• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

A. Peran Pondok Pesantren

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata peran yaitu “sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan yang utama” (http://kbbi.web.id/peran) diakses 28/01/2014, 23.10 wib.

Peran tidak dapat dipisahkan dengan status (kedudukan), walaupun keduanya berbeda, akan tetapi saling berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya, karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Peran diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang berbeda, akan tetapi kelekatannya sangat terasa sekali. Seseorang dikatakan berperan atau memiliki peranan karena dia (orang tersebut) mempunyai status dalam masyarakat, walaupun kedudukan itu berbeda antara satu orang dengan orang lain, akan tetapi masing-masing dirinya berperan sesuai dengan statusnya.

Gross, Mason dan A. W. Mc Eachern (1995 : 99) mendefinisikan peran sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedududukan sosial tertentu.

Harapan-harapan tersebut menurut David Berrry (2003 : 217), merupakan imbangan dari norma-norma sosial, oleh karena itu dapat dikatakan peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat, artinya seseorang diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang

18

diharapkan oleh masyarakat di dalam pekerjaannya dan dalam pekerjaan-pekerjaan lainnya.

Sarlito Wirawan Sarwono (1984 : 235) juga mengemukakan hal yang sama bahwa harapan tentang peran adalah harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilaku-perolaku yang pantas, yang seyogyanya ditentukan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu.

Dari penjelasan tersebut di atas terlihat suatu gambaran bahwa yang dimaksud dengan peran merupakan kewajiban-kewajiban dan keharusan-keharusan yang dilakukan seseorang karena kedudukannya di dalam status tertentu dalam suatu masyarakat atau lingkungan dimana dia berada.

Peran yang dimaksud di sini adalah Peran Pondok Pesantren Modern Bina Insani dalam memberikan pendidikan keagamaan Islam kepada masyarakat sebagai bentuk peran pondok pesantren terhadap keberagamaan dan kesejahteraan masyarakat dusun baran desa ketapang kecamatan susukan kabupaten semarang.

Pondok Pesantren merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional Jawa dan Madura (Dhofier, 1982:16). Istilah pesantren secara lengkap adalah pondok pesantren yang berarti suatu bentuk pendidikan keIslaman yang melembaga di Indonesia (Ziemek,1986: 98). Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bamboo atau barangkali berasal dari kata Arab funduq yang berarti hotel atau asrama. Perkataan pesantren berasal dari kata santri dengan imbuhan awalan pe dan akhiran an yang

19

berarti tempat tinggal para santri (Dhofier,1982:18). Geertz berpendapat bahwa pesantren merupakan perkembangan dari sekolah-sekolah biara Hindu Budha (dalam Ziemek, 1986:101).

Pondok pesantren terdiri dari dua kata yaitu ”pondok” dan ”pesantren” yang keduanya itu sebenarnya mengandung arti yang sama dan maksud yang sama. Namun kebanyakan orang hanya menyebut salah satunya saja. Yaitu pondok atau pesantren saja. Tapi ada pula yang menyebutkan kedua-duanya secara bersamaan.

Pesantren berasal dari kata santri yang berarti seseorang yang menuntut ilmu. Dalam arti luas Pesantren adalah Lembaga Pendidikan Islam yang mengajakan materi agama yang diasuh oleh seorang kiai. Pondok Pesantren di Indonesia diketahui perkembangannya sejak abad ke 16. Karya sastra kitab klasik dalam bidang fiqih, tasawuf menjadi pusat pengajaran di Pesantren (Depag, 2003: 8).

Dalam Kamus Ilmiah Populer yang ditulis oleh Burhani MS dan Hasbi Lawtens (tanpa tahun: 517) bahwa kata Pesantren berarti perguruan pegajian Islam. Ini berarti pesantren adalah suatu perguruan atau organisasi atau kelompok yang di dalamnya terdapat pengajian tentang ajaran-ajaran Islam. Dimana pada umumnya pengajian adalah suatu kegiatan yang didalamnya ada seseorang yang disebut dengan kyai/ Da’i yang menyampaikan suatu kajian atau materu yang berhubugan dengan aharan-ajaran agama Islam yang diikuti dan di dengarkan oleh kaum muslimin khususnya.

