• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAYA DUKUNG SISTEM.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAYA DUKUNG SISTEM.pdf"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Daya Dukung Sistem Kelistrikan Jawa dan

Sumatera

PENGARAH

Dr. Ir. Marzan Aziz Iskandar, M.Sc Kepala BPPT

Dr. Ir. Unggul Priyanto, M.Sc Deputi Kepala Bidang TIEM PENANGGUNG JAWAB Dr. M.A.M. Oktaufik, M.Sc Direktur PTKKE TIM PENYUSUN

Prof. Dr. Hamzah Hilal, M.Sc Dr. Ferdi Armansyah

Ir. Nur Aryanto Aryono Ir. Syamsul Kamar, MT Ir. Mustari Lamma, MT Dra. Endang Sri Hariatie Ir. Suryo Busono,M.Sc Suhraeni Syafei, ST Kornelis K Ola, ST

Pengolah Grafik : AWeS

INFORMASI

Bidang Rekayasa Sistem

Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE)

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Gedung BPPT II, lantai 20

Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta 10340 Tlp. (021) 316 9754

(3)
(4)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR TABEL ... v

KATA PENGANTAR ... vii

Bab-2 SISTEM PEMBANGKITAN ... 1

2.1. Pemetaan Sistem Pembangkit Listrik ... 2

2.2. Potret Energi Primer ... 11

2.3. Potret Energi Primer Sistem Pembangkit Listrik ... 12

2.3.1. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ... 12

2.3.2. Pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) ... 20

2.4. Operasi dan Pemeliharaan Sistem Pembangkit Listrik ... 27

2.4.1. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ... 27

2.4.2. Pembangkit Listrik Tenaga gas Uap (PLTGU) ... 35

2.4.3. Kinerja sistem pembangkit listrik ... 42

2.4.4. Kualitas dan produksi, biaya pokok produksi ... 79

Bab-3 SISTEM PENYALURAN ... 103

3.1. Pemetaan Sistem Penyaluran Tenaga Listrik... 103

3.1.1. Konfingurasi jaringan transmisi dan distribusi sistem jawa bali ... 104

3.1.2. Operasi jaringan transmisi dan distribusi sistem jawa bali... 104

3.1.3. Kapasitas dan daya mampu penyaluran sistem jawa-bali ... 104

3.2. Sistem Penyaluran dan Beban ... 104

3.2.1. Sistem penyaluran tenaga listrik ... 105

3.3 Sistem Konfingurasi Jaringan Transmisi & Distribusi Sistem Jawa-Bal ... 107

3.3.1. Operasi Sistem Transmisi & Distribusi Sistem Jawa-Bali ... 113

3.3.2. Kapasitas dan daya mampu penyaluran sistem jawa- bali... 119

3.4. Jenis Beban ... 129 3.4.1. Beban domestik ... 129 3.4.2. Beban komersial ... 129 3.4.3. Beban industri ... 130 3.4.4. Beban publik ... 133 3.4.5. Beban pertanian ... 133 3.4.6. Beban social ... 134 3.4.7. Beban residential ... 134 3.4.8. Beban bisnis ... 135 3.4.9. Beban lain-lain... 135

Bab-4 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 137

4.1 Kesimpulan ... 137

4.1.1 Sistem pembangkitan ... 137

4.1.2 Sistem penyaluran ... 137

4.2. Rekomendasi ... 138

(5)

ii Daya Dukung Sistem Kelistrikan Jawa dan Sumatera

4.2.2 Sistem penyaluran ... 139

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Alur Kegiatan Audit Sistem Kelistrikan ... 1

Gambar 1.2 Lokasi Pembangkit listrik yang diaudit ... 2

Gambar 1.3 Penyaluran Gasbumi Pertamina ke Pembangkit di Sektor 1 ... 22

Gambar 1.4 Kebutuhan dan pasokan gas ... 26

Gambar 1.5 Grafik nilai CF 1 gabungan (Unit 1 dan 2) vs NERC ... 45

Gambar 1.6 Grafik nilai EFOR 1 gabungan (Unit 1 dan 2) vs NERC... 46

Gambar 1.7 Grafik nilai EAF 1 gabungan (Unit 1 dan 2) vs NERC ... 46

Gambar 1.8 Grafik NCF PLTU 2vs NERC ... 49

Gambar 1.9 Grafik EAF PLTU 2 vs NERC ... 50

Gambar 1.10 Grafik EFOR PLTU 2 vs NERC ... 50

Gambar 1.11 Grafik SOF PLTU 2 vs NERC ... 51

Gambar 1.12 Grafik Nilai CF PLTU 3 Unit 1-4 vs NERC ... 54

Gambar 1.13 Grafik Nilai CF PLTU 3 Unit 5-7 vs NERC ... 55

Gambar 1.14 Grafik EAF PLTU 3 Unit 1- 4 dibanding dengan NERC ... 55

Gambar 1.15 Grafik EAF PLTU 3 Unit 5-7 dibanding dengan NERC ... 56

Gambar 1.16 Grafik EFOR PLTU 3 Unit 1-4 dan Unit 5-7 dibanding dengan NERC ... 56

Gambar 1.17 Grafik EFOR PLTU 3 Unit 1-4 dan Unit 5-7 dibanding dengan NERC ... 57

Gambar 1.18 SFC rata-rata tahunan gabungan PLTU unit 1 dan PLTU unit 2 ... 59

Gambar 1.19 PHR gabungan PLTU unit 1 dan PLTU unit 2 tahun 2010 ... 59

Gambar 1. 20 PHR gabungan PLTU unit 1 dan PLTU unit 2 tahun 2011 ... 60

Gambar 1.21 Faktor kapasitas PLTU 4 tahun 2010 ... 60

Gambar 1.22 Faktor beban PLTU 4 tahun 2010 ... 61

Gambar 1.23 Faktor pelayanan PLTU 4 tahun 2010 ... 62

Gambar 1.24 Kapasitas terpasang dan daya mampu pembangkit ... 63

Gambar 1.25 Diagram pengamatan kWh dan bahan bakar pembangkit ... 63

Gambar 1.26 Nilai kalori bahan bakar dan heat rate... 64

Gambar 1.27 Diagram Specific Fuel Consumption (SFC) rata-rata ... 64

Gambar 1.28 SFC PLTU dan PLTG pada Pusat Listrik 1... 69

Gambar 1.29 SFC PLTU dan PLTG pada Pusat Listrik Inderalaya... 69

Gambar 1.30 PHR PLTU dan PLTG pada Pusat Listrik 1 ... 70

Gambar 1.31 PHR PLTG dan PLTU pada Pusat Listrik Inderalaya ... 70

Gambar 1.32 Faktor kapasitas Pusat Listrik 1 ... 71

Gambar 1.33 Faktor kapasitas Pusat Listrik ... 72

Gambar 1.34 Faktor Ketersediaan Energi (EAF) Pusat Listrik 1 ... 73

Gambar 1.35 Faktor Ketersediaan Energi (EAF) Pusat Listrik Indera laya ... 73

Gambar 1.36 PHR gabungan PLTU unit 4 dan PLTU unit 5 tahun 2010 ... 74

Gambar 1.37 Net PHR PLTGU Blok 1. ... 75

Gambar 1.38 Faktor kapasitas PLTU unit 4 dan unit 5 tahun 2010 ... 75

Gambar 1.39 Faktor kapasitas PLTGU Blok 1 tahun 2010 ... 76

Gambar 1.40 EAF PLTU unit 4, 5 ... 76

Gambar 1.41 EAF PLTG Blok 1 ... 77

Gambar 1.42 Daya listrik yang dibangkitkan pada tanggal 14 Januari 2011 ... 79

(6)

Gambar 1.44 Daya listrik yang dibangkitkan pada tanggal 16 Januari 2011 ... 80

Gambar 1.45 Daya listrik yang dibangkitkan pada tanggal 6 Mei 2011 ... 80

Gambar 1.46 Daya listrik yang dibangkitkan pada tanggal 7 Mei 2011 ... 81

Gambar 1.47 Daya listrik yang dibangkitkan pada tanggal 8 Mei 2011 ... 81

Gambar 1.48 Daya Listrik yang dibangkitkan unit 1, 2, 3 dan 4 pada tanggal 23 Juni 2011 ... 82

Gambar 1.49 Daya Listrik yang dibangkitkan unit 1, 3 dan 4 pada tanggal 25 Juni 2011 ... 82

Gambar 1.50 Daya Listrik yang dibangkitkan unit 1, 3 dan 4 pada tanggal 26 Juni 2011 ... 83

Gambar 1.51 Daya Listrik yang dibangkitkan unit 5, 6 dan 7 pada tanggal 23 Juni 2011 ... 83

Gambar 1.52 Daya Listrik yang dibangkitkan unit 5, 6 dan 7 pada tanggal 24 Juni 2011 ... 84

Gambar 1.53 Daya Listrik yang dibangkitkan unit 5, 6 dan 7 pada tanggal 25 Juni 2011 ... 84

Gambar 1.54 Pembebanan PLTU 5 ... 85

Gambar 1.55 Beban harian PLTU unit-1 ... 86

Gambar 1.56 Beban harian PLTU 4 unit-2 ... 87

Gambar 1.57 Kapasitas MW-MVA-MVAr PLTGU 1 (GT 1.1) ... 88

Gambar 1.58 Kapasitas MW-MVA-MVAr PLTGU 1 (GT 1.2) ... 89

Gambar 1.59 Kapasitas MW-MVA-MVAr PLTGU 1 (ST 1.0) ... 90

Gambar 1.60 Kapasitas MW-MVA-MVAr PLTGU 2 (GT 2.1) ... 91

Gambar 1.61 Kapasitas MW-MVA-MVAr PLTGU 2 (GT 2.2) ... 92

Gambar 1.62 Kapasitas MW-MVA-MVAr PLTGU 2 (GT 2.0) ... 93

Gambar 1.63 Pembebanan PLTGU 2 ... 95

Gambar 1.64 Produksi Listrik dari PLTGU 4 ... 96

Gambar 1.65 Pola Pembebanan PLTG di Sistem PLTGU 4 ... 97

Gambar 1.66 Kuantitas penggunaan sendiri energi listrik PL 1 ... 98

Gambar 1.67 Kuantitas penggunaan sendiri energi listrik PL 1 ... 98

Gambar 1.68 Persentasi energi listrik penggunaan sendiri Pusat Listrik 1 ... 99

Gambar 1.69 Persentasi energi listrik penggunaan sendiri Pusat Listrik 2 ... 99

Gambar 1.70 Energi yang diekspor ke penyalur oleh Pusat Listrik 1 ... 100

Gambar 1.71 Energi yang diekspor ke penyalur oleh Pusat Listrik 2 ... 100

Gambar 2.1 Alur Kegiatan Audit Sistem Kelistrikan ... 105

Gambar 2.2 Sistem Penyaluran Tenaga Listrik ... 108

Gambar 2.3 Konfigurasi jaringan 500 kV Sistem Jawa-Bali ... 110

Gambar 2.4 Konfigurasi Region 1 Jakarta dan Banten Sistem Jawa-Bali ... 111

Gambar 2.5 Konfigurasi Region 2 Jawa Barat Sistem Jawa-Bali ... 112

Gambar 2.6 Konfigurasi Region 3 Jawa Tengah dan Yogyakarta Sistem Jawa-Bali 113 Gambar 2.7 Konfigurasi Region 4 Jawa Timur dan Bali Sistem Jawa-Bali ... 114

