• Tidak ada hasil yang ditemukan

Militer dan politik: Studi kasus kudeta militer pada Presiden Mohammad Mursi di Mesir Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Militer dan politik: Studi kasus kudeta militer pada Presiden Mohammad Mursi di Mesir Tahun 2013"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

MILITER DAN POLITIK: STUDI KASUS KUDETA MILITER

PADA PRESIDEN MOHAMMAD MURSI DI MESIR TAHUN

2013

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Miftachul Choir Al Ayyubi

1110112000024

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i

ABSTRAK

Miftachul Choir Al Ayyubi

Militer dan Politik: Studi Kasus Kudeta Militer Pada Presiden Mohammad Mursi di Mesir Tahun 2013

Di Mesir, militer menjadi kelompok yang berkuasa dalam jalannya

pemerintahan. Militer sejak lama berkuasa di Mesir lewat kelompok Free Officer,

kelompok yang melakukan kudeta pertama kali pada Raja Farouq pada tahun 1952. Sejak saat itu tampuk kekuasaan, pergantian pemimpin, dan penentuan

regulasi di Mesir dipengaruhi Militer. Ditambah Dewan Agung Militer (Supreme

Council of the Armed Forces – SCAF) yang kini mengawasi setiap jalannya pemerintahan di Mesir. Mohammad Mursi, presiden terpilih dari kelompok Ikhwanul Muslimin menjadi bulan-bulanan, hanya setahun kepemimpinannya kemudian dikudeta militer. Militer belum rela bila kekuasaan di Mesir kini beralih ke tangan pihak lain, lewat ultimatum 48 jam militer mengumumkan pengambilalihan pemerintahan atas Mursi. Dengan begini militer mengalami kemunduran secara profesional dan termasuk menjadi tentara pretorian. Tentara yang intervensi dalam jalannya politik.

Rakyat berdemontsrasi di alun-alun Tahreer dengan alasan ekonomi tidak membaik pada setahun jalannya Mursi berkuasa, menganggap Mursi hanya perwakilan yang mementingkan Ikhwanul Muslimin karena dominasi parlemen, dan menuduh gagal menertibkan huru-hara yang terjadi akibat faktor tersebut. Ditambah dekrit Mursi pada 22 November yang disinyalir memiiki kekuasaan tidak terbatas yang akan dimiliki Mursi, padahal itu langkah Mursi untuk mengamankan pemerintahannya dari geliat politik militer yang coba menggerogoti dari dalam.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Penelitian ini merupakan yang paling menarik untuk dikaji.

Kepemimpinan Mesir setelah Mubarak jatuh dipegang oleh Muhammad Mursi,

presiden yang kala itu maju lewat sayap politik Ikhwanul Muslimin. Setelah

Mursi terpilih militer melakukan kudeta pada setahun kepemimpinannya, menjadi

menarik karena banyak hal yang terjadi. Selain Mesir baru saja menjajaki

demokrasi, ada ketidakrelaan militer yang sejak lama menguasai Mesir kini harus

kehilangan pamornya dalam segala bidang. Pada awalnya penelitian ini ingin

melihat apa saja kah faktor yang memotivasi militer melancarkan kedetanya, dan

bagaimana militer melakukannya. Karena idealnya pada negara yang baru

menjajaki demokrasi, berbagai golongan turut serta mendukung jalannya transisi,

bukan menjegal. Semoga penelitian ini bermanfaat dan dapat berkembang

menjadi lebih baik lagi.

Peneliti ingin menyampaikan banyak terimkasih ada tiap orang juga

lembaga yang turut membantu menyeleaikan penelitian ini. Dalam kesempatan ini

peneliti ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas UIN Syarif

Hidayatulah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik UIN Syarif Hidayatulah Jakarta.

3. Bapak Dr. Iding Rosyidin selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN

(7)

iii

4. Ibu Suryani M. Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik UIN

Syarif Hidayatulah Jakarta.

5. Bapak Dr. Nawiruddin selaku pembimbing juga teman diskusi yang selalu

menyempatkan waktu di sela-sela kesibukannya. Berkat pembimbing

membuat peneliti hati-hati dan teliti dalam menulis, sehingga penelitian ini

bisa berhasil dengan baik.

6. Terimakasih yang terdalam peneliti sampaikan kepada Mukarrom Chusni

Amari dan Siti Hodijah. Sebagai orang tua tak henti-hentinya memberikan

dukungan moril dan materil. Serta doa yang tak pernah putus membuat

semangat peneliti tak putus hingga akhir penelitian ini. Adinda adik

tersayang Isti dan Nadya yang tiap malamnya menyempatkan

membangunkan peneliti kala tertidur dalam pengerjaan penelitian ini.

7. Kepada Bapak Hamdan Basyar dan Zuhairi Misrawi peneliti ucapkan

terimakasih telah memberikan data dan pengetahuan bagi kebutuhan

penulisan skripsi ini. Sehingga penelitian ini menjadi matang untuk

dipresentasikan.

8. Kepada Radityo, Chacha, Alfi, Azha, Nafis Ayok, Nurhadi, Jekry, Sulton,

Nafis, Wases, Silvi Widodo, Yan, dan Farhany. Peneliti ucapkan banyak

terimakasih karena canda tawa kalian selalu jadi penghibur dalam

kebuntuan berfikir tengah malam.

9. Kepada Aisyah, Andini, Lulu, Lela, Afril, Adis, Indragiri, Erwin, Camen

Ferdi, Rizky Botsam, Ompong Novian, Ikbal, Angga, Aslusani, Ambon

(8)

iv

Zhahrah Qamarani, Ismet, Ade Kumis, Brian dan seluruh kawan-kawan

Ilmu Politik 2010 Peneliti ucapkan terimakasih. Karena setia berdiskusi

kecil dan mendengar keluh kesah peneliti.

10.Tak lupa terimakasih peneliti ucapkan pada staf TU Pak Jajang dan Pak

Amali yang banyak membantu peneliti dalam melengkapi urusan

(9)

v

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Tinjauan Pustaka ... 12

E. Metodologi Penelitian ... 14

F. Sistematika Penelitian ... 15

BAB II KERANGKA TEORI A. Hubungan Sipil Militer Dalam Perspektif Modern ... 17

1. Kontrol Sipil Atas Militer Dan Intervensi Militer ... 17

B. Konflik. ... 20

BAB III DINAMIKA KEKUASAAN DAN DEMOKRATISASI DI MESIR A. Peran Militer Dalam Peta Kekuasaan Di Mesir ... 43

B. Perkembangan Transisi Demokrasi Di Mesir ... 47

BAB IV KUDETA PRESIDEN MURSI A. Krisis Pemerintahan Sipil ... 60

B. Politik Militer Dan Oposisi ... 67

C. Militer Pasca Kejatuhan Mursi... 74

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 79

(10)

vi

(11)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel III.B.1 Hasil Pemilu Parlemen 2011 ... 50

(12)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Transkip Wawancara Hamdan Basyar

Lampiran 2 Data Transkip Wawancara Zuhairi Misrawi

Lampiran 3 Surat Pengantar Wawancara/Mencari Data

Lampiran 4 Surat Keterangan Selesai Wawancara

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Di kawasan Middle East and North Africa (MENA), perkembangan dan

gaya pemerintahan banyak diwarnai oleh kekuatan basis lokal suku tradisional

(kabilah), doktrin agama, dan kelompok bersenjata atau biasa disebut tentara

militer. Pada negara yang penguasanya didukung oleh kelompok bersenjata dan

basis lokal yang sengaja dibuat loyal bagi penguasa, akan mengarah pada gaya

kepemimpinan yang otoritarian1. Dibeberapa bagian negara seperti Mesir dan

Libya tidak lepas dari kekuasaan rezim militer yang melakukan kudeta. Rezim

Gammal Abdul Nasser di Mesir dan Muammar Gaddafi di Libya berhasil

melakukan kudeta dan berkuasa dalam kurun waktu yang lama. Mereka bertahan

dengan menggunakan aparat militer, polisi rahasia serta partai politik dominan

buatan sendiri untuk menguasai parlemen, dan menggunakan jaringan antar suku

untuk menjaga stabilitas kekuasaan ditingkat bawah. Pemimpin ini banyak

memperoleh kekuatan politiknya karena latar belakang militer mereka. Esprit de

corps, jaringan komunikasi dan hirarki ala militer membuat kekuasaan mereka

tetap terjaga di tengah arus oposisi yang mereka hadapi.2

1

Otoritarianisme adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan kekuasaannya secara keras, kaku, dan tanpa kompromi. Semua dijalankan atas nama negara dan untuk negara, jenis pemerintahan ini mirip dengan pemerintahan model militer yang dilakukan dengan kekerasan, disertai dengan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan hak pribadi, hak-hak politik, serta sipil. Otoritarianisme juga merupakan gaya pemerintahan dari filsafat kekuasaan monarki absolut abad 16-17 M di Inggris dan Prancis.

