• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potret Energi Primer Sistem Pembangkit Listrik

Dalam dokumen DAYA DUKUNG SISTEM.pdf (Halaman 23-33)

Pelaksanaan Audit telah dilakukan oleh tim yang dibentuk dan telah berkunjung pada 12 lokasi pembangkit dan menyelesaikan laporannya berdasarkanTerm Of

Referens (TOR). Ke 12 laporan hasil audit ini disiapkan sebagai laporan akhir untuk

masing - masing pembangkit yang diaudit. Berikut ini dapat dilihat pengelompokan energi primer yang digunakan secara berturut-turut pada PLTU, PLTGU dan PLTG :

a. Kelompok PLTU : menggunakan energi primer batubara, MFO dan HSD sebagai bahan bakar untuk boilernya yang kemudian memberikan energi kepada turbin dan menggerakan generator pembangkit listrik. Adapun PLTU yang diaudit Seperti PLTU 2, PLTU 1, PLTU 3, PLTU 5 dan lain-lain. b. Kelompok PLTG, PLTGU: Pembangkit – pembangkit jenis ini menggunakan

gas alam, HSD atau MFO. Gas alam dipasok oleh PSC Migas, dan pertamina memasok HSD dan MFO.

Berikut ini dapat dilihat pengelompokan pembangkit yang telah diaudit : 1.3.1. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

1.3.1.1. PLTU 1

Berdasarkan pada disain boiler seperti terlihat pada tabel 1.1 menunjukkan bahwa nilai kalor batubara yang dibutuhkan oleh unit pembangkit adalah 6.718 Kcal/kg. Dengan menggunakan batubara jenis ini, hanya diperlukan 4 mesin penghancur batubara (mesin pulverized mill), akan tetapi, batubara jenis ini umumnya sulit diperoleh di Indonesia.

Tabel 1.1 Kandungan dan Gross Calorific Value batubara berdasarkan disain Boiler Parameters Unit Design Coal As Received Coal As Received Coal

Dry Basis Moisture % 5.10 5.30 - Ash % 17.50 10.55 11.14 Sulfur % 0.67 0.67 0.71 Carbon % 60.70 66.70 70.43 Hydrogen % 4.90 5.42 5.72 Nitrogen % 1.10 1.06 1.11

Oxygen % 10.00 10.30 10.89 Gross Calorivic

Value Kcal/kg 6035 6718 7094

Batubara yang digunakan pada PLTU 1 umumnya adalah batubara dengan jenis sub-bituminus atau level di bawahnya. Batubara tersebut sebagian besar dipasok dari Kalimantan dengan menggunakan tongkang. Beberapa pemasok batubara untuk PLTU 1 diantaranya yaitu PT. Berau Coal, PT. Adaro Indonesia, PT. MHU, PT. Bentala Coal Mining, dan PT. Arthindo.

Nilai kalor batubara yang digunakan ada dua macam yaitu batubara dengan nilai kalor sekitar 5100 Kcal/kg (high quality) dan batubara dengan nilai kalor sekitar 4700 Kcal/kg dan 4500 Kcal/kg (low quality). Dalam pemakaian kedua jenis batubara tersebut dicampur dengan perbandingan 60 % untuk batubara high quality dan 40 % untuk batubara low quality. Berdasarkan pada pengalaman sejak tahun 2000 membuktikan bahwa pencampuran batu bara antara nilai kalor rendah dan nilai kalor tinggi dengan perbandingan seperti disebutkan diatas menghasilkan nilai kalor baru yang optimum, yang mampu memasok permintaan daya listrik sampai dengan daya mampu gross 400 MW, bila sewaktu-waktu P3B membutuhkan hal tersebut.

Data di atas menunjukkan bahwa nilai kalor batubara yang digunakan pada saat ini, masih di bawah nilai kalor batubara yang sesuai dengan desain awal boiler, sehingga untuk memenuhi kebutuhan nilai kalor sesuai desain boiler, maka jumlah (volume) bahan bakar yang masuk ke ruang bakar pun ditambah. Penambahan volume bahan bakar ini secara langsung berdampak pada penggunaan mesin mill, yaitu semua mesin mill yang berjumlah lima buah harus dijalankan. Sedangkan penggunaan mesin mill bila nilai kalori sesuai dengan disain boiler hanya digunakan empat buah dan yang satunya disiapkan untuk standby.

