MILITER DAN POLITIK: STUDI KASUS KUDETA MILITER
PADA PRESIDEN MOHAMMAD MURSI DI MESIR TAHUN
2013
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Miftachul Choir Al Ayyubi
1110112000024
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
ABSTRAK
Miftachul Choir Al Ayyubi
Militer dan Politik: Studi Kasus Kudeta Militer Pada Presiden Mohammad Mursi di Mesir Tahun 2013
Di Mesir, militer menjadi kelompok yang berkuasa dalam jalannya
pemerintahan. Militer sejak lama berkuasa di Mesir lewat kelompok Free Officer,
kelompok yang melakukan kudeta pertama kali pada Raja Farouq pada tahun 1952. Sejak saat itu tampuk kekuasaan, pergantian pemimpin, dan penentuan
regulasi di Mesir dipengaruhi Militer. Ditambah Dewan Agung Militer (Supreme
Council of the Armed Forces – SCAF) yang kini mengawasi setiap jalannya pemerintahan di Mesir. Mohammad Mursi, presiden terpilih dari kelompok Ikhwanul Muslimin menjadi bulan-bulanan, hanya setahun kepemimpinannya kemudian dikudeta militer. Militer belum rela bila kekuasaan di Mesir kini beralih ke tangan pihak lain, lewat ultimatum 48 jam militer mengumumkan pengambilalihan pemerintahan atas Mursi. Dengan begini militer mengalami kemunduran secara profesional dan termasuk menjadi tentara pretorian. Tentara yang intervensi dalam jalannya politik.
Rakyat berdemontsrasi di alun-alun Tahreer dengan alasan ekonomi tidak membaik pada setahun jalannya Mursi berkuasa, menganggap Mursi hanya perwakilan yang mementingkan Ikhwanul Muslimin karena dominasi parlemen, dan menuduh gagal menertibkan huru-hara yang terjadi akibat faktor tersebut. Ditambah dekrit Mursi pada 22 November yang disinyalir memiiki kekuasaan tidak terbatas yang akan dimiliki Mursi, padahal itu langkah Mursi untuk mengamankan pemerintahannya dari geliat politik militer yang coba menggerogoti dari dalam.
ii
KATA PENGANTAR
Penelitian ini merupakan yang paling menarik untuk dikaji.
Kepemimpinan Mesir setelah Mubarak jatuh dipegang oleh Muhammad Mursi,
presiden yang kala itu maju lewat sayap politik Ikhwanul Muslimin. Setelah
Mursi terpilih militer melakukan kudeta pada setahun kepemimpinannya, menjadi
menarik karena banyak hal yang terjadi. Selain Mesir baru saja menjajaki
demokrasi, ada ketidakrelaan militer yang sejak lama menguasai Mesir kini harus
kehilangan pamornya dalam segala bidang. Pada awalnya penelitian ini ingin
melihat apa saja kah faktor yang memotivasi militer melancarkan kedetanya, dan
bagaimana militer melakukannya. Karena idealnya pada negara yang baru
menjajaki demokrasi, berbagai golongan turut serta mendukung jalannya transisi,
bukan menjegal. Semoga penelitian ini bermanfaat dan dapat berkembang
menjadi lebih baik lagi.
Peneliti ingin menyampaikan banyak terimkasih ada tiap orang juga
lembaga yang turut membantu menyeleaikan penelitian ini. Dalam kesempatan ini
peneliti ingin menyampaikan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas UIN Syarif
Hidayatulah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatulah Jakarta.
3. Bapak Dr. Iding Rosyidin selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN
iii
4. Ibu Suryani M. Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatulah Jakarta.
5. Bapak Dr. Nawiruddin selaku pembimbing juga teman diskusi yang selalu
menyempatkan waktu di sela-sela kesibukannya. Berkat pembimbing
membuat peneliti hati-hati dan teliti dalam menulis, sehingga penelitian ini
bisa berhasil dengan baik.
6. Terimakasih yang terdalam peneliti sampaikan kepada Mukarrom Chusni
Amari dan Siti Hodijah. Sebagai orang tua tak henti-hentinya memberikan
dukungan moril dan materil. Serta doa yang tak pernah putus membuat
semangat peneliti tak putus hingga akhir penelitian ini. Adinda adik
tersayang Isti dan Nadya yang tiap malamnya menyempatkan
membangunkan peneliti kala tertidur dalam pengerjaan penelitian ini.
7. Kepada Bapak Hamdan Basyar dan Zuhairi Misrawi peneliti ucapkan
terimakasih telah memberikan data dan pengetahuan bagi kebutuhan
penulisan skripsi ini. Sehingga penelitian ini menjadi matang untuk
dipresentasikan.
8. Kepada Radityo, Chacha, Alfi, Azha, Nafis Ayok, Nurhadi, Jekry, Sulton,
Nafis, Wases, Silvi Widodo, Yan, dan Farhany. Peneliti ucapkan banyak
terimakasih karena canda tawa kalian selalu jadi penghibur dalam
kebuntuan berfikir tengah malam.
9. Kepada Aisyah, Andini, Lulu, Lela, Afril, Adis, Indragiri, Erwin, Camen
Ferdi, Rizky Botsam, Ompong Novian, Ikbal, Angga, Aslusani, Ambon
iv
Zhahrah Qamarani, Ismet, Ade Kumis, Brian dan seluruh kawan-kawan
Ilmu Politik 2010 Peneliti ucapkan terimakasih. Karena setia berdiskusi
kecil dan mendengar keluh kesah peneliti.
10.Tak lupa terimakasih peneliti ucapkan pada staf TU Pak Jajang dan Pak
Amali yang banyak membantu peneliti dalam melengkapi urusan
v
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
D. Tinjauan Pustaka ... 12
E. Metodologi Penelitian ... 14
F. Sistematika Penelitian ... 15
BAB II KERANGKA TEORI A. Hubungan Sipil Militer Dalam Perspektif Modern ... 17
1. Kontrol Sipil Atas Militer Dan Intervensi Militer ... 17
B. Konflik. ... 20
BAB III DINAMIKA KEKUASAAN DAN DEMOKRATISASI DI MESIR A. Peran Militer Dalam Peta Kekuasaan Di Mesir ... 43
B. Perkembangan Transisi Demokrasi Di Mesir ... 47
BAB IV KUDETA PRESIDEN MURSI A. Krisis Pemerintahan Sipil ... 60
B. Politik Militer Dan Oposisi ... 67
C. Militer Pasca Kejatuhan Mursi... 74
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 79
vi
vii
DAFTAR TABEL
Tabel III.B.1 Hasil Pemilu Parlemen 2011 ... 50
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Transkip Wawancara Hamdan Basyar
Lampiran 2 Data Transkip Wawancara Zuhairi Misrawi
Lampiran 3 Surat Pengantar Wawancara/Mencari Data
Lampiran 4 Surat Keterangan Selesai Wawancara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Di kawasan Middle East and North Africa (MENA), perkembangan dan
gaya pemerintahan banyak diwarnai oleh kekuatan basis lokal suku tradisional
(kabilah), doktrin agama, dan kelompok bersenjata atau biasa disebut tentara
militer. Pada negara yang penguasanya didukung oleh kelompok bersenjata dan
basis lokal yang sengaja dibuat loyal bagi penguasa, akan mengarah pada gaya
kepemimpinan yang otoritarian1. Dibeberapa bagian negara seperti Mesir dan
Libya tidak lepas dari kekuasaan rezim militer yang melakukan kudeta. Rezim
Gammal Abdul Nasser di Mesir dan Muammar Gaddafi di Libya berhasil
melakukan kudeta dan berkuasa dalam kurun waktu yang lama. Mereka bertahan
dengan menggunakan aparat militer, polisi rahasia serta partai politik dominan
buatan sendiri untuk menguasai parlemen, dan menggunakan jaringan antar suku
untuk menjaga stabilitas kekuasaan ditingkat bawah. Pemimpin ini banyak
memperoleh kekuatan politiknya karena latar belakang militer mereka. Esprit de
corps, jaringan komunikasi dan hirarki ala militer membuat kekuasaan mereka
tetap terjaga di tengah arus oposisi yang mereka hadapi.2
1
Otoritarianisme adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan kekuasaannya secara keras, kaku, dan tanpa kompromi. Semua dijalankan atas nama negara dan untuk negara, jenis pemerintahan ini mirip dengan pemerintahan model militer yang dilakukan dengan kekerasan, disertai dengan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan hak pribadi, hak-hak politik, serta sipil. Otoritarianisme juga merupakan gaya pemerintahan dari filsafat kekuasaan monarki absolut abad 16-17 M di Inggris dan Prancis.
