• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktek Pembayaran Royalti pada perusahaan Karoke PT. NAV JAYA MANDIRI

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA

F. Praktek Pembayaran Royalti pada perusahaan Karoke PT. NAV JAYA MANDIRI

Semua perjanjian yang dibuat antar pencipta dengan para produser perusahaan-perusahaan rekaman pada dasarnya sama karena perjanjian yang mereka buat berpatokan hasil negosiasi yang dilakukan antara pihak PT. NAV

85 Bagus Prihantoro, Pelaksanaan Pembayaran Royalti Atas Sertifikat Lisensi Pengumuman Karya Cipta Lagu Atau Musik Di Hotel Agas Surakarta, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2006, hal 59.-61

Jaya Karaoke dengan Lembaga Manajemen Kolektif yang selanjutnya diberikan wewenang kepada Yayasan Karya Cipta Indonesia.

Praktek Pembayaran Royalti pada perusahaan Karoke PT. NAV Jaya Mandiri

1. Pencipta lagu

Seseorang yang menghasilkan ciptaan lagu 2. Hak cipta lagu

Hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

3. Pembayaran

Aktivitas pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.

4. Pemberian izin

Lisensi Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia (YRCI) adalah izin yang diberikan oleh YRCI atas kuasa dari anggotanya untuk memperbanyak karya ciptaan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, dan diatur tersendiri dalam Perjanjian Lisensi dengan Pengguna.

Pencipta Lagu Hak Cipta Lagu Pembayaran Royalty

Pemberian Lisensi KCI Publikasi lagu oleh

PT. NAV Jaya Mandiri

5. Karya Cipta Indonesia (KCI)

KCI bekerja mengumpulkan royalti dari pengguna dan menyalurkan royalti tersebut kepada pemilik atau pemegang hak cipta (pemberi kuasa), dalam hal ini KCI bertindak sebagai organisasi pemberi kuasa dalam memberi izin kepada pengguna untuk menggunakan lagu yang dikelola oleh KCI.

6. PT. Nav Jaya Mandiri

PT. Nav Jaya Mandiri melakukan pembayaran atas lagu dan karya musik berdasarkan frekuensi pemutaran yang dihitung melalui sistem server yang dimiliki selanjutnya melakukan negosiasi kepada KCI untuk menghitung besaran royalti atas lagu dan karya musik dan selanjutnya dilakukan pembayaran kepada KCI.

Besaran Tarif Royalti Rumah Bernyanyi (Karaoke) per ruang per hari untuk Pencipta dan Hak Terkait adalah:

1. Kategori Karaoke Tanpa Kamar I Aula (Hall) sebesar Rp 20.000 net;

2. Kategori Karaoke Keluarga per kamar sebesar Rp 12.000 net;

3. Kategori Karaoke Eksekutif per kamar sebesar Rp 50.000 net.86

Sebelum royalti diambil oleh YKCI dari setiap pengguna dan dibagikan kepada peserta YKCI, maka YKCI memerlukan data-data dari para peserta YKCI.

Dalam proses pembagian royalti, YKCI melakukan perhitungan mengenai:

(1) Lagu apa saja yang dipakai.

(2) Berapa kali pemutaran (Log-sheet).

86 Hasil wawancara dengan dengan Ponimin, selaku Supervisor NAV Karoke, 5 Oktober 2016.

(3) Nama-nama pencipta atau pemegang hak cipta yang diperoleh dari para peserta KCI pada waktu mendaftarkan karya ciptanya.

(4) Besarnya royalti yang diperoleh.

Bentuk perlindungan hukum terhadap pencipta lagu secara normatif diatur pada Bab IV Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pendaftaran Hak Cipta diselenggarakan oleh Ditjen HKI, yang kini berada dibawah Departemen Hukum dan HAM. Pencipta atau pemilik Hak Cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI.

Permohonan pendaftaran Hak Cipta dikenakan biaya yang diatur pada Pasal 37 ayat (2) UUHC. Menurut Pasal 45 ayat (3) UUHC menentukan kewajiban membayar royalti kepada pemegang Hak Cipta oleh penerima lisensi dalam hal ini adalah pelaku usaha Karaoke. Royalti tersebut diperoleh dengan melakukan kerjasama dengan pihak YKCI. Pasal 45 Ayat (4) mengatur besarnya atau jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada pemegang Hak Cipta oleh penerima lisensi berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak dengan berpedoman pada kesepakatan organisasi profesi.