Gambar 2.8 Konfigurasi Sistem Jawa-Bali... 116

Gambar 2.9 Daerah kerja RCC Cawang untuk Region Jakarta Raya dan Banten .... 117

Gambar 2.10 Daerah kerja RCC Cigereleng untuk Region Jawa-Barat. ... 118

Gambar 2.11 Daerah kerja RCC Ungaran untuk Region Jawa-Tengah dan DIY. ... 119

(7)

iv Daya Dukung Sistem Kelistrikan Jawa dan Sumatera

Gambar 2.13 Daerah kerja RCC Waru untuk Region Jawa-Timur dan Bali 2 ... 120

Gambar 2.14 Peta jaringan 500 kV sistem kelistrikan Pulau Jawa ... 121

Gambar 2.15 Anatomi sistem 500 kV di Pulau Jawa ... 122

Gambar 2.16 Anatomi sistem kelistrikan Region 1 ... 123

Gambar 2.17 Struktur beban pada Region 1 (DKI Jakarta dan Tangerang) ... 124

Gambar 2.18 Struktur beban pada Region 1 (Banten) ... 124

Gambar 2.19 Anatomi sistem kelistrikan Region 2 ... 125

Gambar 2.20 Struktur beban pada Region 2 ... 126

Gambar 2.21 Anatomi region 3 Jawa Tengah dan Yogyakarta ... 127

Gambar 2.22 Struktur beban pada Region 3 (Jawa Tengah) ... 128

Gambar 2.23 Struktur beban pada Region 3 (DIY) ... 128

Gambar 2.24 Anatomi sistem kelistrikan Region 4 Jawa Timur... 129

Gambar 2.25 Struktur beban pada Region 4 (Jawa Timur) ... 130

Gambar 2.26 Pola beban secara umum ... 132

Gambar 2.27 Beban Puncak Harian Sistem Jawa Bali ... 133

Gambar 2.28 Pola beban harian gardu 1 suatu pabrik tekstil ... 134

Gambar 2.29 Pola beban harian gardu 2 suatu pabrik tekstil ... 134

Gambar 2.30 Pola beban publik ... 135

Gambar 2.31 Pola beban sosial ... 136

Gambar 2.32 Pola beban residensial ... 136

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kandungan dan Gross Calorific Value batubara berdasarkan

disain Boiler ... 12

Tabel 2.2 Spesifikasi batubara sesuai disain boiler ... 14

Tabel 2.3 Data Spesifikasi Batubara sesuai kontrak dan realisasi kontrak ... 14

Tabel 2.4 Batubara dengan Nilai Kalor 4900 Kcal/kg ... 16

Tabel 2.5 Batubara dengan Nilai Kalor 5000 Kcal/kg ... 16

Tabel 2.6 Jenis pembangkit yang ada di 1 ... 20

Tabel 2.7 Unit PLTGU 3. ... 24

Tabel 2. 8 Nilai SFC untuk interval jam tertentu pada Unit 1 dan 2 ... 43

Tabel 2.9 Nilai heat rate untuk interval jam tertentu pada Unit 1 ... 43

Tabel 2.10 Nilai heat rate untuk interval jam tertentu pada Unit 2 ... 43

Tabel 2.11 Sejarah Mesin Pembangkitan 1 Unit 1 ... 43

Tabel 2.12 Sejarah Mesin Pembangkitan 1 Unit 2 ... 44

Tabel 2.13 Indeks kehandalan gabungan unit pembangkitan 1(unit 1 dan 2) ... 44

Tabel 2.14 Standar NERC untuk beberapa indeks kehandalan pembangkitan ... 44

Tabel 2.15 Perhitungan nilai SFC PLTU 2 Unit 1 ... 47

Tabel 2.16 Perhitungan nilai NPHR PLTU 2 Unit 1... 47

Tabel 2.17 Perhitungan nilai SFC PLTU 2 Unit 2 ... 47

Tabel 2.18 Perhitungan nilai NPHR PLTU 2 Unit 2... 48

Tabel 2.19 Sejarah mesin pembangkit PLTU 2 Unit 1 ... 48

Tabel 2.20 Sejarah mesin pembangkit PLTU 2 Unit 2 ... 48

Tabel 2.21 Nilai NCF Pembangkitan 2 Gabungan (Unit 1 dan 2)... 48

Tabel 2.22 Nilai EAF PLTU 2unit gabungan (unit 1 dan 2) ... 49

Tabel 2.23 Nilai EFOR Pembangkitan 2Gabungan (Unit 1 dan 2)... 50

Tabel 2.24 Nilai SOF Pembangkitan 2Gabungan (Unit 1 dan 2) ... 51

Tabel 2.25 Perhitungan nilai SFC PLTU 3 Unit 1-7 ... 51

Tabel 2.26 Nilai Heat rate pada unit Pembangkit 1 s/d 7 ... 52

Tabel 2.27 Sejarah mesin pembangkitan PLTU 3 unit 1-7 ... 52

Tabel 2.28 Indeks Kehandalan PLTU 3 Unit 1-4 dan Unit 5-7... 53

Tabel 2.29 Indeks Kinerja PLTU Batubara berdasar standar NERC... 54

Tabel 2.30 Test Pembebanan PLTU 7 ... 57

Tabel 2.31 Test Pembebanan PLTGU 2 ... 58

Tabel 2.32 Test Pembebanan PLTU 5 ... 62

Tabel 2.33 Kebutuhan Bahan Bakar dan Produksi Listrik PLTU 5 ... 62

Tabel 2.34 SFC, Heat Rate, dan Nilai Kalori Bahan Bakar Pembangkit PLTU ... 63

Tabel 2.35 SFC, Heat Rate, dan Nilai Kalori Bahan Bakar Pembangkit PLTGU & PLTG ... 64

Tabel 2.36 Sejarah Mesin Pembangkit Listrik PT PLN (Persero) Sektor Pembangkitan 6 ... 65

Tabel 2.37 Indeks Keandalan Pembangkit ... 66

Tabel 2.38 Daya mampu Pusat Listrik 1 & Inderalaya ... 68

Tabel 2.39 Test Pembebanan PLTGU 2 ... 77

Tabel 2.40 Efisiensi dan Heat Rate dari PLTGU 4... 78

Tabel 2.41 Indeks Keandalan PLTGU 4 ... 78

Tabel 2.42 Besar beban pembangkit PLTGU 1 (GT 1.1)... 88

(9)

vi Daya Dukung Sistem Kelistrikan Jawa dan Sumatera

Tabel 2.44 Besar beban pembangkit PLTGU 1 (ST 1.0) ... 90

Tabel 2.45 Besar beban pembangkit PLTGU 2 (GT 2.1)... 91

Tabel 2.46 Besar beban pembangkit PLTGU 2 (GT 2.2)... 92

Tabel 2.47 Besar beban pembangkit PLTGU 2 (ST 2.0) ... 93

(10)

KATA PENGANTAR

Dalam penyediaan tenaga listrik di Indonesia, terdapat beberapa permasalahan misalnya adanya kebijakan yang kurang sinkron, seperti dapat dilihat pada beberapa pembangunan pembangkit berukuran cukup besar yang semestinya menggunakan gas supaya dapat menurunkan biaya operasi, ternyata dioperasikan dengan menggunakan bahan bakar minyak. Kebijakan perencanaan penempatan pembangkit sering tidak tepat sehingga menimbulkan masalah pada optimalisasi operasi pembangkit misalnya pembangkit batubara dibangun pada daerah yang tidak menghasilkan batubara pada hal biaya tranportasi batubara lebih mahal dibanding dengan biaya transmisi tenaga listrik. Oleh karena itu perlu diketahui dengan jelas aspek-aspek yang mempengaruhi sistem penyediaan dan pelayanan tenaga listrik untuk mengantisipasi tuntutan konsumen akan perlunya tenaga listrik yang lebih andal, berkualitas dan efisien.

Berkenaan dengan kondisi kelistrikan di Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas, perlu dilakukan audit teknologi di bidang kelistrikan nasional di tinjau dari segi penyediaan tenaga listrik yang terjangkau, andal dan berkualitas mulai dari sistem pembangkitan sampai dengan penyaluran tenaga listrik agar permasalahan mengenai daya dukung sistem kelistrikan nasional terhadap pertumbuhan konsumsi listrik saat ini serta optimalisasi subsidi pemerintah dibidang energi listrik dapat diketahui dengan jelas.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2009 – 2014 Buku I Prioritas Nasional di bidang inovasi, telah ditetapkan bahwa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diberi tugas untuk melakukan Program Pengkajian dan Penerapan Audit Teknologi yang pada tahun 2011 salah satu programnya adalah akan melakukan Audit Teknologi Sistem Kelistrikan Nasional. Kegunaan dari kegiatan ini adalah mengumpulkan data kemampuan (performance) terakhir dari unit-unit pembangkit yang diaudit. Melalui kegiatan ini dapat diklarifikasi pembangkit mana yang peralatannya dan sistemnya mengalami masalah, serta masalah apa saja yang dihadapi. Untuk berbagai macam unit pembangkit, peralatan dan sistem yang ada, penyebab dari masalah dan penanggulangannya harus dipelajari dan diteliti pada tahap / langkah berikutnya.