2Mohammad Riza Widyarsa, “Rezim Militer dan Otoriter di Mesir, Suriah dan Libya,”
2
Penelitian ini mengambil kasus Mesir karena memiliki perbedaan dengan
negara yang lain, Mesir pasca kejatuhan Mubarak adalah mulainya penjajakan
negara Mesir pada sistem yang lebih demokratis. Menjadi Mesir pertama kali
mempunyai pemimpin yang bebas dari latar belakang militer bukan hasil kudeta,
tapi menjadi yang paling demokratis dalam sejarah Mesir. Karena dalam sejarah
dominasi militer yang kuat membuat Mesir tidak menjadi negara yang
sepenuhnya demokratis, melainkan hanya demokrasi secara simbolik. Dibagian
lain, perbedaan kasus penggulingan rezim terjadi di Libya yang merupakan
dampak dari kelanjutan perubahan rezim di Tunisia dan Mesir, yaitu efek domino
dari Arab Spring3(musim semi Arab).4
Pada perjalanan pemerintahan Mesir, rezim Husni Mubarak berkuasa
kurang lebih tiga puluh tahun dengan gayanya yang otoriter. Hal-hal paling
mendasar dari sistem otoritariansme yang diterapkan Mubarak adalah
pemerintahan yang sewenang-wenang menggunakan hukum dengan segala
instrumen negara yang memaksa untuk memonopoli kekuasaan dan menolak
hak-hak politik kelompok lain untuk meraih kekuasaan.5 Sebelum Mubarak,
pemerintahan Mesir dipegang oleh Jendral Mohammad Naguib lewat kudeta
3
Di penghujung tahun 2010 dan awal tahun 2011 terjadi pergolakan besar-besaran di Dunia Arab yang terjadi dari Afrika Utara sampai ke Timur Tengah, dari Aljazair sampai ke Bahrain. Satu persatu rezim diktator bertumbangan mulai dari Zein al-Abidine Ben Ali di Tunisia dan Husni Mubarak di Mesir. Demikian rezim lainnya di Aljazair, Suriah, Yaman, Libya dan Bahrain yang masih bertahan diterpa angin demonstrasi.Berawal dari Muhammad Bouazzi di Tunnisia yang membakar diri, aksi ini menyulut semangat pemuda berdemonstrasi menuntut keadilan, dan semangat ini menular ke negara negara Arab.
4Hery Sucipto, “Babak Baru Mesir
-AS.” Republika,17 Februari 2012, h. 5.
5
3
militernya tahun 1952 yang melibatkan Kelompok Perwira Bebas (Free Officer)6.
Naguib tak lama memerintah karena segera digeser oleh Nasser (1952-1970),
kemudian diteruskan Anwar Sadat (1970-1981), dan Hosni Mubarak (1981-2011)
setelah Sadat ditembak mati pada acara parade militer. Perlu diketahui mereka
semua adalah tentara, dan bagian dari kelompok Perwira Bebas (Free Officer).7
Pada 25 Januari 2011 terjadi demonstrasi yang dimulai oleh pemuda
menentang kepemimpinan Mubarak dan menuntut perubahan, massa menamakan
hari itu dengan Yawm Al Ghadab(hari kemarahan). Pergolakan yang terjadi di
sejumlah provinsi seperti Bani Suez, Mansoura, Tanta, Alexandria, dan Port Said.
Aksi ini membawa pesan penting yaitu tidak inginnya rakyat dengan
kepemimpinan totaliter secara politik, rakyat yang berkumpul di lapangan Tahrer
berhari-hari membuktikan bahwa Mesir sedang mengalami kebuntuan politik
yang luar biasa.8 Kesalahan lain Mubarak adalah terlena begitu lama dengan
kekuasaannya ditambah Mubarak ingin mewariskan kekuasaan pada putranya
Gamal Mubarak, proses politik itu memperjelas ke arah pembentukan dinasti
politik. Rakyat juga bosan dengan gayanya yang reaktif terhadap kritik yang
mudah menangkap para pengkritik.9
6
Kelompok Perwira bebas adalah kelompok yang secara politis dan rahasia terbentuk pada tahun 1939, kelompok ini beranggotakan Anwar Sadat, Abdel Munim, Abdul Rauf, Abdul Lathief El Baghdadi, Hussein, Hassan Izzat, Amned Ismail Ali. karena Anwar Sadat ditahan pada musim panas, pucuk kepemimpinan kelompok ini dipegang oleh Gamal Abdul Nasser pada awal tahun 1943 yang baru saja kembali dari Sudan. Pada awalnya kelompok ini bersepakat melakukan revolusi membebaskan Mesir di bawah jajahan Inggris. Selanjutnya kelompoknya ini terlibat dalam kudeta raja Farouq pada 23 Juli 1952,di bawah komando Jendral Naguib dan Kolonel Gamal Abdul Nasser.
7
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan (Jakarta: P2P-LIPI, 2001), h. 62-71.
8Zuhairi Misrawi, “Mesir di Persimpangan Jalan,”
Kompas, 11 Februari 2011, h. 6.
9“Mubarak Terlena Begitu Lama Peringatan Bagi Pemimpin Yang Lengah,”
4
Gaya pemerintahan otoriter dipandang menjadi sebuah penurunan kualitas
pemerintahan, bahkan penurunan ini juga dirasakan oleh kelompok yang
notabenenya pro dengan peguasa otoriter itu sendiri. secara jelas Guillermo A.
O'Donnell mengatakan:
”Tidak hanya pihak oposan, tetapi juga kebanyakan mereka yang
berada di dalam rezim menyimpulkan bahwa pengalaman pemerintahan otoriter adalah sebuah kegagalan total, bahkan pun jika diukur dengan standar yang ditetapkan oleh rezim yang bersangkutan. Pihak oposisi terdorong bertindak karena kegagalan yang sudah demikian jelasnya. Kelompok penguasa, termasuk angkatan bersenjata, semakin lama semakin tidak percaya pada kapasitas mereka sendiri. Mereka terpecah secara parah akibat tuduhan-tuduhan mengenai siapa pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kegagalan yang diderita rezim tersebut.”10
Mubarak akhirnya mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah
gelombang protes kurang lebih selama 15 hari yang diwarnai kekerasan berdarah.
Pemerintahan transisi diserahkan pada militer di bawah Jendral Hussein Tantawi,
Mahkamah Agung Mesir kemudian memerintahkan Perdana Menteri Ahmad
Syafiq untuk menjalankan pemerintahan selama enam bulan sampai akhir pemilu
parlemen dan presiden.11 Militer yang memegang kendali pada transisi kekuasaan
di bawah Husssein Tantawi dituntut rakyat sebagai kelompok pengawal
demokrasi untuk segera menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu). Rakyat
menuntut Pemilu disegerakan, agar militer sebagai penguasa transisi tidak
bertindak di luar batas. Berdasarkan tuntutan-tuntutan itu, pemerintahan transisi
segera menyelenggarakan Pemilihan Umum Parlemen pada 2011. Terdapat hasil
10
Guillermo A. O'Donnell, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1993), h. 28.
