• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Prinsip Prinsip University Governance Berlandaskan Tri Hita Karana di Universitas Mahasaraswati Denpasar - Bali T2 922009103 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Prinsip Prinsip University Governance Berlandaskan Tri Hita Karana di Universitas Mahasaraswati Denpasar - Bali T2 922009103 BAB II"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

TELAAH PUSTAKA

Pendidikan tinggi yang berkembang pesat akhir-akhir ini, me-nempatkan pendidikan tinggi sebagai sektor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun demikian dengan peningkatan jumlah mahasiswa yang sangat besar dan diikuti dengan munculnya lembaga-lembaga di lingkungan perguruan tinggi yang mempunyai kegiatan beragam menyebabkan struktur dalam sebuah perguruan tinggi menjadi se-makin kompleks. Hal ini membutuhkan sebuah manajemen yang profesional yang mampu memberikan solusi manakala muncul suatu masalah baru.

University governance adalah paradigma yang relatif baru, yang akan membantu memecahkan masalah manajemen dan kontrol ke-lembagaan pada pengelolaan perguruan tinggi. University governance mempunyai prinsip dasar sama dengan corporate governance, yaitu pembagian kekuasaan dan tanggung jawab. Namun demikian model tata kelola pada corporate governance tidak dapat disalin secara langsung ke dalam university governance. Diperlukan pemahaman dan adaptasi lebih mendalam. Mengingat korporasi maupun universitas merupakan organisasi pemangku kepentingan, maka sebagai dasar pijakan untuk dapat memahami corporate governance dan university governance akan digunakan teori stakeholder ciptaan R. Edward Freeman.

2.1. Governance

(2)

14

internasional. Didefinisikan dengan cara ini, governance umumnya mengacu pada pertanyaan tentang bentuk kekuasaan dan wewenang, pola hubungan hak dan kewajiban antara orang-orang dalam menghadapi masalah umum.

Definisi di atas menekankan adanya berbagai model governance. Sebagai contoh, Rhodes (2000) menjelaskan tujuh model governance: (1) corporate governance dan (2) good governance yang menekankan proses formal dari kedua perusahaan swasta dan pemerintah untuk audit, memastikan transparansi, dan keterbukaan informasi; (3) New Public Management yang mengacu pada peningkatan efisiensi birokrasi pemerintah dengan memperkenalkan metode manajemen sektor swasta; (4) ekonomi politik baru yang menekankan perubahan hubungan antara pemerintah, masyarakat sipil dan pasar; (5) saling ketergantungan internasional, (6) sistem socialcybernetic, dan (7) jaringan yang menyangkal adanya kekuatan monosentris. Sedangkan Newman (2001) dalam Lee (2003:6) mengklasifikasikan governance menjadi empat model berbeda, yaitu: (1) model hirarkis, yang ditandai dengan sentralisasi dan kontinuitas/ketertiban, dan menekankan otoritas resmi, kontrol, standarisasi dan akuntabilitas; (2) model tujuan rasional, yang ditandai dengan sentralisasi dan inovasi/perubahan, dan menekankan kekuatan manajerial, memaksimalkan output dan rasionalisasi ekonomi; (3) model sistem terbuka, yang ditandai dengan desentralisasi dan inovasi/perubahan, dan menekankan fleksibilitas dan ekspansi; dan (4) model governance itu sendiri, yang ditandai dengan desentralisasi dan kontinuitas/order, dan menekankan kekuatan masyarakat, devolusi dan partisipasi.

(3)

15 governance terdiri dari tradisi, institusi dan proses yang menentukan bagaimana kekuasaan dilaksanakan, bagaimana warga negara diberikan suara, dan bagaimana keputusan dibuat terkait isu-isu yang menjadi perhatian publik.

Singkatnya, definisi yang lebih luas dari governance, menurut Lee (2003) mengacu pada cara mendefinisikan hak dan tanggung jawab anggota yang sedang menghadapi masalah umum tertentu dan ingin mengatasinya bersama-sama. Misalnya, New Public Management mengacu pada cara untuk menyelesaikan masalah manajemen internal pemerintah dengan men-definisikan kewenangan dan tanggung jawab dari birokrat publik serta warga. Kemudian, corporate governance dalam daftar Rhodes, dapat dipahami sebagai cara memaksimalkan efisiensi manajemen dengan mendefinisikan kewenangan dan tanggung jawab pemegang saham, manajer, dan pekerja.

2.2. Corporate Governance

2.2.1. Pengertian Corporate Governance

Terkait dengan pengertian corporate governance, Sir Adrian Cadbury melalui Global Corporate Governance Forum-World Bank (2000) mengungkapkan:

"Corporate Governance is concerned with holding the balance between economic and social goals and between individual and communal goals. The corporate governance framework is there to encourage the efficient use of resources and equal to require accountability for the stewardship of those resources. The aim is to align as nearly as possible the interests of individuals, corporations and society”

(4)

16

Turnbull juga berpendapat bahwa penunjukan “controllers” dan “regulators” merupakan substansi penting dalam membangun good corporate governance, sebagaimana diungkapkan oleh Turnbull (2000):

“Corporate governance describes all the influences affecting the institutional processes including those for appointing the controllers and/or regulators, involved in organizing the production and sale of goods and services”

Berbeda dengan Cadbury dan Turnbull, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD, 2004) mendefinisikan Corporate Governance sebagai berikut:

“Corporate Governance is the system by which business corporations are directed and controlled. The Corporate Governance structure specifies the distribution of the right and responsibilities among different participants in the corporation, such as the board, managers, shareholders, and other stakeholders, and spells out the rules and procedures for making decisions on corporate affairs. By doing this, it also provides this structure through which the company objectives are set, and the means of attaining those objectives and monitoring performanceare attained”

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa OECD melihat corporate governance sebagai suatu sistem dimana sebuah perusahaan atau entitas bisnis diarahkan dan diawasi. Sejalan dengan itu, maka struktur dari corporate governance menjelaskan distribusi hak-hak dan tanggungjawab dari masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah bisnis, antara lain dewan komisaris dan direksi, manajer, pemegang saham, serta pihak-pihak lain yang terkait sebagai stakeholders. Selanjutnya, struktur dari corporate governance juga menjelaskan aturan dan prosedur dalam pengambilan dan pemutusan kebijakan sehingga dengan melakukan itu semua maka tujuan perusahaan dan pemantauan kinerja perusahaan dapat dipertangungjawabkan dan dilakukan dengan baik.

(5)

17 internal dan eksternal lainnya, dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak.

Corporate governance, oleh Menteri BUMN Republik Indonesia (2011) diberi pengertiansebagai suatu proses dan struktur yang dijalankan berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika untuk me-ningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan dengan tuju-an mewujudktuju-an nilai pemegtuju-ang saham dalam jtuju-angka ptuju-anjtuju-ang dengtuju-an tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya.

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa corporate governance adalah suatu sistem yang dibangun untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan sehingga tercipta tata hubungan yang baik, adil dan transparan di antara berbagai pihak yang terkait dan memiliki kepentingan (stakeholder) dalam perusahaan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa corporate governance sebenarnya men-jelaskan kerangka aturan, hubungan, sistem dan proses di dalam dan dimana otoritas dilaksanakan dan dikendalikan dalam perusahaan. Ini meliputi mekanisme perusahaan, siapa yang memegang kendali dan siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban.

(6)

18

dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan organisasi (Freeman, 2013:364). Dengan demikian, dalam pengambilan keputusan manajerial, perusahaan harus mempertimbangkan berbagai kepentingan stakeholder.