2Mohammad Riza Widyarsa, “Rezim Militer dan Otoriter di Mesir, Suriah dan Libya,”

(14)

2

Penelitian ini mengambil kasus Mesir karena memiliki perbedaan dengan

negara yang lain, Mesir pasca kejatuhan Mubarak adalah mulainya penjajakan

negara Mesir pada sistem yang lebih demokratis. Menjadi Mesir pertama kali

mempunyai pemimpin yang bebas dari latar belakang militer bukan hasil kudeta,

tapi menjadi yang paling demokratis dalam sejarah Mesir. Karena dalam sejarah

dominasi militer yang kuat membuat Mesir tidak menjadi negara yang

sepenuhnya demokratis, melainkan hanya demokrasi secara simbolik. Dibagian

lain, perbedaan kasus penggulingan rezim terjadi di Libya yang merupakan

dampak dari kelanjutan perubahan rezim di Tunisia dan Mesir, yaitu efek domino

dari Arab Spring3(musim semi Arab).4

Pada perjalanan pemerintahan Mesir, rezim Husni Mubarak berkuasa

kurang lebih tiga puluh tahun dengan gayanya yang otoriter. Hal-hal paling

mendasar dari sistem otoritariansme yang diterapkan Mubarak adalah

pemerintahan yang sewenang-wenang menggunakan hukum dengan segala

instrumen negara yang memaksa untuk memonopoli kekuasaan dan menolak

hak-hak politik kelompok lain untuk meraih kekuasaan.5 Sebelum Mubarak,

pemerintahan Mesir dipegang oleh Jendral Mohammad Naguib lewat kudeta

3

Di penghujung tahun 2010 dan awal tahun 2011 terjadi pergolakan besar-besaran di Dunia Arab yang terjadi dari Afrika Utara sampai ke Timur Tengah, dari Aljazair sampai ke Bahrain. Satu persatu rezim diktator bertumbangan mulai dari Zein al-Abidine Ben Ali di Tunisia dan Husni Mubarak di Mesir. Demikian rezim lainnya di Aljazair, Suriah, Yaman, Libya dan Bahrain yang masih bertahan diterpa angin demonstrasi.Berawal dari Muhammad Bouazzi di Tunnisia yang membakar diri, aksi ini menyulut semangat pemuda berdemonstrasi menuntut keadilan, dan semangat ini menular ke negara negara Arab.

4Hery Sucipto, “Babak Baru Mesir

-AS.” Republika,17 Februari 2012, h. 5.

5

(15)

3

militernya tahun 1952 yang melibatkan Kelompok Perwira Bebas (Free Officer)6.

Naguib tak lama memerintah karena segera digeser oleh Nasser (1952-1970),

kemudian diteruskan Anwar Sadat (1970-1981), dan Hosni Mubarak (1981-2011)

setelah Sadat ditembak mati pada acara parade militer. Perlu diketahui mereka

semua adalah tentara, dan bagian dari kelompok Perwira Bebas (Free Officer).7

Pada 25 Januari 2011 terjadi demonstrasi yang dimulai oleh pemuda

menentang kepemimpinan Mubarak dan menuntut perubahan, massa menamakan

hari itu dengan Yawm Al Ghadab(hari kemarahan). Pergolakan yang terjadi di

sejumlah provinsi seperti Bani Suez, Mansoura, Tanta, Alexandria, dan Port Said.

Aksi ini membawa pesan penting yaitu tidak inginnya rakyat dengan

kepemimpinan totaliter secara politik, rakyat yang berkumpul di lapangan Tahrer

berhari-hari membuktikan bahwa Mesir sedang mengalami kebuntuan politik

yang luar biasa.8 Kesalahan lain Mubarak adalah terlena begitu lama dengan

kekuasaannya ditambah Mubarak ingin mewariskan kekuasaan pada putranya

Gamal Mubarak, proses politik itu memperjelas ke arah pembentukan dinasti

politik. Rakyat juga bosan dengan gayanya yang reaktif terhadap kritik yang

mudah menangkap para pengkritik.9

6

Kelompok Perwira bebas adalah kelompok yang secara politis dan rahasia terbentuk pada tahun 1939, kelompok ini beranggotakan Anwar Sadat, Abdel Munim, Abdul Rauf, Abdul Lathief El Baghdadi, Hussein, Hassan Izzat, Amned Ismail Ali. karena Anwar Sadat ditahan pada musim panas, pucuk kepemimpinan kelompok ini dipegang oleh Gamal Abdul Nasser pada awal tahun 1943 yang baru saja kembali dari Sudan. Pada awalnya kelompok ini bersepakat melakukan revolusi membebaskan Mesir di bawah jajahan Inggris. Selanjutnya kelompoknya ini terlibat dalam kudeta raja Farouq pada 23 Juli 1952,di bawah komando Jendral Naguib dan Kolonel Gamal Abdul Nasser.

7

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan (Jakarta: P2P-LIPI, 2001), h. 62-71.

8Zuhairi Misrawi, “Mesir di Persimpangan Jalan,”

Kompas, 11 Februari 2011, h. 6.

9“Mubarak Terlena Begitu Lama Peringatan Bagi Pemimpin Yang Lengah,”

(16)

4

Gaya pemerintahan otoriter dipandang menjadi sebuah penurunan kualitas

pemerintahan, bahkan penurunan ini juga dirasakan oleh kelompok yang

notabenenya pro dengan peguasa otoriter itu sendiri. secara jelas Guillermo A.

O'Donnell mengatakan:

”Tidak hanya pihak oposan, tetapi juga kebanyakan mereka yang

berada di dalam rezim menyimpulkan bahwa pengalaman pemerintahan otoriter adalah sebuah kegagalan total, bahkan pun jika diukur dengan standar yang ditetapkan oleh rezim yang bersangkutan. Pihak oposisi terdorong bertindak karena kegagalan yang sudah demikian jelasnya. Kelompok penguasa, termasuk angkatan bersenjata, semakin lama semakin tidak percaya pada kapasitas mereka sendiri. Mereka terpecah secara parah akibat tuduhan-tuduhan mengenai siapa pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kegagalan yang diderita rezim tersebut.”10

Mubarak akhirnya mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah

gelombang protes kurang lebih selama 15 hari yang diwarnai kekerasan berdarah.

Pemerintahan transisi diserahkan pada militer di bawah Jendral Hussein Tantawi,

Mahkamah Agung Mesir kemudian memerintahkan Perdana Menteri Ahmad

Syafiq untuk menjalankan pemerintahan selama enam bulan sampai akhir pemilu

parlemen dan presiden.11 Militer yang memegang kendali pada transisi kekuasaan

di bawah Husssein Tantawi dituntut rakyat sebagai kelompok pengawal

demokrasi untuk segera menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu). Rakyat

menuntut Pemilu disegerakan, agar militer sebagai penguasa transisi tidak

bertindak di luar batas. Berdasarkan tuntutan-tuntutan itu, pemerintahan transisi

segera menyelenggarakan Pemilihan Umum Parlemen pada 2011. Terdapat hasil

10

Guillermo A. O'Donnell, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1993), h. 28.