Hal-hal teknis yang tercakup dalam kegiatan ini dimulai dari energi primer atau bahan bakar, kondisi peralatan pembangkit, operasi dan pemeliharaan, sampai dengan produksi pembangkit. Beberapa pusat pembangkit tenaga listrik yang diaudit diangap dapat mewakili berbagai jenis pembangkit kecuali PLTP yaitu: PLTU (1, 2, 3, 4, 5, 6, 6, dan 6), PLTGU (1, 2, 3, dan 4), PLTA (1, dan 2).

Hasil Audit Kelistrikan menunjukkan daya dukung berkurang dengan melihat faktor derating, indeks kehandalan, kecukupan dan kualitas energi primer serta manajemen pemeliharaan. Pembangkit mengalami derating yang besar karena

(11)

viii Daya Dukung Sistem Kelistrikan Jawa dan Sumatera

umur yang sudah tua, untuk PLTU Batubara berumur di atas 25 tahun sedangkan PLTG/PLTGU berumur lebih dari 15 tahun.

Indeks kehandalan mengalami penurunan terutama untuk PLTU yang menggunakan teknologi CFB yang relatif masih baru digunakan, dimana dari segi penggunaan material boiler masih belum mendukung. Penurunan tingkat kehandalan disebabkan juga oleh kecukupan dan kualitas energi primer. Disamping itu pelaksanaan pemeliharaan sering terkendala dengan masalah penyediaan suku cadang peralatan-peralatan utama pembangkit yang sebagian besar masih harus diimpor serta keterlambatan pelaksanaan overhaul pembangkit-pembangkit yang sudah berumur. Pemakaian bahan bakar yang tidak sesuai dengan dedikasi pembangkit menyebabkan penurunan kinerja dan kehandalan pembangkit serta meningkatkan biaya produksi listrik.

Dengan demikian, kegiatan audit teknologi kelistrikan pada tahun 2011 ini telah memberikan pemetaan daya dukung sistem kelistrikan nasional terhadap pertumbuhan beban pada jaringan Jamali dan Sumatra dan optimalisasi subsidi pemerintah di bidang energi listrik.

(12)

Bab-1

SISTEM PEMBANGKITAN

Alur pelaksanaan kegiatan ini dengan melakukan pengumpulan data berupa data sekunder dan data primer (pengamatan langsung). Hasil data tersebut diperoleh melalui wawancara/diskusi. Hasil semua data tersebut selanjutnya dilakukan analisis dengan arahan/bantuan dari pemberi data serta Supervisor kegiatan audit tersebut. Hasil analisis tersebut akan memberikan hasil sementara untuk selanjutnya dilakukan kesimpulan dan dibuatkan rekomendasi hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dari hasil audit tersebut.

Gambar 1.1 Alur Kegiatan Audit Sistem Kelistrikan

Kegiatan audit kelistrikan ini hanya dilakukan pada beberapa lokasi mengingat keterbatasan dana dan waktu. Pembangkit listrik yang diaudit sebanyak 12 lokasi dengan jenis PLTU, PLTGU dan PLTA dan untuk sistem penyaluran hanya dilakukan pada sistem Jawa Bali. Untuk menjaga kerahasiaan data maka pembangkit yang diaudit tidak secara langsung dinyatakan dengan nama dan lokasi yang sepatutnya, tetapi diberi inisial tertentu.

(13)

2 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

Gambar 1.2 Lokasi Pembangkit listrik yang diaudit 1.1. Pemetaan Sistem Pembangkit Listrik

Pemetaan sistem pembangkit dilakukan dengan melihat 4 unsur yaitu :

a. Potret energi primer sistem pembangkit

b. Pemetaan operasi dan pemeliharaan pembangkit

c. Pemetaan kinerja pembangkit

(14)
(15)
(16)
(17)
(18)

1.1.2. Operasi dan Pemeliharaan Sistem Pembangkit Listrik a. Masalah Operasi :

Masalah Operasi yang terjadi saat diaudit mengakibatkan beberapa pembangkit dioperasikan di bawah kapasitas antara lain :

1. Derating pembangkit

2. Keterbatasan cadangan/pasokan energi primer berupa BBM, air dan

BBG

3. Permintaan pengaturan beban, karena keterbatasan sistem atau

karena take or pay IPP b. Sistem Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan pembangkit dilakukan berdasarkan waktu dan kondisi/prediktif dan secara umum telah dilakukan sesuai manual das SOP yang berlaku pada imasing-masing unit pembangkit.

Adapun pelaksanaan sistem pemeliharaan dilakukan dengan berbagai hal antara lain :

1. Material kritis tetap memakai original equipment material (OEM)

2. Major overhaul dilakukan dengan outsourcing (sebatas expert)

3. Kualitas SDM umunya memadai

4. Kuantitas SDM terdapat over atau understaffing

1.1.3. Kinerja Sistem Pembangkit Listrik

Indikator yang digunakan dalam menilai kinerja baik buruknya suatu pembangkit dalam laporan ini yakni dengan mengathui beberapa hal :

a. Force Outage Rate (FOR)

b. Equivalent availability factor (EAF)

c. Capacity Factor (CF)

d. SFC

(19)

8 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

1.1.3.1.Faktor Kapasitas (Capacity Factor-CF)

Faktor Kapasitas (Capacity Factor) adalah rasio produksi bruto kWh selama jam

pelayanan terhadap kWh bruto yang dapat dibangkitkan bila dibebani sesuai dengan kapasitas terpasang selama jam periode. Keadaan ini mencerminkan kapasitas mesin yang dioperasikan selama periode tertentu.

% 100 ) ( ) ( Pr   Periode Jam MW Terpasang Daya MWh Bruto oduksi CF

1.1.3.2.Laju Keluar Paksa (Force Outage Rate-FOR)

Laju Keluar Paksa (Force Outage Rate-FOR) adalah perbandingan antara jam

keluar terpaksa terhadap jumlah jam pelayanan ditambah jam keluar terpaksa. Keadaan ini mencerminkan lamanya unit pembangkit mengalami gangguan.

% 100    Gangguan Jam Jumlah Operasi Jam Jumlah Gangguan Jam Jumlah FOR

1.1.3.3.Faktor Ketersedian Equivalent (Equivalent Availability Factor-EAF) Faktor ketersediaan equivalent (Equivalent availability factor) adalah ekivalen Availability Factor yang telah memperhitungkan dampak dari derating pembangkit (jumlah energi listrik yang dapat disediakan thp jumlah total energi listrik yang dipasok). .

Keterangan :

AH-Available hours adalah jumlah jam unit pembangkit siap dioperasikan yaitu Service hours ditambah Reserve shutdown hours.

PH-Period hours adalah total jumlah jam dalam suatu periode tertentu yang sedang diamati

AH - ( EFDH + EMDH + EPDH + ESEDH )

PH

x 100%

(20)

EFDH-Equivalent Forced Derated Hours adalah perkalian antara jumlah jam unit pembangkit derating secara paksa (forced derating) dan besar penurunan derating dibagi dengan DMN.

EPDH- Equivalent Planned Derated Hours adalah perkalian antara jumlah jam unit pembangkit derating terencana (planned derating) dan besar penurunan derating dibagi dengan DMN.

ESDH-

ESEDH- Equivalent Seasonal Derated Hours adalah perkalian antara MW derating unit pembangkit akibat pengaruh cuaca/musim dikali jumlah jam unit pembangkit siap dibagi dengan DMN

EMDH- Equivalent Maintenance Derated Hours adalah perkalian antara jumlah jam unit pembangkit mengalami maintenance derating dan besar penurunan derating dibagi dengan DMN.

1.1.3.4. Pemakaian Bahan Bakar Spesifik (Specific Fuel Consumption - SFC) Pemakaian Bahan Bakar Spesifik adalah besarnya volume bahan bakar yang dikonsumsi untuk memproduksi kWh bruto pada suatu periode tertentu, hal ini menunjukkan tingkat keborosan pemakaian bahan bakar.

) ( Pr ) ( kWh Bruto oduksi Jumlah l Bakar Bahan Pemakaian Jumlah SFC

1.1.3.5. Heat Rate Pembangkit (Plant Heat Rate)

Heat Rate Pembangkit (Plant Heat Rate) adalah total konsumsi panas bruto (kJ) yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar untuk memproduksi kWh bruto.

(21)

10 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

1.1.4. Kualitas dan Produksi, BPP Sistem Pembangkit Listrik a. Produksi tidak optimal

b. Produksi optimal (normal)

(22)

1.2. Potret Energi Primer

Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk suatu negara tentu saja sejalan dengan pertumbuhan kebutuhan energi listriknya. Di Indonesia khususnya, masalah kelistrikan timbul akibat kebutuhan energi listrik yang meningkat lebih pesat dibandingkan kemampuan PT. PLN (Persero) untuk memenuhi pasokan listrik yang dibutuhkan. Akibatnya, terjadi pemadaman bergilir dimana-mana dan masih terdapat beberapa daerah di Indonesia yang belum mendapatkan kesempatan untuk dialiri listrik.

Menurut para pakar di bidang manajemen kelistrikan, pertumbuhan dari peningkatan kapasitas listrik itu harus 1,5 kali kali dari pertumbuhan ekonomi, jadi kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 sekitar enam persen berarti peningkatan kapasitas listrik itu harus delapan hingga sembilan persen. Namun pada kenyataanya, pertumbuhan energi listrik hanya berkisar pada angka 3% pertahun.

Rasio elektrifikasi adalah tingkat perbandingan jumlah penduduk suatu negara yang menikmati listrik dengan jumlah total penduduk di negara tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, rasio elektrisifikasi nasional telah meningkat dari 59% menjadi 65% atau sekitar 1,5% per tahun. Peningkatan rasio elektrifikasi tersebut dilakukan melalui sambungan baru pelanggan PLN dan pemanfaatan energi setempat (PLTMH, PLTB, PLTS Terpusat dan PLTS Tersebar yang khusus diperuntukkan bagi daerah-daerah terpencil).