Menurut Donaldson dan Preston (1995), setidaknya ada dua alasan mengapa perusahaan memperhatikan kepentingan stakeholder. Pertama, tuntutan stakeholder dianggap memiliki nilai intrinsik (pendekatan normatif), sehingga perusahaan memiliki tanggung jawab untuk memenuhi klaim yang sah dari stakeholder. Kedua, menyikapi kepentingan stakeholder yang dianggap memiliki pengaruh dapat meningkatkan profitabilitas perusahaan (pendekatan instrumental). Ditinjau dari pendekatan normatif, mempertimbangkan kelompok pemangku kepentingan perusahaan yang berbeda dapat dilihat sebagai tuntutan etis. Oleh karena itu perlu adanya representasi dari beragam pemangku kepentingan yang duduk di dewan perusahaan dengan tujuan untuk melegitimasi dan melindungi kepentingan stakeholder perusahaan, serta untuk memastikan bahwa keprihatinan stake-holder diperhatikan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Luoma dan Goodstein (1999) mengemukakan tiga dimensi struktur dan komposisi dewan yang mencerminkan sejauh mana kepentingan stakeholder telah diintegrasikan ke dalam pengambilan keputusan perusahaan, terkait dengan kehadiran stakeholder sebagai direktur, janji dewan dalam hal pemantauan atau pengawasan komite (audit, kompensasi, eksekutif atau pencalonan), dan keberadaan komite yang terdiri dari stakeholder yang didedikasikan untuk Corporate Social Responsibility.

(7)

19 perusahaan dan tidak dapat dilindungi oleh kontrak penuh, atau dievaluasi secara independen dari fungsi perusahaan. Untuk melindungi berbagai kepentingan stakeholder sebagaimana telah disebutkan di atas, corporate governance memiliki prinsip-prinsip yang harus ditaati oleh pelaku usaha.

2.2.2. Prinsip-Prinsip

Corporate Governance

(8)

20

Rezaee (2007), prinsip-prinsip corporate governance merupakan salah satu pilar utama dalam perkembangan corporate governance (CG).

OECD mengemukakan empat prinsip corporate governance yaitu: 1) perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham, 2) persamaan per-lakuan terhadap seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham asing dan minoritas, 3) dorongan kerjasama antara perusahaan dengan pemangku kepentingan agar tercipta kesejahteraan, lapangan kerja, dan kesinambungan usaha, dan 4) keterbukaan dan transparansi terkait keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan.

Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham terkait dengan penjaminan keamanan metoda pendaftaran kepemilikan, mengalihkan atau memindahkan saham yang dimiliki, memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara teratur dan berkala, berperan dalam memberikan suara dalam RUPS, memilih anggota dewan komisaris dan direksi, serta memperoleh pendistribusian keuntungan perusahaan. Sedangkan keterbuka-an dketerbuka-an trketerbuka-ansparketerbuka-ansi terkait dengketerbuka-an keuketerbuka-angketerbuka-an, kinerja perusahaketerbuka-an, kepe-milikan, dan pengelolaan perusahaan. Informasi yang disusun harus di-ungkapkan, diaudit, dan disajikan sesuai dengan standar. Akuntabilitas dewan komisaris yaitu CG menjamin adanya pedoman strategi perusahaan, pemantauan yang efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh dewan komisaris dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.

(9)

21 pelaksanaan hak pemegang saham. 3) Pemerataan perlakuan pemegang saham. Untuk itu kerangka corporate governance harus menjamin perlakuan yang sama dari semua pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Semua pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk memperoleh ganti rugi yang efektif untuk pelanggaran hak-hak mereka. 4) Peran stakeholder dalam corporate governance. Untuk mengatur peran stakeholder, kerangka corporate governance harus mengakui hak-hak stakeholder yang ditetapkan oleh hukum atau melalui kesepakatan bersama, dan mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan dan pemangku kepentingan dalam menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan keberlanjutan finansial perusahaan. 5) Pengungkapan dan transparansi. Kerangka corporate governance harus memastikan bahwa pengungkapan dibuat tepat waktu dan akurat terhadap semua hal mengenai perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan tata kelola perusahaan. 6) Tanggung jawab dewan. Kerangka corporate governance harus memastikan bahwa dewan melakukan pemantauan yang efektif terhadap manajemen. Selain itu, kerangka corporate governance juga harus memastikan akuntabilitas dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham.

(10)

22

dituntut untuk menyajikan secara terus terang informasi yang relevan bagi para pemangku kepentingan secara andal dan dalam bahasa yang mudah dipahami. Dari keempat prinsip dasar tersebut, ICGN berharap dapat mencapai empat tujuan utama, yaitu kemampuan menyediakan jaringan untuk bertukar pandangan dan informasi tentang topik-topik international tentang CG, mengevaluasi prinspip-prinsip dan praktek-praktek CG, mengembangkan dan mendorong kepatuhan perusahaan terhadap standard dan petunjuk CG, dan mempromosikan terciptanya Good Corporate Governance.

(11)

23 Sedangkan Menteri Negara BUMN melalui Pasal 3 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara menetapkan lima prinsip yang harus diterapkan didalam mengelola BUMN yaitu: 1) Transparansi. Ke-terbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan ke-terbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. 2) Kemandirian. Perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip prinsip korporasi yang sehat. 3) Akuntabilitas. Kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelola-an perusahapengelola-an terlakspengelola-ana secara efektif. 4) Pertpengelola-anggungjawabpengelola-an. Kesesuaipengelola-an di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat, dan 5) Keadilan (fairness). Keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak–hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(12)

24

terhadap perubahan-perubahan dunia usaha yang berpengaruh signifikan terhadap perusahaan. 4) Independency (independensi). Partisipan harus membebaskan diri dari kepentingan pihak-pihak lain yang berpotensi me-munculkan konflik kepentingan dan menjalankan fungsinya sesuai kompen-sasi yang memadai, dan 5) Fairness (keadilan). Memperlakukan pihak lain secara adil berdasar ketentuan umum yang berlaku.

Apapun bentuk definisi yang digunakan, governance adalah tentang menciptakan ruang untuk berbagi: (1) ide dan informasi, (2) kekuasaan, (3) otoritas, (4) tanggung jawab, (5) kepemilikan (6) akuntabilitas, (7) transparansi, (8) penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, (9) keterbukaan, (10) etika dan integritas, (11) kejujuran, dan (12) keadilan. Dari berbagai prinsip corporate governance yang telah diuraikan di atas, terdapat lima prinsip yang secara umum diterapkan yaitu transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), responsibilitas (responsibility), keadilan (fairness), dan independensi (independency). Dengan diterapkan-nya kelima prinsip tersebut dalam mengelola perusahaan diharapkan akan tercipta tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance.

2.2.3. Manfaat

Corporate Governance

(13)

25 pelanggan dan stakeholder lainnya, serta dapat menghasilkan manfaat ekonomi secara langsung kepada perusahaan, sehingga lebih menguntung-kan dan lebih kompetitif. Ditambahmenguntung-kan oleh Todorovic (2013:47), melalui aplikasi yang sesuai, prinsip-prinsip corporate governance akan meningkat-kan profitabilitas, meningkatmeningkat-kan daya saing perusahaan, meningkatmeningkat-kan kredibilitas dan reputasi, dan meningkatkan hubungan dengan para pemangku kepentingan kunci seperti investor, mitra bisnis, karyawan, pelanggan, dll. Perusahaan yang menerapkan tata kelola dengan standar tertinggi dapat mengurangi risiko yang timbul dari operasi sehari-hari. Perusahaan tersebut mampu, dengan kinerja yang lebih baik, menarik investor dan investasi yang dapat membantu pembiayaan pertumbuhan dan pengembangan perusahaan lebih lanjut.

Capital Market Authority di Saudi Arabia menekankan pentingnya corporate governance karena berbagai alasan. Dari sisi ekonomi, corporate governance dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan efisiensi ekonomi, karena corporate governance akan membantu stabilitas pasar modal, meningkatkan transparansi, dan menarik investasi internal dan eksternal. Dari sisi perusahaan, dengan menerapkan prinsip corporate governance dapat membantu perusahaan mencapai kinerja yang lebih baik dengan manajemen yang efektif dan lingkungan kerja yang ideal, yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai ekonomi perusahaan. Selain itu, corporate governance membantu perusahaan mencapai pasar keuangan dan memiliki akses ke sumber dana yang dibutuhkan dengan biaya yang lebih rendah. Hal ini akan membantu perusahaan memperluas aktivitasnya, mengurangi risiko, dan meningkatkan kepercayaan dari para pemangku kepentingan.

