Prinsip independensi dalam konteks pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia dapat dianalogikan dengan pemberian otonomi kepada perguruan tinggi di Indonesia yang saat ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menentukan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Pemberian otonomi kepada perguruan tinggi ditegaskan lagi di dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (2004:7) menjelaskan, bahwa pemberian otonomi kepada perguruan tinggi se- bagaimana diatur di dalam kedua undang-undang di atas bertujuan agar organisasi perguruan tinggi menjadi organisasi yang sehat dan mampu menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu, efisien, produktif, dan akuntabel terhadap stakeholder-nya. Otonomi yang diberikan kepada perguruan tinggi bukan hanya otonomi dalam bentuk kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, akan tetapi juga otonomi dalam mengelola sendiri institusinya seperti pengelolaan pegawai,
50
pengelolaan keuangan, kerjasama, pengelolaan aset, pengembangan usaha, dan sebagainya. Hal ini selaras dengan pendapat Ekundayo dan Adedokun (2009:62) yang mendefinisikan otonomi perguruan tinggi sebagai pemberian kebebasan kepada universitas untuk memerintah diri mereka sendiri, menunjuk pejabat kunci, menentukan kondisi pelayanan staf, mengontrol penerimaan mahasiswa dan kurikulum akademik, mengontrol keuangan, dan umumnya mengatur dirinya sendiri sebagai badan hukum independen tanpa campur tangan yang tidak semestinya dari pemerintah dan lembaga- lembaganya.
Konsep otonomi yang diberikan kepada perguruan tinggi sebagai- mana disebutkan di atas, menurut Varghese dan Martin (2013:18), me- nyiratkan adanya kebebasan dan otoritas perguruan tinggi untuk me- mainkan peran dan berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat dalam kerangka yang disediakan oleh otoritas publik. Oleh karena itu, otonomi perguruan tinggi perlu ditangani dalam konteks peran perguruan tinggi yang dirasakan dan disepakati dalam masyarakat. Otonomi kelembagaan dapat dibenarkan jika itu adalah kondisi yang diperlukan untuk memungkinkan perguruan tinggi memainkan peran mereka dalam pengajaran, penelitian, dan layanan lainnya yang diberikan kepada masyarakat. Otonomi perguruan tinggi dari sudut pandang ini dapat didefinisikan sebagai kebebasan lembaga untuk menjalankan urusannya sendiri tanpa kontrol langsung atau pengaruh dari pemerintah.
Centre Européen pour l’Enseignement Supérieur2) (1992:35) menjelaskan, bahwa otonomi merupakan karakteristik dari proses pengambilan keputusan. Setiap perguruan tinggi harus membuat keputusan sendiri mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan, penelitian dan pengajaran, pendidikan umum dan spesialisasi, berbagai tingkat profesionalisme dan formalisme, tradisi dan inovasi, keterbukaan dan
2) Centre Européen pour l’Enseignement Supérieur (CEPES) = European Centre for Higher
51 kurungan, ortodoksi dan sikap kritis. Diantara berbagai kendala yang mengatur parameter dari kapasitas pengambilan keputusan perguruan tinggi, masalah utama yang memerlukan solusi cerdas dan fleksibel adalah harmonisasi kebijakan perguruan tinggi dengan kebijakan umum otoritas publik dan pengelolaan sumber daya yang terbatas.
Terkait dengan proses pengambilan keputusan, Fumasoli, Gornitzka, dan Maassen (2014:6) menambahkan, bahwa otonomi bukan hanya berbicara soal kompetensi untuk mendelegasikan pengambilan keputusan sepanjang garis hirarki komando antara kementerian yang bertanggung jawab dan universitas sebagai bawahan. Otonomi juga tidak hanya soal mengganti kontrol negara atas kegiatan perguruan tinggi dengan dependensi pasar. Namun, otonomi merupakan sebuah titik awal yang lebih elementer, bahwa sifat otonomi berkaitan erat dengan peran perguruan tinggi dalam masyarakat. Perguruan tinggi menikmati status khusus karena tradisi, sejarah dan nilai-nilai yang diwakilinya dalam masyarakat. Status khusus perguruan tinggi harus dikaitkan dengan akuntabilitas, karena relevansi akuntabilitas telah berkembang sejajar dengan pentingnya otonomi institusi dalam interpretasi konsep organisasi sektor publik. Hubungan akuntabilitas tidak hanya mencakup sarana manajerial, tapi mencakup kontrak sosial yang mendefinisikan harapan bersama dan hubungan antara perguruan tinggi, pemerintah dan masyarakat.
Pemberian otonomi kepada perguruan tinggi sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, juga mengisyaratkan adanya kemandirian dalam penyelenggaraan perguruan tinggi. Kemandirian ini diperlukan untuk menjamin adanya inovasi dan kreativitas. Dengan otonomi, perguruan tinggi bebas untuk menunjuk dosen dan membuat keputusan tentang promosi. Perguruan tinggi juga bebas untuk memobilisasi dan mengalokasikan sumber daya tambahan untuk memenuhi kebutuhan institusi. Setiap perguruan tinggi memiliki52
peraturan sendiri yang menjelaskan fungsi berbagai organ dalam lembaga seperti Dewan Pengurus Yayasan, Rektorat, Senat, dan sebagainya. Dalam konsep corporate governance, kemandirian ini diwujudkan dalam prinsip independensi.
