• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik Perceraian Romaw

Dalam dokumen T2 752012023 BAB III (Halaman 43-56)

3.5 Yahudi dan Kristen dalam Dominasi Romaw

3.6.2 Praktik Perceraian Romaw

Hukum negara Romawi pada prinsipnya melihat pernikahan sebagai monogami. Pendekatan itu tentu saja didukung hukum negara yang meletakkan inti pernikahan dalam persetujuan bebas dari kedua belah pihak. Bila suami hendak berpoligami, istri dapat menceraikannya dengan menarik kembali persetujuan.104 Perubahan terbesar terjadi pada zaman Kaisar Agustus, seorang suami ketika menceraikan istrinya akan berhadapan dengan membayar biaya, kehilangan mahar, sepertiga dari propertinya diberikan kepada istrinya sesuai dengan pilihan istri. Namun walaupun hukum pernikahan yang berkaitan dengan perceraian pada zaman itu nampaknya berpihak pada istri tetapi istri tetap merasakan dampak dari perceraian karena diasingkan. Hukum ini tidak dapat diketahui secara pasti jika diberlakukan atau tidak tetapi tidak ada perubahan dari setiap pandangan ketika seseorang bercerai tetap mencemari pernikahan.105

103

Perry, Peradaban Barat: Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan 142-143. 104

Groenen OFM, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, 86.

105

Divorce in Ancient Roman, dalam http://www.womenintheancientworld.com/divorceinancientrome.htm diakses pada 29 Januari 2014, pkl.20.35 WIB.

96

Perceraian pada zaman Romawi kuno harus melewati prosedur yang rumit, bahkan kecil kemungkinannya untuk bercerai.106 Pada zaman akhir pemerintahan Konstantin tahun 331, mengeluarkan denda perceraian sepihak terkecuali untuk kasus tertentu. Jika perempuan menceraikan suaminya tanpa ada pembuktian bahwa suaminya adalah pembunuh maka ia akan kehilangan semua maharnya dan akan diasingkan ke sebuah pulau, hal yang sama jika seorang suami menceraikan istrinya tanpa membuktikan istrinya bersalah karena membunuh, meracuni maka suami akan memberikan mahar kepada istrinya. Tapi jika suami menikah kembali maka mantan istrinya diizinkan untuk datang dan mengambil mahar yang harusnya menjadi milik istri barunya. Walaupun catatan konstantin cukup keras terhadap perceraian tetap tidak dapat mencegah perceraian. Hukum baru ini tidak berdampak pada perceraian yang disetujui kedua belah pihak.107

Isu perceraian di akhir periode Republik dan awal periode Kekaisaran membuat perceraian relatif mudah untuk dilakukan. Suami ataupun istri diberikan kebebasan untuk memulai perceraian. Secara hukum, perceraian dapat dilakukan hanya dengan memberikan informasi kepada pasangan tentang niat untuk bercerai. Saat istri diusir karena perzinahan maka ia akan kembali kerumah keluarganya serta membawa warisan ayahnya, juga sebagian mahar sesuai kontrak dan berada dibawah dikendali pater familias, sementara anak tetap bersama keluarga ayah.108 Jika suami mengusir istri sekehendak hati atau istri yang memutuskan untuk meninggalkan suami, maka istri tidak mendapatkan bagian warisan yang diberikan ayahnya kepada suami sebelum menikah melainkan ia harus mengembalikan pemberian mahar tersebut. Berdasar pengetahuan para ahli, perceraian sering terjadi tanpa sanksi agama ataupun stigma

106

Groenen OFM, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, 87

107

Divorce in Ancient Roma, dalam http://www.womenintheancientworld.com/divorceinancientrome.htm diakses pada 29 Januari 2014, pkl.20.35 WIB.

