• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik Pernikahan Yunani-Romaw

Dalam dokumen T2 752012023 BAB III (Halaman 37-43)

3.5 Yahudi dan Kristen dalam Dominasi Romaw

3.6.1 Praktik Pernikahan Yunani-Romaw

Bangunan nilai tentang keluarga telah muncul dari sejarah awal Yunani-Romawi. Sejarah awal itu berkaitan dengan nilai yang tertanam dalam adat leluhur. Mereka adalah para petani yang tinggal di tanah gersang dan sangat terikat dengan tanahnya. Nilai awal yang ditanamkan oleh para leluhur Roma yaitu kekuatan, kedisiplinan, kesetiaan, ketekunan, kesederhanaan serta keuletan. Nilai ini diyakini oleh orang Roma sebagai mosmaiorum (adat leluhur) yang kemudian menentukan pandangan orang Roma untuk memiliki kesetiaan kepada para dewa, negara dan keluarga.84 Tidak heran jika keluarga diyakini oleh para penulis politik Yunani-Romawi merupakan fondasi inti dari suatu bangunan negara, sehingga merupakan kewajiban dari konstitusi negara untuk mengelola kota-kota dengan terlebih dahulu menata satuan terkecil di dalamnya yaitu keluarga.85

Keluarga diyakini sebagai wadah tepat yang memberikan kontribusi besar terhadap pertahanan keamanan pemerintahan, karena dari wadah ini akan melahirkan anak-anak sebagai generasi penerus yang dapat melanjutkan kelangsungan imperialisme Romawi. Namun pengalaman-pengalaman kekerasan yang terjadi sebagai upaya memperluas imperialisme Romawi berdampak signifikan pada tingkat kematian bayi yang tinggi, mengantisipasi populasi yang menurun karena tingkat kematian bayi yang tinggi maka para perempuan mendapatkan tekanan untuk menikah pada usia sangat muda yaitu 14 tahun karena dianggap sudah berpotensi untuk melahirkan, selain itu anak yang dilahirkan paling sedikit berjumlah 5 orang dengan tujuan menjaga populasi untuk tetap stabil. Pada umumnya pernikahan pada usia 14 tahun berlaku bagi

84

Hadas, Roma Masa Kekaisaran, 12.

85

90

para perempuan kelas atas sementara bagi perempuan kelas bawah pernikahan dilaksanakan pada usia awal dua puluhan. Keutamaan tubuh perempuan dipandang sebagai alat reproduksi yang menghasilkan sumber daya manusia bagi imperialisme Romawi, bahkan di setiap kota mengeluarkan ketetapan agar perempuan melahirkan dan membesarkan anak. Tekanan yang dialami oleh perempuan tidak hanya berkisar pada tugas utama melahirkan tetapi juga harus melahirkan anak laki-laki yang sehat. Kondisi ini mendatangkan kekhawatiran bagi perempuan karena harus mempertahankan segi kuantitatif dan tujuan reproduksi yang berkualitas. Pada posisi ini perempuan mendapatkan tanggung jawab besar yang memiliki peran signifikan dalam meneruskan garis keturunan dan meningkatkan populasi masyarakat, namun posisi perempuan tetap berada pada posisi inferior.86 Tekanan yang dialami oleh perempuan perihal menghasilkan keturunan tidak dialami oleh para laki-laki, mereka terhindar dari beban yang ditujukan kepada perempuan, meskipun demikian jika ada laki-laki yang menolak untuk menikah dan gagal memberikan keturunan akan mendapatkan sanksi hukum dan sanksi sosial dari masyarakat.87

Pada masa 19-18 SZB Agustus memunculkan ketetapan undang-undang berdasar hukum negara berkaitan tentang perihal keluarga, yang bertujuan meningkatkan angka kelahiran dengan memotivasi masyarakat untuk membentuk keluarga melalui pernikahan dan mengupayakan agar dalam pernikahan itu tercipta keluarga yang solid dengan menerapkan nilai-nilai positif disetiap keluarga Romawi. Salah satu bentuk tindakan konkrit untuk memotivasi masyarakat membentuk keluarga dengan cara memberikan tunjangan khusus bagi suami-istri yang memiliki tiga orang anak atau lebih. Setiap pria yang usianya berkisar 25-60 dan perempuan berkisar 20-50 disarankan untuk menikah. Saran untuk menikah berlaku juga bagi para janda dan perempuan

86

Kelahiran anak laki-laki menjunjukkan generasi dari sang ayah merupakan janin yang kuat, aktif berada dalam rahim ibu sementara kelahiran anak perempuan menunjukkan hal yang sebaliknya tidak kuat dan tidak aktif sehingga tidak bertumbuh dengan baik. Brent Waters, The Family in Christian Social and Political Thought (New York: Oxford University, 2007), 1-2.

