• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KUDETA PRESIDEN MURSI

B. Politik Militer Dan Oposisi

Fenomena Arab Spring telah menyebabkan perubahan peta politik di

sebagian negara Arab. Efek domino dari Arab Spring juga telah membuat

Presiden Husni Mubarak yang berkuasa di Mesir puluhan tahun harus mundur dari jabatannya, Mesir mulai berjalan ke arah demokrasi setelah mundurnya Mubarak. Melihat perubahan ini ada harapan besar agar militer tidak terlibat lagi dalam urusan politik, namun kenyataannya militer belum rela melepaskan “kenikmatan” berpolitiknya. Proses demokrasi di Mesir tercederai dengan militer mengkudeta Mohammad Mursi, presiden Mesir yang terpilih secara demokratis lewat pemilu. Sejak lama militer menguasai politik Mesir dari tahun 1952, ketika kalangan “Perwira Bebas” yang dipimpin Gamal Abdul Nasser mengambil alih kekuasaan dari raja Farouq, ini bisa dijadikan awal keterlibatan militer dalam dunia politik. Sejak saat itu penguasa Mesir selalu dari kalangan militer. Presiden Muhammad Naguib, Presiden Gamal Abdul Nasser Presiden Anwar Sadat, dan Presiden Husni Mubarak, adalah tokok-tokoh militer yang menjalankan kekuasaan di Mesir sejak 1952 sampai 2011. Tidak hanya itu, kalangan elite militer mempunyai kedudukan tinggi dan terhormat dalam strata kehidupan

14

68

politik di Mesir. Tercermin dengan adanya Dewan Agung Militer (Supreme

Council of the Armed Forces –SCAF).15

Pada jatuhnya Mubarak 11 Februari 2011 membuktikan eksistensi militer tetap ada dan berpengaruh pada politik Mesir, karena kekuasaan berikutnya justru berada di tanan SCAF. SCAF kemudian membuat amandemen terbatas pada konstitusi Mesir, 30 Maret 2011. Namun karena adanya desakan nasional dan internasional akan pentingnya demokrasi di Mesir, memaksa militer memberikan peluang kepada elite sipil untuk dapat bersaing meraih kekuasaan lewat pemilu. Militer mendapat penentangan keras dari rakyat bila masuk ke ranah politik

terlalu jauh, seperti zaman Mubarak yang melahirkan otoritarianisme.16 Dengan

adanya desakan itu maka dilangsungkan lah pertama kali pemilu parlemen, yang

dilanjutkan dengan pemilu presiden. Pada pemilu parlemen (Majlis as-Sa’ab)

yang menang adalah Patai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang berafiliasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin. Selain itu rakyat juga memilih Majelis Tinggi (Majlis as-Syura) dalam parlemen Mesir. Dalam Majelis Tinggi (Majlis as-Syura) juga menunjukan kemenangan dari aliansi FJP, dengan demikian kekuatan politik Islam lah yang menguasai Mesir dalam pemilu parlemen.

Kemenangan partai Islam itu mengagetkan elite Mesir yang cenderung liberal sekuler, begitupun militer yang menghawatirkan kemenangan tersebut. Kemudian kemenangan kelompok Islam (Ikhwanul Muslimin) mendapatkan tantangan dari SCAF dan kelompok liberal, dan di sisi lain militer tetap berusaha mencari peluang untuk tetap tampil dalam dunia politik. Mereka merasa tidak

15

Hamdan Basyar, Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel

(Jakarta: UI Press, 2015), h. 27.

16

69

cukup sebagai penonton, militer masih ingin menentukan jalannya kehidupan

politik Mesir.

Di beberapa negara, pemilu digunakan sebagai terminal bagi pertarungan elite. Artinya, setelah pemilu selesai mereka akan menjalankan pemerintahan sampai pada pemilu berikutntya. Namun itu tidak terjadi karena oposisi bertarung di tempat lain. Selang selesainya pemilu parlemen ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi Mesir, UU pemilu yang memperbolehkan partai politik dapat mencalonkan anggotanya lewat jalur independen dianggap inkonstitusional. Maka parlemen hasil pemilu dianggap tidak sah dan harus dibubarkan, dengan demikian kemenangan yang digapai kelompok Ikhwanul Muslimin menjadi bias. Meskipun parlemen dibubarkan, Mahkamah menyatakan keputusan yang telah dibuat oleh

parlemen sah dan harus dijalankan.17

Sebelum Presiden Muhamad Mursi resmi dilantk, SCAF mengeluarkan dekrit pada 17 Juni 2012 yang memberikan kekuasaan legislatif bagi SCAF. Alasannya adalah untuk mengisi kekuasaan legislatif akibat pembubaran parlemen hasil pemilu. Dengan begitu SCAF dapat mengangkat Dewan Konstituante baru sesuai dengan kepentingan mereka. Di sisi lain Mursi yang dilantik pada 30 Juni 2012 mengeluarkan dekrit 8 Juli 2012, untuk memulihkan anggota parlemen yang telah dibekukan. Namun pada hari berikutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tidak ada banding untuk keputusan pembubaran Majelis Rakyat, pada 17 Juli 2012 mereka harus sudah dibubarkan. Kemudian Presiden Mursi berusaha menunjukan kekuatannya dengan mengeluarkan dekrit pada 12 Agustus 2012.