(14)

26

standar corporate governance dengan mengaktifkan partisipasi pemegang saham dalam membuat keputusan penting, dan mengetahui semua masalah yang relevan dengan investasi mereka di perusahaan. Bagi stakeholder lainnya, corporate governance dapat membangun hubungan yang erat dan kuat antara manajemen perusahaan, karyawan, pemasok, kreditur dan pihak lainnya, sehingga dapat meningkatkan tingkat kepercayaan antara semua pihak yang terlibat dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan dan mencapai tujuan strategis.

Jadi manfaat immateriil dari corporate governance adalah: 1) mencegah skandal perusahaan, penipuan, dan potensi tanggung jawab perdata dan pidana bagi perusahaan; dan 2)melindungi kerugian investasi akibat penyalahgunaan kekuasaan dengan cara yang tidak dalam kepentingan investor. Sedangkan secara materiil corporate governance bermanfaat: 1) membantu perusahaan mencapai kinerja yang lebih baik dengan manajemen yang efektif dan lingkungan kerja yang ideal, yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai ekonomi perusahaan; 2) membantu perusahaan mencapai pasar keuangan dan memiliki akses ke sumber dana yang dibutuhkan dengan biaya yang lebih rendah; dan 3) meningkatkan profitabilitas, kredibilitas, dan reputasi perusahaan, meningkatkan daya saing perusahaan, meningkatkan kepercayaan dan hubungan dengan para pemangku kepentingan kunci, sehingga perusahaan menjadi lebih menarik bagi investor, pemasok, pelanggan dan stakeholder lainnya. Dengan demikian pelaksanaan corporate governance yang baik (good corporate governance) sangat penting bagi pemegang saham karena merupakan jaminan bahwa bisnis perusahaan sedang dilakukan dengan tujuan menambah nilai pemegang saham dan menjaga aset perusahaan.

(15)

27 prosedur dalam membuat keputusan tentang urusan perusahaan, dapat juga diterapkan dalam penatakelolaan universitas dengan beberapa penyesuaian, mengingat struktur tata kelola perguruan tinggi swasta mirip dengan tata kelola perusahaan dengan pengecualian dari rapat pemegang saham.

2.3.

University Governance

2.3.1. Pengertian University Governance

Dewasa ini, pendidikan tinggi jauh lebih beragam dan mencakup jenis lembaga-lembaga baru seperti universitas, sekolah tinggi, akademi, politeknik, atau lembaga teknologi. Semuanya diciptakan untuk sejumlah alasan, antara lain untuk mengembangkan hubungan yang lebih dekat antara pendidikan tinggi dengan dunia luar, termasuk respon yang lebih besar terhadap kebutuhan pasar tenaga kerja dan untuk mengakomodasi pertumbuhan keragaman kualifikasi dan harapan lulusan sekolah menengah. Keadaan ini, menurut Varghese dan Martin (2014:7), menunjukkan bahwa pendidikan tinggi telah melakukan berbagai reformasi untuk menyelaraskan dirinya lebih dekat dengan pasar. Oleh karena itu sebagian besar pengelola-an pendidikpengelola-an tinggi dipengaruhi oleh konsep mpengelola-anajemen publik ypengelola-ang baru, dimana ketergantungan pada pemerintah semakin berkurang dan lebih mengandalkan pasar. Proses pasar dalam pendidikan tinggi telah menyebab-kan pengenalan berbagai reformasi yang telah mengubah cara mengatur kegiatan universitas, bagaimana layanan disediakan dan bagaimana lembaga-lembaga dikelola.

(16)

28

memiliki efek yang relatif luas pada distribusi tanggung jawab untuk pengelolaan sistem pendidikan tinggi.

Tata kelola universitas (university governance) mengatur proses interaksi universitas dengan para pemangku kepentingan internal dan eksternal yang berusaha untuk menjaga keseimbangan yang dinamis. Dalam perspektif yang lebih besar, menurut Santiago et al. (2008:68), university governance meliputi struktur, hubungan dan proses melalui mana, baik di tingkat lokal, nasional dan kelembagaan, kebijakan untuk perguruan tinggi/ universitas dikembangkan, dilaksanakan dan dipantau. Governance pada perguruan tinggi/universitas terdiri dari jaringan yang kompleks termasuk kerangka legislatif, karakteristik lembaga dan bagaimana mereka ber-hubungan dengan seluruh sistem, bagaimana dana dialokasikan untuk institusi dan bagaimana mereka bertanggung jawab terhadap cara yang digunakan untuk menghabiskan dana tersebut, serta struktur formal dan hubungan yang mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Dengan kata lain, university governance meliputi kerangka di mana perguruan tinggi/ universitas mengejar tujuan yang telah ditetapkan dengan cara yang ter-koordinasi. Di sisi lain, manajemen mengacu pada pelaksanaan serangkaian tujuan yang ingin dicapai oleh lembaga pendidikan tinggi atas dasar aturan yang ditetapkan. Ini menjawab pertanyaan bagaimana aturan diterapkan dan berkaitan dengan efisiensi, efektivitas dan kualitas layanan yang diberikan kepada para pemangku kepentingan internal dan eksternal.

(17)

29 (misalnya, hukum dan keputusan, pengaturan pendanaan, evaluasi, dan lain-lain). Dengan demikian university governance dipahami sebagai koordinasi eksternal dan internal perguruan tinggi. Apabila pendapat Boer dan File tentang governance dikaitkan dengan struktur perguruan tinggi swasta di Indonesia, maka secara eksternal governance akan mengatur wewenang dan tanggung jawab antara pihak yayasan dengan pihak rektorat, dan koordinasi internal mengatur wewenang dan tanggung jawab pihak rektorat dengan unit-unit di bawahnya.

Lembaga pendidikan tinggi, secara hukum mempunyai persamaan dengan lembaga perusahaan independen, dimana lembaga pendidikan tinggi juga memiliki peran penting dalam memberikan kontribusi terhadap per-tumbuhan ekonomi melalui penelitian dan mengembangkan hubungan bisnis dengan masyarakat. Meskipun ada perbedaan definisi antara governance dan manajemen, governance di pendidikan tinggi mengacu pada sarana lembaga pendidikan tinggi yang secara resmi diatur dan di-kelola. Sederhananya, pengaturan governance mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab untuk menetapkan arah universitas dan mengawasi operasinya.

Dengan demikian, university governance adalah sistem yang meng-atur pembagian hak, wewenang dan tanggung jawab dalam mengarahkan dan mengendalikan jalannya universitas, termasuk aturan dalam ber-interaksi di antara stakeholder universitas, serta merinci aturan dan prosedur dalam membuat keputusan tentang kebijakan universitas untuk menentukan tujuan dan cara mencapai tujuan universitas yang telah ditetapkan dengan cara yang terkoordinasi. Ini meliputi mekanisme universitas, siapa yang memegang kendali dan siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban.

(18)

30

kiranya perlu bagi universitas untuk mengevaluasi hubungan universitas dengan berbagai konstituen, stakeholder, dan masyarakat. Langkah yang dapat ditempuh adalah melakukan identifikasi terhadap stakeholder yang terlibat dalam perguruan tinggi. Identifikasi terhadap stakeholder sebelum menerapkan kebijakan atau program, memungkinkan pembuat kebijakan universitas untuk berinteraksi secara lebih efektif dengan stakeholder kunci, sehingga dapat mendeteksi dan bertindak untuk mencegah kesalah-pahaman potensial dan/atau oposisi dan meningkatkan dukungan terhadap pelaksanaan kebijakan atau pelaksanaan suatu program. Sebuah kebijakan atau program yang lebih besar akan berhasil jika identifikasi stakeholder digunakan untuk memandu pelaksanaan kebijakan atau program yang telah direncanakan.