1.3.1.2. PLTU 2

Pembangkit Listrik Tenaga Uap 2 terdiri atas dua unit dengan kapasitas masing-masing unit sebesar 100 MW. Kedua unit tersebut beroperasi dengan menggunakan bahan bakar batubara dan HSD (solar). Adapun HSD digunakan hanya pada saat

start up, dan ketika terjadi gangguan yang menyebabkan beban turun secara

14 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

sesuai kebutuhan. Spesifikasi batubara berdasarkan pada desain boiler (As Received Basis) seperti dapat dilihat pada tabel 1.2.

Tabel 1.2 Spesifikasi batubara sesuai disain boiler

Berdasarkan pada data di atas, batubara yang sesuai dengan desain pabrikan adalah batubara dengan nilai kalor berkisar antara 5800 – 7700 Kcal/kg. Kadar ash yang diizinkan maksimal 13 % dengan kandungan air antara 3 - 5 % . Dengan menggunakan batubara seperti di atas, hanya diperlukan tiga mesin pulverized mill yang beroperasi, sedangkan satu mesin pulverized mill lainnya dalam keadaan standby. Batubara yang digunakan pada PLTU sektor pembangkitan 2 umumnya dipasok melalui kontrak pembelian batubara, dengan kebutuhan 80.000 ton tiap bulan. Kontrak yang dilakukan umumnya berjangka panjang yaitu 5 tahun.

Berdasarkan pada data kontrak, diketahui bahwa sekitar 30 % batubara dipasok dari Sawahlunto atau sekitar PLTU sektor 2, sedangkan sisanya sebanyak 70% dipasok dari Muara Bungo dengan menggunakan transportasi darat melalui jalan umum. Adapun spesifikasi batubara yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1.3.

Tabel 1.3 Data Spesifikasi Batubara sesuai kontrak dan realisasi kontrak

Data pada tabel 1.3 menunjukkan bahwa nilai kalor batubara yang biasa digunakan tidak jauh berbeda dengan nilai kalor batubara yang sesuai dengan desain boiler. Batubara yang dipasok dari Muara Bungo mempunyai kandungan moisture cukup besar, Sedangkan yang dipasok dari tambang spot di Sawahlunto merupakan batubara yang berasal dari tambang rakyat yang mengandung banyak unsur pengotor dan tidak diproses lebih lanjut melalui tahap preparasi standar, sehingga kualitas batubara yang dihasilkan tidak homogen dan terdapat banyak

kandungan pengotor di dalamnya. Ketidakhomogenan batubara dan banyaknya kandungan pengotor yang terdapat di dalam batubara menyebabkan penurunan kinerja mesin pulverized mill, bahkan pernah mengakibatkan mesin mill mengalami trip. Dengan terjadinya trip pada mesin mill, maka dibutuhkan pemakaian HSD untuk mensupport agar kebutuhan beban tetap terpenuhi. Permasalahan lain yang berkaitan dengan batubara adalah susahnya memenuhi kebutuhan batubara sebanyak 80.000/bulan, di samping itu terdapat pula kendala yang sifatnya non teknis seperti akses jalan yang digunakan untuk mengangkut batubara dan protes masyarakat sekitar PLTU terutama yang berkaitan dengan polusi udara.

1.3.1.3. PLTU 3

Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan 3 terdiri atas 7 unit Pembangkit dengan kapasitas masing-masing adala 4 x 400 MW dan 3 x 600 MW dengan total kapasitas adalah 3200 MW, beroperasi dengan 2 jenis bahan bakar yaitu batu bara dan HSD (solar).

Untuk mendukung operasional PLTU 3 dengan dua macam bahan bakar tersebut, PT. Indonesia Power melakukan kontrak pembelian batubara yang sifatnya jangka panjang dan jangka pendek dengan pemasok, PT. Bukit Asam, PT. Berau Coal, PT. Kideco Jaya Agung, KP dari Kalimantan, dan KP dari Sumatera. Sedangkan pengadaan bahan bakar HSD dilakukan dengan menggunakan kontrak pembelian dengan PT. Pertamina

Berdasarkan pada disain boiler, batubara yang memenuhi persyaratan untuk menjalankan unit yang ada di unit bisnis pembangkitan 3 diharuskan memenuhi persyaratan seperti nilai kalor harus sama atau lebih besar dari 5242 Kcal/kg, kadar ash tidak boleh melebihi 7,8 % dan kandungan moisture 23,6 %, serta nilai HGI yang dipersyaratkan harus terletak antara 55 dan 65. Dengan menggunakan batubara sesuai dengan yang disyaratkan di atas, maka setiap unit yang beroperasi hanya memerlukan tiga mesin pulverized mill, sedangkan satu unit lainnya dalam posisi stand by, kondisi ini berlaku untuk unit 1 sampai dengan dengan unit 4, sedangkan unit 5 sampai dengan unit 7 pada saat beroperasi mengoperasikan 4 mesin pulverized mill ditambah satu mesin lagi dalam keadaan standby (untuk unit 5 sampai dengan unit 7).