Berkaitan dengan hak mengumumkan (performing right) dilapangan dapat dilihat berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya pelanggaran dan berjalannya mekanisme pembayaran royalti kepada pemilik hak cipta. Dalam usaha karaoke marak terjadinya pelanggaran. Pelaku usaha karaoke tersebut melakukan pelanggaran karena menyiarkan musik atau lagu yang dilindungi hak cipta kepada penikmat hiburan karaoke, tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada pemegang hak ciptanya

Berdasarkan UUHC sebelum memutar lagu kepada orang lain dengan tujuan komersil atau mencari keuntungan haruslah dituangkan dalam bentuk perjanjian dengan imbalan sejumlah uang (royalti) kepada pemilik atau pemegang hak ciptanya. Oleh karena itu terhadap pelanggaran demikian, hukum memberikan hak tuntut secara pidana/kriminal kepada negara, berupa sanksi pidana antara lain berupa hukuman penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- yang tertera pada Pasal 72 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

Selain pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana, juga kemungkinan terjadi adanya pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian yang berhubungan dengan masalah Hak Cipta yang bersifat keperdataan.87 Oleh karena itu, hukum memberikan hak gugat secara perdata kepada pemilik dan pemegang hak cipta dan Sanksi perdata yang terdapat dalam UUHC adalah ganti rugi dan penghentian penggunaan perjanjian yang dibuat antara Asosiasi Perekaman Kaset Indonesia (APKI) dengan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI). Jadi sebelum dibuat perjanjian sebenarnya, dari pihak produser akan menyerahkan blangko perjanjian yang belum diisi nama-nama pihak serta jumlah maupun sistem pembayaran, tapi berisikan syarat-syarat pemakaian lagu yang meliputi hak-hak pakai apa saja yang harus diserahkan oleh pihak pencipta terhadap lagu ciptaannya.

Juga jangka waktu pemakaian yang biasanya oleh produser ditentukan selama 9 bulan. Dan hal-hal lain yang kesemuanya menjadi kewajiban dari

87 Djumhana Muhamad, 2003, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, Dan Prakteknya Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 94

pencipta, seperti kewajiban ganti rugi bila pencipta melanggar segala kewajibannya, kewajiban untuk menjamin baik keaslian lagu serta bebasnya produser dari segala tuntutan yang datang dari pihak ketiga berkaitan dengan diadakannya perjanjian tersebut. Setelah mendapat blangko tersebut, pencipta akan melakukan penawaran. Biasanya pada jangka waktu perjanjian, serta hak-hak yang harus dialihkan. Setelah sesuai kehendak masing-masing pihak-hak, baru dinegosiasikan sistem dan jumlah pembayaran yang akan diberikan pada pencipta.

Selanjutnya setelah tercapai kesepakatan terhadap segala hal, baru dibuatlah kesepakatan tadi dalam bentuk perjanjian sebenarnya yang mengikat baik pencipta maupun produser.88

Masalah profit yang diterima oleh tempat karaoke tersebut belum sesuai dengan yang diharapkan. Karena telah terjalin negosiasi dan musyawarah yang cukup baik, maka telah disepakati bersama untuk standard minimum pembayaran royalti bagi tempat karaoke adalah sebesar Sepuluh Juta Rupiah. Selain itu KCI juga menghargai adanya itikad baik, kesadaran dan kerjasama yang baik dari tempat karaoke di kota Medan. Bila dikaitkan dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh KCI mengenai lisensi, hak mengumumkan diberikan untuk memutar atau memainkan seluruh repertoire yang dikelola KCI, yaitu jutaan lagu sedunia dalam satu paket. Izin tidak diberikan lagu per lagu (Blanket License).

Royalti dibayar dimuka, sesuai dengan konsep umum perizinan. Pengguna kemudian melaporkan lagu yang dipergunakan. Berbeda dengan lisensi hak memperbanyak, sistem yang digunakan untuk lisensi hak memperbanyak bukan

88 Copyrights" redirects here. "Hak Cipta" beralih ke halaman ini. For Wikipedia policy about copyright issues, see Wikipedia:Copyrights . Untuk kebijakan Wikipedia tentang masalah hak cipta, lihat Wikipedia: Hak cipta. hal.2

blanket license, melainkan izin untuk per lagu. Tempat karaoke yang telah membayar mendapatkan surat perjanjian antara tempat karaoke dengan KCI Pusat, kuitansi pembayaran dan Sertifikat Lisensi yang diterbitkan oleh KCI Pusat.