11
5
yang sangat berbeda pada Pemilu parlemen karena Partai Demokratik Nasional
(NDP)12, yaitu partai alat Mubarak tidak lagi mendominasi dan ini menjadi
pertanda bahwa adanya pembaharuan konstelasi politik di Mesir. kemudian
pemilu presiden dlaksanakan, Pemilu paling demokratis sejak tahun 1984.13
Pemilu presiden dilaksanakan dua kali pada tanggal 23-24 Mei dan 16-17
Juni, ini dilakukan karena tidak satupun dari 13 kandidat yang mendapatkan suara
mayoritas pada putaran pertama. Hasil pemilu ini dimenangkan oleh Muhammad
Mursi kandidat dari Partai Kemerdekaan dan Keadilan (FJP) sayap politik
Ikhwanul Muslimin, dengan perolehan 51,73% suara. Sedang Ahmad Syafiq yang
berasal dari mantan Perdana Menteri rezim Mubarak mendapat 48,27% suara.14
Terlihat militer tetap ingin mengambil andil tampuk kekuasaan Mesir, dengan
Syafiq yang mengikuti kontestasi pemilu presiden. Perlu diketahui Syafiq adalah
Marsekal Angkatan Udara Mesir dan Mantan Perdana Menteri Mesir, dianggap
loyalis dan representasi dari rezim Mubarak.15
12
NDP (Partai Demokat Nasional) adalah partai yang dibentuk dan diketuai oleh Mubarak. Partai ini dibentuk guna mempertahankan dominasinya dalam Dewan Nasional (parlemen), terbukti sejak pemilihan umum tahun 1984 hingga akhir pemerintahannya yang ditumbangkan revolusi rakyat. Sejak kudeta tahun 1952, konstitusi Mesir memberikan kesempatan kepada presiden untuk dipilih kembali melalui referendum. Dalam referendum itu parlemen hanya mengajukan satu calon presiden. Prosedur ini dikontrol oleh partai yang berkuasa pada masa itu, dan merupakan bentuk negara otoritarian yang dikuasai oleh satu partai politik. Partai politik yang berkuasa sejak tahun 1952 memiliki berbagai nama, namun kenyataannya hanya satu, atau partai lain mewarisi kekuasaan monolit dan tabiat partai sebelumnya. Sebelum muncul NDP (Partai Demokratik Nasioal) partainya Mubarak yang dibuat pada 1976 sudah ada beberapa partai yang sifatnya mendominasi. Dalam pemilu parlemen yang diselenggarakan antara 1976 dan 2005, NDP terus mempertahankan suara mayoritas di parlemen. Selama itu NDP tetap mempertahankan kandidat tunggalnya sebagai presiden yaitu Husni Mubarak.
13
Zuhairi Misrawi, “Mesir dan Demokrasi Kaum Islamis,” Kompas, 8 Februari 2011, h. 7.
14“Mohammed Mursi dari Ikhwanul Muslimin menang dalam pilpres Mesir,”
6
Setelah Mursi menang dan menjadi presiden pertama Mesir yang terpilih
secara demokatis, massa terjun ke alun-alun Tahreer unjuk rasa menuntut Mursi
turun. Massa mengatakan parlemen yang baru terbentuk terlalu didominasi Islam
(Ikhwanul Muslimin), rakyat menginginkan pemerintahan yang proporsional. Dari
hasil pemilu parlemen, Kelompok Ikhwanul Muslimin mengambil dua per tiga
kursi di parlemen, hasil akhir menunjukkan bahwa Ikhwanul Muslimin dan Partai
Keadilan (FJP) memenangkan 235 kursi, atau 47,18 persen.16
Massa juga mengatakan kalau Mursi akan membawa Mesir menjadi
negara Islam, ini bertolak belakang dengan Mesir yang bercorak sekuler. Di lain
sisi, massa berteriak setelah Mursi mengeluarkan dekritnya pada Kamis 22
November 2012. Dekrit itu menyatakan bahwa Mursi mempunyai otoritas
tertinggi, final, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Para demonstran
anti pemerintah yang menentang dekrit adalah kelompok Islam moderat, kubu
liberal, sayap golongan kiri, Kristen Koptik, gerakan pemuda Tamarod, juga
koalisi oposisi dalam Front Penyelamat Nasioal (National Salvation Front / NSF)
yang dipimpin oleh Mohamed El Baradei. Semua kelompok tersebut adalah
kelompok yang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri di Mesir, namun dengan
keluarnya dekrit Mursi membuat mereka mempunyai common enemy yaitu Mursi,
Ikhwanul Muslimin, dan kelompok pendukung Mursi.17 Mursi sendiri berdalih,
kalau dekrit yang dikeluarkannya untuk melindungi revolusi, kehidupan bangsa,
keamanan, persatuan, dan kesatuan nasional. Mursi berjanji akan melepaskan
16“Ikhwanul Muslimin Dominasi Parlemen Baru Mesir,”
Republika Online, 24 Juni 2012. Artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/12/01/23/ly890c-ikhwanul-muslimin-dominasi-parlemen-baru-Mesir
17Ali Munhanif, “Berakhirnya Revolusi Tanpa Ideologi,”
7
segala kekuasaannya itu, ketika undang-undang baru sudah disusun dan disahkan.
Namun yang terjadi justru Mursi dituding menumpuk kekuasaan, ingin menjadi
diktator baru yang sama seperti Mubarak hanya dengan cara dan wajah berbeda.18
Pergantian kekuasaan di Mesir memperlihatkan situasi politik Mesir tidak
terlepas dari gerak militer yang selalu membayangi kekuasaan, proses transisi
demokratisasi di Mesir tidak berjalan baik dan berumur pendek. Secara jelas
Guillermo A. O'Donnell mengatakan:
“..transisi-transisi dari beberapa rezim otoriter tertentu menuju
„sesuatu yang lain‟, yang tidak pasti. “sesuatu” yang bisa jadi pemulihan suatu demokrasi politik, atau restorasi bentuk baru yang mungkin lebih buruk. Hasilnya mungkin hanya kekisruhan, yakni penggiliran kekuasaan di antara serangkaian pemerintahan yang gagal menyodorkan alternatif pemecahan yang dapat bertahan atau dapat diramalkan bagi masalah pelembagaan kekuatan politik. Transisi juga dapat berkembang menjadi konfrontasi sengit dan meluas, yang membuka jalan bagi rezim-rezim revolusioner yang ingin memperkenalkan perubahan drastis dari kenyataan
politik yang ada.”19
Transisi menjadi begitu rentan terhadap perubahan-perubahan politik yang
diakibatkan dari banyaknya kekuatan politik yang ingin menyelesaikan transisi itu
sendiri, atau dengan kata lain ingin mengisi kekosongan pemerintahan tersebut.
Pada awal kepemimpinannya Mursi mencopot Jendral Hussein Tantawi dengan
alasan ingin melepas semua hal yang berbau rezim Mubarak, kemudian Mursi
mengangkat Abdul Fattah Al Sisi sebagai Kepala Angkatan Bersenjata.20 Pada
perjalanannya Sisi juga lah yang mengkudeta Mursi dengan mengumumkan
ultimatum 48 jam bagi Mursi untuk mundur, menahan Mursi pasca kudeta, dan
18
Trias Kuncahyono, Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2013), h. 23-228.
19Guillermo A. O‟Donnell
, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, h. 1.
