ketrampilan, gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan ketrampilan komplek serta gerakan ekspresif dan interpretatif.
Ketiga ranah tersebut menjadi obyek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah ini, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran (Sudjana, 2002:22-23).
Hasil belajar biasanya dapat diketahui melalui kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan data pembuktian yang akan menunjukkan sampai dimana tingkat kemampuan dan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.
2.1.4 Pembelajaran Kontekstual
Menurut Johnson dalam Nurhadi, Pengertian CTL adalah sebagai
berikut:“The CTL system is an educational process that aims to help students
see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of their personal, social, and cultural circumstances”.
Sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan lingkungan pribadi, sosial, dan budayanya.
Menurut Nurhadi (2002), Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong
siswa membuat hubungan antar pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit-demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan suatu model pembelajaran yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata yang dialami siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan dapat menyimpan lebih lama pengetahuan yang dipelajarinya karena mereka pengetahuan yang mereka pelajari akan bermanfaat dalam kehidupannya.
Beberapa karakteristik pembelajaran kontekstual yaitu: 1) Kerja Sama
2) Saling Menunjang
3) Menyenangkan dan tidak membosankan 4) Belajar degan bergairah
5) Pembelajaran terintegrasi 6) Menggunakan berbagai sumber 7) Siswa Aktif
8) Berbagi pengetahuan dengan teman 9) Siswa kritis, guru kreatif
18
10) Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta, gambar, artikel,humor dan lain-lain.
(Sofyan dan Amiruddin,2007:16)
Selanjutnya menurut Zahorik dalam Depdiknas pembelajaran kontekstual itu terdiri atas lima elemen yakni:
1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge) 2. Pemerolehan pengetahuan baru (aquiring knoowledge) dengan cara
mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikannya secara detail.
3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun 1) konsep sementara (hipotesis), 2) Melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan itu, 3) konsep itu direvisi dan dikembangkan.
4. Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge). 5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi
pengembangan pengetahuan tersebut.
2.1.4.1 Komponen Utama Dalam Pembelajaran kontekstual
Nurhadi (2002:31) mengemukakan bahwa ada tujuh komponen utama yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual di kelas. Ketujuh komponen utama itu adalah konstruktivisme (constructivism), bertanya
(questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning
community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian autentik (authentic assessment).
1) Konstruktivisme (constructivism)
Menurut Sardiman (2007) konstruktivisme merupakan landasan berpikir bagi pembelajaran kontekstual. Pengetahuan riil bagi siswa adalah sesuatu yang dibangun atau ditemukan oleh siswa itu sendiri. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang diingat siswa, tetapi siswa harus merekonstruksi pengetahuan itu kemudian memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam proses pembelajaran siswa harus dilatih untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, mengemukakan ide-ide dan kemudian mampu merekonstruksinya.
Dalam Pandangan konstruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan cara:
a) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa
b) Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri
c) Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar
2) Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian terpenting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry, yaitu menggali informasi,
20
mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Menurut Sardiman (2007) kegiatan bertanya dalam proses pembelajaran berguna untuk:
a) Menggali informasi
b) Mengecek pemahaman siswa c) Membangkitkan respon siswa
d) Mengetahui seberapa jauh keingintahuan siswa e) Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
f) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru g) Menyegarkan kembali pengetahuan siswa
3) Menemukan (Inquiry)
Kegiatan menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual. Guru diharuskan selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan untuk setiap materi yang diajarkannya.
Dalam Sardiman (2007) disebutkan, langkah-langkah kegiatan menemukan adalah:
a) Merumuskan masalah
b) Mengamati atau melakukan observasi, termasuk membaca buku, mengumpulkan informasi
c) Menganalisis dan menyajikan hasil karya dalam tulisan, laporan, gambar, tabel dan sebagainya
d) Menyajikan, mengkomunikasikan hasil karyanya didepan guru, teman sekelas atau audiens yang lain
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Dalam kelas dengan pendekatan kontekstual guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran secara kelompok. Siswa yang pandai mengajari yang lemah dan yang tahu memberi tahu temannya yang belum tahu. Menurut Nurhadi (2002), Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok atau lebih terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar guru dan siswa. Seseorang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.
