• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktek yang meningkatkan bahan organik tanah

Dalam dokumen PENGELOLAAN BAHAN ORGANIK. Dr. Ir. Wawan, MP (Halaman 100-107)

ORGANIK 10.1 TIU dan TIK

2. Mahasiswa mampu menjelaskan praktek yang meningkatkan jumlah bahan organik tanah

10.4 Praktek yang meningkatkan bahan organik tanah

Sebagaimana dibahas pada bagian 7.3 bahwa bahan organik sangat penting bagi kesuburan bahkan kesehatan tanah. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk mempertahankan bahkan meningkatkan bahan organik tanah perlu terus dilakukan.

a. Meningkatkan produksi biomassa b. Meningkatkan suplai bahan organik c. Menurunkan laju dekomposisi

Ada beberapa praktek dalam kegiatan budidaya tanaman yang dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah. Praktek tersebut meliputi pemberian kompos, pupuk kandang, dan pupuk hijau. Peningkatan bahan organik tanah dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

1. Pemberian kompos

Pengomposan adalah dekomposisi alami dari bahan organik oleh mikroorganisme yang memerlukan oksigen (aerob). Hasil pengomposan berupa kompos memiliki muatan negatif, dapat dikoagulasikan oleh kation-kation dan partikel tanah untuk membentuk agregat tanah. Dengan demikian, penambahan kompos dapat memperbaiki struktur tanah sehingga akan memperbaiki pula aerasi, drainase, absorbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air serta berguna untuk mengendalikan erosi tanah (Gaur, 1981).

Pengomposan dapat didefinisikan sebagai dekomposisi biologi dari bahan organik sampah di bawah kondisi-kondisi terkontrol. Gaur (1981) menyatakan bahwa pengomposan adalah suatu proses biokimia, di mana bahan-bahan organik didekomposisi menjadi zat-zat seperti humus (kompos) oleh kelompok-kelompok mikroorganisme campuran dan berbeda-beda pada kondisi yang dikontrol.

Hasil dari pengomposan dikenal dengan nama kompos. Dalam banyak buku pertanian kompos didefinisikan sebagai campuran pupuk dari bahan organik yang berasal dari tanaman atau hewan atau campuran keduanya yang telah melapuk sebagian dan dapat berisi senyawa-senyawa lain seperti abu, kapur dan bahan kimia lainnya sebagai bahan tambahan. Kompos merupakan inti dan dasar terpenting dari berkebun dan bertani secara alami, serta merupakan jantung dari konsep pertanian organik (Djajakirana, 2002).

Penggunaan kompos sangat baik karena dapat memberikan manfaat baik bagi tanah maupun tanaman. Kompos dapat menggemburkan tanah, memperbaiki struktur dan porositas tanah, serta komposisi mikroorganisme tanah, meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, menyimpan air tanah lebih lama, dan mencegah lapisan kering pada tanah. Kompos juga menyediakan unsur hara mikro bagi tanaman, memudahkan pertumbuhan akar tanaman, mencegah beberapa penyakit akar, dan dapat menghemat pemakaian pupuk kimia dan atau pupuk buatan, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk kimia. Karena keunggulannya tersebut, kompos menjadi salah satu alternatif pengganti pupuk kimia karena harganya murah, berkualitas dan akrab lingkungan. Müller-Sämann dan Kotschi (1997) menyimpulkan empat fungsi penting kompos, yaitu :

1. Fungsi nutrisi, nutrisi yang disimpan diubah menjadi bahan organik, jaringan mikroorganisme, produk sisanya, dan humus. Kompos adalah pupuk yang lambat tersedia (slow release), hara yang dihasilkan tergantung pada bahan dasar dan metode pengomposan yang digunakan.