Disamping itu biaya produksi untuk pengadaan listrik tinggi. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, antara lain: masih banyak pembangkit yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) sebagai bahan bakarnya (pada tahun 2008 sekitar 25% energi dibangkitkan dari BBM), lalu banyak pembangkit listrik yang sudah berusia melebihi 25 tahun sehingga biaya operasional dan pemeliharaan relatif lebih mahal. Sehingga harga produksi listrik lebih tinggi dari harga jual ke konsumen. Untuk mengatasi hal ini pemerintah pada tahun 2011 memberikan subsidi energi listrik sebesar Rp 50 trilyun lebih (Pemerintah memberikan kompensasi PSO sesuai UU No 19, tahun 2003)

Untuk merespon kondisi diatas, maka dilakukan analisis hasil audit beberapa pembangkit dan sistem Penyaluran milik PT.PLN (Persero). Adapun kegiatan lain dilakukan dalam melengkapi sumber tersebut dilakukan Studi literature dan Focus

(23)

12 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

Grup Discussion (FGD) yang akan memberikan masukan langsung dari beberapa pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak.

1.3. Potret Energi Primer Sistem Pembangkit Listrik

Pelaksanaan Audit telah dilakukan oleh tim yang dibentuk dan telah berkunjung

pada 12 lokasi pembangkit dan menyelesaikan laporannya berdasarkanTerm Of

Referens (TOR). Ke 12 laporan hasil audit ini disiapkan sebagai laporan akhir untuk

masing - masing pembangkit yang diaudit. Berikut ini dapat dilihat pengelompokan energi primer yang digunakan secara berturut-turut pada PLTU, PLTGU dan PLTG :

a. Kelompok PLTU : menggunakan energi primer batubara, MFO dan HSD sebagai bahan bakar untuk boilernya yang kemudian memberikan energi kepada turbin dan menggerakan generator pembangkit listrik. Adapun PLTU yang diaudit Seperti PLTU 2, PLTU 1, PLTU 3, PLTU 5 dan lain-lain. b. Kelompok PLTG, PLTGU: Pembangkit – pembangkit jenis ini menggunakan

gas alam, HSD atau MFO. Gas alam dipasok oleh PSC Migas, dan pertamina memasok HSD dan MFO.

Berikut ini dapat dilihat pengelompokan pembangkit yang telah diaudit : 1.3.1. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)

1.3.1.1. PLTU 1

Berdasarkan pada disain boiler seperti terlihat pada tabel 1.1 menunjukkan bahwa nilai kalor batubara yang dibutuhkan oleh unit pembangkit adalah 6.718 Kcal/kg. Dengan menggunakan batubara jenis ini, hanya diperlukan 4 mesin penghancur

batubara (mesin pulverized mill), akan tetapi, batubara jenis ini umumnya sulit

diperoleh di Indonesia.

Tabel 1.1 Kandungan dan Gross Calorific Value batubara berdasarkan disain Boiler

Parameters Unit Design Coal As Received Coal As Received Coal

Dry Basis Moisture % 5.10 5.30 - Ash % 17.50 10.55 11.14 Sulfur % 0.67 0.67 0.71 Carbon % 60.70 66.70 70.43 Hydrogen % 4.90 5.42 5.72 Nitrogen % 1.10 1.06 1.11

(24)

Oxygen % 10.00 10.30 10.89 Gross Calorivic

Value Kcal/kg 6035 6718 7094

Batubara yang digunakan pada PLTU 1 umumnya adalah batubara dengan

jenis sub-bituminus atau level di bawahnya. Batubara tersebut sebagian besar

dipasok dari Kalimantan dengan menggunakan tongkang. Beberapa pemasok batubara untuk PLTU 1 diantaranya yaitu PT. Berau Coal, PT. Adaro Indonesia, PT. MHU, PT. Bentala Coal Mining, dan PT. Arthindo.

Nilai kalor batubara yang digunakan ada dua macam yaitu batubara dengan nilai kalor sekitar 5100 Kcal/kg (high quality) dan batubara dengan nilai kalor

sekitar 4700 Kcal/kg dan 4500 Kcal/kg (low quality). Dalam pemakaian kedua

jenis batubara tersebut dicampur dengan perbandingan 60 % untuk batubara high quality dan 40 % untuk batubara low quality. Berdasarkan pada pengalaman sejak tahun 2000 membuktikan bahwa pencampuran batu bara antara nilai kalor rendah dan nilai kalor tinggi dengan perbandingan seperti disebutkan diatas menghasilkan nilai kalor baru yang optimum, yang mampu memasok permintaan daya listrik

sampai dengan daya mampu gross 400 MW, bila sewaktu-waktu P3B membutuhkan

hal tersebut.

Data di atas menunjukkan bahwa nilai kalor batubara yang digunakan pada saat ini, masih di bawah nilai kalor batubara yang sesuai dengan desain awal boiler, sehingga untuk memenuhi kebutuhan nilai kalor sesuai desain boiler, maka jumlah (volume) bahan bakar yang masuk ke ruang bakar pun ditambah. Penambahan volume bahan bakar ini secara langsung berdampak pada penggunaan mesin mill, yaitu semua mesin mill yang berjumlah lima buah harus dijalankan. Sedangkan penggunaan mesin mill bila nilai kalori sesuai dengan disain boiler

hanya digunakan empat buah dan yang satunya disiapkan untuk standby.

1.3.1.2. PLTU 2

Pembangkit Listrik Tenaga Uap 2 terdiri atas dua unit dengan kapasitas masing-masing unit sebesar 100 MW. Kedua unit tersebut beroperasi dengan menggunakan

bahan bakar batubara dan HSD (solar). Adapun HSD digunakan hanya pada saat

start up, dan ketika terjadi gangguan yang menyebabkan beban turun secara

(25)

14 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

sesuai kebutuhan. Spesifikasi batubara berdasarkan pada desain boiler (As

Received Basis) seperti dapat dilihat pada tabel 1.2.

Tabel 1.2 Spesifikasi batubara sesuai disain boiler

Berdasarkan pada data di atas, batubara yang sesuai dengan desain pabrikan adalah batubara dengan nilai kalor berkisar antara 5800 – 7700 Kcal/kg. Kadar ash yang diizinkan maksimal 13 % dengan kandungan air antara 3 - 5 % . Dengan

menggunakan batubara seperti di atas, hanya diperlukan tiga mesin pulverized mill

yang beroperasi, sedangkan satu mesin pulverized mill lainnya dalam keadaan

standby. Batubara yang digunakan pada PLTU sektor pembangkitan 2 umumnya dipasok melalui kontrak pembelian batubara, dengan kebutuhan 80.000 ton tiap bulan. Kontrak yang dilakukan umumnya berjangka panjang yaitu 5 tahun.

Berdasarkan pada data kontrak, diketahui bahwa sekitar 30 % batubara dipasok dari Sawahlunto atau sekitar PLTU sektor 2, sedangkan sisanya sebanyak 70% dipasok dari Muara Bungo dengan menggunakan transportasi darat melalui jalan umum. Adapun spesifikasi batubara yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1.3.

Tabel 1.3 Data Spesifikasi Batubara sesuai kontrak dan realisasi kontrak

Data pada tabel 1.3 menunjukkan bahwa nilai kalor batubara yang biasa digunakan tidak jauh berbeda dengan nilai kalor batubara yang sesuai dengan desain boiler. Batubara yang dipasok dari Muara Bungo mempunyai kandungan moisture cukup besar, Sedangkan yang dipasok dari tambang spot di Sawahlunto merupakan batubara yang berasal dari tambang rakyat yang mengandung banyak unsur pengotor dan tidak diproses lebih lanjut melalui tahap preparasi standar, sehingga kualitas batubara yang dihasilkan tidak homogen dan terdapat banyak

(26)

kandungan pengotor di dalamnya. Ketidakhomogenan batubara dan banyaknya kandungan pengotor yang terdapat di dalam batubara menyebabkan penurunan

kinerja mesin pulverized mill, bahkan pernah mengakibatkan mesin mill

mengalami trip. Dengan terjadinya trip pada mesin mill, maka dibutuhkan

pemakaian HSD untuk mensupport agar kebutuhan beban tetap terpenuhi. Permasalahan lain yang berkaitan dengan batubara adalah susahnya memenuhi kebutuhan batubara sebanyak 80.000/bulan, di samping itu terdapat pula kendala yang sifatnya non teknis seperti akses jalan yang digunakan untuk mengangkut batubara dan protes masyarakat sekitar PLTU terutama yang berkaitan dengan polusi udara.

1.3.1.3. PLTU 3

Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan 3 terdiri atas 7 unit Pembangkit dengan kapasitas masing-masing adala 4 x 400 MW dan 3 x 600 MW dengan total kapasitas adalah 3200 MW, beroperasi dengan 2 jenis bahan bakar yaitu batu bara dan HSD (solar).

Untuk mendukung operasional PLTU 3 dengan dua macam bahan bakar tersebut, PT. Indonesia Power melakukan kontrak pembelian batubara yang sifatnya jangka panjang dan jangka pendek dengan pemasok, PT. Bukit Asam, PT. Berau Coal, PT. Kideco Jaya Agung, KP dari Kalimantan, dan KP dari Sumatera. Sedangkan pengadaan bahan bakar HSD dilakukan dengan menggunakan kontrak pembelian dengan PT. Pertamina

Berdasarkan pada disain boiler, batubara yang memenuhi persyaratan untuk

menjalankan unit yang ada di unit bisnis pembangkitan 3 diharuskan memenuhi persyaratan seperti nilai kalor harus sama atau lebih besar dari 5242 Kcal/kg, kadar ash tidak boleh melebihi 7,8 % dan kandungan moisture 23,6 %, serta nilai

HGI yang dipersyaratkan harus terletak antara 55 dan 65. Dengan menggunakan

batubara sesuai dengan yang disyaratkan di atas, maka setiap unit yang beroperasi

hanya memerlukan tiga mesin pulverized mill, sedangkan satu unit lainnya dalam

posisi stand by, kondisi ini berlaku untuk unit 1 sampai dengan dengan unit 4,

sedangkan unit 5 sampai dengan unit 7 pada saat beroperasi mengoperasikan 4

mesin pulverized mill ditambah satu mesin lagi dalam keadaan standby (untuk unit

(27)

16 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

Untuk memenuhi kebutuhan akan batubara yang jumlahnya antara 800.000 sampai dengan 1.100.000 Metrik Ton setiap bulan, UBP 3 melakukan pengadaan batubara melalui pembelian dengan menggunakan kontrak. Kontrak yang dilakukan umumnya berjangka panjang dan menengah yaitu 10 tahun untuk kontrak jangka

panjang dan 3 sampai 5 tahun untuk kontrak jangka menengah. Apabila spesifikasi

batubara tidak sesuai dengan kontrak, pihak PLN memberikan penalti kepada pihak pemasok sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam kontrak.