108

97

moral.109 Perceraian lebih sering terjadi pada kalangan atas. Pada perceraian kelas atas, istri yang diceraikan akan mendapatkan mahar dan memiliki kebebasan sama seperti sebelum menikah. Perihal mendapatkan mahar dan kebebasan dapat dimiliki seorang istri jika kembali kepada keluarganya dan berada pada kendali pater familia.110

3.6.3 Praktik Pernikahan Yahudi

Mengingat konteks penulisan Injil Matius ditujukan bagi orang Yahudi Kristen maka penulis akan memaparkan secara singkat pernikahan dan perceraian menurut konteks Yahudi. Sepanjang sejarah Israel kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang. Gambaran perempuan dalam masyarakat Yahudi adalah lemah, pasif dan berada dibawah kuasa orang lain oleh sebab itu kedudukannya lebih rendah dari pada laki-laki dan pada umumnya perempuan hanya dipandang sebagai objek. Dalam pernikahan Yahudi otoritas suami sangat dominan terhadap istri, sementara sebelum seorang perempuan menikah ia juga berada dibawah otoritas orang tua laki-laki.111 Suami sangat mendominasi hampir di setiap aspek kehidupan rumah tangga seperti ekonomi, seksual, bahkan dapat memprakarsai perceraian. Perihal anak dalam rumah tangga Yahudi lebih mengistimewakan kelahiran anak laki-laki. Anak perempuan dapat menjadi ahli waris jika dalam rumah tangga Yahudi tidak memiliki anak laki-laki, sebaliknya jika terdapat anak laki-laki maka yang berhak menjadi ahli waris adalah anak laki- laki. Anak perempuan yang telah menjadi ahli waris diwajibkan untuk menikahi laki-laki yang berasal dari suku ayahnya, hal ini dilakukan untuk mencegah warisan yang dimiliki jatuh ke

109

Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 27.

110

Wedding, Marriage & Divorce dalam http://www.pbs.org/empires/romans/empire/weddings.html diakses pada 29 Januari 2014, pkl. 19.00 WIB.

111

Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” dalam Robert Setio dan Daniel K. Listijabudi (ed.), Perceraian di Persimpangan Jalan: Menelisik Perjanjian Lama dan Tradisi Abrahamik (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 26.

98

tangan suku lain. Suami adalah kepala keluarga sementara istri memiliki kewajiban untuk taat dan tunduk pada kehendak suami sama seperti taat kepada Tuhan. Dalam hal kesetiaan tuntutan dominan lebih kepada para istri daripada suami, orang Yahudi mendasari perihal tersebut dari Kejadian 3:16.112 Pandangan bahwa istri adalah objek atau harta milik dapat terlihat dalam Keluaran 20: 17. Pandangan ini semakin diperteguh dengan pemberlakuan mohar dalam tradisi pernikahan Yahudi. Mohar selain bertujuan memiliki tujuan ekonomis yaitu pembayaran kepada keluarga perempuan, dapat juga bertujuan sebagai jaminan keberlanjutan hidup seorang istri pada masa suksesi dan jika diperhadapkan dengan peristiwa kematian suami.113

Struktur pernikahan ideal bagi masyarakat Yahudi adalah monogami, pernikahan monogami bermuatan metaforik yang mengarah pada relasi antara Tuhan dan orang Yahudi (Kej 2:24; Yes 50:1; 54;6-7; Yer 2:2; Amsal 12:4).114 Jika ada kasus-kasus tertentu sehingga seorang suami hendak menikah dengan perempuan lain, maka seorang suami harus menceraikan istri pertama sesuai dengan ketentuan yang berlaku.115 Kehidupan keluarga Yahudi terpusat pada kesucian pernikahan oleh sebab itu jika terjadi perzinahan dalam pernikahan maka akan berhadapan dengan hukuman keras sesuai dengan aturan Yahudi.116 Penekanan pada kesuciaan pernikahan berdasar pada pernikahan dipandang sebagai relasi yang terjadi antara Allah dan umat-Nya.117 Pernikahan menjadi wadah bagi orang yang menikah secara bertanggungjawab

112

Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 33-37.

113

Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” 28-29.

114

Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” 23-24.

115

Christian de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 243.

116

Karen Armstrong, Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk (Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, 2007), 531.

117

Jon D. Levenson, Sinai and Zion: An Entry into the Jewosh Bible (San Fransisco: Harper & Row, 1987), 75-76.