2. Meningkatkan struktur tanah, yaitu melalui peningkatan persentase bahan organik yang meningkatkan stuktur tanah.

3. Meningkatkan populasi dan aktivitas organisme tanah. Kompos juga meningkatkan kemampuan mengikat air dan agregat tanah, meningkatkan infiltrasi, menghalangi terjadinya erosi dan menunjang penyebaran dan penetrasi akar tanaman.

4. Memperkuat daya tahan tanaman terhadap hama dan penyakit. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa tanaman yang diberi pupuk kompos lebih tahan terhadap hama dibandingkan tanaman yang tidak diberi kompos maupun yang tidak dipupuk.

Selama pengomposan, bahan-bahan organik didekomposisi terlebih dahulu menjadi bentuk-bentuk anorganiknya. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pengomposan adalah kadar air, suplai oksigen, suhu dan pH. Kadar air (kelembaban) diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Dekomposisi aerob dapat terjadi pada kadar air bahan 30-60%, asalkan dilakukan pembalikan pada bahan yang dikomposkan. Kadar air yang optimal adalah 50-60%. Kadar air yang berlebihan dapat menurunkan suhu dalam gundukan

bahan-bahan yang dikomposkan, karena menghambat aliran oksigen serta dihasilkannya bau.

Suplai oksigen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme aerobik adalah 5-15% dari udara yang dibutuhkan atau di atas 5% dari volume gundukan. Oksigen dibutuhkan untuk mendekomposisi limbah organik yang dikomposkan. Menurut Obeng dan Wright (1987) konsumsi oksigen yang diperlukan oleh proses pengomposan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1) tahap dalam pengomposan, 2) suhu, 3) tahap dekomposisi bahan, 4) komposisi bahan yang dikomposkan, 5) ukuran partikel, dan 6) kandungan air. Konsumsi oksigen nampak bervariasi (meningkat dan menurun) secara logaritmik dengan perubahan suhu.

Kematangan kompos yang digunakan juga menjadi faktor yang mempengaruhi cepat aplikasinya ke tanaman. Kriteria kematangan kompos bervariasi tergantung bahan asal kompos, kondisi dan proses dekomposisi selama pengomposan. Gaur (1981) menyatakan bahwa ada beberapa parameter untuk menentukan kematangan kompos, yaitu: 1) karakteristik fisik, seperti suhu, warna, tekstur dan besarnya kelarutan dalam larutan natrium hidroksida atau natrium fosfat; 2) nisbah C/N, status dari kandungan hara tanaman, dan nilai kompos yang ditunjukkan oleh uji tanaman, dan 3) tidak berbau dan bebas dari patogen parasit dan biji rumput-rumputan. Kematangan kompos menurut Harada et al. (1993) sangat berpengaruh terhadap mutu kompos. Kompos yang sudah matang akan memiliki kandungan bahan organik yang dapat didekomposisi dengan mudah, nisbah C/N yang rendah, tidak menyebarkan bau yang ofensif, kandungan kadar airnya memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan tanaman. Oleh sebab itu, kematangan kompos merupakan faktor utama dalam menentukan kelayakan mutu kompos.

Pengomposan jerami adalah bahan tambahan yang menguntungkan bagi tanah pertanian daripada harus dibakar. Jerami merupakan sebuah kondisioner tanah yang potensial, karena jerami dapat juga menjadi sumber unsur hara termasuk N, P, K dan semua unsur mikro esensial yang diperlukan tanaman. Pemberian kompos tidak saja meningkatkan produksi tanaman, tetapi juga meningkatkan kesuburan tanah terutama C dan N, permeabilitas air tersedia bagi

tanaman dan porositas terisi udara. Berbagai sumber bahan kompos dari limbah pertanian dengan nilai C/N rasio disajikan pada Tabel (FAO, 1987).