Batubara yang diguanakan di UBP 3 dipasok dari PT. Bukit Asam, PT. Berau Coal, PT. Kideco Jaya Agung dan KP dari Kalimantan dan Sumatera. Spesifikasi batubara yang digunakan ada dua jenis seperti dapat dilihat pada tabel 1.4. dan 1.5 yaitu :

Tabel 1.4 Batubara dengan Nilai Kalor 4900 Kcal/kg Parameter Unit Design Coal

Nilai Kalor Kcal/kg 4900

Moisture % 28

Ash % 5

HGI 49

Sulphur % 0,25

Tabel 1.5 Batubara dengan Nilai Kalor 5000 Kcal/kg Parameter Unit Design Coal

Nilai Kalor Kcal/kg 5000

Moisture % 27

Ash % 6

HGI 48

Sulphur % 1.05

Berdasar pada data yang ditunjukkan di atas terlihat bahwa nilai kalor batubara yang digunakan belum sesuai dengan standar disain boiler, disamping kandungan moisture yang juga relatif besar yaitu sekitar 27 – 28%. Hal ini akan

berpengaruh terhadap efisiensi pembakaran dari boiler. Semakin besar kandungan

(28)

untuk menguapkan moisture tersebut pada saat pembakaran berlangsung di boiler

menjadi tinggi, yang menyebabkan efisiensi pembakaran boiler menjadi turun. Dari data yang disebutkan di atas diketahui pula bahwa nilai HGI dari kedua

jenis batubara yang digunakan juga lebih rendah dari dari ketentuan disain boiler,

yang menyebabkan batubara tersebut sulit untuk dihaluskan oleh mesin pulverized

mill. Nilai HGI dari batubara yang rendah berdampak langsung terhadap turunnya

kinerja mesin pulverized mill. Turunnya kinerja mesin pulverized mill akan

berpengaruh juga terhadap proses pembakaran di boiler menjadi tidak sempurna,

karena batu batubara dengan nilai HGI rendah tidak dapat dihaluskan secara

sempurnah oleh mesin pulverized mill.

Dari aspek lingkungan, kandungan ash dan sulphur pada batubara 4900 Kcal/kg

terbilang cukup baik karena masih di bawah spesifikasi desain boiler, namun untuk

batubara dengan nilai kalor 5000 Kcal/kg kandungan sulphurnya lebih tinggi

dibandingkan dengan spesifikasi desain boiler. Semakin banyak kandungan sulphur

batubara, semakin banyak pula kandungan sulphur di dalam gas buang. Hal ini

tentu saja dapat merugikan apabila dilihat dari aspek lingkungan

1.3.1.4. PLTU 4

PLTU 4 menggunakan batubara sebagai energi primer. Batubara tersebut diperoleh dari beberapa pemasok dengan kontrak jangka pendek yaitu antara lain PT. Kasih Industri Indonesia, PT IRSAC, PT Bara Adhi Pratama, PT Dwi Guna Laksana, PT PLN Batubara dan PT Titan Mining Indonesia. Dengan banyaknya pemasok tersebut terkesan bahwa ketersediaan batubara sangat terjamin. Namun karena kontrak jangka pendek dan keadaan harga batubara menyebabkan pemasok dengan perhitungan ekonomi dapat membatalkan secara sepihak kontrak yang telah ditandatangani, sehingga ketersediaan batubara tidak terjamin. Untuk mengatasi hal tersebut, PT PLN (Persero) membentuk unit batubara yaitu PT PLN Batubara. Disamping itu, banyaknya pemasok tersebut menyebabkan kualitas batubara yang diterima bervariasi, namun dengan nilai kalor yang masih masuk dalam batas yang disyaratkan yaitu antara 4.200 kcal/kg sampai dengan 4.600 kcal/kg. Adapun kebutuhan batubara untuk 2 unit PLTU tersebut adalah 90.000 ton/bulan.

(29)

18 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

1.3.1.5. PLTU 5

Pasokan bahan bakar PLTU 5 yang berupa batubara dengan nilai 4900 kkal/kg berasal dari PT Bukit Asam di Tarahan. Kontrak pembelian berdasarkan pada SK Direktur PLN No. D243.PJ/061/DIR/2004 yang berlaku hingga Desember 2031. Pembelian berdasarkan pada spesifikasi tertentu seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2. Bila ada ketidakcocokan spesifikasi batubara yang dikirimkan maka akan ada penalti. Bahan bakar batubara dideliver dari tambang PT Bukit

Asam ke PLTU 5 dengan menggunakan belt-conveyor. Laju (tingkat) deliver bahan

bakar sekitar 400 ton/jam.

1.3.1.6. PLTU 6 (Unit 1, 2, 3 dan 4)(PLTGU Unit 1 dan 2)+(PLTG Lot3)

PLTU Sektor Pembangkitan Belawan terdiri atas 4 unit dengan kapasitas masing-masing sebesar 65 MW yang beroperasi dengan menggunakan 2 jenis bahan bakar,

yaitu untuk PLTU Unit 1 & Unit 2 menggunakan bahan bakar MFO (Marine Fuel Oil),

dan untuk PLTU Unit 3 & Unit 4 menggunakan bahan bakar MFO dan Gas Alam. Sedangkan untuk PLTGU terdiri atas 2 blok, yaitu PLTGU-1 (GT 1.1, GT 1.2, dan ST 1.0) dengan kapasitas masing-masing 117,5 MW (GT 1.1), 128,8 MW (GT 1.2), dan 140 MW (ST 1.0), PLTGU-2 (GT 2.1, GT 2.2, dan ST 2.0) dengan kapasitas masing-masing 130 MW (GT 2.1), 135 MW (GT 2.2), dan 162,5 MW (ST 2.0). Bahan bakar

yang digunakan untuk PLTGU tersebut adalah HSD (High Speed Diesel) dan Gas

Alam. Selain itu pada, Februari 2010 telah dioperasikan PLTG LOT 3 dengan kapasitas 120 MW dengan menggunakan bahan bakar HSD.

Untuk mendukung operasional PLTU, PLTGU, dan PLTG dengan tiga jenis bahan bakar tersebut, PT PLN (Persero) telah mengadakan kontrak pembelian yang sifatnya jangka panjang dan jangka pendek dengan pemasok : Pertamina, Pertagas, PGN, PNR (Pertamina Nusantara Resort). Sedangkan untuk membawa bahan bakar minyak ke storage penyimpanan, PLN harus menyewa Jasa Transporter

dimana dari pengalaman menunjukkan bahwa terdapat kebocoran (losses) hingga +

0,5% yang sangat merugikan PLN.

Untuk mengetahui kemurnian bahan bakar minyak yang dikirim, apakah tercampur zat cair lainnya atau tidak, maka setelah pengisian tangki dilakukan

pengecekan pengukuran dengan sounding, yaitu segera setelah selesai pengisian

(30)

a. Bahan Bakar Minyak

Bahan bakar minyak yang digunakan oleh PLTU (Unit 1, Unit 2, Unit 3, dan Unit 4), PLTGU-1, PLTGU-2, dan PLTG LOT 3 sebagian besar adalah HSD dan MFO. Disebutkan bahwa ada kontrak pembelian bahan bakar dengan jangka waktu kontrak selama 4 tahun. Kebutuhan bahan bakar minyak MFO setiap bulan mencapai 90.000 kL, dan untuk HSD mencapai 40.000 kL. Pengukuran kualitas bahan bakar yang dideliver dari kapal sebelum masuk ke tangki

storage sudah sesuai dengan hasil pengukuran dan analisis dalam sertifikat

pengetesan bahan bakar yang dikeluarkan oleh PT Sucofindo sesuai dengan yang dikehendaki PT PLN.

b. Bahan Bakar Gas

Estimasi kebutuhan bahan bakar gas untuk PLTU dan PLTGU adalah sebesar 150 MMSCF per hari. Spesifikasi gas yang diterima di titik serah dari pemasok

sudah sesuai dengan spesifikasi engine gas turbine. Ada perjanjian jual-beli

gas untuk TAC/SENSL dengan jangka waktu kontrak selama 8 tahun. Kebutuhan bahan bakar gas ini digunakan oleh PLTU (Unit 3 & Unit 4), PLTGU-1 (GT 1.1 & GT 1.2), dan PLTGU-2 (GT 2.1 & GT 2.2). Tangki-tangkinya dikonstruksi pada tahun 1983 dan mulai dipakai pada tahun 1987. Tangki yang ada berjumlah 13 buah yang terdiri atas 9 buah tangki besar dan 4 buah tangki kecil. Kondisi pipa-pipa tangki gas sekarang ini dalam

keadaan bagus, karena selalu dikontrol sebelum di pigging. Tangki-tangki

tersebut terjamin keamanannya, kondisinya masih cukup bagus baik dari cat maupun pengelasan, dan juga tidak terdapat cacat maupun korosi. Sedangkan pada kubikal meter terdapat alat ukur tekanan, temperatur, dan flowmeter. Prosedur pengisian dan pemakaian bahan bakar gas ini langsung masuk ke sistem pembakaran.

Dari data yang telah dikumpulkan terlihat bahwa :

- Biaya BBM per tahun saat ini adalah Rp. 7.868.957,27 juta/tahun, dimana biaya

BBM/kWh adalah sebesar Rp. 1.284,28/kWh

- Jika semua BBM diganti dengan HSD, maka biaya BBM akan naik menjadi Rp.

(31)

20 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

- Jika semua BBM diganti MFO, maka biaya BBM akan naik menjadi Rp.8.225.709

juta/tahun atau naik menjadi Rp.1.485,67/kWh.

- Jika semua BBM diganti gas, maka akan ada penghematan biaya BBM atau biaya

BBM akan turun menjadi Rp.2.179.758 juta/tahun (turun Rp. 5.689.198,82 juta/tahun) atau turun menjadi Rp. 355,76/kWh.

- Jika hanya HSD yang diganti dengan MFO, maka biaya BBM/tahun akan turun

menjadi Rp.6.372.518 juta/tahun atau turun menjadi Rp1.040,07/kWh.

- Jika hanya HSD yang diganti dengan gas, maka biaya BBM/tahun akan turun

menjadi Rp.3.633.859 juta/tahun atau turun menjadi Rp593,09/kWh.