99

memperhatikan tumbuh kembang anak dengan menanamkan nilai takut kepada Allah sehingga kehidupan umat Yahudi lestari, sejahtera dan di dalamnya Allah dipermuliakan.118

Namun fenomena poligami seringkali mengisi kehidupan orang Yahudi, beberapa leluhur Yahudi dalam Perjanjian lama seperti Abraham, Yakub, raja Salomo memiliki istri lebih dari satu. Hal ini dapat dipahami karena sebelum pemberlakukan Taurat yang mengatur kehidupan orang Yahudi pada zaman Musa, para leluhur Yahudi hidup dalam aturan adat istiadat dan hukum sesuai dengan masyarakat asli mereka. Dalam aturan adat dan hukum yang berkaitan dengan praktik pernikahan, fenomena poligami dalam praktik pernikahan para leluhur Yahudi dipandang sebagai hal yang wajar.119 Perihal poligami secara khusus dominan dipraktikkan di kalangan para bangsawan.120 Poligami yang terkadang diberlakukan dalam masyarakat Yahudi berkaitan erat dengan konteks budaya Yahudi yang melihat pernikahan sebagai suatu kewajiban untuk prokreasi (Kej. 1:28; Mal. 2:15). Fokus utama tradisi Yahudi dalam prokreasi terorientasi pada signifikansi keturunan dari seorang suami sebagai kepala keluarga dan ahli waris.121

Seorang laki-laki dimungkinkan memiliki istri lebih dari satu jika istri pertama mandul. Namun, suami tidak diizinkan memiliki istri lebih dari satu jika istri pertama memberikan budak sebagai gundik untuk memperoleh keturunan. Tradisi pemberian budak sebagai gundik ditemukan pada abad XV SZB didalam kajian masyarakat di daerah Kirkuk. Dalam Talmud terdapat pembatasan jumlah istri, kalangan bangsawan dapat memiliki 18 istri sementara kalangan masyarakat biasa hanya dapat memiliki 4 istri. Namun pada umumnya realita poligami

118

Bernard Cooke, Perkawinan Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 43

119

Monike Hukubun, “Abraham Menceraikan Hagar: memahami Kejadian 21:8-21 dari Perspektif Korban

Kekerasan,” dalam Robert Setio dan Daniel K. Listijabudi (ed.), Perceraian di Persimpangan Jalan: Menelisik Perjanjian Lama dan Tradisi Abrahamik, 52-53.

120

Philip J. King dan Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 61.

121

100

hanya terjadi di kalangan bangsawan.122 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fenomena poligami mengijinkan suami memiliki istri lebih dari satu merupakan upaya untuk memperoleh keturunan sebanyak mungkin.

Pernikahan Yahudi pada umumnya terjadi pada lingkup kekerabatan, namun terdapat larangan untuk pernikahan dalam lingkup keluarga terdekat yaitu pernikahan antar saudara kandung, pernikahan antar orang tua-anak, atau pernikahan antar kakek-cucu, seperti yang ada dalam Imamat 18, Imamat 20 dan Ulangan 27.123 Selain pernikahan dalam lingkup kekerabatan, terdapat pula pernikahan dalam lingkup keluarga yang berbeda dan pernikahan campur dengan perempuan asing, seperti pernikahan Esau dengan perempuan Het, Musa memperistri seorang perempuan Midian, Daud memperistri seorang perempuan Aram, Salomo memiliki banyak istri yang berasal dari Mesir, Moab, Sidon, Amon dan Het. Namun terdapat ketentuan yang melarang terjadinya pernikahan campur, larangan ini berkaitan dengan terancamnya kemurnian keturunan Yahudi dan dianggap membahayakan keberimanan orang Yahudi. Walaupun demikian pernikahan campur tetap terjadi khususnya bagi orang Yahudi yang kembali dari pembuangan. Selain itu dalam lingkup kerajaan pernikahan campur seringkali terjadi, hal ini berkaitan erat dengan tujuan yang bermuatan politis.124

Salah satu tradisi pernikahan Yahudi yang signifikan adalah pernikahan ipar atau levirat, dalam Talmud ditemukan bahwa perkawinan ipar masih terjadi pada abad I ZB.125

122

Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” 25.

123

Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” 26.

124

Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” 32.

125

Pernikahan levirate berasal dari bahasa latin yaitu levir yang memiliki arti „saudara sekandung dari

suami/ipar‟: yabam/Ibrani.Pernikahan ipar merupakan pernikahan yang terjadi antara saudara suami dengan istri dari suami yang telah meninggal untuk memperoleh anak secara khusus anak laki-laki. Listijabudi, “Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” dalam Robert Setio dan Daniel K. Listijabudi (ed.), Perceraian di Persimpangan Jalan: Menelisik Perjanjian Lama dan Tradisi Abrahamik, 37. Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 35.