87

91

yang telah bercerai sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, sementara bagi para bujang yang tidak menikah sampai pada usia yang ditetapkan akan menerima ganjaran dalam bentuk pengalihan warisan kepada mereka yang memiliki anak.88 Pajak juga dikenakan bagi mereka yang tidak menikah sampai pada batas usia yang ditentukan.89

Konsep keluarga Yunani-Romawi disebut familia, yang terdiri dari beberapa generasi, kerabat dan yang berdomisili dalam satu atap. Familia merupakan inti dari kehidupan sosial, agama dan politik Romawi.90 Keluarga dalam pengertian sosial dan hukum adalah satuan dasar dari masyarakat Romawi, bagi mereka hubungan kekerabatan sangatlah penting.91 Pater familias atau kepala keluarga merupakan konsep yang dimunculkan untuk menghasilkan negara yang kuat. Kekuatan negara tidak terlepas dari fondasi keluarga yang kuat, oleh karena itu diberlakukan penataan dan peraturan pater familias.92 Kekuasaan mutlak keluarga ada dalam pater familias yang berada dalam perlindungan hukum Romawi. Seorang laki-laki memegang kuasa atas setiap aturan yang diberlakukan kepada semua orang dalam keluarga (istri, anak bahkan budak), salah satu kuasa itu dapat menentukan perihal menerima atau menolak, dan membunuh setiap keluarga bahkan anak yang dilahirkan oleh sang istri.93 Pembunuhan terhadap anak-anak yang baru dilahirkan pada umumnya disebabkan oleh keadaan anak yang dianggap dapat menjadi beban dalam keluarga seperti: cacat dan berjenis kelamin perempuan.94

Pernikahan yang legal menurut hukum Romawi adalah pernikahan yang terjadi pada dua orang berkewarganegaraan Romawi (atau suami berkewarganegaraan Romawi). Seorang budak,

88

Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity (Michigan: Wm.B.Eerdmans, 1993), 69.

89

Henry C.Sheldon, History of the Christian Church (New York: Hendrickson, 1988), 30. 90

Margareh A. Brucia & Gregory. N. Daugherty, To Be A Roman: Topics in Roman Culture (Illionis: Bolchazy-Carducci, 2007), 9

91

Hadas, Roma Masa Kekaisaran, 79.

92 Yusak.B Setyawan, “Tuhan Yesus Kristus” Sebagai Diskursus Politik: Suatu Perspektif Postkolonial

Terhadap Pernyataan Tuhan Yesus Kristus dalam Kitab Efesus. Jurnal WASKITA (Salatiga: MSA Fakultas teologi UKSW, 2012),7.

93

Brucia & Daugherty, To Be A Roman: Topics in Roman Culture, 9.

94

92

aktor/aktris serta anaknya, pelacur, perempuan yang pernah dihukum sebagai pezinah atau yang pernah meninggalkan suami tidak memiliki hak untuk mengadakan pernikahan yang dilindungi negara.95 Masyarakat Romawi melihat pernikahan sebagai lembaga bersifat ekonomis (mempermudah pengaturan pembagian harta warisan), politis (bagian dari masyarakat luas), dan yuridis (mempermudah penentuan legitimasi anak-anak yang lahir). Banyak orang mengikuti pandangan Aristoteles yang beberapa abad sebelumnya telah menuangkan gagasan tentang pernikahan. Pernikahan dilihatnya sebagai sel terkecil dari masyarakat yang bertugas untuk meneruskan generasi manusia. Gabungan dari beberapa keluarga akan membentuk kampung, dan beberapa kampung akan membentuk masyarakat sendiri yang disebutnya “polis”. Pernikahan terutama dilihat sebagai lembaga sosial yang dapat menjamin keturunan yang sehat dan mempermudah pengaturan urusan ekonomi dalam masyarakat.96

Terdapat tiga jenis pernikahan: pertama adalah confarreatio. Bentuk ini merupakan paling resmi yang digunakan oleh para bangsawan dengan mengikuti upacara keagamaan, pada pernikahan jenis ini perempuan beserta harta kekayaannya diserahkan pada suami. Bentuk kedua adalah coemptio, mempelai perempuan dijual kepada mempelai laki-laki. Bentuk ketiga adalah pernikahan yang terjadi dikalangan budak yaitu kesepakatan yang terjadi di antara laki-laki dan perempuan untuk hidup sebagai suami istri tanpa upacara keagamaan (usus), setelah satu tahun pernikahan mereka akan dianggap sah. Dua bentuk sebelumnya menekankan status istri hanya dilihat sebagai benda yang menjadi milik sah suami. Dalam bentuk ketiga ini seorang perempuan dapat mempertahankan hak atas kekayaannya.97 Seorang perempuan dapat mempertahankan hak atas kekayaannya karena dalam hukum pernikahan Romawi harta kekayaan tetap menjadi milik kedua pribadi yang menikah.