20
8
menangkapi serta menembaki anggota Ikhwanul Muslimin yang dianggap
pendukung militan Mursi. Pada Rabu 3 Juli 2013, Mursi resmi digulingkan oleh
militer Mesir. Sebelum kudeta, pihak militer mengultimatum Mursi untuk
berkompromi agar kondisi Mesir yang sedang bergejolak bisa dipadamkan dalam
waktu selambat-lambatnya 48 jam sejak Senin 1Juli 2013. Bila itu tidak berhasil
dilakukan, militer mengancam akan mengambil “langkah sendiri” dengan dalih
menyelamatkan negara.21 Soal transisi Guillermo A. O'Donnell mengatakan
secara jelas:
“Militer mungkin mendukung transisi lebih karena mereka
meyakini hal ini baik bagi angkatan bersenjata, bukan karena antusiasme terhadap demokrasi. Hal ini membuat perencanaan kudeta berisiko tinggi dan rawan akan kegagalan, terutama jika kita mempertimbangkan banyaknya perwira mliter yang bersikap oportunis pada pilihan-pilihan politiknya. Kalangan oportunis ini pada dasarnya berharap untuk berada pada pihak pemenang, dan jika mereka ragu terhadap pertarungan itu, mereka tampaknya akan memilih untuk mendukung situasi yang ada
daripada daripada alternatif-alternatif yang sifatnya memberontak.”22
Militer menyelaraskan sejauhmana kepentingan pribadi mereka sejalan
dengan berbagai faktor pendukung lainnya, yang kemudian bisa dipakai untuk
menjalankan kudeta tanpa harus terlihat kalau kudeta ini murni berdasarkan
kepentingan sendiri. Militer akan sigap mengkudeta ketika rakyat meneriakkan
keburukan pemerintah, selain mosi tidak percaya rakyat dan segala kekacauan
yang terjadi selama protes, akan dijadikan faktor pendukung yang membuat
kepentingan militer merebut kekuasaan tidak kentara. Seolah-olah militer bersama
21Muhammad Ibrahim Ramdani, “Krisis Politik di Mesir,”artikel diakses pada 1
September 2013 dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,pdf-ids,50-id,46756-lang,id-c,esai-t,Obama+Bukan+Juru+Damai+Sejati+Konflik+Arab+Israel-.phpx;
22
9
dengan kelompok orang-orang yang merasa dirugikan pemerintah, padahal militer
hanya memakai tuntutan kelompok itu agar tindakan kudeta mereka dianggap
keniscayaan dan pro terhadap rakyat.23
Beberapa alasan mengapa Mursi dengan cepat kehilangan dukungan di
dalam negeri dan selanjutnya dikudeta militer, diantaranya adalah: Petama, karena
dominasi kaum Ikhwanul Muslimin. Meningkatnya rasa ketidaksukaan rakyat
pada Ikhwanul Muslimin, yaitu partai pemenang Pemilu Mesir yang juga partai
asal Mursi. Mursi dianggap terlalu banyak memberikan posisi penting pada
Ikhwanul Muslimin. Terakhir, dia menunjuk tujuh gubernur baru yang semuanya
berlatar belakang Ikhwanul Muslimin. Namun pendukung Mursi membantah hal
ini, Mursi beralasan sudah menawarkan kursi penting di pemerintahan pada kubu
oposisi namun semua ditolak. Begitupun para wakil dari kaum sekular, liberal,
dan Kristen Koptik yang mengundurkan diri dari majelis.24
Kedua, karena memburuknya ekonomi. Kondisi perekonomian Mesir kian
memburuk setelah setahun Mursi memerintah. Mulai dari investasi yang jarang
datang, harga pangan meroket, serta seringya mati listrik karena kurangnya bahan
bakar. Menyebabkan kesejahteraan Mesir semakin memburuk. Di sisi lain
sebenarnya sudah diusahakan pinjaman lunak dari IMF sebnyak US$ 4,8 miliar.
Namun andai itu disetujui malah membuat Mesir semakin sulit, ini mengharuskan
pemerintah Mesir memotong subsidi di berbagai sektor.
Ketiga, karena pelanggaran demokrasi dan HAM. Mursi dinilai gagal
memelihara kesetabilan pada setahun kepemimpinannya. Baik dalam pelanggaran
23
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 92.
24
10
Hak Asasi Manusia, demokrasi dan toleransi beragama. Belum lagi Mursi dinilai
gagal melakukan reformasi sektor keamanan terutama di kepolisian, militer dan
dinas intelijen Mesir. Ketika polisi Mesir terlibat pembantaian di Port Said,
Januari 2013 lalu dan 30 orang meninggal, Mursi dinilai tidak berusaha menindak
pelakunya dengan tegas. Serangan terhadap gereja Kristen Koptik dan kaum
minoritas pun meningkat.25
Keempat, karena Dekrit Presiden 22 November 2012. Keputusan Mursi
menerbitkan dekrit presiden ini pada 22 November 2012 lalu, dinilai sebagai
kesalahan fatal. Dalam dekrit ini, Mursi memecat jaksa agung, membuat semua
keputusan presiden kebal dari gugatan hukum (judicial review), dan menegaskan
keabsahan parlemen Mesir, keabsahan parlemen sebelumnya sempat digugat
beberapa pihak termasuk pihak militer.Sebulan setelah dekrit itu diterbitkan,
pemerintahan Mursi menggelar referendum untuk mengesahkan konstitusi baru
Mesir. Tindakan ini pun dikritik karena dinilai sepihak dan terburu-buru.
Konstitusi itu dinilai hanya mencerminkan kepentingan kelompok Mursi dan tidak
dibuat dengan mempertimbangkan elemen politik lain di Mesir.26
25
Komite Nasional Untuk Kemanusiaan Dan Demokrasi Mesir (KNKMD), Buku Putih Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Mesir di Mesir (Jakarta: KNKMD, 2014), h. 181.
26The Guardian, “Empat Alasan Presiden Mesir Digulingkan,” artikel diakses pada 14
11
B. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini ingin meneliti kejatuhan Presiden Mursi yang dilakukan
pihak militer pada tanggal 3 Juli 2013. Peneliti membatasi pada alasan-alasan dan
proses militer mengkudeta Presiden Mursi yang telah terpilih secara demokratis
lewat pemilu 24 Juni 2012.
Dari ulasan dan pembatasan masalah di atas, peneliti mengajukan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1) Apa faktor-faktor yang membuat militer mengkudeta Mursi?
2) Bagaimana proses militer dalam mengkudeta Mursi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Melihat realita yang terjadi di Mesir, dengan mengetahui
penyebab-penyebab terjadinya penggulingan oleh pihak militer. Penelitian ini sangat
bermanfaat untuk menganalisis kasus kudeta militer. Apalagi pada masa isu Arab
Spring yang marak dengan susulan-susulan protes, penggulingan rezim, serta revolusi yang sebenarnya didalangi militer.
Jadi, dalam penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui faktor-faktor penyebab militer melakukan kudeta
terhadap Presiden Mursi yang telah dipilih secara demokratis.
2) Mengetahui langkah-langkah yang diambil militer dalam proses
12
Sedangkan manfaat dalam penelitian ini adalah adalah:
1. Mengetahui soal penyebab dan bagaimana langkah militer
mengkudeta Presiden Mursi. Serta mengidentifikasi tentara militer
Mesir yang mengalami kemunduran ke arah tentara pretorian.
2. Sebagai sarana untuk menambah literatur ilmu politik dalam kajian
politik Timur Tengah, khususnya terhadap hubungan militer dan
pemerintahan sipil dalam suatu negara.
3. Sebagai tambahan informasi ataupun literatur dalam penelitian
serupa bagi insan akademis khususnya di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan umumnya bagi masyarakat luas.
D. Tinjauan Pustaka (Literatur Review)
Telah banyak studi yang memfokuskan diri pada penilitian Timur tengah,
di antara banyaknya buku dan jurnal yang telah ditemukan. Ada beberapa buku
penelitian yang sangat berkesinambungan dalam kasus ini. Di antaranya yang
pertama adalah,Skripsi Penelitian Andi Anggana mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah, tentang Proses Demokratisasi di Mesir: Studi Kasus Penggulingan
Hosni Mubarak pada tahun 2011 lalu. Dalam skripsi ini menjelaskan proses demokratisasi dan runtuhnya rezim Mubarak, pembahasan mengenai faktor-faktor
internal dan eksternal yang mengakibatkan runtuhnya rezim. Dalam skripsi ini
lebih mengedepankan pedekatan-pendekatan demokrasi untuk melihat secara luas
13
terjadi di Mesir sebelum terjadinya kudeta Presiden Mursi setelah terpilih lewat
pemilu. Sehingga penelitian yang kini peneliti buat adalah kesinambungan dari
rangkaian kejadian politik di Mesir dan lebih menyoroti soal hubungan militer dan
pemerintahan sipil.
Kemudian, buku Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir,
Turki, dan Israel yang ditulis oleh Hamdan Basyar, pada bahasan khusus Negara Mesir buku ini menjelaskan efek domino dari Musim Semi Arab dan polemik
politik di Mesir. Dalam buku ini banyak menjelaskan bagaimana militer dan
golongan oposisi di Mesir terhadap Mursi betarung lewat kebijakan-kebijakan
dalam parlemen. Memberikan penjelasan pada peneliti langkah-langkah yang
diambil oleh militer lewat jalur pertarungan konstitusi. Sedangkan tulisan peneliti
lebih melihat kepada langkah yang selanjutnya militer ambil setelah mendapatkan
kekuatannya melalui perdebatan konstitusi.