11

(17)

5

yang sangat berbeda pada Pemilu parlemen karena Partai Demokratik Nasional

(NDP)12, yaitu partai alat Mubarak tidak lagi mendominasi dan ini menjadi

pertanda bahwa adanya pembaharuan konstelasi politik di Mesir. kemudian

pemilu presiden dlaksanakan, Pemilu paling demokratis sejak tahun 1984.13

Pemilu presiden dilaksanakan dua kali pada tanggal 23-24 Mei dan 16-17

Juni, ini dilakukan karena tidak satupun dari 13 kandidat yang mendapatkan suara

mayoritas pada putaran pertama. Hasil pemilu ini dimenangkan oleh Muhammad

Mursi kandidat dari Partai Kemerdekaan dan Keadilan (FJP) sayap politik

Ikhwanul Muslimin, dengan perolehan 51,73% suara. Sedang Ahmad Syafiq yang

berasal dari mantan Perdana Menteri rezim Mubarak mendapat 48,27% suara.14

Terlihat militer tetap ingin mengambil andil tampuk kekuasaan Mesir, dengan

Syafiq yang mengikuti kontestasi pemilu presiden. Perlu diketahui Syafiq adalah

Marsekal Angkatan Udara Mesir dan Mantan Perdana Menteri Mesir, dianggap

loyalis dan representasi dari rezim Mubarak.15

12

NDP (Partai Demokat Nasional) adalah partai yang dibentuk dan diketuai oleh Mubarak. Partai ini dibentuk guna mempertahankan dominasinya dalam Dewan Nasional (parlemen), terbukti sejak pemilihan umum tahun 1984 hingga akhir pemerintahannya yang ditumbangkan revolusi rakyat. Sejak kudeta tahun 1952, konstitusi Mesir memberikan kesempatan kepada presiden untuk dipilih kembali melalui referendum. Dalam referendum itu parlemen hanya mengajukan satu calon presiden. Prosedur ini dikontrol oleh partai yang berkuasa pada masa itu, dan merupakan bentuk negara otoritarian yang dikuasai oleh satu partai politik. Partai politik yang berkuasa sejak tahun 1952 memiliki berbagai nama, namun kenyataannya hanya satu, atau partai lain mewarisi kekuasaan monolit dan tabiat partai sebelumnya. Sebelum muncul NDP (Partai Demokratik Nasioal) partainya Mubarak yang dibuat pada 1976 sudah ada beberapa partai yang sifatnya mendominasi. Dalam pemilu parlemen yang diselenggarakan antara 1976 dan 2005, NDP terus mempertahankan suara mayoritas di parlemen. Selama itu NDP tetap mempertahankan kandidat tunggalnya sebagai presiden yaitu Husni Mubarak.

13

Zuhairi Misrawi, “Mesir dan Demokrasi Kaum Islamis,” Kompas, 8 Februari 2011, h. 7.

14“Mohammed Mursi dari Ikhwanul Muslimin menang dalam pilpres Mesir,”

(18)

6

Setelah Mursi menang dan menjadi presiden pertama Mesir yang terpilih

secara demokatis, massa terjun ke alun-alun Tahreer unjuk rasa menuntut Mursi

turun. Massa mengatakan parlemen yang baru terbentuk terlalu didominasi Islam

(Ikhwanul Muslimin), rakyat menginginkan pemerintahan yang proporsional. Dari

hasil pemilu parlemen, Kelompok Ikhwanul Muslimin mengambil dua per tiga

kursi di parlemen, hasil akhir menunjukkan bahwa Ikhwanul Muslimin dan Partai

Keadilan (FJP) memenangkan 235 kursi, atau 47,18 persen.16

Massa juga mengatakan kalau Mursi akan membawa Mesir menjadi

negara Islam, ini bertolak belakang dengan Mesir yang bercorak sekuler. Di lain

sisi, massa berteriak setelah Mursi mengeluarkan dekritnya pada Kamis 22

November 2012. Dekrit itu menyatakan bahwa Mursi mempunyai otoritas

tertinggi, final, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Para demonstran

anti pemerintah yang menentang dekrit adalah kelompok Islam moderat, kubu

liberal, sayap golongan kiri, Kristen Koptik, gerakan pemuda Tamarod, juga

koalisi oposisi dalam Front Penyelamat Nasioal (National Salvation Front / NSF)

yang dipimpin oleh Mohamed El Baradei. Semua kelompok tersebut adalah

kelompok yang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri di Mesir, namun dengan

keluarnya dekrit Mursi membuat mereka mempunyai common enemy yaitu Mursi,

Ikhwanul Muslimin, dan kelompok pendukung Mursi.17 Mursi sendiri berdalih,

kalau dekrit yang dikeluarkannya untuk melindungi revolusi, kehidupan bangsa,

keamanan, persatuan, dan kesatuan nasional. Mursi berjanji akan melepaskan

16“Ikhwanul Muslimin Dominasi Parlemen Baru Mesir,”

Republika Online, 24 Juni 2012. Artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/12/01/23/ly890c-ikhwanul-muslimin-dominasi-parlemen-baru-Mesir

17Ali Munhanif, “Berakhirnya Revolusi Tanpa Ideologi,”

(19)

7

segala kekuasaannya itu, ketika undang-undang baru sudah disusun dan disahkan.

Namun yang terjadi justru Mursi dituding menumpuk kekuasaan, ingin menjadi

diktator baru yang sama seperti Mubarak hanya dengan cara dan wajah berbeda.18

Pergantian kekuasaan di Mesir memperlihatkan situasi politik Mesir tidak

terlepas dari gerak militer yang selalu membayangi kekuasaan, proses transisi

demokratisasi di Mesir tidak berjalan baik dan berumur pendek. Secara jelas

Guillermo A. O'Donnell mengatakan:

“..transisi-transisi dari beberapa rezim otoriter tertentu menuju

„sesuatu yang lain‟, yang tidak pasti. “sesuatu” yang bisa jadi pemulihan suatu demokrasi politik, atau restorasi bentuk baru yang mungkin lebih buruk. Hasilnya mungkin hanya kekisruhan, yakni penggiliran kekuasaan di antara serangkaian pemerintahan yang gagal menyodorkan alternatif pemecahan yang dapat bertahan atau dapat diramalkan bagi masalah pelembagaan kekuatan politik. Transisi juga dapat berkembang menjadi konfrontasi sengit dan meluas, yang membuka jalan bagi rezim-rezim revolusioner yang ingin memperkenalkan perubahan drastis dari kenyataan

politik yang ada.”19

Transisi menjadi begitu rentan terhadap perubahan-perubahan politik yang

diakibatkan dari banyaknya kekuatan politik yang ingin menyelesaikan transisi itu

sendiri, atau dengan kata lain ingin mengisi kekosongan pemerintahan tersebut.

Pada awal kepemimpinannya Mursi mencopot Jendral Hussein Tantawi dengan

alasan ingin melepas semua hal yang berbau rezim Mubarak, kemudian Mursi

mengangkat Abdul Fattah Al Sisi sebagai Kepala Angkatan Bersenjata.20 Pada

perjalanannya Sisi juga lah yang mengkudeta Mursi dengan mengumumkan

ultimatum 48 jam bagi Mursi untuk mundur, menahan Mursi pasca kudeta, dan

18

Trias Kuncahyono, Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2013), h. 23-228.

19Guillermo A. O‟Donnell

, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, h. 1.

20

(20)

8

menangkapi serta menembaki anggota Ikhwanul Muslimin yang dianggap

pendukung militan Mursi. Pada Rabu 3 Juli 2013, Mursi resmi digulingkan oleh

militer Mesir. Sebelum kudeta, pihak militer mengultimatum Mursi untuk

berkompromi agar kondisi Mesir yang sedang bergejolak bisa dipadamkan dalam

waktu selambat-lambatnya 48 jam sejak Senin 1Juli 2013. Bila itu tidak berhasil

dilakukan, militer mengancam akan mengambil “langkah sendiri” dengan dalih

menyelamatkan negara.21 Soal transisi Guillermo A. O'Donnell mengatakan

secara jelas:

“Militer mungkin mendukung transisi lebih karena mereka

meyakini hal ini baik bagi angkatan bersenjata, bukan karena antusiasme terhadap demokrasi. Hal ini membuat perencanaan kudeta berisiko tinggi dan rawan akan kegagalan, terutama jika kita mempertimbangkan banyaknya perwira mliter yang bersikap oportunis pada pilihan-pilihan politiknya. Kalangan oportunis ini pada dasarnya berharap untuk berada pada pihak pemenang, dan jika mereka ragu terhadap pertarungan itu, mereka tampaknya akan memilih untuk mendukung situasi yang ada

daripada daripada alternatif-alternatif yang sifatnya memberontak.”22

Militer menyelaraskan sejauhmana kepentingan pribadi mereka sejalan

dengan berbagai faktor pendukung lainnya, yang kemudian bisa dipakai untuk

menjalankan kudeta tanpa harus terlihat kalau kudeta ini murni berdasarkan

kepentingan sendiri. Militer akan sigap mengkudeta ketika rakyat meneriakkan

keburukan pemerintah, selain mosi tidak percaya rakyat dan segala kekacauan

yang terjadi selama protes, akan dijadikan faktor pendukung yang membuat

kepentingan militer merebut kekuasaan tidak kentara. Seolah-olah militer bersama

21Muhammad Ibrahim Ramdani, “Krisis Politik di Mesir,”artikel diakses pada 1

September 2013 dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,pdf-ids,50-id,46756-lang,id-c,esai-t,Obama+Bukan+Juru+Damai+Sejati+Konflik+Arab+Israel-.phpx;

