsadat, sedangkan jika menolaknya (sesuatu yang menafikan lima pokok dasar) adalah maslahat. Semua yang mengandung pemeliharaan tujuan syara yang lima ini, merupakan maslahat dan semua yang mengabaikan tujuan ini merupakan mafsadat. Sedangkan menolak yang mengabaikannya itu justru merupakan maslahat.21

. .

21

(35)

BAB III

POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Poligami dan Sejarah Poligami

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan serang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.22 Oleh karena itu, perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsqan ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya adalah ibadah.

Dalam diskursus fiqih Islam, perkawinan termasuk dalam kategori

mu’amalah, yakni aturan yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Kaidah

yang secara umum dipakai dalam masalah mu’amalah adalah “al-ashl fi

al-mu’amalah al-ibadah”, namun dalam masalah-masalah yang terkait dengan detil

pengaturan perkawinan berlaku kaidah yang lex-spesialis, yakni “al-ashl fi al-abdla at-tahrim”, mengingat dimensi ibadahnya begitu kuat dan disertai dengan aturan-aturan normatif yang relatif cinci23

Sedangkan Poligami ialah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Selain poligami, dikenal juga poliandri. Jika dalam poligami, suami yang memiliki beberapa istri,

22

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

23 Asrorun Ni’am Sholeh,

(36)

dalam poliandri sebaliknya, justru istri yang mempunyai beberapa suami dalam waktu yang sama. Akan tetapi, dibandingkan poligami, bentuk poliandri tidak banyak dipraktekkan. Praktik poliandri hanya dijumpai pada beberapa suku tertentu, seperti suku Tuda dan suku-suku di Tibet.24

Poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan dari

dua kata yakni “poli” atau”polus” yang artinya banyak dan kata “gamein” atau

“gamos” yang artinya kawin atau perkawinan. Jika digabungkan akan berarti

suatu perkawinan yang banyak.25 Secara etimilogi, poli artinya “banyak”, dan

gami artinya “istri”. Jadi poligami itu artinya beristri banyak. Secara terminologi,

poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”. Atau “seorang

laki-laki beristri lebih dari seorang, tapi dibatasi paling banyak empat orang”.26 Dalam bahasa Arab poligami disebut Ta’adduduz zaujaat, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut madu.27

Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan

24

Siti Muhdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2004) h. 43

25

Yayan sopyan, Islam - Negara : Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta PT. Wahana Semesta Intermedia. 2012). Cet ke-2 h. 139

26

Abdul Rahman Ghojali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Perdana Media Group, 2012). Cet

ke-5. 129

27

Islah Gusmain, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Warna,

(37)

berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender.28

Poligami dalam kehidupan orang-orang barat adalah realita yang tidak punya aturan, bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa semua itu terjadi di hadapan penglihatan dan pemberlakuan undang-undang. Praktik gonta ganti teman kencan ala Barat ini adalah suatu yang sah dalam undang-undang mereka akan tetapi tidak dinamakan poligami, dan semua itu tanpa didasari moral, hati dan jiwa mereka sedikit pun tidak tergerak dan tanpa rasa kemanusiaan. Semua itu hanya semata demi melampiaskan nafsu syahwat dan egoisme.29

Poligami merupakan salah satu “amunisi” yang biasa dipakai oleh para

orientalis dan pembenci Islam untuk menggayang agama ini dan pemeluknya. Sampai-sampai, orang-orang seperti Salman Rushdi atau Pat Robertson

menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw kurang lebih adalah seorang “

sex-maniac.” Memang jika di bidang aqidah Allah swt menguji keislaman manusia

dengan peristiwa isra’ miraj maka di bidang syariat Allah menguji hambanya

antara lain lewat ajaran poligami.30

Sebelum Islam datang, di Jazirah masyarakat Arab sudah mempraktikkan poligami tanpa adanya batasan. Dalam beberapa sumber sejarah dapat ditemukan

28

Amiur Nuruddin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Perdana Media

Group. 2006) Cet Ke-3 h. 155

29

Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi, (Jakarta : Darul Haq, 2007) Cet ke- h. 85

30

Nurbowo, Apiko JM, Indahnya Poligami, pengalaman Sakinah Puspo Wardono,

(38)

bahwa banyak laki-laki khususnya para pemimpin suku memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepada suku yang mempunyai ratusan istri.