Perwujudan masyarakat belajar dikelas dapat dilakukan dengan cara pembentukan kelompok kecil, pembentukan kelompok besar, mendatangkan
”ahli” ke kelas, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja kelompok dengan
kelas diatasnya dan lain-lain. 5) Pemodelan (modeling)
Dalam pembelajaran kontekstual keterampilan atau pengetahuan tertentu menghendaki model yang bisa ditiru. Model dapat berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melakukan suatu percobaan kimia atau cara penyampaian materi lainnya oleh guru. Dengan demikin guru berperan sebagai model.
Menurut Sardiman (2007) dalam pembelajaran kontekstual guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Siswa dapat ditunjuk untuk melakukan suatu percobaan di depan kelas karena siswa tersebut telah memahami percobaan itu melalui buku yang dia miliki. Siswa
22
itu dapat dikatakan sebagai model, dan siswa yang lain dapat menggunakan model sebagai standar kompetensi yang harus dicapai.
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan bagian penting dalam pembelajaran dengan CTL. Refleksi adalah cara berpikir atau perenungan tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yng sudah kita lakukan di masa lalu. Dalam refleksi ini siswa mengendapkan apa-apa yang baru saja dipelajari sebagai struktur pengetahuan yang baru dan merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.
Dalam Nurhadi (2002) disebutkan bahwa guru perlu melaksanakan refleksi pada akhir program pengajaran. Pada akhir pembelajaran guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi, realisasinya berupa:
a) Pernyataan langsung mengenai hal-hal yang diperolehnya hari itu b) Catatan atau jurnal siswa
c) Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu d) Diskusi
e) Hasil karya
f) Cara-cara lain yang ditempuh guru untuk mengarahkan siswa kepada pemahaman mereka tentang materi yang dipelajari
7) Penilaian Autentik (Authentic Assessment)
Dalam Nurhadi (2002) disebutkan bahwa Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan siswa. Prinsip penilaian yang dipakai dalam penilaian serta ciri-ciri penilaian autentik adalah sebagai berikut:
a) Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja dan produk
b) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung c) Menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber
d) Tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian
e) Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari.
2.1.4.2 Perbedaan pendekatan kontekstual dengan pendekatan ekspositori terlihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1. Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Ekspositori
Ekspositori Kontekstual
1.Menyandarkan kepada hafalan 2.Pemilihan informasi ditentukan oleh guru
3.Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu
4. Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai
pada saatnya diperlukan
5. Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan berupa ujian / ulangan.
1.Mendasarkan pada memori special 2. Pemilihan informasi berdasarkan pengalaman
3.Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin)
4. Selalu mengaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa
5. Menerapkan penilaian autentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah.
24
2.1.4.3 Pelaksanaan Pembelajaran Kontekstual
Komponen pembelajaran kontekstual dapat dilaksanakan melalui beberapa model pembelajaran diantaranya: pembelajaran langsung, pembelajaran berdasarkan masalah dan pembelajaran kooperatif.
2.1.4.4 Contoh penerapan strategi CTL dengan percobaan untuk bab reaksi redoks a. Pendahuluan (Awal)
1. Sebagai kegiatan pembuka guru mengajukan pertanyaan kepada peserta:
”Apakah yang dimaksud dengan reaksi elektrolisis? Apakah kegunaan
dari penyepuhan? Apakah ada diantara siswa yang pernah melakukan penyepuhan emas, tembaga, atau logam lainnya?
2. Dengan instruksi dari guru, siswa diminta membentuk 10 kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 3 orang (jumlah anggota kelompok praktikum dibuat sedikit agar aktivitas peserta lebih intens).
b. Kegiatan Inti
1. Dengan bimbingan guru, siswa diminta untuk menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk praktek penyepuhan tembaga dan emas di atas meja masing-masing.
2. Guru menjelaskan ”penyepuhan tembaga akan dilakukan oleh semua
kelompok, sedangkan penyepuhan emas karena harga emas yang sangat mahal, maka cukup didemonstrasikan di depan kelas oleh salah satu kelompok. Cara penyepuhannya sama dengan penyepuhan tembaga”.
3. Guru membagikan lembar kerja praktikum dan menjelaskan cara kerja penyepuhan tembaga. Siswa diminta untuk menyimak, mencatat, dan bertanya.