22

(21)

9

dengan kelompok orang-orang yang merasa dirugikan pemerintah, padahal militer

hanya memakai tuntutan kelompok itu agar tindakan kudeta mereka dianggap

keniscayaan dan pro terhadap rakyat.23

Beberapa alasan mengapa Mursi dengan cepat kehilangan dukungan di

dalam negeri dan selanjutnya dikudeta militer, diantaranya adalah: Petama, karena

dominasi kaum Ikhwanul Muslimin. Meningkatnya rasa ketidaksukaan rakyat

pada Ikhwanul Muslimin, yaitu partai pemenang Pemilu Mesir yang juga partai

asal Mursi. Mursi dianggap terlalu banyak memberikan posisi penting pada

Ikhwanul Muslimin. Terakhir, dia menunjuk tujuh gubernur baru yang semuanya

berlatar belakang Ikhwanul Muslimin. Namun pendukung Mursi membantah hal

ini, Mursi beralasan sudah menawarkan kursi penting di pemerintahan pada kubu

oposisi namun semua ditolak. Begitupun para wakil dari kaum sekular, liberal,

dan Kristen Koptik yang mengundurkan diri dari majelis.24

Kedua, karena memburuknya ekonomi. Kondisi perekonomian Mesir kian

memburuk setelah setahun Mursi memerintah. Mulai dari investasi yang jarang

datang, harga pangan meroket, serta seringya mati listrik karena kurangnya bahan

bakar. Menyebabkan kesejahteraan Mesir semakin memburuk. Di sisi lain

sebenarnya sudah diusahakan pinjaman lunak dari IMF sebnyak US$ 4,8 miliar.

Namun andai itu disetujui malah membuat Mesir semakin sulit, ini mengharuskan

pemerintah Mesir memotong subsidi di berbagai sektor.

Ketiga, karena pelanggaran demokrasi dan HAM. Mursi dinilai gagal

memelihara kesetabilan pada setahun kepemimpinannya. Baik dalam pelanggaran

23

Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 92.

24

(22)

10

Hak Asasi Manusia, demokrasi dan toleransi beragama. Belum lagi Mursi dinilai

gagal melakukan reformasi sektor keamanan terutama di kepolisian, militer dan

dinas intelijen Mesir. Ketika polisi Mesir terlibat pembantaian di Port Said,

Januari 2013 lalu dan 30 orang meninggal, Mursi dinilai tidak berusaha menindak

pelakunya dengan tegas. Serangan terhadap gereja Kristen Koptik dan kaum

minoritas pun meningkat.25

Keempat, karena Dekrit Presiden 22 November 2012. Keputusan Mursi

menerbitkan dekrit presiden ini pada 22 November 2012 lalu, dinilai sebagai

kesalahan fatal. Dalam dekrit ini, Mursi memecat jaksa agung, membuat semua

keputusan presiden kebal dari gugatan hukum (judicial review), dan menegaskan

keabsahan parlemen Mesir, keabsahan parlemen sebelumnya sempat digugat

beberapa pihak termasuk pihak militer.Sebulan setelah dekrit itu diterbitkan,

pemerintahan Mursi menggelar referendum untuk mengesahkan konstitusi baru

Mesir. Tindakan ini pun dikritik karena dinilai sepihak dan terburu-buru.

Konstitusi itu dinilai hanya mencerminkan kepentingan kelompok Mursi dan tidak

dibuat dengan mempertimbangkan elemen politik lain di Mesir.26

25

Komite Nasional Untuk Kemanusiaan Dan Demokrasi Mesir (KNKMD), Buku Putih Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Mesir di Mesir (Jakarta: KNKMD, 2014), h. 181.

26The Guardian, “Empat Alasan Presiden Mesir Digulingkan,” artikel diakses pada 14

(23)

11

B. Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini ingin meneliti kejatuhan Presiden Mursi yang dilakukan

pihak militer pada tanggal 3 Juli 2013. Peneliti membatasi pada alasan-alasan dan

proses militer mengkudeta Presiden Mursi yang telah terpilih secara demokratis

lewat pemilu 24 Juni 2012.

Dari ulasan dan pembatasan masalah di atas, peneliti mengajukan

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1) Apa faktor-faktor yang membuat militer mengkudeta Mursi?

2) Bagaimana proses militer dalam mengkudeta Mursi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Melihat realita yang terjadi di Mesir, dengan mengetahui

penyebab-penyebab terjadinya penggulingan oleh pihak militer. Penelitian ini sangat

bermanfaat untuk menganalisis kasus kudeta militer. Apalagi pada masa isu Arab

Spring yang marak dengan susulan-susulan protes, penggulingan rezim, serta revolusi yang sebenarnya didalangi militer.

Jadi, dalam penelitian ini bertujuan untuk:

1) Mengetahui faktor-faktor penyebab militer melakukan kudeta

terhadap Presiden Mursi yang telah dipilih secara demokratis.

2) Mengetahui langkah-langkah yang diambil militer dalam proses

(24)

12

Sedangkan manfaat dalam penelitian ini adalah adalah:

1. Mengetahui soal penyebab dan bagaimana langkah militer

mengkudeta Presiden Mursi. Serta mengidentifikasi tentara militer

Mesir yang mengalami kemunduran ke arah tentara pretorian.

2. Sebagai sarana untuk menambah literatur ilmu politik dalam kajian

politik Timur Tengah, khususnya terhadap hubungan militer dan

pemerintahan sipil dalam suatu negara.

3. Sebagai tambahan informasi ataupun literatur dalam penelitian

serupa bagi insan akademis khususnya di lingkungan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan umumnya bagi masyarakat luas.

D. Tinjauan Pustaka (Literatur Review)

Telah banyak studi yang memfokuskan diri pada penilitian Timur tengah,

di antara banyaknya buku dan jurnal yang telah ditemukan. Ada beberapa buku

penelitian yang sangat berkesinambungan dalam kasus ini. Di antaranya yang

pertama adalah,Skripsi Penelitian Andi Anggana mahasiswa UIN Syarif

Hidayatullah, tentang Proses Demokratisasi di Mesir: Studi Kasus Penggulingan

Hosni Mubarak pada tahun 2011 lalu. Dalam skripsi ini menjelaskan proses demokratisasi dan runtuhnya rezim Mubarak, pembahasan mengenai faktor-faktor

internal dan eksternal yang mengakibatkan runtuhnya rezim. Dalam skripsi ini

lebih mengedepankan pedekatan-pendekatan demokrasi untuk melihat secara luas

(25)

13

terjadi di Mesir sebelum terjadinya kudeta Presiden Mursi setelah terpilih lewat

pemilu. Sehingga penelitian yang kini peneliti buat adalah kesinambungan dari

rangkaian kejadian politik di Mesir dan lebih menyoroti soal hubungan militer dan

pemerintahan sipil.

Kemudian, buku Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir,

Turki, dan Israel yang ditulis oleh Hamdan Basyar, pada bahasan khusus Negara Mesir buku ini menjelaskan efek domino dari Musim Semi Arab dan polemik

politik di Mesir. Dalam buku ini banyak menjelaskan bagaimana militer dan

golongan oposisi di Mesir terhadap Mursi betarung lewat kebijakan-kebijakan

dalam parlemen. Memberikan penjelasan pada peneliti langkah-langkah yang

diambil oleh militer lewat jalur pertarungan konstitusi. Sedangkan tulisan peneliti

lebih melihat kepada langkah yang selanjutnya militer ambil setelah mendapatkan

kekuatannya melalui perdebatan konstitusi.