101

Contoh dalam Perjanjian Lama dari pernikahan levirate, terdapat di Kej 38 dan Rut 4 yakni kisah Tamar dan Ruth. Tradisi Yahudi menganggap bahwa pernikahan levirat memiliki nilai sosial- familial sebagai pemeliharaan nama dari saudara yang telah wafat, dengan demikian dapat dikatakan tujuan dari pernikahan levirat adalah keberlanjutan garis keturunan dari pihak laki-laki yang juga terkait dengan alur warisan yang tetap berada dalam lingkup keluarga laki-laki.126

Dasar hukum dari pernikahan Yahudi kuno adalah pemberlakukan kontrak pernikahan berdasarkan persetujuan dan perjanjian antara laki-laki dan perempuan. Perjanjian itu berbentuk surat kawin tertulis atau ketubbah yang didalamnya menguraikan berbagai tanggungjawab dari pihak laki-laki terhadap istri termasuk jaminan finansial yang akan diberikan kepada istri ketika suami meninggal atau terjadi perceraian yang dilakukan oleh suami.127 Ketubbah juga merupakan mas kawin yang diberikan oleh seorang ayah kepada putrinya yang akan menikah.128

Dalam tradisi Yahudi penyelenggaraan pernikahan adalah tindakan hukum, oleh sebab itu penyelenggaraan pernikahan tidak diselenggarakan oleh pemimpin agama. Dalam tradisi Yahudi, ritual pernikahan diberlakukan secara umum bagi setiap orang Yahudi. Pernikahan dalam sinagoge hanya diperuntukkan bagi dua mempelai Yahudi, dan pernikahan tidak dapat dilakukan pada hari Sabbat atau hari raya Yahudi. Ritual pernikahan dilaksanakan di bawah chuppah dan diikuti dengan penandatangan surat nikah atau ketubbah yang merupakan bagian paling awal dalam ritual pernikahan. Kemudian kedua mempelai meminum anggur bersama

126

Listijabudi,“Perkawinan dalam Kehidupan Israel Alkitab,” 39.

127

Michael.J. Broyde, Marriage, Divorce, and the Abandoned Wife in Jewish Law: A Conceptual Understanding Of The Agunah Problem in America (Hoboken: Ktav Publising House, 2001), 1-2.

128

102

sebagai lambang dari kehidupan bersama yang telah dimulai, setelah itu gelas dipecahkan oleh mempelai laki-laki di bawah kakinya.129

3.6.4 Praktik Perceraian Yahudi

Perceraian dalam masyarakat Yahudi pada umumnya tidak diperbolehkan, terkecuali terjadi kesalahan fatal yang dilakukan istri seperti perselingkuhan. Dalam Ulangan 24:1-4 terdapat aturan yang berkaitan dengan perceraian yaitu, keputusan untuk bercerai hanya dapat di lakukan dari pihak laki-laki. Seorang suami yang mendapatkan istri melakukan kesalahan fatal dapat menceraikan istrinya tanpa harus memberikan kompensasi kepada istri yang diceraikan. Situasi akan sedikit berbeda jika suami menceraikan istrinya hanya karena perasaan benci, maka istri berhak mendapatkan surat cerai dan kompensasi dari suami berupa mas kawin, mahar, hadiah-hadiah hasil pemberian suami saat menikah ataupun sebelum menikah, bahkan mahar yang diberikan oleh orang tua perempuan kepada pihak laki-laki harus dikembalikan kepada istri yang diceraikan.130 Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya mendapat julukan gerusyah yang berarti perempuan yang terusir.131

Pada abad kelima SZB terdapat papiri Elefantine yang menunjukkan bahwa istri memiliki hak untuk terlebih dahulu memprakarsai perceraian. Kemudian pada abad pertama ZB terdapat juga kasus perceraian yang diprakarsai oleh istri yaitu perkara Herodias yang menceraikan suaminya. Sementara itu pada abad kedua ZB di Palestina ditemukan papirus yang diduga menghadirkan bukti perceraian dapat diprakarsai oleh seorang istri Yahudi sesuai dengan

129 Chuppah

adalah tirai penikahan sebagai simbolisasi kebersamaan dalam membangun rumah tangga. Michael Keene, Agama-Agama Dunia (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 56.