”lempeng tembaga tipis kita potong kecil-kecil, lalu kita timbang seberat
0,2 gram. Taruh di cawan porselen, tambahkan air raja sedikit dan panaskan di atas api yang kecil. Tunggu hingga semua tembaga habis larut dan menjadi serbuk. Jika masih ada tembaga kecil-kecil, tambahkan lagi air raja sedikit hingga semua tembaga larut. Jangan menambah air raja berlebihan karena akan mengurangi keindahan hasil serbuk tembaga. Panaskan 300 gram air dalam beker gelas sampai suhu sekitar 500C lalu masukkan KCN atau NaCN (sebagai katalis). Masukkan sedikit air hangat tersebut ke cawan porselen yang berisi serbuk tembaga tadi hingga semua serbuk tembaga larut, kemudian masukkan kembali ke dalam beker gelas. Larutan tembaga tersebut siap digunakan untuk proses penyepuhan. Tahap ini merupakan tahap terakhir. Pertahankan suhu larutan sekitar 500C. Nyalakan trafo dan atur tegangan 10-12 volt DC. Ikat benda yang akan dilapisi tembaga ke kabel tembaga yang terhubung ke kutub negatif trafo dan celupkan ke dalam larutan tembaga selama 3 sampai 15 detik, tergantung besar kecilnya benda. Angkat benda tadi. Kutub positif bisa digunakan lempeng tembaga yang cukup besar atau kalau tidak ada, bisa digunakan sendok stainless steel. Untuk sepuh emas kutub positif sebaiknya digunakan lempeng platina(Pt), namun kalau tidak ada juga bisa digunakan sendok stainless steel.
26
4. Setelah semua siswa paham prosedur kerja praktikum penyepuhan, dengan bimbingan guru semua kelompok dipersilakan untuk melaksanakan praktikum sendiri-sendiri.
5. Setelah selesai praktikum, masing-masing kelompok mengumpulkan lembar kerja praktikum.
6. Dengan bimbingan guru salah satu kelompok diminta mempresentasikan lembar kerja hasil praktikumnya dan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dialami selama praktikum.
7. Dengan bimbingan guru, kelompok lain diminta memberikan masukan. 8. Guru dan siswa memberikan aplaus pada kelompok yang mau tampil
presentasi.
9. Kelompok yang mau tampil diberi penghargaan untuk mendemonstrasikan proses penyepuhan emas dibimbing oleh guru. Siswa mengamati, mencatat dan bertanya.
c. Penutup
Guru merefleksikan seluruh kegiatan dan membuat kesimpulan dari penyepuhan tembaga dan emas.
Jika dicermati rencana pembelajaran yang ditempuh di atas, maka beberapa prinsip Kontektual dapat dilihat dari kegiatan sebagai berikut : (1) Proses Inquiry muncul pada saat peserta mengidentifikasi kegunaan penyepuhan dalam kehidupan sehari-hari; menemukan perbedaan konsep penyepuhan di buku teks sekolah dengan praktikum sebenarnya; belajar mengambil kesimpulan dari data praktikum, (2) Questioning muncul ketika
guru membimbing siswa dengan pertanyaan ”apakah yang dimaksud dengan
reaksi elektrolisis” dan ” apakah kegunaan dari penyepuhan”, bertanya tentang
prosedur kerja yang belum jelas dan dalam diskusi dengan teman kelompoknya, (3) Learning community terjadi pada saat kerja kelompok, saling bertanya dan berdiskusi antar siswa dalam kelompok dan dalam diskusi kelas, (4) Modeling muncul ketika guru memperagakan cara-cara praktikum, (5) Authentic assesment dilakukan ketika peserta berdiskusi, presentasi, dan lembaran kerja praktikum yang dikumpulkan. Dari semua langkah tersebut peserta diberi kesempatan untuk membangun dan memperdalam konsep penyepuhan dengan cara membangun sendiri pengetahuan barunya berbasis pada pengetahuan atau pengalaman yang sudah dimiliki peserta, itulah makna constructivism(6) , kemudian pembelajaran diakhiri dengan refleksi(7) dari guru bersama siswa dan guru memberi penguatan.