Serta, pada buku Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir yang ditulis oleh

Trias Kuncahyono. Buku ini membahas tentang keadaan Negara Mesir pada saat

tergulingnya Mubarak sampai terjadinya kudeta Presiden Mursi, memberikan

gambaran keadaan kota Mesir pada saat berkecamuknya konflik. Dalam

buku-buku tersebut memberikan peniliti informasi yang banyak tentang keadaan sosial

politik di Mesir, membantu peneliti dalam penulisan skripsi yang berjudul Militer

dan Politik: Studi Kasus Kudeta Militer Pada Presiden Mohammad Mursi di

Mesir Tahun 2013. Dalam penelitian ini sama sekali berbeda dengan literatur

yang sudah disebutkan, dan penelitian ini sifatnya berkelanjutan dari hal-hal yang

(26)

14

E. Metodelogi Penelitian

1. Metodelogi Penelitian

Peneliti ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Secara umum jenis ini

bisa menghasilkan temuan-temuan yang tidak dapat dihasilkan oleh penelitian

statistika. Penelitian ini memberikan pengetahuan mengenai sejarah, kondisi

sosial poliik, aktivitas sosial, dan lainnya. Jenis penelitian ini berguna melihat

sedetail mungkin mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi kudeta Presiden

Mursi di Mesir, dan melihat langkah-langkah militer dalam kudeta.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada lembaga-lembaga penelitian

yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muslim and Moderate Society, dan

Kedutaan Besar Mesir untuk Indonesia. Di antara lembaga tersebut adalah

lembaga yang berkonsentrasi pada isu-isu politik Timur Tengah dan mendukung

dalam memahami penelitian ini. Sedangkan waktu penelitian dilakukan secara

bertahap sampai penelitian selesai.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara adalah pertemuan antara peneliti dan responden, di mana

pengumpulan data dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh

(27)

15

responden.27 Peneliti melakukanwawancara dengan Pengamat Politik Timur

Tengah Hamdan Basyar, Zuhairi Misrawi, dan Trias Kuncahyono.

b. Dokumentasi

Pengumpulan data melalui dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data

sekunder, lalu melalui literatur dengan tujuan memeroleh bahan-bahan yang

memberikan penjelasan dari bahan primer ataupun hasil penelitian seperti, jurnal,

karya tulis, dan sebagainya.28

4. Analisis Data Penelitian

Analisis data penelitian untuk mengelola data yang sudah dikumpulkan,

menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu metode yang menggambarkan

hal-hal yang menjadi objek penelitianyang diharapkan mampu menjawab berbagai

permasalahan tersebut.29

F. Sistematika Penelitian

Untuk menjelaskan penelitian ini secara lengkap, peneliti memberikan

sistematika penelitian. Sistematika penelitian ini terangkum dalam beberapa bab,

disertai beberapa sub-bab yang terangkum secara garis besar.Adapun deskripsi

dari sistematika penelitian ini dilampirkan sebagai berikut:

27

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 67.

28

Pupuh Fathurrahman, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 146.

29

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif

(28)

16

 BAB 1 : Pendahuluan meliputi: Pernyataan Masalah,

Pertanyaan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan

Pustaka, Metodologi Penelitian, danSistematika Penelitian.

 BAB II : Kerangka Teori bahasannya meliputi:

PenjelasanTeori Hubungan Sipil Militer dalam Perspektif Modern,

Kontrol Sipil Atas Militer dan Intervensi Militer, Konsep dan

Sebab-Sebab Terjadinya Kudeta, Penjelasan Definisi Militer Jenis

Pretorian Moderator, Jenis Pretorian Pengawal, dan Jenis Pretorian

Penguasa.

 BAB III :Pada bab ini membahas seputar Dinamika

Kekuasaan dan Demokratisasi di Mesir, yang bahasannya meliputi

Peran Militer dalam Peta Kekuasaan di Mesir, dan Perkembangan

Demokratisasi dalam Transisi Demokrasi.

 BAB IV :Pada bab ini membahas tentang teknis bagaimana

militer mengkudeta Mursi yang bahasannya meliputi Krisis

Pemerintahan Sipil, Politik Militer dan Oposisi, dan Militer Pasca

Kejatuhan Mursi.

 BAB V : Pada bab ini berisi kesimpulan dan Saran untuk

menyimpulkan pembahasan, guna tercapainya kefahaman yang

(29)

17

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Hubungan Sipil Militer Dalam Perspektif Modern

1. Kontrol Sipil Atas Militer dan Intervensi Militer

Berbicara tentara yang ikut campur dalam politik sama dengan mengamati

hubungan antara sipil dan militer, hubungan sipil militer merupakan kajian yang

baru populer pada pertengahan abad 20 pasca Perang Dunia II. Barulah setelah

pasca perang itu para mahasiswa, sarjana sosial, dan ahli sejarah membahas

hubungan sipil militer. Mereka menganalisis secara ilmiah tentang hubungan sipil

militer menyangkut dua aspek, yaitu: kontrol sipil atas militer dan intervensi

militer pada domain polittik.1

Dalam pandangan Huntington, ia melihat bahwa ada dua bentuk hubungan

sipil militer. Pertama, kontrol sipil obyektif (Objective Civilian Control). Istilah

ini mengandung makna profesionalisme militer yang tinggi dan memiliki

pengakuan dari pejabat militer terhadap batas-batas profesionalisme yang menjadi

bidang mereka, subordinasi yang efektif dari militer pada pemimpin politik yang

membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer, pengakuan

dan persetujuan dari pihak pemimpin politik atas kewenangan profesional dan

otonomi bagi militer, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan negara.2

Kedua, kontrol sipil subyektif (Subjective Civilian Control), bentuk kontrol ini

1

Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. XLIII.

2

(30)

18

adalah memaksimalkan kekuasaan sipil. Model ini juga bisa diartikan sebagai

upaya meminimalkan kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan

kelompok-kelompok sipil.3

Michael C. Desch dengan mengacu pada Huntington, menganalisis

munculnya hubungan sipil militer dari persoalan internal maupun eksternal dalam

suatu negara. Desch mencatat suatu negara yang menghadapi tantangan militer

tradisional, yaitu ancaman dari luar, akan lebih memungkinkan memiliki

hubungan sipil militer yang stabil. Ancaman lingkungan seperti itu memaksa

institusi sipil lebih menyatu dan berkerjasama menangani masalah bersama-sama

dengan militer.4 Dalam tulisannya Desch menegaskan:

”Sebaliknya, jika negara menghadapi ancaman internal yang

signifikan, institusi dan otoritas sipil mungkin akan sangat lemah dan terpecah belah, yang menyulut mereka untuk mengontrol militer. Situasi seperti ini akan membuat hubungan sipil militer terganggu atau tidak sehat.”5

Sedangkan dalam penjelasan intervensi militer, secara sederhana diartikan

ketika tentara atau militer masuk, berpartisipasi, mempengaruhi kebijakan poltik

(baik secara langsung atau tidak). Amos Perlmutter melihat ada dua kondisi yang

memberi kesempatan bagi militer untuk melakukan intervensi, yaitu: kondisi

sosial dan politik suatu negara itu sendiri. Pertama, kondisi sosial. Dalam suatu

negara yang kondisi sosialnya lemah, maka kepentingan kelompok akan tersebar

dalam frekuensi yang tinggi. Kalau struktur negara lemah maka institusi-institusi

(31)

19

politik tidak berfungsi efektif. Dengan demikian kontrol sosial menjadi tidak

efektif. Sebab saluran-saluran komunikasi terhambat, kemudian membuat militer

berkesempatan untuk melakukan intervensinya. Kedua, kondisi politik. Intervensi

militer muncul dari persoalan-persoalan sipil. Sering sekali pemerintah sipil

sengaja kembali, atau merapat kepada militer untuk mencari dukungan. Ketika

struktur politik sipil terfragmentasi dalam faksi-faksi politik dan ketika perangkat

konstitusi tidak berjalan.6

Bila Perlmuter lebih melihat faktor eksternal yang mempengaruhi

hubungan sipil militer, S. F. Finner lebih melihat kepada faktor internalnya. Ia

mengatakan:

“…lebih melihat internal militer sebagai faktor utama terjadinya intervensi. Faktor motivasi biasanya sangat berpengaruh besar apakah militer akan mengintervensi atau tidak. Faktor ini mencakup beberapa motivasi antara lain; motivasi sebagai tujuan akhir tentara, dorongan dari kepentingan nasional, kepentingan kelompok yang meliputi kepentingan kelas, kepentingan regional, kepentingan korps, dan kepentingan individu.”7

Dari dua pandangan itu, kita bisa melihat adanya dua jalan yang

menyebabkan militer akhirnya melakukan intervensi terhadap pemerintahan sipil.

Yaitu melihat dari faktor eksternal dan internal yang menjadi motivasi militer

melakukan intervensi. Di lain sisi Finner juga mencatat berapa jalan yang

memungkinan militer melakukan intervensi, yaitu:

6

Amos Perlmutter, Militer dan Politik, h. 144-145.

7

(32)

20

a. Melalui saluran-saluran konstitusi normal (The normal constitusional

chanels).

b. Kolusi dan/atau persaingan dengan otoritas sipil (Collusion and/or

competition with the civilian authoritis).

c. Intimidasi terhadap otoritas sipil (The intimidation of the civilian

authoritis).

d. Mengancam dengan menolak bekerjasama dan/atau dengan kekerasan

terhadap otoritas sipil (Threaths of non-cooperation with, or violence

towards the civilian authoritis).

e. Gagalnya mempertahankan otoritas sipil terhadap kekerasan (Failure

to defend the civilian authoritis from violence).

f. Menggunakan kekerasan terhadap otoritas sipil (The exercise of

violence againts the civilian authorities).8

B. Konflik

1. Pengertian Konflik

Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial,

sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap

ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat

merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa

berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang

8

(33)

21

selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya

konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.

Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki

kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak,

tujuan dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat

diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga

menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat

diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan

yang terkecil hingga peperangan.

Istilah “konflik” secara etimolois berasal dari bahasa Latin “con” yang

berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.9 Pada

umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena

pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada

pertentangan dan peperangan internasional. Coser mendefinisikan konflik sosial

sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang

langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau

dilangsungkan atau dieliminasi saingannya.10

Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan

konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat

menyeluruh dikehidupan. Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara

9

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 345.

10

(34)

22

melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.11

Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang

berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang

saling menantang dengan ancaman kekerasan.12

Menurut lawang konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh

hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan

mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untk

menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan

kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan

sumber2 kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif

terbatas.13

Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik

adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau

masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara

saling menantang dengan ancaman kekerasan. konflik sosial adalah salah satu

bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat

yang ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling

menghancurkan. Konflik sosial sesungguhnya merupakan suatu proses

bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan yang relative

sama terhadap hal yang sifatnya terbatas. Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik

itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan

11

Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 99.

12

J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 68.

13

(35)

23

eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf pembinasaan eksistensi orang

atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.

2. Jenis Konflik

Dalam konflik ini terbagi dua jenis, diantaranya: (1) Konflik vertikal.

Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang

memiliki hierarki. (2) Konflik horizontal. Merupakan konflik yang terjadi antara

individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama.14

3. Resolusi Konflik

Dalam terjadinya konflik ada beberapa cara dalam menyelesaikan masalah

diantaranya: (1) Konsiliasi, cara ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu

yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan

keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan

yang mereka pertentangkan. (2) Mediasi, cara ini dilakukan bila kedua belah

pihak yang bersengketa bersama-sama sepakat untk memberikan

nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan. (3)

Arbitrasi, cara ini melalui pengadilan dengan seorang hakim (arbiter) sebagai

pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang

arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,

artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak

menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih

tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi.15

14

Kusnadi, Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja (Malang : Taroda, 2002), h. 67.

15

(36)

24

C. Kudeta

1. Pengertian Kudeta

Secara sederhana, kudeta diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang

dilakukan militer untuk merebut kekuasaan, atau aksi politik untuk menggantikan

(mendominasi) suatu kelompok atau rezim yang menjadi saingannya dengan

rezim sendiri.16 Dalam melakukan kudeta, banyak faktor-faktor yang

melatarbelakangi para perwira militer. Namun segala faktor itu tergantung pada

kondisi sosial politik yang ada pada masing-masing negara. Yang paling sering

menjadi motif militer melakukan kudeta adalah kesalahan-kesalahan yang

dilakukan pemerintah sipil yang mengakibatkan menurunnya keabsahan

pemerintahan sipil, baik karena pemerintahan sipil yang dianggap tidak bisa

mengolah negara dengan baik atau juga karena kesengajaan militer ingin merebut

kekuasaan demi kepentingan politiknya.17

Banyak sebutan, konsep, juga definisi yang dipakai dalam hal perebutan

kekuasaan. Demi tercapainya penjelasan yang tepat untuk mendeskripsikan

gejolak perebutan kekuasaan itu sendiri. Secara teknis Edward Luttwak membagi

beberapa penjelasan terkait hal perebutan kekuasaan dalam suatu negara atau

pemerintahan. Pronounciamiento, ini sebetulnya adalah kudeta versi klasik di

Spanyol abad sembilan belas. Dalam versi ini muncul istilah yang namanya

trabajos (kerja) sebelum adanya pronounciamiento itu sendiri, trabajos adalah fase di mana semua opini-opini perwira terkait pemerintahan dijajaki satu persatu,

16

Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 150.

17

(37)

25

kemudian timbul yang namanya copromisos yang maksudnya adalah langkah

pembuatan komitmen serta perhitungan imbalan-imbalan, dan resiko dalam

melakukan tindakan perebutan kekuasaan. Pronounciamiento ini dilaksanakan

oleh seluruh korps perwira dan dipimpin oleh pimpinan angkatan darat.

Selain pronounciamiento, ada yang namanya Putsch, sebenarnya putsch

tidak berbeda secara signifikan dengan pronounciamiento. Kalau

pronounciamiento direncanakan dan dilakukan oleh seluruh perwira angkatan

darat, sedangkan putsch dilakukan salah satu faksi dalam angkatan darat, atau

sipil yang memberontak namun menggunakan kekuatan unit angkaan darat.

Sedangkan kudeta adalah, termasuk campuran dari beberapa pejelasan di atas.

Kudeta tidak harus berjalan dibantu oleh kekuatan massa, namun tidak menutup

kemungkinan karena dengan bantuan massa dapat mempermudah efektifitas

kudeta. Kudeta juga merupakan infiltrasi ke dalam suatu segmen dari segala

kekuatan negara yang kecil namun menentukan, yang kemudian digunakan untuk

mengambil alih pemerintahan.18

Secara garis besar, ada pra kondisi untuk terjadinya kudeta. pertama,

sindrom negara transisi. Di mana pola tradisional sudah rusak sementara pola baru

belum terbentuk. Dalam masyarakat ini, kesatuan masyarakat belum ada,

lembaga-lembaga negara dan kontrol sosial tidak bisa beroperasi secara efektif,

saluran komunikasi sangat minim dan tidak ada lambang-lambang kesatuan

masyarakat. Militer dianggap yang paling mampu mengatasi sindrom ini karena

militer bisa memakai simbol-simbolnya untuk memerintah, dan mempersatukan

18

(38)

26

masyarakat dengan sifat netral yang dimilikinya, serta kesanggupannya menjalin

komunikasi dengan rakyat bawah. Kedua, terjadinya jurang kelas sosial yang

tajam akibat dari pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial yang sangat cepat

sehingga melahirkan jurang antara kaya dengan miskin. Di mana secara kuantitatif

kaum miskin jauh lebih banyak daripada kaum kaya. Ketiga, terjadinya aksi sosial

berdasarkan kelompok-kelompok (baik yang sadar politik atau tidak) dan

mobilisasi sumber-sumber materil dalam negeri yang rendah.19 Masyarakat

terpecah belah dan hidup berdasarkan nilai-nilainya sendiri, program pemerintah

tidak mendapat dukungan, bahkan selalu dirong-rong sehingga selalu gagal,

sumber materil yang diperlukan pemerintah tidak ada. Para pengusaha berusaha

tidak membayar pajak, kaum birokrat berusaha menerima suap dan petani hanya

menimbun hasil pertaniannya.

2. Sebab-Sebab Terjadinya Kudeta

Dalam pembahasan ini, perlu dikatakan bahwa banyak faktor yang

membuat militer melakukan kudeta, atau mengambil alih pemerintahan. Dari

pertanyaan sederhana tentang kapan kah militer akan mengambil alih

pemeritahan? Sederhananya adalah ketika terdapat kegagalan pemerintahan sipil

dan pada saat yang bersamaan kehilangan keabsahannya. Militer seringkali

menuduh pemerintah yang digulingkan gagal menjalankan tugasnya, melakukan

tindakan yang tidak sah di luar kelembagaannya, tidak bertanggung jawab atas

kemerosotan ekonomi, tidak mampu mengendalikan perasaan kecewa dan

penentangan politik tanpa menimbulkan kekerasan dan kekacauan. Kegagalan itu

19

(39)

27

memperkuat rasa tidak hormat dan benci militer pada pemerintah, kegagalan ini

biasanya akan menggambarkan kemerosotan citra pemerintah sipil di mata

masyarakat yang interest pada politik. Ditambah lagi dengan citra militer sebagai

golongan nasionalis utama, militer mengidentifikasi diri dengan negara, dan

negara sendiri adalah militer. Jadi, yang dianggap baik oleh militer juga baik

untuk negara, dan mencitrakan kudeta sebagai kepentingan menjaga konstitusi

negara.20

Penggambaran motif dan faktor-faktor penyebab terjadinya kudeta dapat

dilihat sebagai berikut: (1) Adanya kepentingan politis dari korporat militer

sendiri; (2) menurunnya keabsahan pemerintahan sipil yang disebabkan gagalnya

mengendalikan kemerosotan kesejahteraan ekonomi (3); banyak timbulnya

huru-hara kekerasan; (4) dan tindakan pemerintah sipil yang mengacu pada sentralisasi

kekuasaan. Faktor-faktor tersebut menjadi motif pendorong para perwira untuk

melakukan campur tangan, apalagi ketika para perwira memandang rendah para

pemangku kekuasaan. ini lebih memudahkan militer memberi alasan dan

menghalalkan tindakan kudeta pada kelompok sedang berkuasa yang mereka

anggap lemah. Belum lagi kegagalan pemerintah yang keabsahannya menurun

pada kalangan masyarakat yang sadar poitik. Selanjutnya akan dijelaskan motif

dan fakor-faktor terkait timbulnya kudeta.