Terdapat dua langkah penting dalam melakukan identifikasi ter-hadap stakeholder universitas. Pertama, identifikasi dilakukan untuk me-ngetahui individu-invidu atau kelompok mana yang harus terlibat dalam penentuan kebijakan dan program universitas. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi stakeholder yang berpotensi dapat terlibat dalam penentu-an kebijakpenentu-an dpenentu-an program, dpenentu-an apa hubungpenentu-an potensial ypenentu-ang ada di penentu-antara para stakeholder sehingga memungkinkan dibentuk kerjasama. Dengan demikian konflik dan kompetisi dapat diidentifikasi, dan dapat diperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana menemukan bentuk yang tepat sehubungan dengan keterlibatan stakeholder.

(19)

31 stakeholder dengan manajemen strategis, selain melakukan identifikasi terhadap stakeholder, universitas juga harus mengklasifikasikan stakeholder. Hal ini diperlukan untuk berkolaborasi dengan mitra dan pelanggan penting terkait dengan misi dan keberhasilan lembaga dimasa depan. Oleh karena itu, para stakeholder harus diuraikan dengan menggunakan kerangka lembaga yang digunakan dalam perencanaan strategis.

Kategorisasi kelompok stakeholder dapat dibuat dalam berbagai cara. Setiap kelompok stakeholder dapat dianggap sebagai satu kategori dan dibagi menjadi sub-kategori. Misalnya kategori untuk kelompok stakeholder universitas yang termasuk kelompok karyawan adalah staf akademik dan staf non-akademik. Kemudian staf non-akademik dibagi lagi menjadi staf administrasi dan non administrasi, dll. Terkait dengan hal ini, stakeholder universitas dapat dibagi menjadi empat lapis, yaitu: 1) Lapisan Pertama adalah stakeholder inti, termasuk dosen, mahasiswa dan pegawai administrasi. 2) Lapisan Kedua adalah stakeholder penting, termasuk alumni dan penyedia dana. 3) Lapisan Ketiga adalah pemangku kepentingan langsung, termasuk orang yang berafiliasi memiliki kontrak dengan universitas, seperti penyedia dana penelitian ilmiah, kerjasama industri-universitas, penyedia pinjaman. 4) Lapisan Keempat adalah stakeholder marginal, termasuk masyarakat lokal dan masyarakat umum. Stakeholder inti, yaitu dosen, mahasiswa dan pegawai administrasi adalah stakeholder internal dan lainnya adalah stakeholder eksternal.

(20)

32

governance, termasuk prinsip-prinsip yang melandasi pelaksanaannya. Konsep tersebut kemudian diadopsi pada pengelolaan perguruan tinggi sebagai suatu lembaga pendidikan publik.

2.3.2. Prinsip-Prinsip

University Governance

Model tata kelola yang diterapkan di kalangan lembaga-lembaga publik dan swasta dapat berbeda antara satu lembaga dengan lembaga yang lain. Dalam suatu lembaga individu juga memiliki model tata kelola sendiri seperti model hierarkis atau koperasi. Model tata kelola juga berbeda sesuai dengan sifat dari lembaga. Meskipun terdapat banyak variasi, untuk model university governance kiranya prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, keadilan, dan independensi dapat dijadikan sebagai prinsip-prinsip dalam penatakelolaan universitas, dengan pertimbangan bahwa lembaga pendidikan tinggi sebagai suatu lembaga pendidikan publik harus dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan. Informasi-informasi terkait dengan aktivitas pendidikan tinggi harus dapat dengan mudah diakses oleh para pemangku kepentingan. Transparansi dan akuntabilitas bukan berarti campur tangan yang tidak terkendali dan tanpa batas, tetapi merupakan suatu persyaratan untuk secara berkala menjelaskan tindakan yang memperoleh keberhasilan dan mengalami kegagalan. Hal demikian harus dapat diketahui oleh para pemangku kepentingan secara transparan. Semua interaksi harus terjadi dalam konteks hak dan tanggung jawab yang disepakati dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku sehingga tercipta keadilan bagi semua pemangku kepentingan. Mekanisme penyangga mungkin diperlukan untuk membantu menentukan keseimbangan yang tepat antara independensi (otonomi) dan akuntabilitas.

(21)

33 Tabel 2.1.

Penerapan Prinsip-Prinsip Corporate Governance di Perguruan Tinggi

No Prinsip-Prinsip CG Penerapan di Perguruan Tinggi

1 Transparansi Perguruan tinggi harus dan dapat menerapkan prinsip keter-bukaan di bidang keuangan, sistem dan prosedur penerimaan mahasiswa baru, sistem dan prosedur akuntansi, pelaporan ke-uangan, rekrutmen dosen dan karyawan, pemilihan pejabat struktural, pemilihan anggota senat fakultas/akademis, pemilih-an orgpemilih-an yayaspemilih-an/BPH, dpemilih-an informasi informasi penting lainya kepada pemangku kepentingan secara memadai, akurat dan tepat waktu.

2 Akuntabilitas Perguruan tinggi harus mempunyai uraian tugas dan tangung-jawab yang jelas (secara tertulis) dari setiap pejabat struktural, anggota senat fakultas/akademis, organ yayasan, dosen dan karya-wan. Termasuk juga kriteria dan proses pengukuran kinerja, pe-ngawasan, dan pelaporan. Harus ada audit internal yang tugasnya antara lain melakukan penilaian, analisis, dan interprestasi dari aktivitas suatu organisasi secara indpenden. Ada baiknya juga dilakukan manajemen audit atau finansial audit plus oleh KAP independen.

3 Responsibilitas Setiap individu yang terlibat dalam pengelolaan perguruan tinggi harus bertanggungjawab atas segala tindakannya sesuai dengan

job description yang telah ditetapkan. Termasuk para dosen harus mentaati etika dan moral kedosenan. Harus dihindari pemerasan atau penjualan nilai pada mahasiswa baik oleh dosen maupun oleh karyawan non-akademis

4 Keadilan Perlakuan yang adil dan berimbang kepada para pemangku ke-pentingan yang terkait. Dalam hal ini pemangku keke-pentingan terdiri atas mahasiswa, orang tua mahasiswa, masyarakat, para dosen, dan karyawan non-akademis, serta organ yayasan. 5 Independensi Pihak yayasan dan pengelola perguruan tinggi dalam

melaksana-kan peran dan tanggung-jawabnya harus bebas dari segala bentuk benturan kepentingan yang berpotensi untuk muncul. Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan di-lakukan secara independen bebas dari segala bentuk tekanan dari pihak lain, sehingga dapat dipastikan bahwa keputusan itu di-buat semata-mata demi kepentingan perguruan tinggi. Pengurus yayasan/BPH harus memberi wewenang penuh kepada rektorat untuk menyelenggarakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Sumber: Wijatno, 2009.

(22)

34

kemudian dihubungkan dengan perspektif partisipan atau organ university governance (Warsono, dkk, 2009).

2.3.2.1. Prinsip Transparansi

Membangun budaya transparansi adalah langkah pertama yang penting untuk mencapai kepercayaan. Komunikasi yang terbuka dan jujur mendukung keputusan untuk dipercaya. Kurangnya komunikasi dan transparansi akan menciptakan kecurigaan. Fung (2014:75) menjelaskan, bahwa transparansi dapat terjadi ketika institusi menciptakan budaya keterbukaan dan rasa hormat. Pemangku kepentingan merasa bebas untuk berbicara tentang kebenaran kepada dewan dan manajemen. Jika eksekutif bersedia untuk mendengarkan sudut pandang yang berlawanan dan berjanji untuk mempertimbangkan manfaat dari argumen lain, maka eksekutif telah membuka jalan bagi budaya transparansi. Didefinisikan secara luas, transparansi mengacu pada sejauh mana informasi mengalir secara bebas dalam suatu organisasi, antara manajer dan karyawan, dan ke luar kepada para pemangku kepentingan. Pendapat lain dikemukakan oleh Adrianto (2007) yang mengartikan transparansi sebagai keterbukaan secara sungguh-sungguh, menyeluruh, dan memberi tempat bagi partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat dalam proses pengelolaan sumber daya publik.