Praktek pembayaran royalti pada perusahaan karoke PT. Nav Jaya Mandiri, pelaksanaan dilakukan pembayaran tiap kamar (room) dihitung perhari tetapi pembayarannya dilakukan setahun. 89 Lembaga yang berhak memungut (collecting society) royalti pencipta. Pasal 87 s.d. Pasal 93 UUHC 2014 telah menjadi embrio lahirnya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). LMKN bertugas melakukan pengelolaan royalti hak cipta bidang lagu dan/atau musik yang masing-masing merepresentasikan dari keterwakilan kepentingan pencipta dan kepentingan pemilik hak terkait.90 Dengan tugas-tugas itulah, maka LMKN memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari pengguna yang bersifat komersial (Pasal 89 UUHC 2014). Untuk maksud itulah, maka pada tanggal 20 Januari 2015, Kemenkumham melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Permohonan dan Penerbitan Izin Operasional serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif dan Keputusan Menteri No. M.HH-01.01 Tahun 2014 tentang Penetapan Panitia Seleksi Calon Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Pencipta dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Hak Terkait, telah melantik sepuluh anggota LMKN. Keanggotaan LMKN terdiri dari lima orang Komisioner LMKN Pencipta (Rhoma Irama, James F. Sundah, Adi

89 Hasil wawancara dengan Ponimin, selaku Supervisor 5 Oktober 2016.

90 http://business-law.binus.ac.id/2015/04/21/penentuan-dan-penetapan-besaran-royalti/

diakses tanggal 1 Oktober 2016

Adrian, Imam Haryanto, dan Slamet Adriyadie) dan lima orang Komisioner LMKN Hak Terkait (Rd. M. Samsudin DH, Ebiet G Ade, Djanuar Ishak, Miranda Risang Ayu, SH, LL.M, Ph.D dan Handi Santoso).

Hadirnya LMKN diharapkan dapat mengatur lebih lanjut tentang pendistribusian royalti dan besaran royalti pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait. Sekalipun demikian, yang seharusnya diperjelas adalah ketentuan berapa besaran royalti yang harus dibayarkan. Kejelasan menjadi penting untuk meminimalisasi terjadinya sengketa antara LMKN (sebagai pihak yang menetapkan besaran royalti) degan pengguna lagu yang bersifat komersial (sebagai pihak yang wajib membayar besaran royalti itu) maupun pihak lain yang terkait di dalam menghitung besaran royalti. Hal ini, karena ada tiga titik permasalah di dalam UUHC 2014 yang dalam implementasi akan multitafsir pengertiannya. Pertama, siapakah yang dimaksud dengan pengguna lagu yang bersifat komersial sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (24) juncto Pasal 87 ayat (1), (4) dan Pasal 89 ayat (2) UUHC 2014. Kedua, arti terminologi imbalan yang wajar yang diatur oleh Pasal 87 (ayat 1) UUHC 2014 dan Ketiga, LMKN dalam penetapan besaran royalti haruslah sesuai dengan kelaziman di dalam praktik berdasarkan keadilan (Pasal 89 ayat (1) dan (2) UUHC 2014). 91

Pertama, yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang termasuk kategorisasi pengguna lagu yang bersifat komersial itu? Pasal 1 ayat (24) UUHC 2014 menggunakan kata penggunaan secara komersial tanpa adanya kata lagu.

Penggunaan secara komersial diterjemahkan pemanfaatan ciptaan dan/atau produk

91 http://www.kemenkumham.go.id/v2/berita/330-menkumham-melantik-komisioner-lmkn-pencipta-dan-lkmn-hak-terkait, diakses tanggal 1 September 2016.

hak terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar. Terdapat dua kemungkinan, yaitu (1) merujuk kepada arti pengguna lagu secara komersial dan (2) juga terbuka tidak termasuk arti pengguna lagu secara komersial, sementara di dalam penjelasan UUHC 2014 dikatakan cukup jelas. Hal ini berarti membuka penafsiran yang berbeda-beda dan semuanya kembali kepada yang memberikan penilaian terhadap kata penggunaan secara komersial. Apakah pengguna lagu secara komersial itu merujuk kepada penggunaan (dengan memperdengarkan) karya cipta yang telah dibelinya (seperti kaset atau compact disc/CD) sepanjang tidak untuk diperdengarkan dan dengan tujuan untuk tidak mendapat keuntungan yang bersifat materi/komersial adalah diperbolehkan dan hal ini berarti tidaklah termasuk penggunaan lagu yang bersifat komersial.

Kondisi yang berbeda terhadap karya cipta (musik misalnya) kemudian dipergunakannya (diumumkan atau diperbanyak) untuk kepentingan komersial, maka ada kewajiban untuk membayar royalti. Misalnya, menjadikan musik sebagai bagian dari proses dan aktivitas pertunjukan yang memang memungut biaya dari penontonnya atau memperdengarkan musik itu sebagai daya tarik untuk berkunjungnya konsumen. Penggunaan karya cipta tersebut akan dapat dikenakan kewajiban pembayaran royalti. Jika hal itu termasuk, maka berarti industri hiburan dan para pengusaha harus membayar royalti jika menggunakan musik untuk kepentingan mereka. Seperti mal-mal besar (di mana perusahaan retail besar ada di dalamnya), kafe-kafe, tempat karaoke, warung makan, konser, pentas seni

mahasiswa, termasuk tempat seperti house musik, seperti kafe-kafe dangdut di pinggir jalan adalah pihak-pihak yang akan terkena membayar besaran royalti.