- Jika hanya MFO yang diganti dengan gas, maka biaya BBM/tahun akan turun

menjadi Rp. 6.436.865 juta/tahun atau turun menjadiRp. 1.050,57/kWh.

Jadi dapat disimpulkan bahwa saving terbesar dapat dilakukan jika semua BBM diganti dengan gas, jika tambahan gas terbatas, maka saving terbesar jika mengganti HSD dengan gas. Jika suplai gas tidak ada, maka dapat dilakukan penggantian HSD dengan MFO, yang juga akan memberikan saving yang cukup besar.

1.3.2. Pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) 1.3.2.1. PLTGU dan PLTU 1

Pembangkit listrik yang ada di PLTGU dan PLTU 1 yang diaudit terdiri atas 2 jenis pembangkit yakni PLTU dan PLTG. Masing-masing jenis pembangkit ini terdiri atas 2 unit PLTU dan 4 unit PLTG dengan berbagai jenis bahan bakar, kapasitas dan merek seperti dapat dilihat pada tabel 1.6

Tabel 1.6 Jenis pembangkit yang ada di 1

No. Pembangkit Bahan

bakar Kapasitas Merek

1 PLTU Unit 1 Gas 12,8 MW JUGOTURBINA

2 PLTU Unit 2 Gas 12,8 MW JUGOTURBINA

3 PLTG Unit 1 HSD 14 MW AEG

4 PLTG Unit 2 Gas 14,8 MW WESCAN

5 PLTG Unit 3 Gas 14,8 MW WESCAN

6 PLTG Unit 4 Gas 24,5 MW ALSTHOM

PLTU 1 dibangun pada tahun 1968 dengan menggunakan teknologi dari Yugoslavia. PLTU ini memiliki kapasitas 2 x 12,8 MW, dengan komersial produksi

(32)

untuk PLTU Unit I dimulai pada tanggal 18 Mei 1974 dan PLTU Unit II pada tanggal 6 Agustus 1974. Bahan bakar yang digunakan pada saat itu adalah bahan bakar cair (residu). Dengan adanya ketersediaan pasokan gas bumi dari PERTAMINA, maka dilakukan modifikasi dengan menggunakan bahan bakar gas. Pelaksanaan gasifikasi dikerjakan pada tahun 1994, dan dioperasikan pada akhir tahun 1995.

Kebutuhan gas untuk PLTG 1 dipasok oleh Pertamina dan MEDCO dengan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan mesin yang telah disepakati bersama antara Pertamina, MEDCO dan PT PLN (Persero) dengan kontrak yang berjangka waktu 10 (sepuluh) tahun.

Mulai tahun 1995 PLTU 1 menggunakan gas bumi yang dikembangkan oleh Pertamina di Daerah Sumatera Bagian Selatan. Kontrak jual beli gas bumi dari Pertamina didasarkan pada Perjanjian antara PT PLN (Persero) dan Pertamina no 1020/C00000/2001-S1 dan no 074.PJ/060/DIK/2001. Perjanjian tersebut telah diamandemen dengan nomor 1020/C00000/2001-S1 dan no 074.PJ/060/DIR/2001. Perjanjian terakhir mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2002 dan akan berakhir sampai lima tahun sejak penandatanganan atau terpenuhinya jumlah penyaluran gas bumi keseluruhan sebesar 24,46 BSCF, mana yang lebih dahulu dicapai.

Terbatasnya pasokan gas dari Pertamina pada angka tertinggi 24,46 BSCF tersebut akan menjadi kendala bagi PT PLN di masa mendatang untuk memproduksi listrik karena ketidakpastian Pertamina untuk menyuplai gas. Sehingga PT PLN perlu mencari alternatif untuk mengatasi masalah tersebut.

Jumlah dan kualitas gas yang diserahkan oleh Pertamina ke PT PLN diukur oleh Pertamina (suplier), sedangkan pihak PT PLN hanya menerima hasilnya saja tanpa ada pengecekan ulang terhadap hasil yang diberikan oleh Pertamina. Jumlah dan kualitas gas yang tidak sesuai akan mengakibatkan ketidaksesuaian jumlah energi (dalam satuan British Thermal Unit/BTU) yang diterima oleh PT PLN. Kondisi ini terpaksa diterima oleh PT PLN karena kerusakan flow meter PT PLN dan ketidaktersediaan alat ukur kualitas gas (misal gas chromatography).

(33)

22 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

Penyerahan jumlah HSD diukur dengan menggunakan flowmeter Pertamina melalui sistem perpipaan dan dimasukkan ke tongkang milik PT PLN. Kondisi

penyerahan HSD berlangsung pada temperatur sekitar 39-40 0C. Pada temperatur

tersebut volume HSD lebih besar dibandingkan dengan volume HSD pada temperatur lebih rendah, sehingga dengan demikian PT PLN mengalami kerugian berupa penyusutan volume HSD yang diterimanya.

Adapun kualitas HSD yang diterima PT PLN juga ditentukan oleh pihak suplier. Apabila HSD yang dipasok mengalami perubahan kualitas atau ada kotoran (impurities) yang melebihi ambang batas dalam spesifikasi HSD, pihak PT PLN juga tidak tahu karena tidak dilakukan pengecekan silang karena ketidaktersediaan alat ukur kualitas HSD tersebut.

Kualitas bahan bakar yang dikehendaki oleh PT PLN dari PT. Pertamina ( Persero ) tidak diketahui karena pada saat diadakan audit tidak ada data berupa

kontrak. Kualitas bahan bakar minyak mengikuti spesifikasi BBM yang telah ditentukan oleh Pertamina.

Bahan bakar HSD di delivery dengan menggunakan tongkang yang dilengkapi dengan alat ukur berupa level meter tongkang. Jarak antara depo Pertamina dengan Pusat Listrik Tenaga Gas Boombaru adalah kurang lebih 6 km. Pengiriman dilakukan setiap hari kerja dengan volume pengiriman sekitar 191 kl/rit. Tidak ada pengujian laboratorium pada HSD yang dikirim.

PERTAMINA STASIUN GAS PT PLN STASIUN GAS PT PLN Flow Meter Pertamina Flow Meter PTPLN PLTU 1 PLTU 2 PLTG 2 PLTG 3 PLTG 4

GAS

BUMI

FM FM FM FM FM FM FM FM

(34)

1.3.2.2. PLTGU 2

Untuk mendukung operasional Unit Pembangkit Bisnis Semarang, PT. PLN (Persero) melakukan kontrak pembelian bahan bakar dengan Pertamina dan TPPI. Kontrak PLN dengan Pertamina dilakukan sejak tanggal 16 Mei 2007 dan dilakukan pembaruan dengan kontrak yang baru adalah:

 Nomor PT. Pertamina (Persero) : 1270/C00000/2009/S-3

 Nomor PT. PLN (Persero) : 382-2.PJ/040/2009

Sedangkan kontrak PLN dengan TPPI dilakukan pada tanggal 10 Desember 2010 dengan nomor kontrak adalah:

 Nomor PT. PLN (Persero) : 427.PJ/040/DIR/2010

 Nomor Tuban Konsorsium : 001/TubanKons/PLN/XII/2010

Hal-hal pokok yang diatur dalam kontrak tersebut antara lain jumlah

kebutuhan BBM, cara penyerahan, mekanisme pengangkutan dan storage facility.

Kebutuhan Bahan Bakar setiap bulan berbeda untuk PLTU maupun PLTGU 2. Untuk PLTU 7 setiap bulan membutuhkan 40.000 kilo liter MFO untuk memasok Unit PLTU 1,2 dan 3. Sedang Untuk PLTGU 2 setiap bulan membutuhkan sekitar 60.000 kilo liter HSD untuk memasok PLTGU 1 dan 2.

Bahan Bakar yang dipakai adalah High Speed Diesel (HSD) dengan spesifikasi

bahan bakar dari supplier. Untuk menjaga kualitas bahan bakar yang diterima, dilakukan pengecekan oleh surveier dengan cara sampling. Spesifikasi bahan bakar yang diterima harus sesuai dengan Keputusan Dirjen Migas 3675K/24/DJM/2006. a. PLTU

PLTU 7 setiap bulan membutuhkan sekitar 40.000 kilo liter MFO untuk memasok Unit PLTU unit 1, 2 dan 3. Unit 1 dan 2 mulai beoperasi pada tahun 1978 dengan kapasitas terpasang masing-masing 50 MW sedangkan unit 3 mulai beroperasi pada tahun 1983 dengan kapasitas terpasang 200 MW.

Meskipun PLTU ini menggunakan MFO yang biaya operasinya relatif lebih mahal dari pada PLTU berbahan bakar batubara, namun mengingat kondisi ketenagalistrikan di wilayah Jawa Tengah masih mengalami kekurangan

(35)

24 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

pasokan maka PLTU 7 tetap terus dioperasikan. Nilai SFC (rata-rata)

mencapai 0.267 l/kWh, sedangkan heat rate sebesar 2.794 kcal/kWh.

PLTU secara teoritis mempunyai umur ekonomis 25 tahun, namun PLTU 7 sudah beroperasi selama 32 tahun. Pada tahun 1996 sudah direhabilitasi dan daya mampu maksimum yang semula adalah 200 MW turun menjadi 170 MW. Secara teknis PLTU masih layak beroperasi dan sudah ada sertifikasi dari Dirjen LPE untuk layak digunakan.

b. PLTGU

PLTGU 2 setiap bulannya membutuhkan sekitar 60.000 kilo liter HSD untuk memasok PLTGU unit 1 dan 2. Setiap blok terdiri atas 3 turbin gas, 1 HRS dan 1 turbin uap, dimana masing-masing blok mempunyai daya terpasang sebesar 109 MW.

Nilai SFC (rata-rata) mencapai 0.334 l/kWh, sedangkan heat rate sebesar

2.893 kcal/kWh.

Pada kondisi normal PLTGU biasanya beroprasi untuk memenuhi beban puncak, namun PLTGU 2 ini beroperasi untuk melayani beban dasar. Meskipun PLTGU ini menggunakan HSD yang biaya operasinya relatif lebih mahal dari pada PLTGU berbahan bakar gas sesuai desain, namun mengingat kondisi ketenagalistrikan di wilayah Jawa Tengah masih mengalami kekurangan pasokan maka PLTGU 2 tetap terus dioperasikan.

1.3.2.3. PLTGU 3

PLTGU 3 menggunakan gas, MFO dan HSD sebagai energi primer. Gas dipasok langsung dari sumur-sumur, setelah terlebih dahulu diolah di pusat pengolahan, melalui pipa langsung ke PLTGU 3.