(23)

35 perusahaan dan membuat pengungkapan konflik kepentingan direksi atau pemegang saham pengendali, dll. Unsur kunci dari tata kelola yang baik adalah 'transparansi', yang menggabungkan sistem checks and balances antara dewan direksi, manajemen, auditor, dan pemangku kepentingan lainnya.

Elisa dan Ladislao (2012:22) mendefinisikan transparansi sebagai strategi untuk mengungkapkan informasi yang lengkap, akurat dan tepat, melalui saluran terbaik yang tersedia sehingga memungkinkan pengambil keputusan mengaktifkan umpan balik yang memungkinkan proses konsolidasi. Jadi, transparansi melibatkan pengungkapan yang jelas terkait informasi tentang aturan, rencana, proses dan tindakan oleh pemerintah, perusahaan, organisasi, atau individu. Ini adalah prinsip bahwa urusan publik harus dilakukan secara terbuka. Personalisasi ini, menurut Elisa dan Ladislao (2012) meningkatkan pentingnya saluran komunikasi ketika menilai transparansi. Perpaduan antara berbagai elemen komunikasi, seperti pemberi pesan, penerima pesan, saluran, kode dan pesan, merupakan inti dari transparansi, karena pentingnya transparansi tidak hanya terletak pada konten untuk mengungkapkan tetapi juga cara untuk menyampaikan informasi, struktur, volume dan kualitas informasi. Dengan demikian, integritas, akurasi dan ketepatan pesan adalah fitur penting untuk memastikan transparansi. Dalam lingkup universitas, fitur ini didukung oleh sistem sertifikasi, standardisasi, akreditasi, atau, antara lain, oleh kepatuhan terhadap program-program berkualitas nasional.

(24)

36

stakeholder untuk membentuk penilaian dan mengambil keputusan. Dengan demikian, instrumen transparansi merupakan alat informasi yang dirancang untuk mengkomunikasikan tentang upaya dan kinerja lembaga pendidikan tinggi kepada stakeholder eksternal.

Unsur transparansi, menurut Wijatno (2009) berkaitan dengan kemampuan perguruan tinggi dalam menerapkan prinsip keterbukaan pada berbagai bidang. Beberapa bidang penting yang dimaksud yaitu bidang keuangan, sistem dan prosedur penerimaan mahasiswa baru, sistem dan prosedur akuntansi, pelaporan keuangan, rekrutmen dosen dan karyawan, pemilihan pejabat struktural, pemilihan anggota senat fakultas/akademis, pemilihan organ yayasan/BPH, dan informasi-informasi penting lainnya kepada pemangku kepentingan secara memadai, akurat dan tepat waktu. Sebagaimana dikemukakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2013), bahwa prinsip transparansi terkait dengan pengelolaan perguruan tinggi harus terbuka dan mampu menyajikan informasi yang relevan, secara tepat dan akurat kepada pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya praktik-praktik kecurangan dalam pengelolaan perguruan tinggi yang dapat merugikan masyarakat.

(25)

37 saat diperlukan. Penjelasan Pasal 63 huruf “b” Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat dan akurat kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan teori stakeholder, dimana manajemen diharapkan untuk melakukan aktivitas sesuai dengan harapan stakeholder dan melaporkannya kepada stakeholder. Teori stakeholder menekankan bahwa seluruh stakeholder memiliki hak untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana aktivitas organisasi. Namun demikian, transparansi ini tidak bersifat absolut, tetap ada pembatasan-pembatasan mengenai informasi apa saja yang dapat diberikan. Pembatasan terkait dengan jenis informasi yang dapat diberikan dan jenis informasi yang tidak boleh diberikan, seperti misalnya rahasia dagang piranti lunak dan strategi organisasi.

(26)

38

dan informasi tentang keuangan. Oleh karena itu, laporan tahunan sebenarnya digunakan terutama sebagai alat akuntabilitas untuk kegiatan pendidikan dan kegiatan lainnya. Dengan demikian akuntabilitas dan transparansi merupakan istilah yang tidak dapat dipisahkan, sebab pelaksanaan akuntabilitas memerlukan transparansi.

2.3.2.2. Prinsip Akuntabilitas

Akuntabilitas merupakan persyaratan utama dari tata kelola yang baik. Secara umum semua lembaga, baik pemerintah dan swasta serta organisasi masyarakat sipil harus bertanggung jawab kepada publik dan para pemangku kepentingan organisasi. Hal ini penting tidak saja untuk me-negakkan reputasi universitas serta meningkatkan kepercayaan dari para pemangku kepentingan utama, tetapi juga memastikan transparansi dan kontrol yang tepat atas urusan lembaga. Secara umum suatu organisasi atau institusi wajib bertanggung jawab kepada individu-individu yang terpe-ngaruh oleh keputusan atau tindakan organisasi. Artinya, akuntabilitas tidak dapat ditegakkan tanpa transparansi dan aturan hukum.

Secara harafiah konsep akuntabilitas atau accountability berasal dari dua kata yaitu account yang artinya rekening, laporan, catatan dan ability yang artinya kemampuan. Dengan demikian akuntabilitas dapat diartikan sebagai kemampuan menunjukkan laporan atau catatan yang dapat diper-tanggungjawabkan. Prinsip akuntabilitas merupakan kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok kepada individu atau kelompok lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Suharto, 2005).

(27)

39 kepada siapa organisasi (atau pekerja individu) bertanggung jawab dan untuk apa organisasi (atau pekerja individu) bertanggung jawab. Dalam pengertian luas akuntabilitas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktifitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.

Dengan demikian prinsip akuntabilitas menurut Loina (2003:7) menuntut dua hal yaitu (1) kemampuan menjawab (answerability) dan (2) konsekuensi (consequences). Komponen pertama berhubungan dengan tuntutan bagi aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut. Komponen kedua berhubungan dengan kebutuhan untuk memprediksi konsekuensi yang timbul.

Vidovich dan Slee (2000) dalam Burke (2005:3) membagi akunta-bilitas dalam beberapa jenis, yaitu: 1) upward accountability merupakan bentuk tanggung jawab bawahan kepada atasan, mencakup akuntabilitas prosedural, birokratik, legal, dan vertikal; 2) downward accountability berfokus pada tanggung jawab pimpinan terhadap bawahan dalam peng-ambilan keputusan atau akuntabilitas kesejawatan pada perguruan tinggi; 3) inward accountability. Perguruan tinggi sebagai organisasi yang didominasi oleh para profesional, maka akuntabilitas berpusat pada tindakan staf pengajar dalam menerapkan berbagai standar dan etika profesional, yang disebut sebagai akuntabilitas profesional, dan 4) outward accountability, merupakan bentuk tanggung jawab terhadap pelanggan luar, para pemangku kepentingan, donatur, dan pada akhirnya kepada masyarakat dalam arti luas.

(28)

Akunta-40

bilitas Perguruan Tinggi merupakan bentuk pertanggungjawaban Perguruan Tinggi kepada masyarakat yang terdiri atas akuntabilitas akademik dan akuntabilitas non-akademik. Akuntabilitas Perguruan Tinggi tersebut dilakukan melalui sistem pelaporan tahunan dan dipublikasikan kepada masyarakat. Jadi akuntabilitas perguruan tinggi tidak hanya ditujukan kepada pemerintah, tetapi yang lebih utama adalah akuntabilitas kepada masyarakat terutama kepada semua stakeholder pengguna produk perguruan tinggi.