20

Menurut Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (1997:99) bahwa kata peantren berasal dari bahasa India Shastri dari akar kata Shastra yang berarti

buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang Ilmu Pengetahuan. Di luar pulau Jawa lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti surau (di Sumatera Barat), Dayah (Aceh), dan Pondok untuk daerah lain. Selain itu Pesantren adalah tempat para santri belajar agama Islam dengan menerapkan moralitas Islam sebagai pedoman (Arman, 2001:17).

Unsur-unsur pondok pesantren adalah kiai sebagai pendiri, pelaksana dan guru, santri (pelajar) yang secara pribadi langsung diajar berdasarkan naskah-naskah Arab klasik tentang pengajaran, faham, akidah keislaman. Di sini kiai dan santri tinggal bersama-sama untuk masa yang lama membentuk suatu komunitas pengajar dan belajar yaitu pesantren bersifat asrama (Ziemek,1986:100-101).

Dari beberapa pendapat diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada perinsipnya yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang bernafaskan Islam dan menerapkan moralitas sebagai pedoman dimana di dalamnya terdapat komponen-komponen tertentu yang menjadi ciri khas lembaga tersebut, yaitu kiai sebagai pengasuh sekaligus berperan sebagau pendidik, surau atau masjid sebagai sarana dan pusat peribadatan dan pendidikan. Santri sebagai peserta didik, pondok sebagai sarana tempat tinggal para santri.

21

Menurut Dhofier (1986:44) pesantren memiliki unsur-unsur antara lain pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri, masjid sebagai tempat ibadah dan pengajaran, kitab-kitab klasik sebagai mata pelajaran, santri atau pelajar dan kiai.

Pondok merupakan tempat tinggal kiai bersama para santrinya. Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama antara kiai dengan para santrinya dan bekerja sama dalam memebuhi kebutuhan sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan yang berlangsung di masjid atau langgar. Pesantren juga menampung santri-santri yang berasal dari daerah yang jauh untuk bermukim.

Pada awal perkembangannya, pondok tersebut bukanlah semata-mata sebagai tempat tingal atau asrama para santri, untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan oleh Kiai tetapi juga sebagai tempat training atau latihan bagi satri yang bersangkutan. Agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat, para santri di bawah bimbingan kiai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan bergotong royong sesama warga pesantren. Tetapi dalam perkembangan berikutnya terutama pada masa sekarang, tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama. Dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut (Hasbullah, 1995:142).

Pondok sebagai wadah pendidikan manusia seutuhnya sebagai operasionalisasi dan pendidikan yakni mendidik dan mengajar. Mendidik secara keluarga berlangsung di pondok sedang mengajarnya di kelas dan

22

mushalla. Hal ini yang merupakan fase pembinaan dan peningkatan kualitas manusia sehingga ia bisa tampil sebagai kader masa depan oleh karena itu pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang pertama mengembangkan kungkungan hidup dalam arti kata pengembangan sumber daya manusia dari segi mentalnya (Ghazali, 2003:19-20)

Di Indonesia istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok (kamar, gubuk, rumah kecil) dipakai dalam bahasa Indonesia dengan menekankan kesederhanaan bangunan. Sedangkan dalam bahasa Arab berasal dari kata funduq, yang berarti hotel, asrama , rumah, dan tempat tinggal sederhana. Dengan demikian, pesantren adalah sebuah tempat dimana para santri menginap dan menuntut ilmu (mathlab).

Akan tetapi Karel A. Stenbirk membantah dengan tegas bahwa istilah pondok berasal dari India bahkan istilah-istilah pesantren seperti mengaji, langgar surau, semuanya berasal dari India. Hal itu dapat dipahami pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya mungkin berasal dari India. Para ahli juga berkeyakinan bahwa sebelum Islam datang ke Jawa, di Jawa telah berkembang kepercayaan Budhisme. Bukti ini kiranya menjadi alasan kuat bahwa istilah-istilah pesantren berasal dari India.