Konfigurasi unit pembangkit dan bahan bakar diperlihatkan pada tabel 1.7. Tabel 1.7 Unit PLTGU 3.

Plant Type Beroperasi Mulai Terpasang Kapasitas Bahan Bakar Manufacturer

-1 -2 -3 -4 -5 -6

STEAM FIRE 4&5

PLTU #4 26-Nov-1981 200 MW MFO/GAS MHI

PLTU #5 07 Juni 1982 200 MW MFO/GAS MHI

(36)

GTG 1.2 02 Des 1992 107 MW GAS/HSD GE

GTG 1.3 02 Des 1992 107 MW GAS/HSD GE

STG 1.4 08 Juni 1995 185 MW GE

MHI 701F

GTG 2.1 05 Oct 2009 250 MW GAS MHI

GTG 2.2 27 Oct 2009 250 MW GAS MHI

STG 2.1 13 Jan 2011 70,6 MW MHI

STG 2.2 27-Jan-11 70,6 MW MHI

STG 2.3 02 Feb 2011 70,6 MW MHI

STEAM FIRE 1,2&3

PLTU 1 1978 100 MW MFO MHI

PLTU 2 1978 100 MW MFO MHI

PLTU 3 1978 100 MW MFO MHI

Pada tabel terlihat bahwa ada unit pembangkit yang dirancang menggunakan 2 (dua) jenis bahan bakar yaitu PLTU unit 4 dan PLTU unit 5 menggunakan bahan bakar MFO dan gas, PLTG unit 1.1, PLTG 1.2, PLTG unit 1.3, menggunakan bahan bakar gas dan HSD, kemudian gas panas direcycle untuk SGT 1.4. Disamping itu ada unit pembangkit yang menggunakan hanya 1 (satu) jenis bahan bakar yaitu PLTG unit 2.1, PLTG unit 2.2 menggunakan gas sebagai bahan bakar kemudian sisa gas yang masih panas dari kedua PLTG tersebut digunakan untuk STG unit 2.1, STG unit 2.2, dan STG unit 2.3. Unit pembangkit lain yaitu PLTU unit 1, PLTU unit 2, dan PLTU unit 3 menggunakan MFO sebagai bahan bakar.

Sesungguhnya PLTGU 3 didesain untuk menggunakan energi primer berupa gas semaksimal mungkin untuk memproduksi energi listrik, kebutuhan energi primer berupa gas tersebut dari tahun ke tahun belum terpenuhi semuanya sehingga dibantu dengan menggunakan enrgi primer berupa MFO dan HSD.

(37)

26 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

Gambar 1.4 Kebutuhan dan pasokan gas

Pada gambar 1.4 diperlihatkan kebutuhan dan pasokan gas untuk PLTGU 3. Dimana terlihat bahwa pasokan gas yang diterima jauh lebih rendah dari kebutuhan. Selisih pasokan gas tersebut diisi dengan bahan bakar minyak berupa MFO dan HSD. Kebutuhan gas untuk PLTG 3 dipasok oleh BP ONWJ (GSA) dengan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan mesin yang telah disepakati bersama.

1.3.2.4. PLTGU 4

Kapasitas terpasang total PLTGU 4 sebesar 1.180 MW. Bahan bakar yang digunakan sebagain besar berupa gas dan bila gas tidak mencukupi bisa digunakan bahan bakar minyak berupa HSD.

Dalam periode 2005 - 2010 pasokan gas makin menurun sehingga harus digunakan HSD dan MFO. Pada tahun 2005 pasokan gas untuk PLTGU mencapai 41,26 BBTUD dan menurun hampir separohnya menjadi hanya 23,85 BBTUD pada tahun 2010. Menurunnya pasokan gas ini karena memang berkurangnya pasokan gas dari ONWJ. Mulai tahun 2008 penggunaan HSD meningkat pesat dari 341 juta liter pada tahun 2007 meningkat menjadi 752 juta liter pada tahun 2010.

Pasokan gas PLTGU berasal dari tambang gas ONWJ (PHE - Pertamina Hulu Energi) dengan total pasokan 162 BBTUD (miliar BTU per hari) yang terbagi menjadi tiga, yaitu untuk PLTGU Priok sebesar 40 BBTUD, untuk PLTGU 3 sebesar 8 BBTUD dan sisanya disalurkan ke PGN.. Ada rencana untuk penambahan satu blok PLTGU lagi di lokasi ini di masa depan. Untuk memenuhi pasokan gas mendatang maka

2008 2009 2010 2011 KEBUTUHAN 320 560 560 560 PASOKAN 135 100 100 100 DEPISIT 185 460 460 460 0 100 200 300 400 500 600 EN ER G I P R IM ER (B B TU D )

(38)

perlu ada tambahan sebesar 30 BBTUD yang diusahakan dipasok dari jaringan pipa gas PGN.

Kebutuhan gas untuk PLTGU sampai tahun 2016 diprakirakan akan tetap sebesar 65,7 ribu BBTU karena kapasitas PLTGU diasumsikan tetap. Dengan mempertimbangkan komited gas yang ada hanya sebesar 29,1 ribu BBTU, sehingga kondisi ini, akan terus ada defisit pasokan gas sebesar 310 BBTUD hingga tahun 2017.

Tidak ada prosedur pengisian gas karena suplai gas langsung dari sumur melalui pipa. Dalam kondisi tertentu (pemeliharaan peralatan suplai gas) dibahas prosedur khusus yang bersifat insidentil. Dalam kondisi gangguan unit, penormalan suplai bahan bakar mengacu pada Prosedur Tanggap darurat dalam Mengatasi Gangguan

Dari tahun ke tahun selama periode 2005-2010 terlihat bahwa pembangkitan dengan menggunakan gas terus menurun disubtitusi dengan penggunaan HSD. Hal ini menyebabkan biaya produksinya menjadi sangat mahal. PLTGU Priok setiap hari membutuhkan gas sekitar 41 BBTUD namun pasokan yang tersedia hanya sebesar 24 BBTUD. Untuk menutup kekurangan ini digunakan HSD yang menyebabkan biaya pembangkitan relatif lebih mahal dari pada PLTGU berbahan bakar gas seperti desain. Namun mengingat kondisi ketenagalistrikan di wilayah DKI Jakarta dan Tangerang masih mengalami kekurangan pasokan maka PLTGU yang separuhnya menggunakan HSD tetap terus dioperasikan.

1.4. Operasi dan Pemeliharaan Sistem Pembangkit Listrik

Rangkuman Operasi dan Pemeliharaan pada seluruh pembangkit yang diaudit dikelompokkkan dalam PLTU, PLTGU dan PLTG :

1.4.1. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1.4.1.1. PLTU 1

PT. PJB (PT. Pembangkitan Jawa Bali) unit 1 mengoperasikan unit pembangkit Listrik Tenaga Uap sebanyak 2 buah dengan kapasitas masing-masing 400 MW, yang digunakan untuk mensupplai daya listrik di Jawa, Bali dan Madura melalui interkonneksi atau saluran transmissi 500 kV. Kedua unit pembangkit ini memikul beban dasar.

(39)

28 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

Besarnya daya listrik yang dibangkitkan oleh unit pembangkitan 1 tergantung permintaan dari P3B yang besar dayanya dapat berubah setiap waktu berdasarkan pada permintaan beban di pulau Jawa, Bali dan Madura pada saat itu.

Pemeliharaan Unit Pembangkitan 1 mengikuti standar SOP yang ditetapkan oleh Pabrikan seperti

a. Simple inspection, setelah mesin beroperasi selama 8000 jam.

b. Main Inspection, setelah mesin beroperasi selama 16.000 jam.

c. Serious Inspection, setelah mesin beroperasi selama 32.000 jam.

Penggunaan spare part yang tergolong OEM di unit pembangkitan 1 sebanyak 70% sedangkan untuk critical part yang tergolong non OEM hanya 30%, sedangkan non critical part yang menggunakan OEM adalah 10% dan non OEM sebanyak 90%. Adapun spare part yang tergolong non OEM banyak digunakan di unit pembangkitan 1 dibuat oleh industri dalam negeri seperti PT. Kajian Logam dan PT. PAL Indonesia. Dan berdasarkan pada pengalaman selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa performansi suku cadang yang diproduksi di dalam negeri cukup memadai.

Kebijakan pemeliharaan di unit pembangkitan 1 dilakukan dengan dua cara seperti inhouse dan outsourcing karena cara tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungan menggunakan cara inhouse antara lain, Biaya lebih murah, menjadikan karyawan setempat lebih mampu, lebih familiar dengan peralatan, sedangkan kerugiannya adalah control schedule kurang serta kekurangan jumlah personil.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kontinuitas bahan bakar seperti batubara dan HSD yang disuplai oleh beberapa perusahaan besar dan spot di Kalimantan yang diangkut dengan menggunakan tongkan hanya terkendala apabila terjadi musim hujan dan ombak yang tinggi, sedangkan untuk bahan bakar HSD tidak mengalami kendala karena disamping kebutuhannya kecil pertahun juga lokasi pengirimannya yaitu depo Pertamina tidak terlalu jauh dari unit pembangkit. Untuk menangani gangguan di unit pembangkitan, salah satu yang manjadi persyaratan utama adalah tersedianya suku cadang, oleh karena itu suku cadang yang sering mengalami gangguan, selalu tersedia di gudang.

(40)

Komponen utama pembangkit yang sering mengalami gangguan yang menyebabkan terhentinya operasi unit adalah kebocoran tube boiler yang frekuensi kerusakannya adalah 2 kali dalam satu tahun. Sedangkan kecepatan unit pembangkit untuk mengejar perubahan beban adalah 2,5 MW permenit.

1.4.1.2. PLTU 2

PLTU sektor pembangkitan 2 mengoperasikan unit pembangkit Listrik Tenaga Uap sebanyak 2 buah dengan kapasitas masing-masing 100 MW, yang digunakan untuk mensupplai daya listrik di Sumatera melalui interkonneksi atau saluran transmissi 150 kV. Kedua unit pembangkit ini memikul beban dasar.

Besarnya daya listrik yang dibangkitkan oleh sektor pembangkitan 2 tergantung permintaan dari P3BS yang besar dayanya dapat berubah setiap waktu berdasarkan permintaan beban pada di Sumatera pada saat itu.