95

Schafer dan Ross, Bercerai: Boleh atau Tidak?: Tafsiran terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru, 27. 96

Al. Purwa Hadiwardoyo MSF, Perkawinan dalam Tradisi Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 27-28. 97

93

Dalam prosesi upacara pernikahan Yunani-Romawi yang memberikan penekanan pada aspek hukum, prosesi dimulai dari kediaman mempelai perempuan dengan prosesi obor menuju rumah mempelai laki-laki. Obor merupakan esensi dari pernikahan Yunani-Romawi yang lebih menekankan pada aspek seni dramatis. Kedua mempelai saling berpegangan tangan kemudian mengucapkan janji pernikahan dan menandatangani kontrak pernikahan dihadapan para saksi, setelah upacara dan jamuan pernikahan selesai maka mempelai perempuan diantar ketempat kediaman mempelai laki-laki. Pada prinsipnya jenis pernikahan Yunani-Romawi adalah monogami, namun dimungkinkan untuk melakukan hubungan seks di luar pernikahan seperti prostitusi dan perzinahan.98

Dasar tradisi pater familias menggambarkan struktur keluarga yang dianut adalah patriakhi, mengingat bahwa kekuasaan keluarga berada di tangan laki- laki dalam hal ini suami atau pun ayah.99 Bahkan bentuk pernikahan Yunani-Romawi kuno memberikan penekanan bagi seorang perempuan untuk tunduk secara total kepada suami sama seperti ketertundukan mereka sebelum menikah terhadap ayah sebagai kepala keluarga. Kekuatan laki-laki sangat mendominasi, bahkan terkesan menjadi dominasi destruktif karena dengan kekuatannya mereka diperbolehkan untuk memukul istri dan berhubungan seks dengan siapapun yang mereka inginkan. Kondisi dari struktur keluarga Yunani-Romawi yang patriakhi membawa ketidakpuasaan dari pihak perempuan maka pada abad III SZB kaum perempuan menyatakan protes dan mendukung “ free marriage”. Dalam sistem baru ini seorang perempuan tetap melekat pada keluarganya dan ia memiliki kebebasan untuk menceraikan suami. Pembaharuan ini menjadi prestasi bagi perempuan Romawi kuno, namun pembaharuan ini mendapat perlawanan.

98

Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 69. 99

94

Argumen perlawanan terhadap emansipasi perempuan berlanjut untuk menentang emasipasi perempuan yang terdapat dalam beberapa undang-undang dan mencerminkan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah secara moral.100 Kisah tentang perempuan dari rekonstruksi sejarah terangkat yang lebih terfokus pada kisah perempuan yang rentan terhadap penyalahgunaan alkohol , atau cenderung untuk berzinah, sia-sia, dirayu oleh kemewahan, dan ditandai dengan kelemahan karakter, menuju pada satu kesimpulan bahwa perempuan sebagai makhluk kognitif yang labil.101

Pandangan tentang perempuan sebagai makhluk yang labil berkaitan dengan pandangan seksualitas orang Yunani-Romawi. Seksualitas dipandang sebagai sesuatu yang terjadi secara alami dan dapat memberikan kepuasan, serta dipandang memiliki kuasa yang dapat mendatangkan bahaya karena sulit dikuasai. Kemampuan menguasai hanya dimiliki oleh laki- laki karena mereka dianggap lebih memiliki akal budi yang dapat mengendalikan emosi, sementara perempuan memiliki sifat lemah sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menguasai seksualitas pribadi. Oleh sebab itu kendali dalam kehidupan sosial berada pada laki- laki dan dalam keluarga berada pada kendali pater familias.102

Status perempuan mulai mendapatkan penghargaan menjelang periode kekaisaran. Perempuan pada periode Republik hidup dalam ketertundukan mutlak kepada ayah dan suaminya, namun pada periode kekaisaran perempuan dapat memiliki harta dan jika terjadi perceraian tetap mendapatkan hak terhadap mas kawinnya bahkan tidak ada lagi pemaksaan jodoh sesuai keinginan ayah perempuan. Perempuan mulai diberikan kepercayaan untuk

100

Negara campur tangan untuk memperbaiki situasi ini dengan memperkenalkan UU Oppian yang menempatkan pembatasan harta kekayaan perempuan. Melarang perempuan untuk memiliki lebih dari setengah ons emas. Hukum ini berlaku selama dua puluh tahun sebelum bertemu dengan perlawanan ekstrim. Deborah F. Sawyer,

Woman and Religion in the First Christian Centuries (London: Routledge, 1996), 22-23.

101

Sawyer, Woman and Religion in the First Christian Centuries, 26-31.

102

95

menjalankan bisnis, mendapatkan kebebasan untuk mengikuti keinginan hati pribadi bahkan bagi perempuan kelas atas di Roma memiliki kesempatan yang lebih besar untuk pendidikan dibandingkan dengan perempuan Yunani. Beberapa perempuan-perempuan Romawi yang memiliki pengaruh signifikan terhadap politik Romawi adalah Cornelia, ibu dari Tiberius dan Gaius Gracchus serta Livia, istri dari Augustus yang turut memberikan kontribusi pemikiran mengenai permasalahan kekaisaran. Dunia Yunani-Romawi mungkin telah menggapai prestasi besar perihal pembebasan perempuan, namun dalam wilayah hukum, pemerintah dan organisasi domestik tetap menggambarkan inti dari struktur patriakal.103

Dalam dokumen T2 752012023 BAB III (Halaman 37-43)

Dokumen terkait