Tabel. Sumber bahan kompos, kandungan nitrogen dan rasio C/N

Jenis bahan Nitrogen per berat kering Rasio C/N %

Limbah cair dari hewan 15 – 18 0,8

Darah kering 10 – 14 3

Kuku dan tanduk 12 -

Limbah ikan 4 – 10 4 – 5

Limbah minyal biji-bijian 3 – 9 3 – 15

Night soil 5,5 – 6,5 6 – 10

Lumpur limbah 5 – 6 6

Kotoran ternak ungags 4 -

Tulang 2 – 4 8

Rumput 2 – 4 12

Sisa tanaman hijauan 3 – 5 10 – 15

Limbah pabrik bir 3 – 5 15

Limbah rumah tangga 2 – 3 10 – 16

Kulit biji kopi 1,0 – 2,3 8

Enceng gondok 2,2 – 2,5 20

Kotoran babi 1,9 -

Kotoran ternak 1,0 – 1,8 -

Limbah lumpur padat 1,2 – 1,8 -

Millet 0,7 70 Jerami gandum 0,6 80 Daun-daunan 0,4 – 1,0 40 – 80 Limbah tebu 0,3 150 Serbuk gergaji 0,1 500 Kertas 0,0 * Sumber: FAO (1987)

2. Pemberian pupuk kandang

Pupuk kandang yang berasal dari kotoran hewan peliharaan seperti sapi, kambing, kerbau dan ayam, atau bisa juga dari hewan liar seperti kelelawar atau burung dapat dipergunakan untuk menambah kandungan bahan organik tanah. Pengadaan atau penyediaan kotoran hewan seringkali sulit dilakukan karena memerlukan biaya transportasi yang besar. Kotoran hewan yang berasal dari usaha tani pertanian antara lain adalah kotoran ayam, sapi, kerbau, kambing, kuda, dan sebagainya. Komposisi hara pada masing-masing kotoran hewan berbeda tergantung pada jumlah dan jenis makanannya.

Namun demikian, hara dalam kotoran hewan ini ketersediaannya (release) lambat sehingga tidak mudah hilang. Ketersediaan hara sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi/mineralisasi dari bahan-bahan tersebut. Rendahnya ketersediaan hara dari pupuk kandang antara lain disebabkan karena bentuk N, P serta unsur lain terdapat dalam bentuk senyawa kompleks organo protein atau senyawa asam humat atau lignin yang sulit terdekomposisi. Selain mengandung hara bermanfaat, pupuk kandang juga mengandung bakteri saprolitik, pembawa penyakit, dan parasit mikroorganisme yang dapat membahayakan hewan atau manusia. Contohnya: kotoran ayam mengandung Salmonella sp. Oleh karena itu pengelolaan dan pemanfaatan pupuk kandang harus hati-hati. Adapun kandungan hara yang terdapat didalam beberapa pupuk kandang dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel. Kandungan hara yang terdapat di dalam beberapa pupuk kandang Sumber pupuk kandang Persentase (%) N P K Ca Mg S Fe Sapi perah 0,53 0,35 0,41 0,28 0,11 0,05 0,004 Sapi daging 0,65 0,15 0,30 0,12 0,10 0,09 0,004 Kuda 0,70 0,10 0,58 0,79 0,14 0,07 0,010 Unggas 1,50 0,77 0,89 0,30 0,88 0,00 0,100 Domba 1,28 0,19 0,93 0,59 0,19 0,09 0,020 Sumber: Tan (1992)

Hasil penelitian pembuatan kompos dari kotoran hewan di Jepang menunjukkan bahwa 10-25% dari N dalam bahan asal kompos akan hilang sebagai gas NH3 selama proses pengomposan. Selain itu dihasilkan pula

5% CH4 dan sekitar 30% N2O yang berpotensi untuk mencemari lingkungan sekitarnya. Sebaliknya akan terjadi penyusutan volume bahan dan mempunyai rasio C/N yang lebih rendah dan suhu 60-65oC saat proses pengomposan berakhir.

