• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Sumber Daya Hutan Mangrove di Pantai Utara Jawa Tengah

Perikanan laut di Jawa Tengah tersebar mulai dari bagian timur, tengah, dan barat. Tingkat produktivitasnya dapat ditunjuk-kan oleh jumlah armada kapal yang beroperasi. Di bagian timur yang berpusat di Rembang merupakan daerah tangkapan terbesar dengan 2.600 kapal. Di bagian tengah yang berpusat di Kota Pekalongan me-rupakan daerah tangkapan kedua dengan 2.000 kapal. Sementara itu, di bagian barat merupakan daerah tangkap ketiga dengan pusat di Kota Tegal yang memiliki 1.153 kapal besar dan kecil. Tampak sektor perikanan merupakan sumber penghidupan sebagian besar anggota masyarakat kawasan pantai utara Jawa Tengah.

Perlu pengaturan keterlibatan masyarakat nelayan dalam me-ningkatkan produksi sehingga bisa mendatangkan keuntungan bagi semua pihak dan pengelolaan yang ramah lingkungan. Pada usaha penangkapan ikan, perlu ada peningkatan keterampilan bagi nelayan dengan menggunakan teknologi baru yang efi sien.

Hal ini untuk mengantisipasi persaingan penangkapan ikan dengan para nelayan negara lain yang sering masuk ke perairan In-donesia dengan teknologi lebih maju. Usaha ini melibatkan semua pihak, yaitu nelayan, pengusaha, pemerintah, dan pihak terkait lain. Usaha lain adalah memberi pengertian kepada nelayan tentang ba-haya penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti peng-gunaan bahan peledak dan racun (Iwan J. Azis, 1985).

Pada bidang pertambakan, selain secara ekstensifi kasi, usaha peningkatan hasil juga dengan intensifi kasi. Pengelolaan tambak di Indonesia pada umumnya masih bersifat tradisional. Hasil produksi pertambakan Indonesia pada 1998 berjumlah 585.900 ton merupa-kan nilai lebih dari 50% hasil kegiatan budi daya perimerupa-kanan (Susilo dalam Direktorat Jenderal Perikanan, 1999).

Keterlibatan masyarakat dalam bentuk pertambakan inti rakyat, perusahaan sebagai inti dan petani tambak sebagai plas-ma, merupakan suatu konsep yang baik meskipun terkadang dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Hubungan lain, seperti kemitraan petani tambak dan pengusaha penyedia sarana produksi, juga salah satu model yang perlu mendapat pengembangan dan pe-nyempurnaan pada masa mendatang.

Sumber daya yang tidak dapat pulih terdiri atas seluruh dan geologi, yaitu minyak gas, batu bara, emas, timah, nikel, bijih besi, batu bara, granit, tanah liat, pasir, dan lain-lain. Selain itu bahan baku industri dan bangunan, seperti kaolin, pasir kuarsa, pasir ba-ngunan, kerikil, dan batu fondasi (Budiharsono S., 1992).

Sumber daya jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transpor-tasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan peneli-tian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fi sio-logis lain (Budiharsono S., 1992).

Salah satu dari sumber yang mendapat perhatian di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Fungsi hutan mangrove sebagai

spawning ground, feeding ground, dan juga nursery ground, selain

sebagai tempat penampung sedimen juga merupakan ekosistem de-ngan tingkat produktivitas tinggi dan berbagai macam fungsi eko-nomi, sosial, dan lingkungan penting (Adnan Wantasen, 2002).

Dengan perbandingan luas 3:2 wilayah lautan dan daratan, pe-sisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai macam sumber daya alam. Teristimewa yang dapat pulih kembali seperti berbagai jenis ikan, udang, kepiting yang telah sejak lama dimanfaatkan bangsa In-donesia sebagai salah satu sumber protein hewani. Masih ada sumber daya alam lain dan jasa lingkungan yang belum diusahakan. Atau-pun kalau sudah diusahakan, berada pada taraf rendah. Perlu untuk dimanfaatkan secara lebih baik untuk kesejahteraan bersama ma-syarakat Indonesia terutama di pesisir yang selama ini lebih banyak menjadi objek kegiatan pembangunan (Snedaker, 1987).

Ekosistem wilayah pantai berkarakter unik dan khas karena merupakan perpaduan antara kehidupan darat dan air. Ia berarti strategis karena memiliki potensi kekayaan hayati biologi, ekonomi, dan pariwisata. Hal itu mengakibatkan berbagai pihak ingin meman-faatkan secara maksimal potensi itu. Salah satu potensi kekayaan ekosistem pantai adalah hutan mangrove.

Mangrove merupakan suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut

air laut, tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat (Bulmer-Thomas V., 1982).

Kata mangrove kombinasi bahasa Portugis mangue dengan ba-hasa Inggris grove. Dalam baba-hasa Inggris kata mangrove menunjuk komunitas fl ora yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut atau untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Dalam bahasa Portugis kata mangrove untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal komunitas tum-buhan tersebut. Sebagian ilmuwan mendefi nisikan, hutan mangrove sebagai kelompok jenis fl ora yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis hingga subtropis yang berfungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob.

Sebagian lain mendefi nisikan hutan mangrove sebagai tum-buhan halofi t (yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi atau bersifat alkalin) dan tumbuh di sepanjang area pantai serta dipengaruhi pasang tertinggi hingga daerah yang mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.

Secara ringkas hutan mangrove dapat didefi nisikan sebagai tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang-surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang saat pasang dan bebas dari genangan saat surut dan komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Ada istilah lain dari hutan mangrove, yaitu hutan pasang surut (tidal forest), kebun kayu pesisir (coastal

woodland), hutan payau, dan hutan bakau (Wawan Andriyanto., dkk,

2006).

Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaraga-man jenis yang tertinggi di dunia, seluruhnya 89 jenis. Beberapa je-nis pohon di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp), pedada (Sonneratia sp), tanjang (Bruguiera

sp), nyirih (Xylocarpus sp), tenger (Ceriops sp), dan buta-buta (Exoe-caria sp). Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai

Luas hutan mangrove di Indonesia 3,2 juta hektare, walaupun belakangan dilaporkan lebih dari 50% jumlah hutan itu sudah rusak. Indonesia memiliki 75% hutan mangrove di Asia dan 27% di dunia. Sebagian besar hutan mangrove itu berada di pesisir Sumatera, Ka-limantan, dan Papua. Kondisi itu sebenarnya terus menurun sekitar 200 hektare per tahun akibat berbagai faktor yang terjadi di lokasi-lokasi hutan itu.

Hal ini karena nilai pemanfaatan hutan mangrove di Indone-sia masih rendah, hanya sebatas eksploitatif. Selain itu, perhatian minim Pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan pelestar-ian kawasan hutan di wilayah pesisir, menyebabkan berbagai ben-tuk spekulan yang menggunakan kepentingan itu unben-tuk memenuhi kepentingan sepihak saja tanpa memikirkan sebab-akibat jangka panjang. Contohnya pembalakan dan pembukaan wilayah hutan di pesisir secara cepat.