16 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

Untuk memenuhi kebutuhan akan batubara yang jumlahnya antara 800.000 sampai dengan 1.100.000 Metrik Ton setiap bulan, UBP 3 melakukan pengadaan batubara melalui pembelian dengan menggunakan kontrak. Kontrak yang dilakukan umumnya berjangka panjang dan menengah yaitu 10 tahun untuk kontrak jangka panjang dan 3 sampai 5 tahun untuk kontrak jangka menengah. Apabila spesifikasi batubara tidak sesuai dengan kontrak, pihak PLN memberikan penalti kepada pihak pemasok sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam kontrak.

Batubara yang diguanakan di UBP 3 dipasok dari PT. Bukit Asam, PT. Berau Coal, PT. Kideco Jaya Agung dan KP dari Kalimantan dan Sumatera. Spesifikasi batubara yang digunakan ada dua jenis seperti dapat dilihat pada tabel 1.4. dan 1.5 yaitu :

Tabel 1.4 Batubara dengan Nilai Kalor 4900 Kcal/kg Parameter Unit Design Coal Nilai Kalor Kcal/kg 4900

Moisture % 28

Ash % 5

HGI 49

Sulphur % 0,25

Tabel 1.5 Batubara dengan Nilai Kalor 5000 Kcal/kg Parameter Unit Design Coal Nilai Kalor Kcal/kg 5000

Moisture % 27

Ash % 6

HGI 48

Sulphur % 1.05

Berdasar pada data yang ditunjukkan di atas terlihat bahwa nilai kalor batubara yang digunakan belum sesuai dengan standar disain boiler, disamping kandungan moisture yang juga relatif besar yaitu sekitar 27 – 28%. Hal ini akan berpengaruh terhadap efisiensi pembakaran dari boiler. Semakin besar kandungan

untuk menguapkan moisture tersebut pada saat pembakaran berlangsung di boiler menjadi tinggi, yang menyebabkan efisiensi pembakaran boiler menjadi turun.

Dari data yang disebutkan di atas diketahui pula bahwa nilai HGI dari kedua jenis batubara yang digunakan juga lebih rendah dari dari ketentuan disain boiler, yang menyebabkan batubara tersebut sulit untuk dihaluskan oleh mesin pulverized

mill. Nilai HGI dari batubara yang rendah berdampak langsung terhadap turunnya

kinerja mesin pulverized mill. Turunnya kinerja mesin pulverized mill akan berpengaruh juga terhadap proses pembakaran di boiler menjadi tidak sempurna, karena batu batubara dengan nilai HGI rendah tidak dapat dihaluskan secara sempurnah oleh mesin pulverized mill.

Dari aspek lingkungan, kandungan ash dan sulphur pada batubara 4900 Kcal/kg terbilang cukup baik karena masih di bawah spesifikasi desain boiler, namun untuk batubara dengan nilai kalor 5000 Kcal/kg kandungan sulphurnya lebih tinggi dibandingkan dengan spesifikasi desain boiler. Semakin banyak kandungan sulphur batubara, semakin banyak pula kandungan sulphur di dalam gas buang. Hal ini tentu saja dapat merugikan apabila dilihat dari aspek lingkungan

1.3.1.4. PLTU 4

PLTU 4 menggunakan batubara sebagai energi primer. Batubara tersebut diperoleh dari beberapa pemasok dengan kontrak jangka pendek yaitu antara lain PT. Kasih Industri Indonesia, PT IRSAC, PT Bara Adhi Pratama, PT Dwi Guna Laksana, PT PLN Batubara dan PT Titan Mining Indonesia. Dengan banyaknya pemasok tersebut terkesan bahwa ketersediaan batubara sangat terjamin. Namun karena kontrak jangka pendek dan keadaan harga batubara menyebabkan pemasok dengan perhitungan ekonomi dapat membatalkan secara sepihak kontrak yang telah ditandatangani, sehingga ketersediaan batubara tidak terjamin. Untuk mengatasi hal tersebut, PT PLN (Persero) membentuk unit batubara yaitu PT PLN Batubara. Disamping itu, banyaknya pemasok tersebut menyebabkan kualitas batubara yang diterima bervariasi, namun dengan nilai kalor yang masih masuk dalam batas yang disyaratkan yaitu antara 4.200 kcal/kg sampai dengan 4.600 kcal/kg. Adapun kebutuhan batubara untuk 2 unit PLTU tersebut adalah 90.000 ton/bulan.