Serta, pada buku Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir yang ditulis oleh
Trias Kuncahyono. Buku ini membahas tentang keadaan Negara Mesir pada saat
tergulingnya Mubarak sampai terjadinya kudeta Presiden Mursi, memberikan
gambaran keadaan kota Mesir pada saat berkecamuknya konflik. Dalam
buku-buku tersebut memberikan peniliti informasi yang banyak tentang keadaan sosial
politik di Mesir, membantu peneliti dalam penulisan skripsi yang berjudul Militer
dan Politik: Studi Kasus Kudeta Militer Pada Presiden Mohammad Mursi di
Mesir Tahun 2013. Dalam penelitian ini sama sekali berbeda dengan literatur
yang sudah disebutkan, dan penelitian ini sifatnya berkelanjutan dari hal-hal yang
14
E. Metodelogi Penelitian
1. Metodelogi Penelitian
Peneliti ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Secara umum jenis ini
bisa menghasilkan temuan-temuan yang tidak dapat dihasilkan oleh penelitian
statistika. Penelitian ini memberikan pengetahuan mengenai sejarah, kondisi
sosial poliik, aktivitas sosial, dan lainnya. Jenis penelitian ini berguna melihat
sedetail mungkin mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi kudeta Presiden
Mursi di Mesir, dan melihat langkah-langkah militer dalam kudeta.
2. Tempat dan Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada lembaga-lembaga penelitian
yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muslim and Moderate Society, dan
Kedutaan Besar Mesir untuk Indonesia. Di antara lembaga tersebut adalah
lembaga yang berkonsentrasi pada isu-isu politik Timur Tengah dan mendukung
dalam memahami penelitian ini. Sedangkan waktu penelitian dilakukan secara
bertahap sampai penelitian selesai.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara adalah pertemuan antara peneliti dan responden, di mana
pengumpulan data dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh
15
responden.27 Peneliti melakukanwawancara dengan Pengamat Politik Timur
Tengah Hamdan Basyar, Zuhairi Misrawi, dan Trias Kuncahyono.
b. Dokumentasi
Pengumpulan data melalui dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data
sekunder, lalu melalui literatur dengan tujuan memeroleh bahan-bahan yang
memberikan penjelasan dari bahan primer ataupun hasil penelitian seperti, jurnal,
karya tulis, dan sebagainya.28
4. Analisis Data Penelitian
Analisis data penelitian untuk mengelola data yang sudah dikumpulkan,
menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu metode yang menggambarkan
hal-hal yang menjadi objek penelitianyang diharapkan mampu menjawab berbagai
permasalahan tersebut.29
F. Sistematika Penelitian
Untuk menjelaskan penelitian ini secara lengkap, peneliti memberikan
sistematika penelitian. Sistematika penelitian ini terangkum dalam beberapa bab,
disertai beberapa sub-bab yang terangkum secara garis besar.Adapun deskripsi
dari sistematika penelitian ini dilampirkan sebagai berikut:
27
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 67.
28
Pupuh Fathurrahman, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 146.
29
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
16
BAB 1 : Pendahuluan meliputi: Pernyataan Masalah,
Pertanyaan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan
Pustaka, Metodologi Penelitian, danSistematika Penelitian.
BAB II : Kerangka Teori bahasannya meliputi:
PenjelasanTeori Hubungan Sipil Militer dalam Perspektif Modern,
Kontrol Sipil Atas Militer dan Intervensi Militer, Konsep dan
Sebab-Sebab Terjadinya Kudeta, Penjelasan Definisi Militer Jenis
Pretorian Moderator, Jenis Pretorian Pengawal, dan Jenis Pretorian
Penguasa.
BAB III :Pada bab ini membahas seputar Dinamika
Kekuasaan dan Demokratisasi di Mesir, yang bahasannya meliputi
Peran Militer dalam Peta Kekuasaan di Mesir, dan Perkembangan
Demokratisasi dalam Transisi Demokrasi.
BAB IV :Pada bab ini membahas tentang teknis bagaimana
militer mengkudeta Mursi yang bahasannya meliputi Krisis
Pemerintahan Sipil, Politik Militer dan Oposisi, dan Militer Pasca
Kejatuhan Mursi.
BAB V : Pada bab ini berisi kesimpulan dan Saran untuk
menyimpulkan pembahasan, guna tercapainya kefahaman yang
17
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Hubungan Sipil Militer Dalam Perspektif Modern
1. Kontrol Sipil Atas Militer dan Intervensi Militer
Berbicara tentara yang ikut campur dalam politik sama dengan mengamati
hubungan antara sipil dan militer, hubungan sipil militer merupakan kajian yang
baru populer pada pertengahan abad 20 pasca Perang Dunia II. Barulah setelah
pasca perang itu para mahasiswa, sarjana sosial, dan ahli sejarah membahas
hubungan sipil militer. Mereka menganalisis secara ilmiah tentang hubungan sipil
militer menyangkut dua aspek, yaitu: kontrol sipil atas militer dan intervensi
militer pada domain polittik.1
Dalam pandangan Huntington, ia melihat bahwa ada dua bentuk hubungan
sipil militer. Pertama, kontrol sipil obyektif (Objective Civilian Control). Istilah
ini mengandung makna profesionalisme militer yang tinggi dan memiliki
pengakuan dari pejabat militer terhadap batas-batas profesionalisme yang menjadi
bidang mereka, subordinasi yang efektif dari militer pada pemimpin politik yang
membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer, pengakuan
dan persetujuan dari pihak pemimpin politik atas kewenangan profesional dan
otonomi bagi militer, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan negara.2
Kedua, kontrol sipil subyektif (Subjective Civilian Control), bentuk kontrol ini
1
Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. XLIII.
2
18
adalah memaksimalkan kekuasaan sipil. Model ini juga bisa diartikan sebagai
upaya meminimalkan kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan
kelompok-kelompok sipil.3
Michael C. Desch dengan mengacu pada Huntington, menganalisis
munculnya hubungan sipil militer dari persoalan internal maupun eksternal dalam
suatu negara. Desch mencatat suatu negara yang menghadapi tantangan militer
tradisional, yaitu ancaman dari luar, akan lebih memungkinkan memiliki
hubungan sipil militer yang stabil. Ancaman lingkungan seperti itu memaksa
institusi sipil lebih menyatu dan berkerjasama menangani masalah bersama-sama
dengan militer.4 Dalam tulisannya Desch menegaskan:
”Sebaliknya, jika negara menghadapi ancaman internal yang
signifikan, institusi dan otoritas sipil mungkin akan sangat lemah dan terpecah belah, yang menyulut mereka untuk mengontrol militer. Situasi seperti ini akan membuat hubungan sipil militer terganggu atau tidak sehat.”5
Sedangkan dalam penjelasan intervensi militer, secara sederhana diartikan
ketika tentara atau militer masuk, berpartisipasi, mempengaruhi kebijakan poltik
(baik secara langsung atau tidak). Amos Perlmutter melihat ada dua kondisi yang
memberi kesempatan bagi militer untuk melakukan intervensi, yaitu: kondisi
sosial dan politik suatu negara itu sendiri. Pertama, kondisi sosial. Dalam suatu
negara yang kondisi sosialnya lemah, maka kepentingan kelompok akan tersebar
dalam frekuensi yang tinggi. Kalau struktur negara lemah maka institusi-institusi
19
politik tidak berfungsi efektif. Dengan demikian kontrol sosial menjadi tidak
efektif. Sebab saluran-saluran komunikasi terhambat, kemudian membuat militer
berkesempatan untuk melakukan intervensinya. Kedua, kondisi politik. Intervensi
militer muncul dari persoalan-persoalan sipil. Sering sekali pemerintah sipil
sengaja kembali, atau merapat kepada militer untuk mencari dukungan. Ketika
struktur politik sipil terfragmentasi dalam faksi-faksi politik dan ketika perangkat
konstitusi tidak berjalan.6
Bila Perlmuter lebih melihat faktor eksternal yang mempengaruhi
hubungan sipil militer, S. F. Finner lebih melihat kepada faktor internalnya. Ia
mengatakan:
“…lebih melihat internal militer sebagai faktor utama terjadinya intervensi. Faktor motivasi biasanya sangat berpengaruh besar apakah militer akan mengintervensi atau tidak. Faktor ini mencakup beberapa motivasi antara lain; motivasi sebagai tujuan akhir tentara, dorongan dari kepentingan nasional, kepentingan kelompok yang meliputi kepentingan kelas, kepentingan regional, kepentingan korps, dan kepentingan individu.”7
Dari dua pandangan itu, kita bisa melihat adanya dua jalan yang
menyebabkan militer akhirnya melakukan intervensi terhadap pemerintahan sipil.