Sumber : Arief zainul, 2007
2.1.5 Percobaan Sederhana Berbasis Alam Lingkungan
Dengan berlakunya KTSP saat ini, seorang guru dituntut untuk dapat menyajikan materi ajar dengan berbagai pendekatan dan strategi yang kesemuanya diharapkan mampu mengaktifkan peserta didik. Oleh karena itu, guru harus kreatif dan inovatif menciptakan berbagai kegiatan yang tidak hanya dilakukan di dalam kelas, tetapi di luar kelas dan laboratorium. Menurut
John W. Hansen & Gerald G. Lovedahl (2004) ”belajar dengan melakukan”
merupakan sarana belajar yang efektif, artinya seseorang akan belajar efektif bila ia melakukan. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan KTSP, dimana guru
28
harus lebih banyak memberikan kegiatan aktif kepada peserta didik, sehingga pemahaman peserta didik terhadap materi ajar akan lebih efektif. Confucius
menyatakan bahwa “what I do, I understand” (apa yang saya lakukan, saya
paham (Mel Silberman, 2002 : 1), artinya ketika seorang guru banyak memberikan aktivitas yang bersifat keterampilan, maka peserta didik akan memahaminya secara lebih baik.
Percobaan sederhana berbasis alam lingkungan ini merupakan percobaan sederhana dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh di lingkungan alam sekitar siswa dan murah harganya, sehingga eksperimen dilaboratorium dapat dilaksanakan secara kontinyu.
2.2Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan Amy J. Phelps & Cherin Lee (2003) yang dilakukan dari tahun 1990 – 2000 terhadap guru-guru baru yang mengajar kimia menunjukkan bahwa semua guru tersebut setuju bahwa mengajar kimia tidak dapat dilakukan tanpa laboratorium. Lebih lanjut dikatakan bahwa laboratorium adalah esensial untuk mengajar sains, termasuk kimia. Namun demikian, kompetensi kerja ilmiah seorang guru tidak hanya dapat diamati melalui cara mengajar atau cara guru mendemonstrasikan suatu percobaan di laboratorium, tetapi juga dapat ditinjau dari bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi ilmiah, mencip-takan percobaan sederhana yang dapat dilakukan peserta didik di rumah sebagai bentuk kreativitasnya, dan juga sikap dan nilai ilmiah yang ditunjukkan dalam kesehariannya. Di Amerika Serikat sebuah institusi penghasil guru (semacam LPTK) menetapkan standar
persyaratan bagi mahasiswanya untuk lulus dalam pelatihan laboratorium sebagai bekal ketika mereka nanti mengajar (Aldrin E. Sweeney & Jeffrey A. Paradis, 2003).
Menurut Sylvia Kerr & Olaf Runquist (2005) seorang guru sebaiknya selalu berusaha meningkatkan kualitas profesionalismenya. Selain memiliki bekal bagaimana mengajar sains yang baik, guru juga perlu memiliki keterampilan laboratorium sebagai penunjang pelaksanaan tugas di lapangan serta kemampuan pemecahan masalah, sehingga tidak mudah menyerah ketika menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan tugas mengajarnya.
Dengan keterampilan laboratorium yang baik, seorang guru senantiasa dapat berbuat dan berkreasi merancang kegiatan praktikum bagi peserta didiknya meskipun dalam kondisi sarana dan prasarana laboratorium yang serba kekurangan.
2.3Materi
Reaksi Reduksi dan Oksidasi (Redoks)
Dalam penelitian ini digunakan materi reaksi redoks. Berikut ini adalah paparan materi reaksi redoks:
1) Perkembangan Konsep Reaksi Reduksi dan Oksidasi
a) Konsep Reaksi Redoks Berdasarkan Pengikatan dan Pelepasan Oksigen a.1) Reaksi Oksidasi adalah reaksi pengikatan oksigen oleh suatu zat.