Memang tradisi Arab pada masa itu, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui Siti Aisyah, pada masa jahiliyah Arab dikenal empat macam pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini memulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, membayar mahar, dan menikah. Kedua, adalah seorang suami yang memerintahkan kepada isrinya apabila telah suci dari haid untuk menikah (berhubungan seks) dengan seseorang. Bila ia hamil, ia kembali untuk digauli suaminya, ini dilakukan guna untuk mendapatkan keturunan yang baik. Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh orang, kesemuanya menggauli seorang wanita dan bila ia hamil kemudian ia melahirkan ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut kemudian ia menunjukkan salah seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tuna susila, yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu kediaman mereka dan bercampur dengan siapa pun yang suka kepadanya.31 Dengan demikian, setelah Islam datang yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Islam melarang cara pernikahan terebut kecuali cara yang pertama, dalam hal kaitanya dengan poligami Islam hanya membatasi dengan empat isrti dengan syarat berlaku adil.

31

Nurbowo, Apiko JM, Indahnya Poligami, pengalaman Sakinah Puspo Wardono,

(39)

Sejarah poligami

Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Arab, mereka juga berpoligami, karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negri-negeri yang tidak menganut Islam seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidak lah benar kalau poligami hanya terdapat di negri-negri Islam.32

Maka tidak benar jika agama Islamlah yang pertama kali membawa sistem poligami. Karena, sebenarnya pada saat ini, sistem poligami tetap tersebar di beberapa Negara atau bangsa yang tidak memeluk agama Islam, seperti Afrika, Cina dan Jepang. Jadi tidak benar jika poligami hanya ada dalam peradaban Islam. Dalam agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami, karena tidak ada satu pun ayat dalam kitab Injil yang secara tugas melarang poligami. Berbeda dengan orang-orang Kristen di Eropa mereka hanya menjalankan monogami yang tidak lain karena kebanyakan Kristen pada mulanya seperti orang-orang Yunani dan Romawi yang pada saat itu sudah melarang poligami, kemudian setelah mereka memeluk agama Kristen mereka tetap berpegang pada kebiasaan agama nenek moyang mereka yang telah melarang poligami pada waktu sebelumnya. Dengan demikian peraturan tentang monogami adalah peaturan lama yang sudah berlaku sejak mereka menganut agama berhala.

32

(40)

Di mana gereja hanya meneruskan larangan akan poligami dan menganggapnya sebagai peraturan dari agama, padahal lembaran-lembara dari kitab Injil sendiri tidak menyebutkan larangan melakukan poligami.33

Kalau kita mengkaji sejarah poligami maka akan terbuka bahwa masalah poligami itu sudah sejak lama sebelum Islam datang. Bahkan poligami itu merupakan warisan dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, sampai pada masa Martin Luther, seorang penganjur besar protestan, tidak nampak adanya larangan poligami. Tujuan tersebut bisa dijawab dengan beberapa bukti sejarah bahwa poligami suah berjalan lama sebelum Islam datang, sebagai berikut Westernak

berkata: “poligami dengan sepengetahuan Gereja itu berjalan sampai abad ke 17

M”. pada tahun 1650 M Majelis Tinggi Prancis mengeluarkan surat edaran

tentang diperbolehkannya seorang laki-laki mengumpulkan dua orang istri. Surat edaran itu dikeluarkan karena kurangnya kaum laki-laki akibat perang 30 tahun terus menerus. Agama Yahudi memperbolehkan poligami yang tidak terbatas. Kenyataannya Nabi Yakub, Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman mempunyai banyak istri, serta Nabi Ibrahim juga mempunyai dua orang istri yaitu Hajar dan Sarah.34

Penduduk asli Australia, amerikla, Cina, Jerman dan Silia. Terkenal sebagai bangsa yang melakukan poligami sebelum datangnya agama Masehi. Poligami yang mereka lakukan tanpa adanya batas dan tanpa adanya syarat-syarat keadilan terhaap beberapa istrinya. Ahli pikir Inggris Harbert Sebenser dalam

bukunya „ilmu menjelaskan bahwa sebelum Islam datang, wania diperjual belikan

atau digadaikan bahkan dipinjamkan”. Hal terbut dilakukan sesuai dengan

33

Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta : Pustaka Alkatsar. 2007) Cet Ke-1 h. 56

34

(41)

peraturan khusus yang dikeluarkan oleh gereja dan berjalan sampai pertengahan abad 11 M.35