Yaitu melihat dari faktor eksternal dan internal yang menjadi motivasi militer
melakukan intervensi. Di lain sisi Finner juga mencatat berapa jalan yang
memungkinan militer melakukan intervensi, yaitu:
6
Amos Perlmutter, Militer dan Politik, h. 144-145.
7
20
a. Melalui saluran-saluran konstitusi normal (The normal constitusional
chanels).
b. Kolusi dan/atau persaingan dengan otoritas sipil (Collusion and/or
competition with the civilian authoritis).
c. Intimidasi terhadap otoritas sipil (The intimidation of the civilian
authoritis).
d. Mengancam dengan menolak bekerjasama dan/atau dengan kekerasan
terhadap otoritas sipil (Threaths of non-cooperation with, or violence
towards the civilian authoritis).
e. Gagalnya mempertahankan otoritas sipil terhadap kekerasan (Failure
to defend the civilian authoritis from violence).
f. Menggunakan kekerasan terhadap otoritas sipil (The exercise of
violence againts the civilian authorities).8
B. Konflik
1. Pengertian Konflik
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial,
sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap
ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat
merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa
berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang
8
21
selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya
konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.
Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki
kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak,
tujuan dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat
diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga
menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat
diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan
yang terkecil hingga peperangan.
Istilah “konflik” secara etimolois berasal dari bahasa Latin “con” yang
berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.9 Pada
umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena
pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada
pertentangan dan peperangan internasional. Coser mendefinisikan konflik sosial
sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang
langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau
dilangsungkan atau dieliminasi saingannya.10
Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan
konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat
menyeluruh dikehidupan. Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara
9
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 345.
10
22
melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.11
Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang
saling menantang dengan ancaman kekerasan.12
Menurut lawang konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh
hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan
mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untk
menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan
kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan
sumber2 kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif
terbatas.13
Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik
adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau
masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara
saling menantang dengan ancaman kekerasan. konflik sosial adalah salah satu
bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat
yang ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling
menghancurkan. Konflik sosial sesungguhnya merupakan suatu proses
bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan yang relative
sama terhadap hal yang sifatnya terbatas. Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik
itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan
11
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 99.
12
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 68.
13
23
eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf pembinasaan eksistensi orang
atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.
2. Jenis Konflik
Dalam konflik ini terbagi dua jenis, diantaranya: (1) Konflik vertikal.
Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang
memiliki hierarki. (2) Konflik horizontal. Merupakan konflik yang terjadi antara
individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama.14
3. Resolusi Konflik
Dalam terjadinya konflik ada beberapa cara dalam menyelesaikan masalah
diantaranya: (1) Konsiliasi, cara ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu
yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan
keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan
yang mereka pertentangkan. (2) Mediasi, cara ini dilakukan bila kedua belah
pihak yang bersengketa bersama-sama sepakat untk memberikan
nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan. (3)
Arbitrasi, cara ini melalui pengadilan dengan seorang hakim (arbiter) sebagai
pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang
arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,
artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak
menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih
tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi.15
14
Kusnadi, Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja (Malang : Taroda, 2002), h. 67.
15
24
C. Kudeta
1. Pengertian Kudeta
Secara sederhana, kudeta diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang
dilakukan militer untuk merebut kekuasaan, atau aksi politik untuk menggantikan
(mendominasi) suatu kelompok atau rezim yang menjadi saingannya dengan
rezim sendiri.16 Dalam melakukan kudeta, banyak faktor-faktor yang
melatarbelakangi para perwira militer. Namun segala faktor itu tergantung pada
kondisi sosial politik yang ada pada masing-masing negara. Yang paling sering
menjadi motif militer melakukan kudeta adalah kesalahan-kesalahan yang
dilakukan pemerintah sipil yang mengakibatkan menurunnya keabsahan
pemerintahan sipil, baik karena pemerintahan sipil yang dianggap tidak bisa
mengolah negara dengan baik atau juga karena kesengajaan militer ingin merebut
kekuasaan demi kepentingan politiknya.17
Banyak sebutan, konsep, juga definisi yang dipakai dalam hal perebutan
kekuasaan. Demi tercapainya penjelasan yang tepat untuk mendeskripsikan
gejolak perebutan kekuasaan itu sendiri. Secara teknis Edward Luttwak membagi
beberapa penjelasan terkait hal perebutan kekuasaan dalam suatu negara atau
pemerintahan. Pronounciamiento, ini sebetulnya adalah kudeta versi klasik di
Spanyol abad sembilan belas. Dalam versi ini muncul istilah yang namanya
trabajos (kerja) sebelum adanya pronounciamiento itu sendiri, trabajos adalah fase di mana semua opini-opini perwira terkait pemerintahan dijajaki satu persatu,
16
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 150.
17
25
kemudian timbul yang namanya copromisos yang maksudnya adalah langkah
pembuatan komitmen serta perhitungan imbalan-imbalan, dan resiko dalam
melakukan tindakan perebutan kekuasaan. Pronounciamiento ini dilaksanakan
oleh seluruh korps perwira dan dipimpin oleh pimpinan angkatan darat.
Selain pronounciamiento, ada yang namanya Putsch, sebenarnya putsch
tidak berbeda secara signifikan dengan pronounciamiento. Kalau
pronounciamiento direncanakan dan dilakukan oleh seluruh perwira angkatan
darat, sedangkan putsch dilakukan salah satu faksi dalam angkatan darat, atau
sipil yang memberontak namun menggunakan kekuatan unit angkaan darat.
Sedangkan kudeta adalah, termasuk campuran dari beberapa pejelasan di atas.
Kudeta tidak harus berjalan dibantu oleh kekuatan massa, namun tidak menutup
kemungkinan karena dengan bantuan massa dapat mempermudah efektifitas
kudeta. Kudeta juga merupakan infiltrasi ke dalam suatu segmen dari segala
kekuatan negara yang kecil namun menentukan, yang kemudian digunakan untuk
mengambil alih pemerintahan.18
Secara garis besar, ada pra kondisi untuk terjadinya kudeta. pertama,
sindrom negara transisi. Di mana pola tradisional sudah rusak sementara pola baru
belum terbentuk. Dalam masyarakat ini, kesatuan masyarakat belum ada,
lembaga-lembaga negara dan kontrol sosial tidak bisa beroperasi secara efektif,
saluran komunikasi sangat minim dan tidak ada lambang-lambang kesatuan
masyarakat. Militer dianggap yang paling mampu mengatasi sindrom ini karena
militer bisa memakai simbol-simbolnya untuk memerintah, dan mempersatukan
18
26
masyarakat dengan sifat netral yang dimilikinya, serta kesanggupannya menjalin
komunikasi dengan rakyat bawah. Kedua, terjadinya jurang kelas sosial yang
tajam akibat dari pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial yang sangat cepat
sehingga melahirkan jurang antara kaya dengan miskin. Di mana secara kuantitatif
kaum miskin jauh lebih banyak daripada kaum kaya. Ketiga, terjadinya aksi sosial
berdasarkan kelompok-kelompok (baik yang sadar politik atau tidak) dan
mobilisasi sumber-sumber materil dalam negeri yang rendah.19 Masyarakat
terpecah belah dan hidup berdasarkan nilai-nilainya sendiri, program pemerintah
tidak mendapat dukungan, bahkan selalu dirong-rong sehingga selalu gagal,
sumber materil yang diperlukan pemerintah tidak ada. Para pengusaha berusaha
tidak membayar pajak, kaum birokrat berusaha menerima suap dan petani hanya
menimbun hasil pertaniannya.