Secara garis besar pondok pesantren atau lembaga atau tempat pendidikan dan pengajaran agama Islam yang mempunyai tujuan untuk melestarikan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Sebagai salah satu

23

kekayaan budaya Islam, pondok pesantren memiliki ciri khas tersendiri, terlihat dari sistem pendidikan yang digunakan.

Sedangkan pengertian dari pondok pesantren adalah tempat seorang santri memperdalam ilmu agama yang di dalamnya mengajarkan beberapa ilmu agama, pendalaman kitab-kitab maupun kajian-kajian tentang ketauhidan dan kepercayaan.

Dari elemen-elemen pondok pesantren sebagaimana diterangkan di atas bahwa tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainya, yang mana hal tersebut saling berhubungan. Di antara elemen-elemen itu yakni masjid, masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang Jum'at dan pengajaran kitab-kitan Islam klasik. Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid dekat rumahnya (Dhofier,1986:49).

Masjid dijadikan sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid yang merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, di samping berfungsi sebagai tempat melakukan sholat jamaah setiap waktu sholat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasanya waktu belajar mengajar dalam pesantren berkaitan dengan waktu sholat berjamaah baik sebelumnya dan sesudahnya. Alam perkembangannya, sesuai dengan perkembangan jumlah santri dan tingkatan pelajaran, dibangun tempat atau ruangan-ruangan khusus untuk khalaqah-khalaqah perkembangan terakhir menunjukkan

24

adanya ruangan-ruangan yang berupa kelas-kelas sebagaimana yang terdapat pada madrasah-madrasah. Namun demikian, masjid tetap digunakan sebagai tempat belajar mengajar. Pada sebagian pesantren masjid juga berfungsi sebagai tempat i’tikaf dan melaksanakan latihan-latihan atau suluk dan dzikir, maupun amalan-amalan lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi (Hasbullah, 1995:142-143).

Menurut Hasbullah (1995:136) bahwa secara garis besar fungsi surau dan masjid antara lain adalah sebagai tempat ibadah, dan sebagai tempat pendidikan dan pembudayaan, dan tempat penyelenggaraan urusan ummat.

Unsur lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Dan tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis-jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1995:144).

Pengajaran kitab-kitab klasik terutama karangan ulama yang menganut faham Syafi'iyah, merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utama pengajaran ini ialah untuk mendidik calon-calon ulama. Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan kedalam 8 kelompok yaitu nahwu dan sharaf, fiqih, usul fiqh, hadis, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika serta cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah (Dhofier, 1986: 50).

25

Ada dua esensi seorang santri belajar kitab-kitab tersebut di samping mendalami isi kitab maka secara tidak langsung juga mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa kitab tersebut. Oleh karena itu seorang santri yang telah tamat belajarnya di pesantren cenderung memiliki pengetahuan bahasa Arab. Hal ini menjadi ciri khas seorang santri yang telah menyelesaikan studinya di pondok pesantren, yakni mampu memahami isi kitab dan sekaligus mampu menerapkan bahasa kitab tersebut menjadi bahasanya.

Sisi lain tercapainya tujuan pegajaran yakni isi kitab dan bahasa Arab dapat dikuasai, maka terdapat hubungan horizontal antara santri dan kiainya, yang mengakibatkan tertanamnya rasa kebersamaan antara sesama santri dan para kiai yang membimbing. Hal yang demikian itu menghilangkan kesan adanya sikap stratifikasi dalam pesantren yakni kiai sebagai yang dituakan dan santri merupakan yang diberikan pelajaran (Ghazali, 2003: 24).

Dalam pendidikan yang digunakan di Pondok Pesantren Modern Bina Insani menggunakan sistem pendidikan salafi modern, yang mana dalam pembelajaran pendalaman agama menggunakan kitab-kitab klasik dari para ulama salafi. Sedangkan dalam pendidikan modern mengajarkan tentang pendidikan bahasa Inggris sebagai pengembangan dari ilmu yang dipergunakan kebanyakan masyarakat dalam percakapan ataupun pembelajaran khusus. Sehingga para santri di samping mendalami ilmu kitab-kitab klasik, juga dituntut untuk memahami bahasa Inggris yang mana bahasa yang tidak digunakan di pondok pesantren salafiyah. Karena kebanyakan dari pondok-pondok salaf hanya menggunakan kitab-kitab klasik dan pondok

26

yang modern mengajarkan pengembangan ilmu bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris. Seperti pondok pesantren Gontor, As-Salam Sukabumi dan lain-lain yang menanamkan pendidikan selain pendidikan keagamaan.

