• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prasasti Kedukan Bukit 3

Dalam dokumen SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME (Halaman 40-45)

IKHTISAR PRASASTI-PRASASTI DI SUMATRA

3.1 Prasasti Kedukan Bukit 3

3

3..11..11 DeDesskkrriippssii UUmmuumm PPrraassaassttii KKeedduukkaann BBuukkiitt

Prasasti Kedukan Bukit ini di temukan di Desa Kedukan, Kelurahan 35 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II Kota Palembang Provinsi Sumatra Selatan. Prasasti ditemukan oleh seorang kontrolir Belanda yang bernama Batenburg pada tanggal 29 November 1920. Saat ini prasasti disimpan di Museum Nasional dengan No Inventarisasi D-146. Prasasti berbahan dasar batu andesit dengan bentuk yang tidak beraturan dengan bagian panjang terpanjang dari prasasti 42 cm dan lebar terlebar 32 cm. Keadaan prasasti cukup baik sehingga tulisan yang terdapat pada prasasti dapat terbaca dengan baik.

Prasasti Kedukan bukit menggunakan bahasa Melayu Kuna dan bahasa Sanskerta yang ditulis dengan aksara Pallawa. Bahasa Melayu Kuna yang dipakai di dalam prasasti-praasti Kedukan Bukit dan prasasti-prasasti sezaman, merupakan bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh kosa kata Sanskerta.

Pada isi prasasti terdapat pertanggalan, yaitu mengenai perjalanan yang dilakukan oleh Dapunta Hyang pada tanggal 605 Śaka atau berarti 683 Masehi. Disebutkan juga nama-nama bulan seperti bulan Waiśākha, Jyestha dan Asadha.

Isi dari prasasti ini adalah mengenai perjalanan yang dilakukan oleh Dapunta Hyang yang diidentifikasikan sebagai raja dari Śrīwijaya pada masa tersebut. Perjalanan tersebut dilakukan Dapunta Hyang pada tanggal 11 bulan Waisaka 605 Śaka (April 683 M). Sebulan kemudian, tanggal 7 bulan Jyestha (Mei 683 M), Dapunta Hyang naik perahu untuk melakukan suatu perjalanan. Disebutkan suatu lokasi geografis yang bernama Minanga Tamwan sebagai tempat keberangkatan Dapunta Hyang. Belum dapat dipastikan secara geografis mengenai dimanakah letak tempat tersebut. Sedangkan tempat tujuan dari perjalanan Dapunta Hyang adalah Mukha Upang, yang juga belum dapat dipastikan lokasi secara geografis. Boechari mengidentifikasi kata “upaŋ” pada baris ke-7 dengan menyatakan bahwa nama tersebut masih terdapat pada peta-peta kuna dan masih ada sebagai sebuah nama desa kecil di sebelah timur laut Palembang di tepi sungai Upang (Boechari, 1979: 26). Pada bagian akhir prasasti terdapat keterangan mengenai kegembiraan rombongan besar ini, yang kemudian dengan penuh sukacita membangun sebuah wanua atau desa.

3

3..11..22 RiRiwwaayyaatt PPeenneelliittiiaann PPrraassaassttii KKeedduukkaann BBuukkiitt

Prasasti ini pertama kali dibahas oleh Ph. S Van Ronkel pada tahun 1924 dalam tulisannya yang berjudul “A Preliminary Note Concerning Two Old Inscriptions in Palembang”, dalam Acta Orientalia 2 halaman 12-21. Penelitian kemudian dilanjutkan oleh N.J Krom pada tahun 1926 yang menulisakannya dalam buku yang berjudul Hindoe-Javaansche Geschiedenis, Gravenhage. G.Coedès pada tahun 1930 menghasilkan tulisan dengan judul “Les inscriptions malaises de Çrivijaya” yang dimuat dalam dalam BEFEO 30 (1-2), hlm. 29-80. Pada tahun 1993, Boechari, membuat tulisan mengenai “Harijadi Kota Palembang Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit dalam “Śrīwijaya dalam perspektif arkeologi dan sejarah” (Boechari, 1993: 1-11).