18 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

1.3.1.5. PLTU 5

Pasokan bahan bakar PLTU 5 yang berupa batubara dengan nilai 4900 kkal/kg berasal dari PT Bukit Asam di Tarahan. Kontrak pembelian berdasarkan pada SK Direktur PLN No. D243.PJ/061/DIR/2004 yang berlaku hingga Desember 2031. Pembelian berdasarkan pada spesifikasi tertentu seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2. Bila ada ketidakcocokan spesifikasi batubara yang dikirimkan maka akan ada penalti. Bahan bakar batubara dideliver dari tambang PT Bukit Asam ke PLTU 5 dengan menggunakan belt-conveyor. Laju (tingkat) deliver bahan bakar sekitar 400 ton/jam.

1.3.1.6. PLTU 6 (Unit 1, 2, 3 dan 4)(PLTGU Unit 1 dan 2)+(PLTG Lot3)

PLTU Sektor Pembangkitan Belawan terdiri atas 4 unit dengan kapasitas masing-masing sebesar 65 MW yang beroperasi dengan menggunakan 2 jenis bahan bakar, yaitu untuk PLTU Unit 1 & Unit 2 menggunakan bahan bakar MFO (Marine Fuel Oil), dan untuk PLTU Unit 3 & Unit 4 menggunakan bahan bakar MFO dan Gas Alam. Sedangkan untuk PLTGU terdiri atas 2 blok, yaitu PLTGU-1 (GT 1.1, GT 1.2, dan ST 1.0) dengan kapasitas masing-masing 117,5 MW (GT 1.1), 128,8 MW (GT 1.2), dan 140 MW (ST 1.0), PLTGU-2 (GT 2.1, GT 2.2, dan ST 2.0) dengan kapasitas masing-masing 130 MW (GT 2.1), 135 MW (GT 2.2), dan 162,5 MW (ST 2.0). Bahan bakar yang digunakan untuk PLTGU tersebut adalah HSD (High Speed Diesel) dan Gas Alam. Selain itu pada, Februari 2010 telah dioperasikan PLTG LOT 3 dengan kapasitas 120 MW dengan menggunakan bahan bakar HSD.

Untuk mendukung operasional PLTU, PLTGU, dan PLTG dengan tiga jenis bahan bakar tersebut, PT PLN (Persero) telah mengadakan kontrak pembelian yang sifatnya jangka panjang dan jangka pendek dengan pemasok : Pertamina, Pertagas, PGN, PNR (Pertamina Nusantara Resort). Sedangkan untuk membawa bahan bakar minyak ke storage penyimpanan, PLN harus menyewa Jasa Transporter dimana dari pengalaman menunjukkan bahwa terdapat kebocoran (losses) hingga + 0,5% yang sangat merugikan PLN.

Untuk mengetahui kemurnian bahan bakar minyak yang dikirim, apakah tercampur zat cair lainnya atau tidak, maka setelah pengisian tangki dilakukan pengecekan pengukuran dengan sounding, yaitu segera setelah selesai pengisian dan satu hari setelah selesai pengisian.

a. Bahan Bakar Minyak

Bahan bakar minyak yang digunakan oleh PLTU (Unit 1, Unit 2, Unit 3, dan Unit 4), PLTGU-1, PLTGU-2, dan PLTG LOT 3 sebagian besar adalah HSD dan MFO. Disebutkan bahwa ada kontrak pembelian bahan bakar dengan jangka waktu kontrak selama 4 tahun. Kebutuhan bahan bakar minyak MFO setiap bulan mencapai 90.000 kL, dan untuk HSD mencapai 40.000 kL. Pengukuran kualitas bahan bakar yang dideliver dari kapal sebelum masuk ke tangki

storage sudah sesuai dengan hasil pengukuran dan analisis dalam sertifikat

pengetesan bahan bakar yang dikeluarkan oleh PT Sucofindo sesuai dengan yang dikehendaki PT PLN.