Di samping masjid santri juga menjadi bagian elemen pondok pesantren. Karena Istilah santri hanya terdapat di pesantren sebagai

pengejawantahan adanya peserta didik yang haus akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren. Oleh karena itu santri biasanya berkaitan dengan keberadaan kyai dan pesantren (Ghazali, 2003: 22-23).

Ada beberapa definisi santri yang dikemukakan oleh para ahli antara lain, Profesor Johns yang berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji (dalam Dhofier, 1982:18). Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa santri berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan (Dhofier,1982:18). Menurut Geertz dalam Ziemek (1986: 99) pengertian santri mungkin diturunkan dari kata Sansekerta "Shastri" yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis yang dalam pemakaian bahasa modern memiliki arti sempit dan luas. Arti sempitnya ialah santri seorang pelajar sekolah agama yang disebut pondok pesantren. Dalam arti yang luas dan lebih umum kata santri mengacu pada seorang anggota bagian penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh yang sembahyang,

27

pergi ke masjid pada hari Jumat dan sebagainya. Santri merupakan elemen penting bagi sebuah pesantren selain kiai.

Menurut Dhofier (1982:51-52) terdapat dua macam santri di dalam dunia pesantren yaitu;

1. Santri mukim yaitu santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang kepentingan pesantren sehari-hari, mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Dalam sebuah pesantren yang besar akan juga terdapat putera-putera kiai dari pesantren lain yang juga menjadi santri mukim di pesantren tersebut.

Ada dua motif seorang santri menetap sebagai santri mukim, yaitu motif menuntut ilmu artinya seorang santri itu datang dengan maksud menuntut ilmu dari kiyainya, dan adanya motif menjunjung tinggi akhlak, artinya seorang santri belajar secara tidak langsung agar santri tersebut setelah di pesantren akan memiliki akhlak yang terpuji sesuai dengan akhlak kiainya.

2. Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajaran di pesantren mereka bolak-balik dari rumahnya sendiri. Sebuah pesantren besar didukung oleh semakin banyaknya santri

28

yang mukim dalam pesantren du samping terdapat pula santri kalong yang tidak banyak jumlahnya.

Selain itu ada dua macam metode utama sistem pengajaran di pesantren menurut Dhofier (1986: 28-31) juga ada dua macam :

1. Bandongan atau weton : dalam sistem ini sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas sistem ini disebut halaqah atau lingkaran murid atau sekelompok siswa yang belajar di bawah pimpinan seorang guru. 2. Sorogan : sistem ini merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini

menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan murid dalam menguasai bahasa Arab.

Selain santri yang berperan penting dalam pondok pesantren adalah adanya seorang kiai. Santri yang berada di pondok pesantren akan diasuh oleh seorang kiai yang berperan sebagai pendidik. Kiai mengajarkan ilmu pendalaman agama sebagai benteng iman bagi para santri ketika mereka kembali ke masyarakatnya masing-masing.

Menurut Dhofier (1982:55) perkataan kiai berasal dari bahasa Jawa dipakai untuk menyebut tiga jenis gelar yang berbeda yaitu pertama sebagai gelar kehormatan bagi barang yang dianggap keramat, kedua gelar kehormatan untuk orang-orang yang sudah tua pada umumnya, ketiga gelar

29

yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki serta menjadi pimpinan pondok pesantren dan mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Gelar kiai juga diberikan kepada seseorang yang alim.

Oleh karenanya peran kiai sangat penting dalam perkembangan pondok pesantren. Dan juga berperan penting dalam masyarakat yang ada di sekitar pondok pesantren.

B. Keberagamaan

Sejak permulaan sejarah umat manusia, agama sudah terdapat pada semua lapisan masyarakat, dan seluruh tingkat kebudayaan. Dewasa ini, kehadiran agama semakin dituntut untuk terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya dijadikan sekedar lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah dan ceramah, melainkan secara konsepsional, menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan.