Salmi (2009:3) berpendapat, akuntabilitas dalam perguruan tinggi merupakan kewajiban etis dan manajerial untuk melaporkan kegiatan yang telah dilakukan dan hasil yang telah dicapai oleh perguruan tinggi, men-jelaskan kinerja perguruan tinggi, dan bertanggung jawab atas harapan yang belum terpenuhi. Semua lembaga pendidikan tinggi diwajibkan secara hukum untuk memenuhi dua dimensi dasar akuntabilitas yaitu: integritas dalam pemberian layanan pendidikan, dan kejujuran dalam penggunaan sumber daya keuangan. Untuk contoh pertama, Salmi (2009:3) menjelaskan, bahwa salah satu tanggung jawab yang paling dasar dari negara adalah membangun dan menegakkan kerangka peraturan dalam mencegah praktik yang tidak etis, curang, dan korup di pendidikan tinggi, seperti di bidang-bidang penting lain dari kehidupan sosial. Dalam contoh kedua, perguruan tinggi negeri harus bertanggung jawab atas penggunaan sumber daya publik secara efektif dan bertanggung jawab atas kualitas output. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme untuk mengukur dan memantau efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya, menilai kualitas dan relevansi pelatihan yang telah diterima oleh lulusan universitas, menilai produktivitas kegiatan penelitian, dan kontribusi perguruan tinggi untuk ekonomi lokal, terutama dalam hal transfer teknologi. Demikian pula, perguruan tinggi swasta harus bertanggung jawab kepada seluruh stakeholder.

(29)

41 ditawarkan secara merata ke seluruh kelompok masyarakat (ekuitas), 2) standar pengajaran dan penelitian (kualitas), 3) sejauh mana lulusan menerima pendidikan yang memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja (relevansi), 4) kontribusi universitas terhadap pembangunan ekonomi lokal dan/atau nasional dan dimana sumber daya publik digunakan (efisiensi internal); dan 5) kemampuan keuangan dari sistem pendidikan tinggi untuk tumbuh dengan tetap menjaga standar yang tinggi (sustainability).

Jadi, akuntabilitas pendidikan merupakan suatu perwujudan ke-wajiban dari lembaga pendidikan untuk mempertanggungjawabkan keber-hasilan atau kegagalan pelaksanaan proses pendidikan kepada semua pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks pembelajaran, perlu selalu diupayakan untuk diperbaiki dan ditingkatkan sehingga proses pembelajaran berlangsung optimal dan efektif, serta dapat meningkatkan mutu lulusan. Penjelasan Pasal 63 huruf a) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan, bahwa “prinsip akuntabilitas” adalah kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang dijalankan perguruan tinggi kepada semua pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(30)

42

pengawasan oleh dewan komisaris, 3) mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi internal audit sebagai mitra bisnis yang strategis, 4) menjaga manajemen kontrak yang bertanggung jawab dan menangani pertentangan (dispute), 5) penegakan hukum melalui sistem penghargaan dan sanksi, dan 6) menggunakan external auditor yang professional.

Pengertian-pengertian tentang akuntabilitas di atas menggambarkan hak yang ada antara orang-orang dan lembaga-lembaga (termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan pelaku pasar) atas tindakan pemegang kekuasaan yang berdampak pada kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, akuntabilitas membantu untuk memastikan bahwa pengambil keputusan telah mematuhi standar publik yang telah disepakati. Warga negara telah memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk memberlakukan dan menegakkan hukum dan kebijakan. Sebagai imbalannya, warga negara mengharapkan pemerintah dapat menjelaskan dan membenarkan peng-gunaan kekuasaan dan mengambil langkah-langkah perbaikan bila diperlu-kan. Jadi akuntabilitas adalah sebuah konsep etika, menyangkut perilaku yang tepat, dan berhubungan dengan tanggung jawab individu dan/atau organisasi terhadap orang-orang dan/atau lembaga-lembaga lain atas tindak-an ytindak-ang telah mereka lakuktindak-an. Oleh karena itu akuntabilitas dapat dipahami sebagai hasil dari individu dan/atau organisasi yang memutuskan untuk mengambil tanggung jawab atas sesuatu yang telah dilakukan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa prinsip akuntabilitas terkait erat dengan prinsip responsibilitas.

2.3.2.3. Prinsip Responsibilitas

(31)

43 Contoh: sebuah parlemen dapat memiliki tanggung jawab untuk membuat undang-undang suatu negara. Jadi responsibilitas atau tanggung jawab adalah membuat keputusan yang sesuai dan/atau bertindak dengan cara yang tepat dalam menjalankan kewajiban yang berhubungan dengan suatu keputusan atau tindakan atau tugas.

Lauermann (2013:22) menyebutkan dua komponen tanggung jawab yang terkait erat, yaitu komponen “kepada siapa” dan komponen “untuk apa”, sehingga wilayah yang berbeda dari tanggung jawab terkait erat dengan alamat tertentu. Seperti: a) tanggung jawab pengaturan kepada negara adalah untuk mematuhi peraturan tertentu, b) tanggung jawab kontraktual untuk organisasi, c) tanggung jawab keuangan kepada donor atau pemegang saham, harus memastikan bahwa uang mereka digunakan dengan cara yang disepakati, dan d) tanggung jawab etis atau moral untuk para pemangku kepentingan, baik karena pemangku kepentingan secara langsung atau tidak langsung tergantung pada organisasi dan terpengaruh oleh itu, atau karena pemangku kepentingan merupakan bagian integral dari misi, visi dan nilai-nilai organisasi. Jadi setiap organisasi memiliki tingkat dan jenis tanggung jawab yang berbeda kepada pemangku kepentingan yang berbeda pula.

(32)

44

yang akan mempersiapkan mahasiswa berperan aktif sebagai ilmuwan dimasa depan. Beberapa aspek tanggung jawab dosen dapat didefinisikan di berbagai bidang seperti mengajar, mengevaluasi tugas mahasiswa, dan persyaratan kerja lainnya (misalnya, tepat waktu). Sedangkan tanggung jawab karyawan ditentukan oleh kontrak kerja, yang biasanya mencakup deskripsi pekerjaan yang menetapkan tanggung jawab secara rinci. Tanggung jawab ini harus didiskusikan, dikembangkan dan diklarifikasi secara individu dengan atasan baik secara formal maupun informal sebagai bagian dari proses penilaian kinerja.

Penilaian terhadap tanggung jawab dapat didasarkan pada kriteria yang berbeda. Misalnya Twiss (1977) dalam Lauermann (2013:23) meng-usulkan tiga jenis penilaian tanggung jawab dengan kriteria yang berbeda tetapi sangat relevan. Untuk tanggung jawab deskriptif, kriteria utama adalah apakah ada hubungan sebab akibat antara tindakan dan hasil. Untuk tanggung jawab normatif, kriteria didasarkan pada kepatuhan terhadap standar normatif (misalnya, standar moral). Dan tanggung jawab peran yang berkaitan erat dengan norma tanggung jawab. Kriteria dalam tanggung jawab peran adalah pemenuhan tugas yang melekat pada beberapa peran sosial dan hubungan sosial seperti majikan-karyawan, orangtua-anak dan guru-murid.

(33)

45 administrator, dan lain-lain harus memiliki pemahaman yang jelas tentang hak dan tanggung jawab mereka.

Tanggung jawab di perguruan tinggi diwujudkan dalam sejumlah cara yang berbeda baik di dalam maupun di luar institusi perguruan tinggi. Dalam beberapa kasus melibatkan kemitraan dengan masyarakat dan program diarahkan dengan melibatkan siswa dan masyarakat. Dalam kasus lain melibatkan orientasi kurikulum atau fokus umum program akademik terhadap penyelesaian masalah masyarakat, seperti misalnya kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Tanggung jawab universitas terhadap masyarakat dan lingkungan akhir-akhir ini dikenal dengan sebutan tanggung jawab sosial universitas yang didefinisikan oleh Domínguez Pachon (2009) dalam Giuffré & Ratto (2014:233), sebagai kemampuan dari universitas untuk menyebarkan dan menerapkan seperangkat prinsip umum dan nilai-nilai tertentu, dengan menggunakan empat proses kunci, yaitu: Manajemen, Pengajaran, Penelitian, dan Penyuluhan, melalui penyediaan layanan pendidikan dan mentransfer pengetahuan berikut prinsip-prinsip etika, tata kelola yang baik, menghormati lingkungan, keterlibatan sosial dan promosi nilai-nilai.