Dengan ini jelas bahwa poligami sudah menjadi kebudayaan pada masa sebelum Islam datang. Melihat kenyataan yang jelas-jelas merendahkan martabat kaum wanita itu, maka Islam melalui Nabi Muhammad saw sebagai Rasulnya, membenai dan mengadakan penataan terhadap adat istiadat yang benar-benar tidak mendatangkan kemaslahatan dan menruskan adat kebiasaan yang menjunjung tinggi martabat manusia, dalam hal ini termasuk masalah poligami yang tidak terbatas Islam membolehkan poligami dengan syarat adil, hal ini demi menjaga hak dan martabat wanita.36

Dengan demikian jelaslah bahwa praktik poligami di masa Islam sangatlah berbeda dengan praktik poligami sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua hal. Pertama, pada bilangan itri, dari yang tidak terbatas hingga hanya terbatas sampai empat saja. Kedua, pada syarat poligami yaitu harus mampu berlaku adil. B. Dasar Hukum dan Syarat Poligami

Allah SWT membolehkan poligami sampai 4 (empat) orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Adapun adil dalam melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu orang istri saja

35

Gadis Arivia, Menggalang Perubahan Perlunya Persfektif Jender, YJP, Jakarta, 2004 h. 57

36

(42)

(monogami).37 Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 3 perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Menurut Jumhur ulama, yang diuraikan oleh Ali al-Shabuni, ayat tersebut mengisyaratkan untuk kebolehan (ibadah), bukan wajib. Hal serupa juga ditemui dalam ayat yang menyatakan tentang makan dan minum, seperti kuluu wasyrabuu.38

Sementara Wahbah al-Zuhaily berpendapat, poligami terkait dengan syarat dan kondisi tertentu, sebab umum dan khusus. Sebab umum adalah ketika jumlah laki-laki lebih sedikit daripada jumlah permpuan, dan ini beraspek sosial spiritual atau kesempatan bagi perempuan untuk menikah dan menghindarkanya dari penyimpangan, penyakit berbahaya seperti aids atau untuk kepentingan dakwah dan sebagainya. Sementara sebab khusus adalah istri mandul atau sakit, suami membenci istrinya, sementara perceraian makruh, syahwat lelaki besar daripada perempuan.39

37

Abd. Rahman Ghajali, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Prenada Media. 2003), Cet. Ke-1 h. 129-130

38

Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam Minal Qur’an, juz 1, h. 194

39

(43)

Syarat Poligami

Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah. Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi hak-hak mereka, maka ia diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga maka baginya haram menika dengan empat orang. Jika ia sanggup memenuhi hak dua orang istri maka haram baginya menikahi tiga orang. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat zalim dengan mengawini dua orang perempuan, maka haram baginya melakukan poligami.40

Sebagaimana firman Allah SWT.

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Dalam sebuah hadis Nabi saw. Juga disebutkan:

“Dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya nabi saw bersabda, “barang siapa yang

(44)

Keadilan yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat di atas, tidaklah bertentangan dengan firman Allah SWT. Dalam surah An-Nisa: 129 :

 walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat tersebut seolah-olah bertentangan dalam masalah berlaku adil, pada ayat 3 surat An-nisa, diwajibkan berlaku adil sedangkan ayat 129 meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut di sini adalah adil dalam masalah lahiriah bukan kemampuan manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat di atas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang.

Abu Bakar bin Araby mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan dalam cinta itu berada di luar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya dalam genggaman Allah Swt. Yang mampu membolak baliknya menurut kehendakNya. Begitu juga dengan bersetubuh, terkadang ia bergairah dengan istri yang satu tetapi tidak begiu dengan itri yang lainya.41

Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 Bab 1 pasal 4 dijelaskan pengadilan dapat memberikan izin kepada seseorang yang ingin melakukan poligami apabila terpenuhinya alsan-alasan sebagai berikut, yaitu;

41

(45)

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Atas dasar ketentuan di atas, tentu sedikit berbeda dengan ketentuan poligami yang berlaku dalam Islam, di mana, Islam hanya mensyaratkan adil sebagai syarat untuk melakukan poligami.

Keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang di antara para istrinya sesuai dengan kemampuanya yaitu dalam hal bermalam atau memberi makan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain. Bukan dalam masalah cinta dan kasih sayang yang memang berada dalam kemampuan manusia.

Bersikap adil sebagai syrat utama dalam poligami tidak mudah, karena dalam perkawinan poligami terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami kepada istrinya yang lebih dari satu tersebut. Hal ini tidak akan mudah terpenuhi apabila suami tidak memiliki sifat dan sikap yang cukup layak untuk melakukan poligami.