3. Masukan biomassa

Peningkatan bahan organik tanah dengan pemasukan biomassa baik berupa serasah, sisa panen, pangkasan tanaman berupa hijauan merupakan sumber dari bahan organik dalam tanah, misalnya dengan mempertahankan tanaman penutup dan pergiliran/rotasi tanaman.

• Pengembalian sisa panen

Jumlah sisa panenan tanaman pangan yang dapat dikembalikan ke dalam tanah berkisar 2 – 5 ton per ha, sehingga tidak dapat memenuhi jumlah kebutuhan bahan organik minimum. Oleh karena itu, masukan bahan organik dari sumber lain tetap diperlukan.

4. Vermikompos

Vermikompos disebut juga kompos cacing, vermicast atau pupuk kotoran cacing, yang merupakan hasil akhir dari hasil penguraian bahan organik oleh jenis-jenis cacing tertentu. Vermikompos merupakan bahan yang kaya hara, dapat digunakan sebagai pupuk alami atau soil conditioner (pembenah tanah). Proses pembuatan vermikompos disebut vermikomposting.

Cacing yang digunakan dalam proses pembuatan vermikompos diantaranya brandling-worms (Eisenia foetida), dan redworms (cacing merah) (Lumbricus rubellus). Cacing-cacing ini jarang ditemukan di dalam tanah, dan dapat menyesuaikan dengan kondisi tertentu di dalam pergiliran tanaman. Di luar negeri ”bibit” cacing-cacing telah diperjualbelikan di toko-toko pertanian. Vermikomposting dalam skala kecil dapat mendaur ulang sampah dapur menjadi vermikompos yang berkualitas dengan menggunakan ruang terbatas. Kandungan hara vermikompos yang dihasilkan disajikan pada Tabel.

Parameter sifat kimia Nilai pH 6,5 – 7,5 C-organik % 20,43 – 30,31 Nitrogen % 1,80 – 2,05 Fosfor % 1,32 – 1,93 Kalium % 1,28 – 1,50 Rasio C/N 14 – 15 : 1 Kalsium % 3,0 – 4,5 Magnesium % 0,4 – 0,7 Natrium % 0,02 – 0,30 Sulfur % Traces to 0,04 Fe (ppm) 0,3 – 0,7 Seng (ppm) 0,028 – 0,036 Mangan (ppm) Traces to 0,40 Tembaga (ppm) 0,0027 – 0,0123 Boron (ppm) 0,0034 – 0,0075 Aluminium (ppm) Traces to 0,071 Kobalt, Molibdenum(ppm) - 5. Agroforestri

Penanaman berbagai jenis pohon dengan atau tanpa tanaman semusim (setahun) pada sebidang lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan petani (termasuk peladang) di Indonesia. Contoh semacam ini dapat dilihat pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek seperti ini semakin meluas belakangan ini khususnya di daerah pinggiran hutan karena ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian menimbulkan banyak masalah, misalnya penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan. Secara global, masalah ini semakin berat sejalan dengan meningkatnya luas hutan yang dikonversi menjadi lahan usaha lain. Peristiwa ini dipicu oleh upaya pemenuhan kebutuhan terutama pangan baik secara global yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk.

Di tengah perkembangan itu lahirlah agroforestri, suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian dan kehutanan yang mencoba menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Ilmu ini mencoba mengenali dan mengembangkan sistem-sistem agroforestri yang telah dipraktekkan oleh petani sejak berabad-abad yang lalu.

Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan (usahatani) yang mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis maupun lingkungan. Pada sistem ini, terciptalah keanekaragaman tanaman dalam suatu luasan lahan sehingga akan mengurangirisiko kegagalan dan melindungi tanah dari erosi serta mengurangi kebutuhan pupuk atau zat hara dari luar kebun karena adanya daur ulang sisa tanaman. Berikut ini diterangkan contoh beberapa sistem agroforestri.

Dalam dokumen PENGELOLAAN BAHAN ORGANIK. Dr. Ir. Wawan, MP (Halaman 100-107)

Dokumen terkait