130Ira Desiawanti Mangililo,”Kawin Campur, Gender, dan Perempuan Asing di dalam Ezra: Suatu Analisi Poskolonial Feminis terhadap Perceraian Perempuan Asing di dalam Ezra 9-10,” dalam Robert Setio dan Daniel K. Listijabudi (ed.), Perceraian di Persimpangan Jalan: Menelisik Perjanjian Lama dan Tradisi Abrahamik, 116-117.

131

Agus Santoso,”Perceraian dalam Tradisi Tawarikh dan Tandingannya,” dalam Robert Setio dan Daniel K.

103

ketentuan-ketentuan dalam komunitas Yahudi. Papirus Se‟elim merupakan bukti adanya surat cerai yang diprakarsai oleh seorang perempuan bernama Syelamzion. Menurut D. Instone Brewer terdapat juga bukti perceraian yang dilakukan oleh istri dalam teks-teks Misyna yang meminta pengadilan Yahudi untuk mendesak suami memberi surat cerai karena suami tidak bertanggung jawab memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan Keluaran 21:10-11. Keluaran 21:10-11 menunjukkan contoh konkrit perceraian diprakarsai seorang istri atas dasar suami melepaskan tanggung jawab dalam memberikan istri kebutuhan makanan, pakaian ataupun kebutuhan seksual.132

Menurut Schafer bukti-bukti perceraian yang diprakarsai oleh istri tidak diakui oleh umat Yahudi pada zaman Yesus diabad pertama ZB. Walaupun demikian tetap ditemukan praktik perceraian yang diprakarsai perempuan kelas atas sesuai dengan hukum Romawi, perihal ini memberikan pengaruh signifikan di lingkungan umat Yahudi sehingga umat yahudi memberikan hak kepada para istri untuk memprakarsai perceraian. Namun kemudian situasi ini kembali berubah karena hak istri untuk mengawali perceraian telah dilupakan. Peringatan terhadap para istri yang akan menceraikan suaminya terdapat dalam kisah Hakim-Hakim 19. Seorang istri yang menceraikan suami akan mendapatkan perlakuan yang semena-mena oleh sebab itu disarankan mereka tetap tinggal bersama suami. Seorang istri yang berpisah dari suaminya dan memiliki anak dari laki-laki lain dalam Sirakh 23:22-26 menerima hukuman dipermalukan di hadapan masyarakat umum. Masih terdapat hukuman yang lebih berat yaitu hukuman mati sesuai hukum Taurat bagi perempuan yang bercerai dari suami dan memiliki anak dari laki-laki lain.133

Ada beberapa aliran Yahudi yang memiliki pandangan tentang perceraian. Mazhab Syammai yang memiliki pandangan bahwa seorang suami dapat menceraikan istri yang tidak

132

Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 40-41.

133

104

setia. Menurut Mazhab Hillel seorang suami dapat bebas menceraikan istri, sekalipun alasan yang dimiliki oleh suami sangat sederhana, seperti jika istri tidak dapat memasak. Dengan demikian pernikahan akan dianggap sebagai perihal kecil yang dapat diakhiri hanya berdasar pada kehendak suami. Mazhab Hillel pada umumnya lebih sering digunakan pada abad pertama ZB, seorang Rabi Akiba memberikan kebebasan pada seorang suami yang menceraikan istrinya walaupun hanya dengan alasan yang sederhana yaitu jatuh cinta lagi dengan seorang perempuan yang lebih cantik dari istrinya. Dampak dari pandangan yang dianut oleh Mazhab Hillel tentang pernikahan adalah sangat mudah mengakhiri pernikahan berdasar pada kehendak suami.134 Perceraian dapat terjadi hanya karena pandangan suami bahwa sang istri tidak dapat memberikan kenyamanan baginya.135

Dalam Perjanjian Lama terdapat teks-teks yang menunjukkan praktik perceraian (bnd. Im 21:7, 22:13; Yes 54:6; Yer 3:1), salah satu teks dalam Perjanjian Lama mengatur perceraian dengan sederhana yaitu dengan memberikan surat cerai kepada istri.136 Perceraian dalam tradisi Yahudi tidak melalui prosedur pengadilan melainkan pada kesepakatan dua pihak, seorang suami cukup hanya memberikan surat cerai kepada istrinya jika hendak bercerai. Surat cerai merupakan surat yang membebaskan perempuan dari dugaan zinah sehingga ia dapat menikah kembali. Isi dari surat cerai tidak ditemukan dalam pentateukh, kata-kata dalam surat cerai justru diduga berasal dari surat cerai yang dikeluarkan para rabi. Dugaan ini berdasar pada penelusuran terhadap surat cerai Yahudi pada abad kelima SZB dan akta nikah Babylon pada abad 14 SZB.137

134

Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 43-44. 135

Jeane Becher, Perempuan, Agama dan Seksualitas: Studi tentang Pengaruh Berbagai Ajaran Agama terhadap Perempuan (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 17-18.