2. Sebab-Sebab Terjadinya Kudeta
Dalam pembahasan ini, perlu dikatakan bahwa banyak faktor yang
membuat militer melakukan kudeta, atau mengambil alih pemerintahan. Dari
pertanyaan sederhana tentang kapan kah militer akan mengambil alih
pemeritahan? Sederhananya adalah ketika terdapat kegagalan pemerintahan sipil
dan pada saat yang bersamaan kehilangan keabsahannya. Militer seringkali
menuduh pemerintah yang digulingkan gagal menjalankan tugasnya, melakukan
tindakan yang tidak sah di luar kelembagaannya, tidak bertanggung jawab atas
kemerosotan ekonomi, tidak mampu mengendalikan perasaan kecewa dan
penentangan politik tanpa menimbulkan kekerasan dan kekacauan. Kegagalan itu
19
27
memperkuat rasa tidak hormat dan benci militer pada pemerintah, kegagalan ini
biasanya akan menggambarkan kemerosotan citra pemerintah sipil di mata
masyarakat yang interest pada politik. Ditambah lagi dengan citra militer sebagai
golongan nasionalis utama, militer mengidentifikasi diri dengan negara, dan
negara sendiri adalah militer. Jadi, yang dianggap baik oleh militer juga baik
untuk negara, dan mencitrakan kudeta sebagai kepentingan menjaga konstitusi
negara.20
Penggambaran motif dan faktor-faktor penyebab terjadinya kudeta dapat
dilihat sebagai berikut: (1) Adanya kepentingan politis dari korporat militer
sendiri; (2) menurunnya keabsahan pemerintahan sipil yang disebabkan gagalnya
mengendalikan kemerosotan kesejahteraan ekonomi (3); banyak timbulnya
huru-hara kekerasan; (4) dan tindakan pemerintah sipil yang mengacu pada sentralisasi
kekuasaan. Faktor-faktor tersebut menjadi motif pendorong para perwira untuk
melakukan campur tangan, apalagi ketika para perwira memandang rendah para
pemangku kekuasaan. ini lebih memudahkan militer memberi alasan dan
menghalalkan tindakan kudeta pada kelompok sedang berkuasa yang mereka
anggap lemah. Belum lagi kegagalan pemerintah yang keabsahannya menurun
pada kalangan masyarakat yang sadar poitik. Selanjutnya akan dijelaskan motif
dan fakor-faktor terkait timbulnya kudeta.
Pertama, dalam tubuh mliter sendiri. Tidak dipungkiri para perwira militer
memperhatikan masa depan karir poilitik mereka, ini menjadi kepentingan pribadi
para perwira militer. Keinginan mereka untuk mendapatkan promosi, cita-cita
20
28
politik, dan ketakutan dipecat juga menjadi faktor penting dalan kudeta. Namun
seringkali faktor ini terlihat tidak secara kasat mata, karena sebelumnya militer
coba menyelaraskan sejauh mana kepentingan pribadi mereka sejalan dengan
berbagai faktor pendukung lainnya, yang kemudian bisa dipakai untuk
menjalankan kudeta tanpa harus terlihat kalau kudeta ini murni berdasarkan
kepentingan sendiri. 21 Militer akan sigap mengkudeta ketika rakyat meneriakkan
keburukan pemerintah, selain mosi tidak percaya rakyat dan segala kekacauan
yang terjadi selama protes, akan dijadikan faktor pendukung yang membuat
kepentingan pribadi militer merebut kekuasaan tidak kentara. Seolah-olah militer
bersama dengan kelompok orang-orang yang merasa dirugikan pemerintah,
padahal militer hanya memakai tuntutan kelompok itu agar tindakan kudeta
mereka dianggap keniscayaan dan pro terhadap rakyat.
Kedua, dalam suatu pemerintahan yang keadaan ekonominya baik adalah
suatu kritera prestasi yang sangat penting, tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan
ekonomi yang baik itu dijunjung tinggi di seluruh dunia, dan pemerintah dianggap
yang paling bertanggung jawab atas kemajuan ekonomi itu. Ini sangat berkaitan
dengan motif militer yang nantinya akan mengkudeta pemerintahan, karena laju
ekonomi yang rendah akan memicu timbulnya kegaduhan pada masyarakat yang
berpengaruh pada negara secara langsung. Kemunduran ekonomi yang dikelola
pemerintah semakin menambah perasaan tidak hormat militer terhadap
pemerintah, memeperkuat anggapan para perwira profesional dapat berperan
sebagai pembuat keputusan yang berhubungan dengan keputusan ekonomi guna
21
29
mempertahankan kepentingan masyarakat dan negara.22 Birokrasi militer yang
solid dan otonom, dapat menciptakan peraturan-peraturan yang penting guna
memacu pembangunan ekonomi, namun di sisi lain militer harus menghadapi dan
meyakinkan kelas-kelas sosial yang ada, agar langkah yang diambil militer ini
dianggap sah dan baik bagi negara. Sebelum tampil, militer harus mencitrakan
kehebatan dan kepedulian yang mencolok agar semakin terlihat meyakinkan,
dengan sebelumnya menawarkan konsep-konsep yang baku atas jalan keluar
menuju kemajuan negara.23
Ketiga, pemerintah sebagai penguasa juga dipercaya sebagai pengelola
keamanan yang baik. Bila banyaknya keresahan dan pertentangan politik tidak
dapat diselesaikan secara baik, akan membuat prestasi pemerintah merosot dan
dinilai tidak mementingkan rakyat sehigga menimbulkan huru-hara kekerasan di
kalangan masyarakat yang tidak merasa puas.24 Pemerintah juga dinilai tidak
berupaya menjalankan tujuan yang mendasar, yaitu menjaga ketertiban serta
melindungi negara, dengan tidak dapatnya mengatasi kekacauan dan
menghentikan pemogokan-pemogokan atas huru-hara tersebut. Pada saat
pergolakan dan huru-hara terjadi, militer mulai menyadari kalau pemerintah
sangat bergantung pada militer, tanpa dukungan dan ikut campur militer negara
akan rubuh.25 Pada akhirnya, keadaan yang bergejolak itu mengurangi keabsahan
pemerintah. Kemudian banyak orang yang terlibat dalam kancah politik
22
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 29-130.
23
Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi, dan Konsolidasi Pembangunan (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), h. 223.
24
Alfred Stephan, Militer dan Demokratisasi, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1988), h. 128-131.
25
30
melancarkan aksi-aksi ujuk rasa, menunjukkan suatu penentangan yang kuat pada
pemerintah, pemerintah dianggap tidak lagi mempunyai hak moral untuk
memerintah. Lalu semakin memperkuat dorongan miiter melakukan kudeta.
Keempat, militer juga menuduh pemimpin sipil melakukan berbagai
tindakan inkonstitusional, termasuk melaksanakan undang-undang secara
sewenang-wenang, perluasan kekuasaan mereka ke dalam bidang yang dilarang
oleh konstitusi dan mempertahankan jabatan melampaui batas yang ditentukan
oleh peraturan. Militer berdalih pada kudeta yang mereka lakukan bertujuan
menghidupkan kembali kegiatan politik yang sehat, memberangus korupsi, dan
meningkatkan kejujuran yang tinggi pada masyarakat. Penyelewengan yang
dilakukan oleh pihak sipil memudahkan para perwira untuk mengambil tindakan
yang inkonstitusional, militer beranggapan pemerintah sipil telah menunjukan
sikap tidak hormat pada konstitusi, ini juga berakibat pada keabsahan pemerintah
sipil yang akan menurun.26
Dalam situasi seperti ini, pemerintah berada di sepanjang antara keabsahan
dan ketidakabsahan. Sebagian rakyat percaya bahwa pemerintah mempunyai hak
moral untuk memerintah, dengan begitu rakyat akan mematuhinya. Namun bila
sebagian besar masyarakat merasa pemerintah tidak memerintah sesuai dengan
peraturan yang ada, dan tidak membuat rakyat sejahtera, sudah dipastikan
pemerintah tidak layak menerima kesetiaan mereka. Senada dengan yang
dikatakan Samuel Huntington bahwa:
26
31
“romantisnya hubungan sipil-militer sebagaian besar tergantung
dari tindakan pemimpin sipil dalam mengelola pemerintahan. Romantisme itu akan hilang ketika pemerintah sipil tidak mampu meningkatkan perkembangan ekonomi, memelihara ketertiban umum, dan hukum. Dalam situasi seperti itu, politisi mungkin tergoda untuk menggunakan militer dalam setiap permasalahan yang terjadi, dan mungkin lebih jauh lagi demi memperoleh ambisi politik mereka. atau malah mliter sendiri yang sedari awal aktif berniat untuk memperoleh kekuasaan dengan memanfaatkan
momentum tersebut.”27
Apalagi ketika pemerintah memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan
kepentingan umum, lalu terindikasi terdapat kesewenangan dalam memerintah,
dan menghalangi kelompok lain dalam pemerintahan untuk memperoleh
fungsinya sebagai penguasa politik.28
D. Tentara Pretorian
Dalam kudeta dan perebutan kekuasan, militer memiliki peran yang besar.