17

Hamdan Basyar, Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel,

70

Dekrit itu berisi 4 pasal guna menjinakkan militer.18 Dengan begitu kekuasaan

yang ada di tangan SCAF sejak 17 Juni itu dibatalkan, Mursi juga mengganti kepala SCAF Jendral Tantawi untuk membuat militer menjadi relatif dalam kekuasannya. Tindak perlawanan ini justru berbalik menjadi senjata makan tuan bagi Mursi. Hamdan Basyar secara jelas mengatakan:

”...adanya keterburu-buruan dari Mursi sendiri, Mursi buru-buru berdemokrasi dan menghilangkan militer dalam politik. Padahal tidak semudah itu untuk membubarkan organsasi yang telah lama solid. Membuat militer bangkit dengan berujung pada kudeta.”19

Mursi merasa belum aman dengan nasib Dewan Konstituante yang tengah menggodok konstitusi baru, karena lembaga itu masih dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi dan anggotanya dapat saja dikatakan inkonstitusional lagi. Maka Mursi mengeluarkan dekrit 22 November 2012, dekrit yang berisi tujuh pasal ini memberikan kekuasaan yang hampir tidak terbatas pada Mursi sendiri. Dekrit itu ternyata memicu protes dari rakyat banyak, kelompok liberal pun yang tadinya sudah agak diam kembali bersuara, dan lapangan Tahreer dipadati demonstran menuntut pencabutan dekrit yang dianggap otoriter itu. Seminggu setelah dekrit itu dikeluarkan, pada 30 November 2012 Dewan Konstituante berhasil menyepakati draft konstitusi baru tanpa kehadiran kelompok liberal. Kemudian Mursi memutuskan untuk mengadakan referendum terhadap draft konstitusi tersebut pada 15 Desember, hasilnya rakyat menyetujui draft konstitusi menjadi konstitusi baru Mesir. Rupanya referendum itu belum menyurutkan demonstran yang berunjuk rasa di lapangan Tahreer, bahkan mereka menolak

18

Hamdan Basyar, Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel,

h. 32.

19

71

referendum. kaum pengunjuk rasa mengatakan konstitusi itu dinilai hanya mencerminkan kepentingan kelompok Mursi dan tidak dibuat dengan

mempertimbangkan elemen politik lain di Mesir.20

Melihat gejolak yang semakin menjadi-jadi, Mursi mengambil langkah untuk meredakan gejolak dengan mengadakan Dialog Nasional dengan tokoh-tokoh nasional pada 9 Desember 2012. Hasilnya Mursi mengeluarkan dekrit lagi yang berisi pencabutan dekrit sebelumnya, setelah kurang lebih sepuluh jam mereka bertukar pikiran. Walaupun dekrit sudah dicabut, protes terhadap Mursi terus berlanjut. Memasuki tahun 2013 pihak oposisi terus menggoyang kekuasaan Mursi. Kelompok oposisi dan Tamarood yaitu kelompok yang terdiri dari pemuda tetap meramaikan lapangan Tahreer dengan tuntutan mundurnya Presiden Mursi. Pada saat itu militer kembali mengambil momentum untuk mengambil alih kekuasan di Mesir dengan menyamakan tujuannya dengan rakyat, karena militer melihat rakyat semakin banyak berdemo menuntut Mursi. Dengan sangat baik Eric A. Nordlinger menjelaskan motivasi dan cara-cara yang ditempuh militer untuk mengkudeta, adalah:

“Tidak dipungkiri para perwira militer memperhatikan masa depan karir poilitik mereka, ini menjadi kepentingan pribadi para perwira militer. Keinginan mereka untuk mendapatkan promosi, cita-cita politik, dan ketakutan dipecat juga menjadi faktor penting dalan kudeta. Namun seringkali faktor ini terlihat tidak secara kasat mata, karena sebelumnya militer coba menyelaraskan sejauh mana kepentingan pribadi mereka sejalan dengan berbagai faktor pendukung lainnya, yang kemudian bisa dipakai untuk menjalankan kudeta tanpa harus terlihat kalau kudeta ini murni berdasarkan kepentingan sendiri.”21

20 The Guardian, “Empat Alasan Presiden Mesir Digulingkan,” artikel diakses pada 14

November 2013 dari http://www.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/Empat-Alasan-Presiden-Mesir-Digulingkan

21

72

Pihak militer akan sigap mengkudeta ketika rakyat meneriakkan keburukan pemerintah, selain mosi tidak percaya rakyat dan segala kekacauan yang terjadi selama protes, dijadikan faktor pendukung yang membuat kepentingan pribadi militer merebut kekuasaan tidak kentara. Seolah-olah militer bersama dengan kelompok orang-orang yang merasa dirugikan pemerintah, padahal militer hanya memakai tuntutan kelompok itu agar tindakan kudeta mereka dianggap keniscayaan dan pro terhadap rakyat.