Pertama, dalam tubuh mliter sendiri. Tidak dipungkiri para perwira militer

memperhatikan masa depan karir poilitik mereka, ini menjadi kepentingan pribadi

para perwira militer. Keinginan mereka untuk mendapatkan promosi, cita-cita

20

(40)

28

politik, dan ketakutan dipecat juga menjadi faktor penting dalan kudeta. Namun

seringkali faktor ini terlihat tidak secara kasat mata, karena sebelumnya militer

coba menyelaraskan sejauh mana kepentingan pribadi mereka sejalan dengan

berbagai faktor pendukung lainnya, yang kemudian bisa dipakai untuk

menjalankan kudeta tanpa harus terlihat kalau kudeta ini murni berdasarkan

kepentingan sendiri. 21 Militer akan sigap mengkudeta ketika rakyat meneriakkan

keburukan pemerintah, selain mosi tidak percaya rakyat dan segala kekacauan

yang terjadi selama protes, akan dijadikan faktor pendukung yang membuat

kepentingan pribadi militer merebut kekuasaan tidak kentara. Seolah-olah militer

bersama dengan kelompok orang-orang yang merasa dirugikan pemerintah,

padahal militer hanya memakai tuntutan kelompok itu agar tindakan kudeta

mereka dianggap keniscayaan dan pro terhadap rakyat.

Kedua, dalam suatu pemerintahan yang keadaan ekonominya baik adalah

suatu kritera prestasi yang sangat penting, tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan

ekonomi yang baik itu dijunjung tinggi di seluruh dunia, dan pemerintah dianggap

yang paling bertanggung jawab atas kemajuan ekonomi itu. Ini sangat berkaitan

dengan motif militer yang nantinya akan mengkudeta pemerintahan, karena laju

ekonomi yang rendah akan memicu timbulnya kegaduhan pada masyarakat yang

berpengaruh pada negara secara langsung. Kemunduran ekonomi yang dikelola

pemerintah semakin menambah perasaan tidak hormat militer terhadap

pemerintah, memeperkuat anggapan para perwira profesional dapat berperan

sebagai pembuat keputusan yang berhubungan dengan keputusan ekonomi guna

21

(41)

29

mempertahankan kepentingan masyarakat dan negara.22 Birokrasi militer yang

solid dan otonom, dapat menciptakan peraturan-peraturan yang penting guna

memacu pembangunan ekonomi, namun di sisi lain militer harus menghadapi dan

meyakinkan kelas-kelas sosial yang ada, agar langkah yang diambil militer ini

dianggap sah dan baik bagi negara. Sebelum tampil, militer harus mencitrakan

kehebatan dan kepedulian yang mencolok agar semakin terlihat meyakinkan,

dengan sebelumnya menawarkan konsep-konsep yang baku atas jalan keluar

menuju kemajuan negara.23

Ketiga, pemerintah sebagai penguasa juga dipercaya sebagai pengelola

keamanan yang baik. Bila banyaknya keresahan dan pertentangan politik tidak

dapat diselesaikan secara baik, akan membuat prestasi pemerintah merosot dan

dinilai tidak mementingkan rakyat sehigga menimbulkan huru-hara kekerasan di

kalangan masyarakat yang tidak merasa puas.24 Pemerintah juga dinilai tidak

berupaya menjalankan tujuan yang mendasar, yaitu menjaga ketertiban serta

melindungi negara, dengan tidak dapatnya mengatasi kekacauan dan

menghentikan pemogokan-pemogokan atas huru-hara tersebut. Pada saat

pergolakan dan huru-hara terjadi, militer mulai menyadari kalau pemerintah

sangat bergantung pada militer, tanpa dukungan dan ikut campur militer negara

akan rubuh.25 Pada akhirnya, keadaan yang bergejolak itu mengurangi keabsahan

pemerintah. Kemudian banyak orang yang terlibat dalam kancah politik

22

Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 29-130.

23

Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi, dan Konsolidasi Pembangunan (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), h. 223.

24

Alfred Stephan, Militer dan Demokratisasi, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1988), h. 128-131.

25

(42)

30

melancarkan aksi-aksi ujuk rasa, menunjukkan suatu penentangan yang kuat pada

pemerintah, pemerintah dianggap tidak lagi mempunyai hak moral untuk

memerintah. Lalu semakin memperkuat dorongan miiter melakukan kudeta.

Keempat, militer juga menuduh pemimpin sipil melakukan berbagai

tindakan inkonstitusional, termasuk melaksanakan undang-undang secara

sewenang-wenang, perluasan kekuasaan mereka ke dalam bidang yang dilarang

oleh konstitusi dan mempertahankan jabatan melampaui batas yang ditentukan

oleh peraturan. Militer berdalih pada kudeta yang mereka lakukan bertujuan

menghidupkan kembali kegiatan politik yang sehat, memberangus korupsi, dan

meningkatkan kejujuran yang tinggi pada masyarakat. Penyelewengan yang

dilakukan oleh pihak sipil memudahkan para perwira untuk mengambil tindakan

yang inkonstitusional, militer beranggapan pemerintah sipil telah menunjukan

sikap tidak hormat pada konstitusi, ini juga berakibat pada keabsahan pemerintah

sipil yang akan menurun.26

Dalam situasi seperti ini, pemerintah berada di sepanjang antara keabsahan

dan ketidakabsahan. Sebagian rakyat percaya bahwa pemerintah mempunyai hak

moral untuk memerintah, dengan begitu rakyat akan mematuhinya. Namun bila

sebagian besar masyarakat merasa pemerintah tidak memerintah sesuai dengan

peraturan yang ada, dan tidak membuat rakyat sejahtera, sudah dipastikan

pemerintah tidak layak menerima kesetiaan mereka. Senada dengan yang

dikatakan Samuel Huntington bahwa:

26

(43)

31

“romantisnya hubungan sipil-militer sebagaian besar tergantung

dari tindakan pemimpin sipil dalam mengelola pemerintahan. Romantisme itu akan hilang ketika pemerintah sipil tidak mampu meningkatkan perkembangan ekonomi, memelihara ketertiban umum, dan hukum. Dalam situasi seperti itu, politisi mungkin tergoda untuk menggunakan militer dalam setiap permasalahan yang terjadi, dan mungkin lebih jauh lagi demi memperoleh ambisi politik mereka. atau malah mliter sendiri yang sedari awal aktif berniat untuk memperoleh kekuasaan dengan memanfaatkan

momentum tersebut.”27

Apalagi ketika pemerintah memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan

kepentingan umum, lalu terindikasi terdapat kesewenangan dalam memerintah,

dan menghalangi kelompok lain dalam pemerintahan untuk memperoleh

fungsinya sebagai penguasa politik.28

D. Tentara Pretorian

Dalam kudeta dan perebutan kekuasan, militer memiliki peran yang besar.

Bahkan kudeta telah diidentikan oleh kekuatan militer dalam pengambilalihan

kekuasaan. Pretorianisme mengacu pada situasi di mana tentara tampil sebagai

aktor politik utama dan dominan yang secara langsung menggunakan kekerasan

atau mengancam untuk merebut suatu kekuasaan. Istilah ini diambil dari campur

tangan militer pada Kerajaan Roma, pada awalnya kerajaan ini dibentuk sebagai

kesatuan unit khusus yang bertugas melindungi maharaja. Namun akhirnya

dengan kekuatan militer yang mereka punya, menumbangkan raja dan menguasai

pemerintahan juga pemilihan umum. Angkatan bersenjata dalam semua negara

27

Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, h. xv.

28

(44)

32

mempunyai pengaruh yang sangat besar, termasuk pengaruh politik. Selain

sebagai lambang kekuatan negara, ia juga merupakan alat penahan utama dari

serangan luar maupun dalam.