C. Poligami Dalam Hukum Positif di Indonesia a. Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

(46)

melibatkan Peradilan Agama sebagai instansi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami untuk seseorang.42

Kemudian dalam pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa apabila seorang suami yang akan melakukan poligami, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan alasan-alasan pengadilan mengizinkan seorang suami berpoligami, apabila: (1) istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri (2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapa disembuhkan dan (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Alasan di atas bernuansa fisik kecuali alasan yang ketiga. Alasan yang ketiga terkesan suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal artinnya istri tidak mendaptkan keturunan, maka alternatifnya adalah poligami. Dalam pasal 5 undang-undang No. 1 tahun 1974 memberikan sejumlah persyaratan bagi seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang.43 Di antaranya adalah: (a) adanya perjanjian dari istri atau istri-istri (b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka dan (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Namun, apabila istri atau istrinya tidak mungkin dimintai dalam perjanjianya, tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun dan sebab-sebab lain yang

42

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 156

43

(47)

perlu mendapat penilaian dari pengadilan, maka suami tidak memerlukan persetujuan dari istri atau istri-istrinya.44

Pada pasal 5 dan 2 di atas adalah persyaratan tentang poligami. Perlu kita ketahui bahwa pasal 4 adalah persyaratan alternatif, artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah persyaratan kumulatif di mana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

KHI lahir dari keinginan untuk menyatukan hukum Islam yang tersebar di

seluruh nusantara. Tujuan utamanya adalah selain mempositifkan syari’at Islam

dalam bidang keperdataan (ahwalusyakhsiyah), juga ingin mengkodifikasi dan menyamakan kitab fiqih yang akan dipakai di pengadilan. Karena pada saat itu terjadi keberagaman putusan pengadilan terhadap perkara yang serupa. Dengan tujuan tersebut maka timbullah keinginan penyeragaman dan kebonafitan hukum untuk umat Islam.45

Kompilasi hukum Islam hadir pada tata hukum Nasional Indonesia melalui instrumen hukum dalam bentuk isntruksi presiden (inpres) No. 1 tahun 1991 tanggal 2 juli 1991. Terpilihnya instrumen inpres ini menimbulkan dua pandangan. Pandangan pertama melihat inpres tersebut mempunyai kemampuan mandiri untuk berlaku efektif di samping isntrumen lainnya, dan karenanya memiliki daya atur tersendiri dalam sistem hukum Nasional, sedangkan

44

Pasal 5 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan 45

(48)

pandangan lain melihat bahwa inpres yang dimaksud dalam tata hukum Indonesia tidak terlihat dalam tata urutan peraturan perundangan nasional.

Materi pokok poligami dalam kompilasi hukum Islam terdapat dalam buku I tentang perkawinan bab IX pasal 55-59 yang menerangkan cakupan untuk beristri lebih dari seorang.

Secara umum ketentuan-ketentuan yang diatur KHI dalam bidang hukum perkawinan pada intinya merupaka penegasan ulang tentang hal-hal yang telah diatur dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975.46 Mengenai perihal poligami hal itu bisa dilihat pasal 57, 58 dan 59. Namun esensi yang dibangun KHI mengenai poligami terdapat pada pasal 55 lebih mengedepankan nilai keadilan suami bagi para istri. Berikut poligami dalam KHI tersebut:

Pasal 55 menerangkan bahwa beristri lebih dari seorang pada satu waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri dengan syarat utama dari seorang suami harus mempu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Dan apabila syarat utama yang disebut tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Pasal 56 bahwa suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan Agama dengan melakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintah No 9 tahun 1975. Berikut juga menerangkan perkawinan yang dilakukan dengan istri kdua, ketiga,

46

(49)

atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dalam pasal 57 pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beritri lebih dari satu orang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. Istri tidak dapat melairkan keturunan

Pasal 58 menerangkan bahwa untuk memperoleh izin pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:

a. Adanya persetujuan istri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

Kemudian mengatur mengenai persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang pengadilan agama dan perstujuan dimaksud tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau itri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuanya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila istri tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.

(50)

satu alas an yang diatur, pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

Permasalahan keadilan berpoligami dalam KHI merupakan concern KHI sendiri melihat permasalahn hukum Islam dalam pandangan fiqh yang ada. Manusia memang terbatas mengenai keadilan, akan tetapi tetap bias dinilai dengan pola berfikir positif dan realistis dalam kasus poligami.