Dari segala runtutan kegagalan yang pemerintah sipil lakukan, kalangan militer mengangap Mursi tidak sanggup lagi menanggung kekacauan tersebut. Maka pada tanggal 1 Juli 2013 pukul 16.30 (waktu Mesir), militer di bawah kendali Abdel Fattah as-Sisi memberikan ultimatum pada Mursi untuk menyelesaikan masalah politik Mesir dalam waktu 48 jam. Militer mengancam akan mengambil langkah sendiri bila Mursi tidak menuruti tuntutan Militer. Untuk menjawab desakan militer, Mursi yang merasa dipilih oleh rakyat dan mempunyai legitimasi kekuasaan yang kuat menolak ultimatum militer.

Karena permintaan militer ini ditolak oleh Mursi, maka militer melaksanakan ancamannya dengan pengambilalihan kekuasaan pada 3 Juli 2013 malam. Kudeta militer itu telah mengakhiri kekuasaan Mursi yang dipilih secara

demokratis. Al-Sisi menyebutlan roadmap (peta jalan) yang ditempuh melalui

empat hal, yaitu: (1). Penangguhan Konstitusi Baru yang telah di referendum pada Desember 2012; (2). Percepatan pemilihan presiden. Ketua Mahkamah Konstitusi ditunjuk menjadi presiden sementara sampai pemilu; (3). Pembentukan pemerintahan koalisi nasional; (4). Pembentukan Komisi untuk mengamandemen

73

Konstitusi. Tidak jelas atas dasar kewenangan apa Jendral Al-Sisi membuat pernyataan tersebut. Bila mengacu pada konstitusi yang berlaku saat itu maka kalangan militer tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis. Mereka adalah alat negara yang menjaga keamanan dan keselamatan negara, posisi mereka juga di bawah Presiden yang menjadi Panglima Tertinggi Militer. Dalam kondisi tertentu presiden tidak dapat menjalankan tugas, maka pasal 153 Konstitusi Mesir menyebutkan, bahwa yang menjalankan tugas kepresidenan sementara adalah

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (Majlis Sa’ab). Bila Dewan Perwakilan tidak

ada, maka tugas kepresidenan sementara dijalankan oleh Ketua Majlis Syuro

sampai ada pemilu presiden.22

Apapun namanya dan alasannya, kudeta adalah pengingkaran dari proses demokratisasi yang tengah tumbuh di alam kebebasan Mesir pascarevolusi 11 Februari 2011. Eric A. Nordlinger secara jelas mengatakan:

“Secara sederhana, kudeta diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan militer untuk merebut kekuasaan, atau aksi politik untuk menggantikan (mendominasi) suatu kelompok atau rejim yang menjadi saingannya dengan rejim sendiri.”23

Militer telah merampas proses demokrasi dan menghilangkan kesempatan Mesir untuk mengekspresikan kebebasan melalui demokrasi. Masyarakat Mesir kembali ke titik nol dan mereka mulai berdemokrasi lagi dari awal. Semestinya di negara yang mengikuti aturan berdemokrasi, semua kalangan menjadi pengawal terselenggaranya demokratisasi. Samuel Huntington mengatakan bahwa militer

22

Hamdan Basyar, Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel,

h. 2.

23

74

yang ikut serta dalam proses politik, adalah tentara yang mengalami kemunduran ke arah pretorian.

“...kaum militer yang melakukan intervensi politik pada hakikatnya menyalahi etika militer profesionalnya. Bahkan Huntington menganggap

intervensi militer dalam politik sebagai pembusukan politik (political

decay) dan dianggap sebagai kemunduran ke arah tentara pretorian.”

Tentara pretorian atau tentara jenis penakluk (warior) dalam hal ini mewakili kelompok militer yang berkuasa, menjalankan pemerintahan, dan menentukan keputusan-keputusan politik. Jadi, tentara akan menjadi tentara pretorian apabila mereka mengancam atau menggunakan kekuatan dan kekuasaan mereka untuk mendominasi politik lalu menguasai pemerintahan. Tentara pretorian yang campur tangan dalam pemerintahan akan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan politik dan kekuasaan eksekutif menjadi tidak efektif. Kemudian rezim pemeritahan akan menjadi rezim militer karena perwira

militer sendiri yang merebut kekuasaan.24

Dokumen terkait