Kesadaran beragama dalam pengalaman seseorang lebih menggambarkan sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral. Dari kesadaran agama serta pengalaman keagamaan tersebut akan muncul sikap keberagamaan yang ditampilkan oleh seseorang. Hal ini dapat mendorong seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Kehidupan keberagamaan tersebut

30

mencakup beberapa aspek : pemaknaan agama, ritual dan ibadah, sosialisasi agama dan menyangkut aspek pengalaman keagamaan.

Untuk memahami makna keberagamaan tersebut, penulis akan mencari akar kata pembentuk kata keberagamaan. Keberagamaan berasal dari kata dasar agama yang berarti sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu (agama Islam, Kristen)

Pengertian lain agama yaitu bahwa agama berasal dari kata sansekerta “a” yang berarti “tidak”, dan “gama” yang berarti “kacau”. Agama, dengan demikian, berarti aturan atau tatanan untuk mencegah kekacauan dalam kehidupan manusia. Atau dalam bahasa Barat “religion” yang berakar pada kata Latin “relegere” yang berarti “membaca ulang”, dan “religere” yang berarti “mengikat erat”. Jadi agama merupakan pengikat kehidupan manusia yang diwariskan secara berulang dari generasi ke generasi (Norma, 2000: 18). Agama dalam Islam, terdapat istilah din, yang mencakup pengertian keberhutangan, ketundukan, kekuatan yang mengadili dan kecenderungan alami. Istilah ini berhubungan erat dengan beberapa istilah yang memiliki akar kata sama, yaitu dana atau kondisi memiliki hutang. Manusia memiliki hutang yang tak terhingga kepada sang Pencipta, berupa keseluruhan eksistensi. Orang yang berhutang disebut da’in, memiliki kewajiban untuk membayar. Karena pembayaran hutang ini melibatkan seluruh manusia dengan beragam kondisi, maka diperlukan ketentuan (idanan), dan penilaian terhadap yang patuh dan yang ingkar (daynunah).

31

Segala ketentuan di atas hanya dapat diaktualisasikan dalam suatu masyarakat yang teratur (madinah) dan memiliki pemimpin (dayyan). Dengan demikian agama tidak lain adalah keseluruhan proses pemberadaban manusia yang akan menghasilkan kebudayaan (Norma, 2000 : 14-16).

Oleh karena itu, Agama secara mendasar dan umum, dapat diartikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya. Mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya.

Agama sebagai sebuah sistem keyakinan, berisikan ajaran dan petunjuk bagi para penganutnya supaya selamat dalam kehidupan setelah mati. Karena itu juga, keyakinan keagamaan dapat dilihat sebagai orientasi pada masa yang akan datang, dengan cara mengikuti kewajiban-kewajiban keagamaan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan agama yang dianut atau diyakininya.

Kata beragama mempunyai arti menganut (memeluk agama), taat kepada agama ; beribadat. Pengertian keagamaan yaitu “yang berhubungan dengan agama”, dan keberagamaan sendiri merupakan perilaku beragama ataupun perwujudan atas keyakinan yang dimiliki seseorang.

Dengan mengamalkan kewajiban-kewajiban yang ada dalam agama tersebut, maka keberagamaan akan berkaitan erat dengan dimensi keyakinan, praktek agama, pengalaman dan pengetahuan agama.

32

Keyakinan berisikan pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Oleh karena itu setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganutnya diharapkan taat terhadap kewajiban-kewajibannya.

Dimensi praktek keagamaan mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap apa yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari ritual dan ketaatan yang mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua agama mengharapkan para penganutnya melaksanakan.

Agama sendiri adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Dalam praktiknya fungsi agama dalam masyarakat adalah sebagai sesuatu yang edukatif yaitu agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Agama juga berfungsi sebagai penyelamat, perdamaian, sosial kontrol, pemupuk rasa solidaritas, transformatif (membawa perubahan), kretif, dan agama berfungsi sublimatif (perubahan ke tingkat yang lebih baik).

Para sosiolog agama memandang agama sebagai suatu pengertian yang luas dan universal, dari sudut pandang sosial dan bukan dari sudut