b. Bahan Bakar Gas

Estimasi kebutuhan bahan bakar gas untuk PLTU dan PLTGU adalah sebesar 150 MMSCF per hari. Spesifikasi gas yang diterima di titik serah dari pemasok sudah sesuai dengan spesifikasi engine gas turbine. Ada perjanjian jual-beli gas untuk TAC/SENSL dengan jangka waktu kontrak selama 8 tahun. Kebutuhan bahan bakar gas ini digunakan oleh PLTU (Unit 3 & Unit 4), PLTGU-1 (GT 1.1 & GT 1.2), dan PLTGU-2 (GT 2.1 & GT 2.2). Tangki-tangkinya dikonstruksi pada tahun 1983 dan mulai dipakai pada tahun 1987. Tangki yang ada berjumlah 13 buah yang terdiri atas 9 buah tangki besar dan 4 buah tangki kecil. Kondisi pipa-pipa tangki gas sekarang ini dalam keadaan bagus, karena selalu dikontrol sebelum di pigging. Tangki-tangki tersebut terjamin keamanannya, kondisinya masih cukup bagus baik dari cat maupun pengelasan, dan juga tidak terdapat cacat maupun korosi. Sedangkan pada kubikal meter terdapat alat ukur tekanan, temperatur, dan flowmeter. Prosedur pengisian dan pemakaian bahan bakar gas ini langsung masuk ke sistem pembakaran.

Dari data yang telah dikumpulkan terlihat bahwa :

- Biaya BBM per tahun saat ini adalah Rp. 7.868.957,27 juta/tahun, dimana biaya BBM/kWh adalah sebesar Rp. 1.284,28/kWh

- Jika semua BBM diganti dengan HSD, maka biaya BBM akan naik menjadi Rp. 10.132.458 juta/tahun, atau naik menjadi Rp. 1.830,05/kWh

20 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

- Jika semua BBM diganti MFO, maka biaya BBM akan naik menjadi Rp.8.225.709 juta/tahun atau naik menjadi Rp.1.485,67/kWh.

- Jika semua BBM diganti gas, maka akan ada penghematan biaya BBM atau biaya BBM akan turun menjadi Rp.2.179.758 juta/tahun (turun Rp. 5.689.198,82 juta/tahun) atau turun menjadi Rp. 355,76/kWh.

- Jika hanya HSD yang diganti dengan MFO, maka biaya BBM/tahun akan turun menjadi Rp.6.372.518 juta/tahun atau turun menjadi Rp1.040,07/kWh.

- Jika hanya HSD yang diganti dengan gas, maka biaya BBM/tahun akan turun menjadi Rp.3.633.859 juta/tahun atau turun menjadi Rp593,09/kWh.

- Jika hanya MFO yang diganti dengan gas, maka biaya BBM/tahun akan turun menjadi Rp. 6.436.865 juta/tahun atau turun menjadiRp. 1.050,57/kWh.

Jadi dapat disimpulkan bahwa saving terbesar dapat dilakukan jika semua BBM diganti dengan gas, jika tambahan gas terbatas, maka saving terbesar jika mengganti HSD dengan gas. Jika suplai gas tidak ada, maka dapat dilakukan penggantian HSD dengan MFO, yang juga akan memberikan saving yang cukup besar.

1.3.2. Pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) 1.3.2.1. PLTGU dan PLTU 1

Pembangkit listrik yang ada di PLTGU dan PLTU 1 yang diaudit terdiri atas 2 jenis pembangkit yakni PLTU dan PLTG. Masing-masing jenis pembangkit ini terdiri atas 2 unit PLTU dan 4 unit PLTG dengan berbagai jenis bahan bakar, kapasitas dan merek seperti dapat dilihat pada tabel 1.6

Tabel 1.6 Jenis pembangkit yang ada di 1

No. Pembangkit Bahan

bakar Kapasitas Merek

1 PLTU Unit 1 Gas 12,8 MW JUGOTURBINA

2 PLTU Unit 2 Gas 12,8 MW JUGOTURBINA

3 PLTG Unit 1 HSD 14 MW AEG

4 PLTG Unit 2 Gas 14,8 MW WESCAN

5 PLTG Unit 3 Gas 14,8 MW WESCAN

6 PLTG Unit 4 Gas 24,5 MW ALSTHOM

PLTU 1 dibangun pada tahun 1968 dengan menggunakan teknologi dari Yugoslavia. PLTU ini memiliki kapasitas 2 x 12,8 MW, dengan komersial produksi

untuk PLTU Unit I dimulai pada tanggal 18 Mei 1974 dan PLTU Unit II pada tanggal 6 Agustus 1974. Bahan bakar yang digunakan pada saat itu adalah bahan bakar cair (residu). Dengan adanya ketersediaan pasokan gas bumi dari PERTAMINA, maka dilakukan modifikasi dengan menggunakan bahan bakar gas. Pelaksanaan gasifikasi dikerjakan pada tahun 1994, dan dioperasikan pada akhir tahun 1995.