(34)

46

Dalam konteks yang lebih luas, Chile and Black (2015:235) ber-pendapat, bahwa konsep tanggung jawab sosial universitas meliputi bagaimana universitas mengatasi masalah sosial-ekonomi, politik dan lingkungan masyarakat. Hal ini juga mencakup introspeksi pada proses internal universitas dan lingkungan. Bagaimana komunitas universitas, mahasiswa, staf, dan struktur administrasi mengelola dampak lingkungan yang dihasilkan oleh universitas.

Prinsip responsibilitas yang diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab sosial universitas sebagaimana diuraikan di atas, mengharuskan lembaga pendidikan tinggi selalu memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi, politik, sosial dan budaya di tempat-tempat di mana pendidikan tinggi berada. Karena aktivitas universitas terkait dengan pendidikan dan penelitian yang secara langsung dapat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat, maka tanggung jawab universitas dapat diwujudkan dengan membantu perkembangan perilaku kewirausahaan dan tanggung jawab sosial siswa. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh universitas tidak hanya melalui proyek-proyek pengembangan masyarakat, tetapi juga melalui program dan kursus yang mendidik orang-orang muda terkait dengan bagaimana caranya menjadi peserta aktif dalam proses membuat perubahan sosial yang positif.

2.3.2.4. Prinsip Keadilan

(35)

47 yang menyatakan, warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Oleh karena itu, negara harus memberikan akses yang terbuka kepada setiap warganya untuk mendapatkan pendidikan. Akses pendidikan berarti hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan secara adil dan merata.

Keadilan dipromosikan melalui dua prinsip dasar, yaitu: Ekuitas di mana semua pria dan wanita memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau mempertahankan kesejahteraan mereka, dan Peraturan hukum di mana hukum harus ditegakkan dan memihak kepada semua. Menurut Field et al. (2007:11) ekuitas dalam pendidikan memiliki dua dimensi. Pertama adalah keadilan, yang pada dasarnya memastikan bahwa keadaan pribadi dan sosial -misalnya jenis kelamin, status sosial-ekonomi atau etnik- seharusnya tidak menjadi halangan untuk mencapai potensi pendidikan. Kedua adalah inklusi yang memastikan standar dasar minimum pendidikan untuk semua orang, misalnya bahwa setiap orang harus bisa membaca, menulis dan berhitung secara sederhana. Ditambahkan oleh Zhang et.al. (2014:2), bahwa dimensi keadilan dalam pemerataan pendidikan mengacu pada isu-isu kesempatan yang sama terhadap pendidikan, termasuk daerah, desa-kota, kelas sosial, gender dan etnis. Sedangkan dimensi inklusi dalam ekuitas pendidikan terutama membahas isu-isu hak yang sama untuk pendidikan, yang menunjukkan bahwa desain sistem pendidikan harus me-mastikan semua orang memiliki hak yang sama untuk mengakses pendidikan.

(36)

48

Sejalan dengan hal di atas, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan: (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 12 ayat (1) bahwa, setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; c) mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; d) mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; e) pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; dan f) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.

(37)

49 alat untuk memperbaiki keadaan sekarang dan juga hari depan yang lebih baik, sebagaimana diungkapkan oleh Woessmann dan Schütz (2006); Field, Kuczera dan Pont (2007); dan Faubert (2012) dalam OECD (2012:15), bahwa sistem pendidikan yang adil dapat memperbaiki efek kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih luas. Dalam konteks pembelajaran, memungkinkan setiap individu untuk mengambil keuntungan penuh dari pendidikan dan pelatihan terlepas dari latar belakang mereka.

2.3.2.5. Prinsip Independensi

Prinsip independensi dalam konteks pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia dapat dianalogikan dengan pemberian otonomi kepada perguruan tinggi di Indonesia yang saat ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menentukan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Pemberian otonomi kepada perguruan tinggi ditegaskan lagi di dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma.

(38)

50

pengelolaan keuangan, kerjasama, pengelolaan aset, pengembangan usaha, dan sebagainya. Hal ini selaras dengan pendapat Ekundayo dan Adedokun (2009:62) yang mendefinisikan otonomi perguruan tinggi sebagai pemberian kebebasan kepada universitas untuk memerintah diri mereka sendiri, menunjuk pejabat kunci, menentukan kondisi pelayanan staf, mengontrol penerimaan mahasiswa dan kurikulum akademik, mengontrol keuangan, dan umumnya mengatur dirinya sendiri sebagai badan hukum independen tanpa campur tangan yang tidak semestinya dari pemerintah dan lembaga-lembaganya.

Konsep otonomi yang diberikan kepada perguruan tinggi sebagai-mana disebutkan di atas, menurut Varghese dan Martin (2013:18), nyiratkan adanya kebebasan dan otoritas perguruan tinggi untuk me-mainkan peran dan berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat dalam kerangka yang disediakan oleh otoritas publik. Oleh karena itu, otonomi perguruan tinggi perlu ditangani dalam konteks peran perguruan tinggi yang dirasakan dan disepakati dalam masyarakat. Otonomi kelembagaan dapat dibenarkan jika itu adalah kondisi yang diperlukan untuk memungkinkan perguruan tinggi memainkan peran mereka dalam pengajaran, penelitian, dan layanan lainnya yang diberikan kepada masyarakat. Otonomi perguruan tinggi dari sudut pandang ini dapat didefinisikan sebagai kebebasan lembaga untuk menjalankan urusannya sendiri tanpa kontrol langsung atau pengaruh dari pemerintah.

Centre Européen pour l’Enseignement Supérieur2) (1992:35) menjelaskan, bahwa otonomi merupakan karakteristik dari proses pengambilan keputusan. Setiap perguruan tinggi harus membuat keputusan sendiri mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan, penelitian dan pengajaran, pendidikan umum dan spesialisasi, berbagai tingkat profesionalisme dan formalisme, tradisi dan inovasi, keterbukaan dan

2) Centre Européen pour l’Enseignement Supérieur (CEPES) = European Centre for Higher

(39)

51 kurungan, ortodoksi dan sikap kritis. Diantara berbagai kendala yang mengatur parameter dari kapasitas pengambilan keputusan perguruan tinggi, masalah utama yang memerlukan solusi cerdas dan fleksibel adalah harmonisasi kebijakan perguruan tinggi dengan kebijakan umum otoritas publik dan pengelolaan sumber daya yang terbatas.

Terkait dengan proses pengambilan keputusan, Fumasoli, Gornitzka, dan Maassen (2014:6) menambahkan, bahwa otonomi bukan hanya berbicara soal kompetensi untuk mendelegasikan pengambilan keputusan sepanjang garis hirarki komando antara kementerian yang bertanggung jawab dan universitas sebagai bawahan. Otonomi juga tidak hanya soal mengganti kontrol negara atas kegiatan perguruan tinggi dengan dependensi pasar. Namun, otonomi merupakan sebuah titik awal yang lebih elementer, bahwa sifat otonomi berkaitan erat dengan peran perguruan tinggi dalam masyarakat. Perguruan tinggi menikmati status khusus karena tradisi, sejarah dan nilai-nilai yang diwakilinya dalam masyarakat. Status khusus perguruan tinggi harus dikaitkan dengan akuntabilitas, karena relevansi akuntabilitas telah berkembang sejajar dengan pentingnya otonomi institusi dalam interpretasi konsep organisasi sektor publik. Hubungan akuntabilitas tidak hanya mencakup sarana manajerial, tapi mencakup kontrak sosial yang mendefinisikan harapan bersama dan hubungan antara perguruan tinggi, pemerintah dan masyarakat.

(40)

52

peraturan sendiri yang menjelaskan fungsi berbagai organ dalam lembaga seperti Dewan Pengurus Yayasan, Rektorat, Senat, dan sebagainya. Dalam konsep corporate governance, kemandirian ini diwujudkan dalam prinsip independensi.