Contoh:
Pembakaran magnesium: 2Mg(s) + O2(g) 2MgO(s) Reaksi perkaratan besi: 4Fe(s) + 3O2(g) 2Fe2O3(s) Pembakaran metana: CH4(g) + 2O2(g) CO2(g) + 2H2O(g)
30
a.2) Reaksi reduksi adalah reaksi pelepasan oksigen oleh suatu zat. Contoh:
Reaksi antara tembaga (II) oksida dengan gas hidrogen CuO(s) + H2(g) Cu(s) + H2O(g)
Reduksi bijih besi oleh karbon monoksida
Fe2O3(s) + 3CO(g) 2Fe(s) + 3CO2(g) Reduksi kromium (III) oksida oleh aluminium
Cr2O3(s) + 2Al(s) Al2O3(s) + 2Cr(s)
b) Konsep Reaksi Redoks Berdasarkan Pelepasan dan Penerimaan Elektron b.1) Reaksi Oksidasi adalah reaksi pelepasan elektron oleh suatu zat
Contoh:
Na(s) Na+(aq) + e- Ca(s) Ca2+(aq) + 2e- Fe(s) Fe3+(aq) + 3e-
b.2) Reaksi Reduksi adalah reaksi penangkapan elektron oleh suatu zat. Contoh:
Ag+(aq) + e- Ag(s) S(s) + 2e- S2-(aq) Cl2(g) + 2e- 2Cl-(aq)
Pada dasarnya, jika terdapat suatu zat yang melepas elektron maka secara otomatis terdapat zat lain yang menerima elektron tersebut. Jadi dalam hal ini reaksi oksidasi dan reduksi terjadi secara simultan atau bersamaan. Reaksi yang melibatkan reaksi reduksi dan oksidasi ini
selanjutnya disebut reaksi redoks. Reaksi reduksi atau oksidasi disebut sebagai setengah reaksi.
Contoh reaksi antara atom Zn dengan ion Cu2+ : Oksidasi: Zn(s) Zn2+(aq) + 2e- Reduksi: Cu2+(aq) + 2e- Cu(s)
Redoks: Zn(s) + Cu2+(aq) Zn2+(aq) + Cu(s)
c) Konsep reaksi Redoks Berdasarkan Perubahan Bilangan Oksidasi
Sebelum membahas konsep ini, terlebih dahulu perlu diperhatikan aturan-aturan yang telah ditentukan dalam penentuan bilangan oksidasi. Bilangan oksidasi suatu unsur adalah besarnya muatan yang diemban oleh suatu atom dalam suatu senyawa jika semua elektron ikatan didistribusikan kepada unsur yang lebih elektronegatif. Aturan penentuan bilangan oksidasi adalah sebagai berikut:
c.1) Bilangan oksidasi unsur bebas adalah 0.
Contoh: bilangan oksidasi H, N, dan Fe dalam H2, N2 dan Fe adalah 0. c.2) Bilangan oksidasi unsur logam selalu positif sesuai dengan nomor
golongannya, kecuali atom transisi yang memiliki lebih dari satu biloks. Contoh:
Golongan IA (logam alkali) = +1 Golongan IIA (logam alkali tanah) = +2
Biloks atom transisi Fe, Co, dan Ni adalah +2 dan +3; Cu adalah +1 dan +2; Mn adalah +2, +3, +4, +5, dan +7; Cr adalah +2, +3, dan +5.
32
c.3) Bilangan oksidasi suatu unsur dalam suatu ion tunggal = muatannya. Contoh: Bilangan oksidasi Fe dalam Fe3+ = +3
c.4) Bilangan oksidasi O umumnya = -2, kecuali dalam F2O (biloks O= +2), dalam peroksida (bilangan oksidasi O = -1), dan dalam superoksida (bilangan oksidasi O = -1/2).
c.5) Bilangan oksidasi H umumnya = +1, kecuali bersenyawa dengan logam, maka bilangan oksidasinya H = -1.
Contoh: Bilangan oksidasi H dalam HCl, H2O, dan NH3 = +1 Bilangan oksidasi H dalam NaH, BaH2 = -1
c.6) Jumlah bilangan oksidasi unsur-unsur dalam suatu senyawa = 0
Contoh: dalam H2SO4 = (2 x biloks H) + (1 x Biloks S) + (4 x biloks O) =0 c.7) Jumlah bilangan oksidasi unsur-unsur dalam suatu ion = muatannya
Contoh: dalam S2O32- = (2 x biloks S) + (3 x biloks O) = -2 Berdasarkan perubahan bilangan oksidasi:
c.8) Reaksi oksidasi adalah reaksi dimana suatu atom atau unsur mengalami pertambahan atau kenaikan bilangan oksidasi
c.9) Reaksi reduksi adalah reaksi dimana suatu atom atau unsur mengalami penurunan bilangan oksidasi
Contoh: reaksi Na dengan Cl
Na(s) + Cl2(g) Na+(aq) + Cl-(aq) Biloks 0 biloks 0 Biloks +1 Biloks -1
Oksidasi
Jadi natrium mengalami reaksi oksidasi sedangkan klorin mengalami reaksi reduksi.