Bahkan kudeta telah diidentikan oleh kekuatan militer dalam pengambilalihan
kekuasaan. Pretorianisme mengacu pada situasi di mana tentara tampil sebagai
aktor politik utama dan dominan yang secara langsung menggunakan kekerasan
atau mengancam untuk merebut suatu kekuasaan. Istilah ini diambil dari campur
tangan militer pada Kerajaan Roma, pada awalnya kerajaan ini dibentuk sebagai
kesatuan unit khusus yang bertugas melindungi maharaja. Namun akhirnya
dengan kekuatan militer yang mereka punya, menumbangkan raja dan menguasai
pemerintahan juga pemilihan umum. Angkatan bersenjata dalam semua negara
27
Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, h. xv.
28
32
mempunyai pengaruh yang sangat besar, termasuk pengaruh politik. Selain
sebagai lambang kekuatan negara, ia juga merupakan alat penahan utama dari
serangan luar maupun dalam.
Soal militer, Samuel Huntington berpandangan dalam kerangka hubungan
sipil militer menjadi dua yaitu, tentara pretorian dan tentara profesional. Tentara
pretorian atau tentara jenis penakluk (warior) dalam hal ini mewakili kelompok
militer yang berkuasa, menjalankan pemerintahan, dan menentukan
keputusan-keputusan politik. Paham ini tumbuh dan berkembang sebelum abad ke-19 ketika
profesi perwira sebagai pengelola kekerasan (manager of violence) masih
merupakan monopoli para kerabat istana. Munculnya revolusi Perancis 1789,
menandai perubahan dari “tentara pencari keuntungan materi” menjadi “tentara
panggilan suci (abdi negara)”, inilah yang kemudian dikatakan Huntington
sebagai awal berkembangnya paham tentara profesional. Sebenarnya bukan hanya
dinyatakan oleh Huntington, jauh sebelumnya seorang ilmuwan Perancis, de
Tocqueville sudah berbicara tentang profesi dan kehormatan militer.
Huntington memberikan tiga ciri pokok tentang tumbuhnya
profesionalisme militer, yaitu : pertama, mensyaratkan keahlian, profesi militer
menjadi spesifik serta memerlukan pengetahuan dan keterampilan. Kedua, militer
memiliki tanggung jawab sosial khusus, artinya seorang perwira militer
mempunyai tugas pokok kepada negara. Berbeda dengan sebelumnya, di mana
seorang perwira seolah hanya menjadi milik pribadi komandan dan harus setia
kepadanya sebagai suatu bentuk disiplin mati. Pada masa profesionalisme,
33
hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketiga, seorang militer
harus berkarakter korporasi (corporate character) yang pada kemudian
melahirkan rasa esprit de corps yang kuat.29
Ketika ketiga ciri militer profesional di atas terpenuhi, pada akhirnya
melahirkan apa yang disebut Huntington the military mind, yang menjadi dasar
hubungan militer dan negara. Ini membuat Negara Kebangsaan (nation state)
mejadi suatu bentuk tertinggi organisasi politik. Sehingga inti dari military mind
menjadi suatu ideologi yang berisi pengakuan militer pada supremasi
pemerintahan sipil. Bagi perwira militer, tidak ada kemuliaan yang paling tinggi,
kecuali kepatuhan kepada negarawan sipil. Jadi menurut Huntington, kaum
militer yang melakukan intervensi politik pada hakikatnya menyalahi etika militer
profesionalnya. Bahkan Huntington menganggap intervensi militer dalam politik
sebagai pembusukan politik (political decay) dan dianggap sebagai kemunduran
ke arah tentara pretorian.30 Tetapi dalam perspektif tentara pretorian, militer
seolah akan terlihat seperti kaum elite yang membawa pada modernisasi, kaum
militer juga dinilai melihat jauh ke depan, punya keinginan kuat untuk
kepentingan korporasinya, dan untuk mendorong modernisasi di negaranya.
Jadi, tentara akan menjadi tentara pretorian apabila mereka mengancam
atau menggunakan kekuatan dan kekuasaan mereka untuk mendominasi politik
lalu menguasai pemerintahan. Tentara pretorianisme modern yang campur tangan
29
Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics Civil Military Relations (Cambridge: Harvard University Press, 1957), h. 7-18.
30
Samuel P. Huntington, Tertib Politik dalam Masyarakat yang Sedang Berubah
34
dalam pemerintahan akan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan
politik dan kekuasaan eksekutif menjadi tidak efektif.
Kemudian rezim pemerintahan akan menjadi rezim militer karena perwira
militer sendiri yang merebut kekuasaan. Timbul pertanyaan, apakah rezim ini
terus menjadi rezim militer pada duapuluh tahun kemudian dan seterusnya? Eric
Nordlinger mengatakan,
“rezim militer adalah rezim di mana militer telah merebut
kekuasaan melalui kudeta, perwira atau mantan perwira militer menduduki jabatan tinggi pemerintahan. Mereka bergantung terutama pada perwira militer yang masih aktif untuk mempertahankan kekuaaan itu, walaupun pihak sipil juga diberi bagian untuk peran yang penting (namun biasanya
tidak penting).”31
Contohnya adalah Mesir, walaupun sudah dijabat oleh Nasser (lalu Sadat
dan Mubarok pada berikutnya), tetapi strukturnya banyak diisi oleh orang-orang
berlatar belakang militer. Nampaknya Eric melihat ini secara substnsial pada
pemerintahan.
Tentara pretorian cenderung melakukan kudeta. Kudeta ini dilakukan bila
militer merupakan kelompok yang paling solid, paling terorganisir secara politik
dan tidak ada oposisi yang kuat. Kudeta dilaksanakan oleh aktivis politik dan
kelompok politik dalam organisasi militer, perwira yang memiliki ambisi politik
dan perwira yang tidak menganggap militer sebagai profesi seumur hidup. Korps
Perwira dipolitisir oleh perwira lain yang secara politik atau ideologi terikat
dengan politisi sipil atau sipil yang minta perlindungan tentara atau karena
kejadian perjuangan anti kolonial, datangnya kemerdekaan atau kekacauan
31
35
ekonomi. Kudeta militer diorganisir oleh koalisi para aktivis politik dalam militer
dan sekutu-sekutu mereka atau oleh persekongkolan para perwira yang mendapat
dukungan politik dari luar militer. Keputusan kudeta tergantung dari kesiapan
politik dan saat yang tepat. Adapun kudeta ini memperoleh legitimasinya dari
sekutu-sekutu militer dan orang-orang yang sealiran dengan oposisi rezim lama
serta dari orang-orang yang tidak senang terhadap rezim lama dan para oportunis.
Para perwira yang bersatu mempunyai kekuatan yang besar, dan
berpotensi mempertahankan atau pun mengambil alih pemerintahan sipil.
Biasanya, mereka menggunakan senjata pada perebutan kekuasaan (sebagian
lainnya tidak musti menggunakan senjata). Pihak militer biasanya terang terangan
menonjolkan diri mereka dan menuntut agar diberi ruang dalam politik, dia
meminta arena politik diperluas. Secara tidak langsung ini adalah acaman militer
kepada pemerintah sipil, militer mengatakan bila diberi hak-hak politik, maka
kudeta akan terhindarkan, padahal ini adalah awal masuknya militer yang sedikit
demi sedikit akan menguasai kekuasaan pmerintahan sipil itu.
Dalam kajian mengenai pretorianisme, yang menjadi acuan adalah prestasi
pemerintahan sipil. Ini sangat penting, karena selalu menjadi penilaian sejauh
mana pemerintahan sipil dapat mengelola negara seperti yang dikehendaki oleh
rakyat, dan malah dikagumi oleh negara lain. Karena militer pretorian selalu
menyepelekan kinerja pemerintahan sipil, dan berpidato akan memulihkan
ekonomi dan memelihara keamanan negara pada saat pemeintahan sedang hiruk