Hakim yang dipercaya sebagai orang yang dianggap penengah dalam masalah apapun tak luput dari kekurangan mengenai keadilan. Keadilan seorang hanya bisa dinilai oleh orang lain selain dirinya, maka timbul siapa orang dipercaya dalam hal ini. Jawaban yang kongkrit adalah hakim itu sendirilah yang disepakati publik menilai keadilan seseorang karena mempunyai keahlian yang telah dipelajari secara khusus mengenai masalah-masalah apapun.

Penjabaran tersebut dimaksudkan untuk membawa ketentuan-ketentuan undang-undang No 1 tahun 1974 ke dalam ruang lingkup yang bernafas dan

bernilai syari’at Islam. Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam

undang-undang no 1 tahun 1974 dijabarkan dan dirumuskan menjadi ketentuan yang bersifat khusus dan sebagai aturan hukum Islam yang diberlakukan khusus bagi mereka yang beragama Islam.

c. Menurut PP Nomor 9 Tahun 1975

(51)

40 berbicara mengenai “apabila sorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan scara tertulis kepada

pengadilan” dan pada pasal 41 pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin lagi b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.

c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak.

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak ,mereka dengan persyaratan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pasal 42 menerangkan dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41, pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan dan pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lamiranya.

(52)

Undang-undang poligami di atas membolehkan untuk beristri lebih dari satu orang dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi terbatas hanya sampai empat orang. Adapun syarat yang harus dipenuhi di antaranya suami mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya dalam hal nafkah dan keadilan. Apabila suami tidak bisa memanuhi, maka suami dilarang beristri lebih dari satu. Di samping itu suami harus terlebih dahulu mendapat izin dari pengadilan agama. Jika tanpa izin pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

D. Hikmah Poligami

Setiap ayat yang diturunkan oleh Allah SWT, pasti terdapat hikmah yang dapat diambil oleh manusia, demikian juga ketika Allah menurunkan ayat tentang poligami. Hikmah dari poligami di antaranya:

1. Umat manusia sering kali mengalami krisis yang menyebabkan surplusnya kaum wanita, seperti yang biasa terjadi pasca reformasi, wabah atau bencana alam. Banyak kaum wanita yang akan hidup tanpa suami dan itu akan menghasilkan resiko semakin berkurangnya angka kelahiran, dan itu tidak mustahil. Jika dalam kondisi seperti ini poligami tidak dibolehkan sebagaimana yang dilakukan Islam, maka kemesuman, pergaulan bebas, penyelewengan dan pelacuran akan tersebar di masyarakat dan semakin meningkatkan jumlah anak-anak haram.47

2. Kesanggupan seorang laki-laki untuk berketurunan lebih kuat daripada perempuan. Laki-laki sanggup melaksanakan tugas biologisnya sejak ia

47

Referensi

Dokumen terkait

“KEABSAHAN PERMOHONAN POLIGAMI KARENA ISTRI TIDAK MAU BERTEMPAT TINGGAL BERSAMA DENGAN SUAMI (Studi Putusan Nomor : 36 / Pdt.G / 2010 / PA. Bdg)” yang disusun

“KEABSAHAN PERMOHONAN POLIGAMI KARENA ISTRI TIDAK MAU BERTEMPAT TINGGAL BERSAMA DENGAN SUAMI (Studi Putusan Nomor : 36 / Pdt.G / 2010 / PA. Bdg)” yang disusun

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan putusan permohonan izin poligami yaitu Putusan Nomor: 717 Pdt.G/2012 PAJT dan

Persoalan dalam putusan ini adalah bahwa dasar Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah adalah adanya praktek poligami yang mana masih adanya ikatan

Pada putusan Nomor 2598/Pdt.G/2018/PA.Tgrs hakim mengabulkan permohonan izin poligami kepada suami dengan pertimbangan bahwa isteri telah memberikan izinnya secara tidak

Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Bahwa dari permohonan Pemohon, jawaban Termohon, Keterangan calon istri kedua Pemohon, bukti-bukti tertulis serta

ANALISIS YURIDIS TENTANG POLIGAMI YANG DILAKUKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL TANPA IZIN ISTRI PERTAMA STUDI PUTUSAN NOMOR 149/PDT.G/2019/PA Mtr TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

Permasalahan yang dibahas adalah Prosedur dalam Pemberian izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil, akibat hukum dalam poligami tanpa izin istri pertama, Pertimbangan Hukum oleh Hakim