2) Reduktor dan Oksidator
a) Pengertian Oksidator dan Reduktor
Pada dasarnya, reaksi reduksi dan oksidasi selalu berlangsung bersamaan sehingga disebut dengan reaksi redoks. Di dalam reaksi redoks tersebut terdapat zat-zat yang bertindak sebagai pereduksi dan pengoksidasi.
a.1) Pereduksi atau reduktor adalah zat yang dapat menyebabkan zat lain mengalami reaksi reduksi atau zat yang mengalami reaksi oksidasi. a.2) Pengoksidasi atau oksidator adalah suatu zat yang dapat menyebabkan
zat lain mengalami reaksi oksidasi atau zat yang mengalami reaksi reduksi.
b) Cara Menentukan Oksidator dan Reduktor
Untuk menentukan oksidator dan reduktor dalam suatu reaksi redoks, maka dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
b.1) Tentukan bilangan oksidasi masing-masing atom atau senyawa.
b.2) Cermati atom-atom yang mengalami kenaikan atau penurunan bilangan oksidasi.
b.3) Atom yang mengalami kenaikan bilangan oksidasi berarti mengalami reaksi oksidasi dan disebut reduktor, sedangkan atom yang mengalami penurunan bilangan oksidasi berarti mengalami reaksi reduksi dan disebut oksidator. Contoh: reaksi Ca dengan S
34
Biloks 0 biloks 0 biloks +2 biloks -2
Setelah melepas 2 elektron bilangan oksidasi kalsium mengalami kenaikan dari 0 menjadi +2, jadi kalsium merupakan reduktor, sedangkan sulfur menangkap 2 elektron bilangan oksidasi sulfur mengalami penurunan dari 0 menjadi -2, jadi sulfur merupakan oksidator.
3) Reaksi Disproporsionasi dan Reaksi Konproporsionasi
Reaksi disproporsionasi adalah reaksi redoks yang oksidator dan reduktornya merupakan zat yang sama. Jika sebagian zat tersebut mengalami reduksi, maka sebagian yang lain mengalami oksidasi (Purba, 2002:55). Reaksi Konproporsionasi merupakan kebalikan dari reaksi disproporsionasi, yaitu reaksi redoks yang hasil reduksi dan oksidasinya sama.
4) Tata Nama Senyawa
a) Tata Nama Senyawa Biner
Senyawa biner adalah senyawa yang terdiri dari dua unsur. Unsur-unsur ini dapat berupa logam dan nonlogam atau nonlogam dengan nonlogam. a.1) Senyawa ionik yang terdiri atas atom logam dan nonlogam diberi nama
dengan cara menyebutkan ion positifnya diikuti ion negatifnya dan diberi akhiran –ida.
Contoh:
KCl : Kalium Klorida
oksidasi
MgBr2 : Magnesium Bromida NaI : Natrium Iodida
a.2)Senyawa biner yang terdiri atas atom-atom nonlogam diberi nama dengan menentukan atom yang bersifat lebih positif dan lebih negatif. Atom yang lebih positif diberi nama sesuai nama unsurnya diikuti nama atom yang lebih negatif, kemudian diberi akhiran –ida. Pada atom dengan biloks lebih dari satu, maka senyawanya diberi awalan yang menyatakan jumlah atom tersebut.
Contoh:
HCl : Hidrogen Klorida
P4O7 : Tetrafosfor Heptaoksida N2O3 : Dinitrogen Trioksida b) Tatanama senyawa poliatomik
Senyawa poliatomik terdiri atas lebih dari dua unsur. Pertama, identifikasi kation dan anionnya. Kedua, nama kation disebut dahulu, diikuti nama anion. Sebagian besar anion poliatomik berakhiran –it atau –at, hanya