Kedua, arti terminologi imbalan yang wajar yang diatur Pasal 87 ayat (1) UUHC 2014 juga mengundang tanya yang tidak terjawabkan UUHC 2014 itu sendiri. Wajar itu batasannya apa dan ukuran wajar itu menurut siapa (sehingga menjadi subjektif)? Wajar menurut LMKN akan berbeda ukurannya dengan pengguna lagu secara komersial tentang besaran royaltinya. Ketentuan yang seperti ini membuka peluang terjadinya salah pengertian penentuan jika di dalam menentukannya dilakukan secara sepihak saja dan pihak yang akan dikenakan tidak didiskusikan terlebih dahulu dengannya. Artinya, besaran royalti yang telah ditentukan secara sepihak dapat berakibat kepada penolakan dari pihak lainnya.

Di samping itu, berapa sesungguhnya besaran imbalan yang wajar menjadi relatif sulit ditentukan jika tidak ada standar yang jelas dan disetujui oleh para pihak.

Dengan kondisi demikian ini, maka tidak tercapai kesepakatan menjadi besar kemungkinan terjadi. Tidak tercapainya suatu kesepakatan bersama itu juga pada akhirnya akan berdampak buruk kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait, termasuk juga kepada negara dari aspek pajaknya.

Ketiga, LMKN dalam penetapan besaran royalti harus sesuai kelaziman

dalam praktiknya berdasarkan keadilan (Pasal 89 (ayat 1) dan (2) UUHC 2014).

Apa yang dimaksud dengan ketentuan kelaziman dan keadilan itu? Kesulitan ketiga ini menjadi bagian mata rantai dari ketidakjelasan kedua tersebut di atas.

Artinya, kelaziman dan keadilan yang diatur adalah terlalu umum dan tidak ada paramter yang dapat dijadikan pegangan di dalam menentukan besaran royalti

yang ditetapkan LMKN dan yang harus dibayar royalti pengguna lagu secara komersial, sehingga kedua wording tersebut terbuka diperdebatkan oleh masing-masing pihak. Akibat dari masalah ini, maka sulit sekali mencari titik temu angka besaran royaltinya. Kata kelaziman dan keadilan itu menjadi sangat relatif dan tergantung sudut pandang mana menilainya. Terjadinya kondisi demikian terjadi karena keduanya berpegang kepada dalilnya sendiri-sendiri. Hal ini semuanya bermula dari ketidakjelasan apa yang diatur oleh Pasal 89 (ayat 1) dan (2) UUHC 2014 tersebut.

Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, ketidakjelasan tersebut harus ada jalan keluar untuk memperjelasnya. Pasal 89 ayat (4) UUHC 2014 itu sendiri telah membuka untuk dapat lebih memperjelasnya. Pasal tersebut mengatur bahwa mengenai pedoman di dalam penetapan besaran royalti ditetapkan oleh LMK (dalam hal ini yang dimaksud adalah LMKN) dan disahkan oleh Menkumham.

Hal ini berarti kekurangan ketidakjelasaan yang ada di dalam hal penetapan besaran royalti itu masih dapat diselesaikan. Untuk itu adalah lebih tepat jika di dalam penetapannya juga melibatkan dan berdiskusi dengan pihak yang akan menjadi objek besaran royalti, yaitu pengguna secara komersial. Artinya, ada suatu tahapan perundingan terlebih dahulu dan tertuang jelas di dalam kesepakatan perdata antara LMKN dengan pengguna secara komersial dan untuk itu ada besaran royalti yang telah disetujui bersama. Oleh karena itu, harus ada formula perhitungan yang jelas yang ditetapkan LMKN dan telah disetujui Menkumham dan telah tercapai kesepakatan juga dari para pengguna lagu komersial. Artinya, seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) telah sepakat

dan setuju jumlahnya dalam penentuan besaran royaltinya. Dengan telah ada kejelasan, maka keraguan terhadap ketidakjelasan yang ada akan terhapuskan dan hal itu juga adalah bukti tegas pengakuan hak ekonomi yang seharusnya memang menjadi hak-hak pencipta, Pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait.

Pengeksploitasian hak cipta lagu atau musik dengan cara pengumuman yang dilakukan oleh para pengguna/ user tidak terlebih dahulu mendapat izin atau lisensi dari pencipta atau pemegang hak namun izin/ lisensi itu baru muncul apabila pembayaran royalti diterima oleh KCI (Karya Cipta Indonesia). Setelah itu KCI mengeluarkan sertifikat lisensi pengumuman musik beserta perjanjian lisensi yang berlaku satu tahun. Proses tersebut didahului adanya pendataan yang dilakukan oleh KCI.

BAB V

Dokumen terkait