Pemeliharaan sektor pembangkitan 2mengikuti standar SOP yang ditetapkan oleh Pabrikan seperti

a. Simple inspection, setelah mesin beroperasi selama 8000 jam.

b. Main Inspection, setelah mesin beroperasi selama 16.000 jam.

c. Serious Inspection, setelah mesin beroperasi selama 32.000 jam.

Penggunaan spare part yang tergolong local OEM (non OEM) di sektor pembangkitan 2 sebanyak 40% sedangkan untuk no critical part yang tergolong non OEM hanya 60%. Adapun spare part yang tergolong non OEM yang banyak digunakan di sektor pembangkitan 2 di produksi oleh PT. Nuscaco, PT. Alshtom Surabaya dan PT. Cokro. Dan berdasarkan pada pengalaman selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa performansi suku cadang yang diproduksi di dalam negeri cukup memadai, karena sektor semua suku cadang non OEM yang diproduksi di dalam negeri yang digunakan di sektor pembangkitan 2 disertai dengan sertifikat.

Kebijakan pemeliharaan di unit pembangkitan 2 dilakukan dengan dua cara seperti inhouse dan outsourcing karena cara tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungan menggunakan cara inhouse antara lain, biaya lebih murah, menjadikan karyawan setempat lebih mampu, lebih familiar dengan peralatan,

(41)

30 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

sedangkan kerugiannya adalah control schedule kurang serta kekurangan jumlah personil.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kontinuitas bahan bakar seperti batubara dan HSD yang disuppaly oleh beberapa perusahaan besar dan spot di sekitar pembangkit dan pembelian batubara di Muara Bungo yang diangkut dengan menggunakan truk melalui jalan, hanya terkendala apabila terjadi musim hujan di daerah yang masih kondisinya masih merupakan jalan tanah, disamping itu kendala lain yang mungkin terjadi adalah kesulitan masuk di area tambang.

Untuk menangani gangguan di unit pembangkitan, salah satu yang manjadi persyaratan utama adalah tersedianya suku cadang, olehnya itu suku cadang yang sering mengalami gangguan selalu disediakan dalam bentuk minimum stock terutama untuk critical part.

Setelah tahun 2008 tidak pernah terjadi lagi gangguan berulang pada turbin, generator, dan boiler yang menyebabkan force outage dalam waktu yang lama. Sedangkan kecepatan unit pembangkit untuk mengejar perubahan beban adalah 1,67 MW permenit.

1.4.1.3. PLTU 3

PT. Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan 3 mengoperasikan unit pembangkit Listrik Tenaga Uap sebanyak 7 buah dengan total kapasitas 3200 MW, yang digunakan untuk mensupplai daya listrik di Jawa, Bali dan Madura melalui interkoneksi atau saluran transmissi 500 kV. Ketujuh unit pembangkit ini memikul beban dasar sebesar 2400 MW.

Pemeliharaan Unit Bisnis Pembangkitan 3 mengikuti standar SOP yang ditetapkan oleh pabrikan seperti :

a. Simple inspection, setelah mesin beroperasi selama 8000 jam.

b. Main Inspection, setelah mesin beroperasi selama 16.000 jam.

c. Serious Inspection, setelah mesin beroperasi selama 32.000 jam.

Penggunaan spare part pada Unit Bisnis Pembangkitan 3 adalah untuk

critical part menggunakan OEM dan non OEM yang kebanyakan diproduksi di dalam

negeri. Dan berdasarkan pada pengalaman selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa performansi suku cadang yang diproduksi di dalam negeri cukup memadai.

(42)

Kebijakan pemeliharaan di unit bisnis pembangkitan 3 dilakukan dengan dua

cara seperti inhouse dan outsourcing karena cara tersebut mempunyai keuntungan

dan kerugian.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kontinuitas bahan bakar seperti batubara dan HSD yang disuplai oleh beberapa perusahaan besar dan spot di Kalimantan yang diangkut dengan menggunakan tongkan hanya terkendala apabila terjadi musim hujan dan ombak yang tinggi, sedangkan untuk bahan bakar HSD tidak mengalami kendala karena disamping kebutuhannya kecil pertahun juga lokasi pengiriman yaitu depo Pertamina tidak terlalu jauh dari unit pembangkit.

Untuk menangani gangguan di unit pembangkitan, salah satu yang manjadi persyaratan utama adalah tersedianya suku cadang, olehnya itu suku cadang yang sering mengalami gangguan, selalu tersedia di gudang.

Komponen utama pembangkit yang sering mengalami gangguan yang menyebabkan terhentinya operasi unit adalah peralatan control, gangguan mill, boiler bocor. Sedangkan kecepatan unit pembangkit untuk mengejar perubahan beban adalah 5 MW permenit.

1.4.1.4. PLTU/PLTGU 2

Cara pengoperasian unit PLTU dan PLTGU dilakukan dengan menggunakan Buku Petunjuk Operasi (SOP) dengan pola pembebanan yang diatur oleh Unit Pengatur Beban. Pengoperasian dan pemeliharaan unit pembangkit pada dasarnya mengikuti petunjuk yang disusun oleh pabrikan. Khusus mengenai pemeliharan dilakukan berdasarkan pada keadaan, penggantian parts yang rusak/kurang berfungsi dan ada yang berdasarkan pada jadwal (maintenance rutin maupun periodik). Untuk parts peralatan boiler dilakukan juga predictive maintenance setelah dilakukan kajian

BRLA (boiler remaining life assessment). Secara ringkas salah satu hasil dari BRLA

PLTU unit 1 adalah pembebanan unit tidak tidak melebihi 70% sebelum dilakukan

penggantian beberapa tube.

Data operasi pembangkit (temperatur, tekanan dan lain sebagainya) secara rutin setiap jam dilakukan pencatatan dalam logsheet yang didokumentasikan. Namun demikian tidak semua data operasi tercatat karena kerusakan alat ukur, misalnya untuk flowmeter uap masuk turbin, tekanan uap ekstraksi, level air, pH air pengisi, pemakaian air pengisi, flow meter uap ke luar dari boiler.

(43)

32 Pusat Tekonologi Konversi dan Konservasi Energi (PTKKE) - BPPT

Namun demikian ada beberapa hal yang sedikit berbeda dalam hal pemeliharaan unit pembangkit, diantaranya adalah sebagai berikut.

a. Skedul pergantian pelumas mesin dalam manual yang ada dilakukan secara

periodik namun dalam kenyataannya pelaksanaan pemeliharaan pergantian pelumas dilakukan dengan cara analisa di laboratorium.

b. Skedul maintenance rutin yang dianjurkan dalam manual bila dipandang perlu

pada pelaksanaannya dilakukan lebih awal karena umur operasi unit pembangkit yang relatif tua dan dilakukan di turbin dan generator.

Pelaksanaan pergantian sparepart dilaksanakan (di luar kerusakan)

disesuaikan dengan skedul pemeliharaan jam operasi. Berdasarkan pada pengalaman pemeliharaan komponen yang sering diganti yaitu bearing, sedangkan

untuk yang lainnya tetap mengacu kepada manual book atau bila ada kerusakan

sebelum masa pergantian.

Pengecekan sistem pendingin dilaksanakan berdasarkan pada monitoring

rutin per jam. Bila nilai tekanan vacum sudah rendah atau lebih dari yang

disyaratkan, maka dilakukan tube cleaning. Pemeliharaan pompa air pendingin

(cooling water pump) bila unit shut down.

Kondisi aliran udara dilakukan dengan pengecekan fan dan chimney

berdasarkan pada data monitoring yang akan disesuaikan dengan RPL dan RKL. Aliran air dan uap diukur setiap 4 jam sekali dengan memperhatikan kondisi kadar

PH, conductivity, phosphate dan alkanility. Adapun yang berkaitan dengan getaran

dan bunyi-bunyi mesin, monitoring dilakukan oleh operator secara manual dan on line. Selain getaran dan bunyi juga diperhatikan jalannya sistem pendingin, pompa-pompa, meter-meter pada panel penghubung serta katup-katup.

Usaha-usaha yang dilakukan agar operasi unit berjalan dengan efisiensi tinggi adalah:

a. Pembersihan compressor secara berkala.

b. Pengaturan pola operasi.

c. perbaikan kualitas air, maintenance rutin kebocoran, pembersihan tube

kondensor, mengganti labirin-labirin turbin, mengatur temperatur gas buang dan menanggulangi kebocoran uap.

Gambar

Tabel 1.1 Kandungan dan Gross Calorific Value  batubara berdasarkan disain Boiler  Parameters  Unit  Design
Tabel 1. 8 Nilai SFC untuk interval jam tertentu pada Unit 1 dan 2
Tabel 1.12 Sejarah Mesin Pembangkitan 1 Unit 2  No  Kejadian  Tahun  Daya Mampu
Grafik nilai NCF PLTU 2 unit gabungan (unit 1 dan 2) dibandingkan dengan standar  NERC, dapat dilihat pada Gambar 1.8
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kenyataannya dengan susunan vertikal secara hierarki tersebut membuat para ulama kesulitan dalam berijtihad karena banyak permasalahan umat Islam setelah berabad-abad pasca

Nama SKPD/SKPKD   : KKR Nomor    : Inspektorat/Bawasda : Dibuat oleh    : Tanggal/Paraf  : Direviu oleh   : CONTOH PEMETAAN POS LAPORAN REALISASI ANGGARAN No

Masuknya program PHT dapat dikatakan masih kurang tepat, seperti dalam percobaan tidak pada lahan khusus, tapi pada lahan petani yang sudah ada dengan tanaman yang sudah berumur dan

Sehingga dalam penetapan kadar air lebih tepat menggunakan metode distilasi azeotrop dimana pada distilat yang dihasilkan minyak atsiri yang menguap tidak

Jika tidak ditemukan, maka byte dengan kondisi yang tidak terkompresi akan langsung disimpan dan diberi nilai flag = 0 yang menandakan file tersebut tidak dapat di kompresi

Laju pertumbuhan yang diharapkan oleh investor marjinal, yaitu jika diasumsikan bahwa dividen yang diharapkan akan tumbuh dengan laju konstan, maka growth (g) juga sama

[r]

Brand identity atau visual identity adalah semua tampilan visual maupun verbal dari sebuah brand, yang terwujud dalam semua penerapan desain, seperti logo, kop surat,