Soal militer, Samuel Huntington berpandangan dalam kerangka hubungan

sipil militer menjadi dua yaitu, tentara pretorian dan tentara profesional. Tentara

pretorian atau tentara jenis penakluk (warior) dalam hal ini mewakili kelompok

militer yang berkuasa, menjalankan pemerintahan, dan menentukan

keputusan-keputusan politik. Paham ini tumbuh dan berkembang sebelum abad ke-19 ketika

profesi perwira sebagai pengelola kekerasan (manager of violence) masih

merupakan monopoli para kerabat istana. Munculnya revolusi Perancis 1789,

menandai perubahan dari “tentara pencari keuntungan materi” menjadi “tentara

panggilan suci (abdi negara)”, inilah yang kemudian dikatakan Huntington

sebagai awal berkembangnya paham tentara profesional. Sebenarnya bukan hanya

dinyatakan oleh Huntington, jauh sebelumnya seorang ilmuwan Perancis, de

Tocqueville sudah berbicara tentang profesi dan kehormatan militer.

Huntington memberikan tiga ciri pokok tentang tumbuhnya

profesionalisme militer, yaitu : pertama, mensyaratkan keahlian, profesi militer

menjadi spesifik serta memerlukan pengetahuan dan keterampilan. Kedua, militer

memiliki tanggung jawab sosial khusus, artinya seorang perwira militer

mempunyai tugas pokok kepada negara. Berbeda dengan sebelumnya, di mana

seorang perwira seolah hanya menjadi milik pribadi komandan dan harus setia

kepadanya sebagai suatu bentuk disiplin mati. Pada masa profesionalisme,

(45)

33

hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketiga, seorang militer

harus berkarakter korporasi (corporate character) yang pada kemudian

melahirkan rasa esprit de corps yang kuat.29

Ketika ketiga ciri militer profesional di atas terpenuhi, pada akhirnya

melahirkan apa yang disebut Huntington the military mind, yang menjadi dasar

hubungan militer dan negara. Ini membuat Negara Kebangsaan (nation state)

mejadi suatu bentuk tertinggi organisasi politik. Sehingga inti dari military mind

menjadi suatu ideologi yang berisi pengakuan militer pada supremasi

pemerintahan sipil. Bagi perwira militer, tidak ada kemuliaan yang paling tinggi,

kecuali kepatuhan kepada negarawan sipil. Jadi menurut Huntington, kaum

militer yang melakukan intervensi politik pada hakikatnya menyalahi etika militer

profesionalnya. Bahkan Huntington menganggap intervensi militer dalam politik

sebagai pembusukan politik (political decay) dan dianggap sebagai kemunduran

ke arah tentara pretorian.30 Tetapi dalam perspektif tentara pretorian, militer

seolah akan terlihat seperti kaum elite yang membawa pada modernisasi, kaum

militer juga dinilai melihat jauh ke depan, punya keinginan kuat untuk

kepentingan korporasinya, dan untuk mendorong modernisasi di negaranya.

Jadi, tentara akan menjadi tentara pretorian apabila mereka mengancam

atau menggunakan kekuatan dan kekuasaan mereka untuk mendominasi politik

lalu menguasai pemerintahan. Tentara pretorianisme modern yang campur tangan

29

Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics Civil Military Relations (Cambridge: Harvard University Press, 1957), h. 7-18.

30

Samuel P. Huntington, Tertib Politik dalam Masyarakat yang Sedang Berubah

(46)

34

dalam pemerintahan akan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan

politik dan kekuasaan eksekutif menjadi tidak efektif.

Kemudian rezim pemerintahan akan menjadi rezim militer karena perwira

militer sendiri yang merebut kekuasaan. Timbul pertanyaan, apakah rezim ini

terus menjadi rezim militer pada duapuluh tahun kemudian dan seterusnya? Eric

Nordlinger mengatakan,

“rezim militer adalah rezim di mana militer telah merebut

kekuasaan melalui kudeta, perwira atau mantan perwira militer menduduki jabatan tinggi pemerintahan. Mereka bergantung terutama pada perwira militer yang masih aktif untuk mempertahankan kekuaaan itu, walaupun pihak sipil juga diberi bagian untuk peran yang penting (namun biasanya

tidak penting).”31

Contohnya adalah Mesir, walaupun sudah dijabat oleh Nasser (lalu Sadat

dan Mubarok pada berikutnya), tetapi strukturnya banyak diisi oleh orang-orang

berlatar belakang militer. Nampaknya Eric melihat ini secara substnsial pada

pemerintahan.

Tentara pretorian cenderung melakukan kudeta. Kudeta ini dilakukan bila

militer merupakan kelompok yang paling solid, paling terorganisir secara politik

dan tidak ada oposisi yang kuat. Kudeta dilaksanakan oleh aktivis politik dan

kelompok politik dalam organisasi militer, perwira yang memiliki ambisi politik

dan perwira yang tidak menganggap militer sebagai profesi seumur hidup. Korps

Perwira dipolitisir oleh perwira lain yang secara politik atau ideologi terikat

dengan politisi sipil atau sipil yang minta perlindungan tentara atau karena

kejadian perjuangan anti kolonial, datangnya kemerdekaan atau kekacauan

31

(47)

35

ekonomi. Kudeta militer diorganisir oleh koalisi para aktivis politik dalam militer

dan sekutu-sekutu mereka atau oleh persekongkolan para perwira yang mendapat

dukungan politik dari luar militer. Keputusan kudeta tergantung dari kesiapan

politik dan saat yang tepat. Adapun kudeta ini memperoleh legitimasinya dari

sekutu-sekutu militer dan orang-orang yang sealiran dengan oposisi rezim lama

serta dari orang-orang yang tidak senang terhadap rezim lama dan para oportunis.

Para perwira yang bersatu mempunyai kekuatan yang besar, dan

berpotensi mempertahankan atau pun mengambil alih pemerintahan sipil.

Biasanya, mereka menggunakan senjata pada perebutan kekuasaan (sebagian

lainnya tidak musti menggunakan senjata). Pihak militer biasanya terang terangan

menonjolkan diri mereka dan menuntut agar diberi ruang dalam politik, dia

meminta arena politik diperluas. Secara tidak langsung ini adalah acaman militer

kepada pemerintah sipil, militer mengatakan bila diberi hak-hak politik, maka

kudeta akan terhindarkan, padahal ini adalah awal masuknya militer yang sedikit

demi sedikit akan menguasai kekuasaan pmerintahan sipil itu.

Dalam kajian mengenai pretorianisme, yang menjadi acuan adalah prestasi

pemerintahan sipil. Ini sangat penting, karena selalu menjadi penilaian sejauh

mana pemerintahan sipil dapat mengelola negara seperti yang dikehendaki oleh

rakyat, dan malah dikagumi oleh negara lain. Karena militer pretorian selalu

menyepelekan kinerja pemerintahan sipil, dan berpidato akan memulihkan

ekonomi dan memelihara keamanan negara pada saat pemeintahan sedang hiruk

Gambar

Tabel III.B.1
Tabel III.B.1. Hasil Pemilu Parlemen 2011
Tabel III.B.2. Hasil Perolehan Suara Pemilu Presiden Mesir Putaran

Referensi

Dokumen terkait

keluarga lagi, sakit atau difabel.. Bagi Kaum Lansia di Wilayah St. Bernadetta Banteng Baru Paroki Keluarga Kudus Banteng.. a) Memiliki kesediaan membangun komunitas baru

Metode yang digunakan selama pembangunan mobile commerce untuk “Pamella Swalayan” adalah:.

Gambar ilustrasi dapat dibuat dalam bentuk cerita bergambar, karikatur, kartun, komik, dan Ilustrasi karya sastra berupa puisi atau sajak.. Gambar ilustrasi dapat

Rumusan masalah dalam penelitian ini ada tiga, yaitu apakah terdapat perbedaan Emotion-Focused Coping dan Problem-Focused Coping pada wanita karir yang menonton drama

Tujuan dari kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah (1) Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mitra dalam mengembangkan desain dan diversifikasi produk

Paska dibubarkannya oleh pemerintah, para simpatisan HTI terus melakukan aktivitas propaganda dengan berbagai cara diantaranya: (1) narasi-narasi yang dibangun oleh penceramah HTI

Secara ringkas dissertasi ini akan mengkaji perbandingan struktur organisasi pengurusan penyelenggaraan, reka bentuk dan pemilihan bahan serta faktor penyebab kepada

Sehubungan dengan Pelaporan Laporan Keuangan Semester I DIPA BUA (005 01) Tahun Anggaran 2017 , bersama ini dengan hormat diminta kepada Saudara untuk.. menugaskan