Dalam masa awal penerjemahannya terdapat perdebatan antara para ahli epigrafi. Seperti misalnya penerjemahan yang dilakukan oleh Van Ronkel yang membaca kata sāmwau dan diartikan sebagai nama tempat. Namun Coedès membantahnya dengan mengutip pendapat yang diberikan oleh Poerbatjaraka

yang mengatakan bahwa kata sāmwau yang dibaca oleh van Ronkel merupakan kata-kata pinjaman dari bahasa Jawa kuna yang artinya adalah perahu. Kata-kata

sāmwau ini diperkirakan merupakan kata-kata pinjaman dari bahasa Kamboja dan

Siam yaitu sambau, sambhau (Coedès, 1930: 29-80, 47)

Berikut ini adalah keseluruhan isi prasasti Kedukan Bukit yang telah dialihbahasakan oleh Coedès ke dalam bahasa Inggris:

Coedès berpendapat bahwa prasasti ini dapat dipastikan bahwa isinya berkaitan dengan perihal adanya sebuah kerajaan di tanah Sumatra.

Gambar 1. Prasasti Kedukan Bukit (Foto: Prasasti-Prasasti Sumatra, 2007)

3

3..11..33 AlAliihh AAkkssaarraa:: PPrraassaassttii KKeedduukkaann BBuukkiitt

(1) swasti śrī śakawaŕşātīta 605 ekādaśī śu

(2) klapakşa wulan waiśākha dapunta hiyam nāyik di (3) sāmwau mańgalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa

(4) wulan jyeşţha dapunta hiyaŋ maŕlapas dari minānga (5) tāmwan mamāwa yam wala dualakşa dangan ko- (6) duaratus cāra di sāmwau dangan jālan sariwu (7) tlurātus sapulu dua wañakña dātam di mukha upang (8) sukhacitta di pañcamī śuklapakşa wulan

(9) laghu mudita dātam marwuat wanua… (10) śrīwijaya jaya siddhayātra subhikşa…

3

3..11..44 AlAliihh BBaahhaassaa PPrraassaassttii KKeedduukkaann BBuukkiitt

Prasasti Kedukan Bukit yang sudah di alih bahasakan oleh Coedès kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dalam Seri Terjemahan Arkeologi No.2. Walaupun demikian alih bahasa yang akan digunakan dalam tabel pemilahan kata pada bab IV adalah alih bahasa dengan menggunakan bahasa Inggris yang merupakan alih bahasa yang sudah dilakukan oleh Coedès sebagai perbandingan alih aksara. Alih bahasa Inggris tetap harus digunakan karena terjemahan bahasa Indonesia yang ada kurang sesuai dengan alih bahasa prasasti yang telah diberikan oleh Coedès.

Prosperity! Fortune! In Śaka 605, on the eleventh day of the light fortnight of the month of Waiśākha, His majesty set sail in search of magic power. On the seventh day of the light fortnight of the month of Jyeşţha, the king freed himself from .... He led an army of twenty thousand (men); his suite ... numbering two hundred travelling by boat, others following on foot, numbering one thousand three hundred and twelve arrived in the presence (of the king?), together, with a joyful heart. On the fifth day of the light fortnight of the month of ... light, joyful, came and made the country ... Śrīwijaya, endowed with magic powers, rich ...

(Coedès, 1930: 46).

Kemakmuran! Keberuntungan! Pada tahun Śaka 605, hari kesebelas paruh terang bulan Waiśākha, Sri Baginda naik kapal untuk mencari kesaktian. Hari ketujuh paruh terang, bulan Jyeşţha, raja membebaskan diri dari [……]. Ia memimpin bala tentara yang terdiri dari dua puluh ribu [orang]; pengikut […] sejumlah dua ratus orang menggunakan perahu, pengikut yang berjalan kaki

sejumlah seribu tiga ratus dua belas orang tiba di hadapan [Raja?], bersama-sama, dengan sukacitanya. Hari kelima paruh terang bulan […], ringan, gembira, datang dan membuat negeri […]Śrīwijaya, sakti, kaya […] (Seri Terjemahan Arkeologi No.2, 1989: 53).

Dalam dokumen SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME (Halaman 40-45)