Kemandirian atau independensi merupakan komponen penting untuk menghindari pengaruh kepentingan dan bebas dari segala kendala yang akan mencegah diambilnya tindakan yang tepat. Ini adalah ke- mampuan untuk “berdiri terpisah” dari pengaruh yang tidak pantas agar dapat membuat keputusan yang benar dan tidak terkontaminasi pada suatu masalah. Dalam kerangka corporate governance maupun university governance, kemandirian penting dalam berbagai konteks. Perguruan tinggi harus memiliki kemandirian atau independensi dalam mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan yang menyangkut pengelolaan administrasi, keuangan, pendidikan, penelitian, pengabdian pada masyarakat, kerja sama, serta aktivitas lain yang berkaitan, tanpa intervensi pihak lain. Seluruh sivitas akademika di perguruan tinggi memiliki hak untuk menjalankan tugasnya tanpa diskriminasi dan tanpa rasa takut akan adanya gangguan, larangan, atau represi dari pihak manapun.
Namun demikian, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (2004:8) menegaskan, bahwa penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi bukan berarti perguruan tinggi dapat dengan bebas mengelola dan mengatur institusinya tanpa kendali. Pengelolaan perguruan tinggi yang otonom memerlukan tata kelola yang mendahulukan prinsip good governance, yaitu menjaga keseimbangan antara otonomi dengan akuntabilitas dan transparansi kepada seluruh sivitas akademika, pemegang kebijakan, serta masyarakat luas. Otonomi, ketika dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan akuntabilitas, dapat dipastikan akan menyebabkan keunggulan di bidang akademik, tata kelola dan manajemen keuangan dari lembaga.
53
2.4. Tri Hita Karana Sebagai Kearifan Lokal
Haba (2007) mendefinisikan kearifan lokal sebagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, yang dikenal, dipercaya dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mempertebal kohesi sosial. Definisi ini menegaskan bahwa kearifan lokal merupakan acuan masyarakat dalam berperilaku yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berkenaan dengan tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia. Kearifan lokal dalam ruang interaksi masyarakat tidak terlepas dari fungsi kearifan lokal sebagai pandangan hidup, kepercayaan, atau ideologi yang diungkapkan dalam bentuk kata-kata bijak, pepatah, atau adat istiadat. Konsep demikian sekaligus memberikan gambaran bahwa kearifan lokal selalu terkait dengan kehidupan manusia dan lingkungannya. Kearifan lokal muncul sebagai penjaga atau penyaring iklim global yang melanda kehidupan manusia. Kearifan adalah proses dan produk budaya manusia, yang dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup.
Kearifan lokal dapat dimaknai sebagai sebuah pemikiran tentang hidup yang dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, sikap, dan anjuran untuk kemuliaan manusia. Dengan demikian kearifan lokal dapat dijadikan sebagai media untuk membangun kehidupan harmonis dalam masyarakat. Implementasi kearifan lokal didasarkan kepada perkembangan budaya dan kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu agar nilai-nilai yang terkandung di dalam kearifan lokal mudah diterima oleh masyarakat. Implikasi nilai kearifan lokal telah menjadi acuan kehidupan bermasyarakat yang dikembangkan dari generasi ke generasi.
Kearifan lokal, menurut Geertz (1992), adalah bagian dari budaya. Kearifan lokal merupakan unsur budaya tradisional yang berakar dalam kehidupan manusia dan masyarakat yang terkait dengan sumber daya manusia, sumber budaya, ekonomi, keamanan dan hukum. Kearifan lokal
54
dapat dilihat sebagai tradisi yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, peternakan, membangun rumah, dll. Kebudayaan Bali sebagai hasil karya fisik etnik Bali merupakan wujud kreativitas akal dan budi yang terpola dan memuat sistem nilai dan norma moral sebagai bentuk etika yang saling berkaitan dan melekat pada lingkungan etnis Bali yang diyakini kebenaran- nya dan teruji dalam sejarah sehingga dianggap bernilai, berharga, penting, dan berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan masyarakat atau disebut juga dengan orientasi nilai budaya. Nilai- nilai moral sebagaimana disebutkan tadi dapat dipahami sebagai konsep kearifan lokal (local genius/local traditional wisdom).
Salah satu bentuk atau model kearifan lokal Bali adalah Tri Hita Karana yang mengusung harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan manusia dengan lingkungan. Konsep Tri Hita Karana ini sesuai dengan pendapat Afif (2009) yang mendefinisikan kearifan lokal sebagai seperangkat sistem nilai, norma dan tradisi yang dijadikan sebagai acuan bersama oleh suatu kelompok sosial dalam menjalin hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam. Berikut akan diuraikan tentang Tri Hita Karana.