136

Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 38-39. 137

David Instone Brower, Divorce and Remarriage in the Bible: The Social and Literary Context (Michigan: Wm. B. Eerdmans, 2002), 29.

105

Perceraian yang terjadi karena perzinahan memiliki konsekuensi hukum. Perzinahan dan percabulan dalam masyarakat Yahudi Alkitab merupakan tindakan yang dipandang sebagai dosa terhadap pernikahan dan dosa terhadap Allah, oleh sebab itu seseorang yang berzinah dipandang “tidak suci lagi.” Tindakan perzinahan dalam konteks masyarakat Yahudi adalah persetubuhan yang terjadi dengan istri atau suami orang lain. Namun, seorang suami tidak dapat dikatakan berzinah jika persetubuhan dilakukan dengan seorang perempuan yang belum menikah. Aturan ini kontradiktif jika diberlakukan terhadap istri, konsekuensi dari ketidaksetiaan seorang istri adalah hukuman mati dan dianggap telah melakukan dosa besar. Hukuman yang diterima dalam bentuk pelemparan atau perajaman dengan batu (Ul 22: 23; Ezr 16: 10), bahkan yang paling ekstrim adalah dibakar hidup-hidup (Kej 38:24).138 Hal ini menunjukkan bahwa hukum ataupun aturan Yahudi yang terkait dengan perceraian tidak memberikan perlindungan kepada istri jika berhadapan dengan keputusan cerai dari suami.

3.7 Kesimpulan

Imperialisme Romawi mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang berada dibawah kekuasaannya, termasuk konteks masyarakat saat penulisan Matius 19:1-12. Setiap aturan-aturan yang ditetapkan berkaitan dengan konteks politik, sosial, ekonomi, agama lebih menampakkan wajah yang menancapkan legalitas eksploitasi dalam dominasi kekuasaan.

Dalam konteks politik para kaisar, gubernur atau para bangsawan Romawi tidak segan- segan menggunakan kekerasan fisik dalam mempertahankan kekuasaan ataupun merebut wilayah jajahan. Kekejaman Romawi terlihat dalam kepemimpinan ketiga kaisar 69-96 ZB.

138

106

Bahkan penganiayaan yang dilakukan Domitianus terhadap orang-orang Kristen menunjukkan arogansi para pemimpin Romawi. Kesetiaan terhadap Romawi merupakan kewajiban bagi setiap wilayah yang berada dibawah kekuasaannya, sehingga aturan di setiap wilayah jajahan Romawi harus mengacu pada tradisi dan hukum Romawi. Walaupun dalam upaya menaklukkan daerah jajahan Romawi menggunakan taktik politik dengan tidak menciptakan negara bagian Romawi dan memberikan kewarganegaraan Romawi tetapi memiliki misi untuk membuat pemerintah lokal memiliki ketergantungan signifikan terhadap Romawi. Konteks sosial ekonomi menunjukkan perbedaan kelas dengan pembedaan perlakuan antara kelas bangsawan dan rakyat pada umumnya. Pembedaan ini berkaitan dengan persoalan perekonomian yang didominasi oleh para elit. Kehidupan para elit bergelimang dengan harta sementara masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan.

Hal yang sama juga terjadi dalam konteks sosial budaya. Konstruksi sosial yang menganut budaya patriakhal turut berperan dalam memainkan peran eksploitatif terhadap perempuan. Praktik pernikahan Yunani-Romawi dan Yahudi yang telah dipaparkan memberikan gambaran bahwa perempuan seringkali menjadi korban ketidakadilan atau pun diskriminatif dari budaya patriakhal yang sangat kental mendominasi budaya Yunani-Romawi atau pun Yahudi.

Pernikahan Yunani-Romawi dipandang sebagai lembaga yang terkait erat dengan

Dalam dokumen T2 752012023 BAB III (Halaman 43-56)

Dokumen terkait