Kebutuhan gas untuk PLTG 1 dipasok oleh Pertamina dan MEDCO dengan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan mesin yang telah disepakati bersama antara Pertamina, MEDCO dan PT PLN (Persero) dengan kontrak yang berjangka waktu 10 (sepuluh) tahun.

Mulai tahun 1995 PLTU 1 menggunakan gas bumi yang dikembangkan oleh Pertamina di Daerah Sumatera Bagian Selatan. Kontrak jual beli gas bumi dari Pertamina didasarkan pada Perjanjian antara PT PLN (Persero) dan Pertamina no 1020/C00000/2001-S1 dan no 074.PJ/060/DIK/2001. Perjanjian tersebut telah diamandemen dengan nomor 1020/C00000/2001-S1 dan no 074.PJ/060/DIR/2001. Perjanjian terakhir mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2002 dan akan berakhir sampai lima tahun sejak penandatanganan atau terpenuhinya jumlah penyaluran gas bumi keseluruhan sebesar 24,46 BSCF, mana yang lebih dahulu dicapai.

Terbatasnya pasokan gas dari Pertamina pada angka tertinggi 24,46 BSCF tersebut akan menjadi kendala bagi PT PLN di masa mendatang untuk memproduksi listrik karena ketidakpastian Pertamina untuk menyuplai gas. Sehingga PT PLN perlu mencari alternatif untuk mengatasi masalah tersebut.

Jumlah dan kualitas gas yang diserahkan oleh Pertamina ke PT PLN diukur oleh Pertamina (suplier), sedangkan pihak PT PLN hanya menerima hasilnya saja tanpa ada pengecekan ulang terhadap hasil yang diberikan oleh Pertamina. Jumlah dan kualitas gas yang tidak sesuai akan mengakibatkan ketidaksesuaian jumlah energi (dalam satuan British Thermal Unit/BTU) yang diterima oleh PT PLN. Kondisi ini terpaksa diterima oleh PT PLN karena kerusakan flow meter PT PLN dan ketidaktersediaan alat ukur kualitas gas (misal gas chromatography).

22 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

Penyerahan jumlah HSD diukur dengan menggunakan flowmeter Pertamina melalui sistem perpipaan dan dimasukkan ke tongkang milik PT PLN. Kondisi penyerahan HSD berlangsung pada temperatur sekitar 39-40 0C. Pada temperatur tersebut volume HSD lebih besar dibandingkan dengan volume HSD pada temperatur lebih rendah, sehingga dengan demikian PT PLN mengalami kerugian berupa penyusutan volume HSD yang diterimanya.

Adapun kualitas HSD yang diterima PT PLN juga ditentukan oleh pihak suplier. Apabila HSD yang dipasok mengalami perubahan kualitas atau ada kotoran (impurities) yang melebihi ambang batas dalam spesifikasi HSD, pihak PT PLN juga tidak tahu karena tidak dilakukan pengecekan silang karena ketidaktersediaan alat ukur kualitas HSD tersebut.

Kualitas bahan bakar yang dikehendaki oleh PT PLN dari PT. Pertamina ( Persero ) tidak diketahui karena pada saat diadakan audit tidak ada data berupa

kontrak. Kualitas bahan bakar minyak mengikuti spesifikasi BBM yang telah ditentukan oleh Pertamina.

Bahan bakar HSD di delivery dengan menggunakan tongkang yang dilengkapi dengan alat ukur berupa level meter tongkang. Jarak antara depo Pertamina dengan Pusat Listrik Tenaga Gas Boombaru adalah kurang lebih 6 km. Pengiriman dilakukan setiap hari kerja dengan volume pengiriman sekitar 191 kl/rit. Tidak ada pengujian laboratorium pada HSD yang dikirim.

PERTAMINA

Dalam dokumen DAYA DUKUNG SISTEM.pdf (Halaman 23-33)

Dokumen terkait