Kemandirian atau independensi merupakan komponen penting untuk menghindari pengaruh kepentingan dan bebas dari segala kendala yang akan mencegah diambilnya tindakan yang tepat. Ini adalah ke-mampuan untuk “berdiri terpisah” dari pengaruh yang tidak pantas agar dapat membuat keputusan yang benar dan tidak terkontaminasi pada suatu masalah. Dalam kerangka corporate governance maupun university governance, kemandirian penting dalam berbagai konteks. Perguruan tinggi harus memiliki kemandirian atau independensi dalam mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan yang menyangkut pengelolaan administrasi, keuangan, pendidikan, penelitian, pengabdian pada masyarakat, kerja sama, serta aktivitas lain yang berkaitan, tanpa intervensi pihak lain. Seluruh sivitas akademika di perguruan tinggi memiliki hak untuk menjalankan tugasnya tanpa diskriminasi dan tanpa rasa takut akan adanya gangguan, larangan, atau represi dari pihak manapun.

(41)

53

2.4. Tri Hita Karana Sebagai Kearifan Lokal

Haba (2007) mendefinisikan kearifan lokal sebagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, yang dikenal, dipercaya dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mempertebal kohesi sosial. Definisi ini menegaskan bahwa kearifan lokal merupakan acuan masyarakat dalam berperilaku yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berkenaan dengan tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia. Kearifan lokal dalam ruang interaksi masyarakat tidak terlepas dari fungsi kearifan lokal sebagai pandangan hidup, kepercayaan, atau ideologi yang diungkapkan dalam bentuk kata-kata bijak, pepatah, atau adat istiadat. Konsep demikian sekaligus memberikan gambaran bahwa kearifan lokal selalu terkait dengan kehidupan manusia dan lingkungannya. Kearifan lokal muncul sebagai penjaga atau penyaring iklim global yang melanda kehidupan manusia. Kearifan adalah proses dan produk budaya manusia, yang dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup.

Kearifan lokal dapat dimaknai sebagai sebuah pemikiran tentang hidup yang dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, sikap, dan anjuran untuk kemuliaan manusia. Dengan demikian kearifan lokal dapat dijadikan sebagai media untuk membangun kehidupan harmonis dalam masyarakat. Implementasi kearifan lokal didasarkan kepada perkembangan budaya dan kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu agar nilai-nilai yang terkandung di dalam kearifan lokal mudah diterima oleh masyarakat. Implikasi nilai kearifan lokal telah menjadi acuan kehidupan bermasyarakat yang dikembangkan dari generasi ke generasi.

(42)

54

dapat dilihat sebagai tradisi yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, peternakan, membangun rumah, dll. Kebudayaan Bali sebagai hasil karya fisik etnik Bali merupakan wujud kreativitas akal dan budi yang terpola dan memuat sistem nilai dan norma moral sebagai bentuk etika yang saling berkaitan dan melekat pada lingkungan etnis Bali yang diyakini kebenaran-nya dan teruji dalam sejarah sehingga dianggap bernilai, berharga, penting, dan berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan masyarakat atau disebut juga dengan orientasi nilai budaya. Nilai-nilai moral sebagaimana disebutkan tadi dapat dipahami sebagai konsep kearifan lokal (local genius/local traditional wisdom).

Salah satu bentuk atau model kearifan lokal Bali adalah Tri Hita Karana yang mengusung harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan manusia dengan lingkungan. Konsep Tri Hita Karana ini sesuai dengan pendapat Afif (2009) yang mendefinisikan kearifan lokal sebagai seperangkat sistem nilai, norma dan tradisi yang dijadikan sebagai acuan bersama oleh suatu kelompok sosial dalam menjalin hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam. Berikut akan diuraikan tentang Tri Hita Karana.

2.4.1. Ideologi Tri Hita Karana

(43)

55 terciptanya hidup yang nyaman, tenteram, dan damai secara lahiriah dan bitiniah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebudayaan Bali menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam ideologi Tri Hita Karana.

Ideologi Tri Hita Karana, menurut Sudira (2011:65), mengajarkan bahwa kehidupan bersumber atau disebabkan oleh adanya tiga unsur utama yaitu: (1) jiwa/atma ; (2) fisik/angga; dan (3) tenaga/prana. Ketiga unsur ke-hidupan ini, yaitu: jiwa, fisik, dan tenaga adalah Tri Hita Karana. Ke-bahagiaan atau keharmonisan (hita) dapat terwujud jika ada tiga penyebab (tri karana) yaitu jiwa, fisik, dan tenaga. Hilangnya salah satu dari ketiga penyebab kebahagiaan ini akan menghilangkan kebahagiaan itu. Konsep Tri Hita Karana mengandung makna bagaimana mencari keharmonisan dengan tidak semata-mata mencari materi, namun bagaimana tujuan hidup untuk mendapatkan kebahagian yang kekal.

Dalam pendekatan stakeholder, konsep Tri Hita Karana dapat dipahami sebagai sistem yang mengatur tata hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam lingkungannya, sehingga tercipta tata hubungan yang harmonis, yang menyebabkan manusia dapat mencapai tujuan hidup yang bahagia dan sejahtera.

2.4.2. Dimensi Tri Hita Karana

(44)

56

aturan dan norma-norma agama. Kesetiaan, ketaatan, bertanggung jawab, adil, dan jujur menjadi suatu keharusan, sehingga dalam menjalankan aktivitas universitas semua pihak harus taat terhadap segala aturan dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan, bertanggung jawab terhadap semua kewajibannya, adil dalam mengambil keputusan, dan jujur dalam memberikan informasi berdasarkan kebenaran.

Dimensi Pawongan mengatur hubungan manusia dengan sesama, dalam artian bahwa setiap individu harus dapat menjaga keharmonisan hubungan dengan keluarga, teman, dan masyarakat. Dalam menjaga ke-harmonisan tidak dibenarkan untuk menunjukkan sikap yang membeda-bedakan berdasarkan derajat, agama, ataupun suku. Segala bentuk kegiatan harus menghormati hak-hak setiap individu. Setiap individu berhak dan layak memperoleh hak dan kewajiban yang sama untuk mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu manajemen harus transparan untuk mendorong partisipasi dari semua kegiatan sumber daya aktif (Sudira, 2011) .

Selanjutnya Sudira (2011)menjelaskan, agar hubungan antar sesama tetap harmonis diperlukan toleransi yang tinggi dan sikap saling menghargai satu dengan yang lain. Setiap individu harus bertindak sesuai dengan aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Bersikap jujur sesuai dengan keadaan sebenarnya, adil, dan bertanggung jawab harus dimiliki oleh setiap individu. Hubungan atau relasi sosial ini bersifat kodrati. Oleh karena itu, relasi sosial harus dijaga agar selalu dapat terjalin harmonis karena manusia itu tidak bisa hidup sendiri. Untuk menjaga agar relasi sosial tetap terjalin dengan baik setiap orang hendaknya memilki sifat halus dan rendah hati yang diwujudkan dalam bentuk komunikasi verbal maupun non verbal. Hal ini dimaksudkan agar setiap tutur kata dan tindakannya dapat membuat berkenan orang lain. Inilah hakikat relasi sosial.

(45)

57 tidak terpengaruh hanya pada upaya untuk mencari keuntungan maksimal dengan cara apapun, akan tetapi sistem tujuan bisnis Tri Hita Karana dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Koentjaraningrat (2008) menekankan bahwa manusia bisa bertindak dengan menguasai lingkungan, tunduk kepada lingkungan, atau bertindak serasi dan harmonis dengan lingkungan. Atas dasar alasan tersebut, menurut Riana (2011), para pelaku bisnis di Bali berkewajiban mengedepankan prinsip-prinsip keseimbangan berdasarkan konsep Tri Hita Karana. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan aktivitas bisnis sesuai dengan tujuan dan kaidah nilai-nilai budaya dan agama sehingga segala hasil yang didapat (artha) dilandasi oleh nilai-nilai dharma.

Pandangan masyarakat Bali yang dilandasi oleh kepercayaan bahwa menutupi kebenaran dengan jalan tidak jujur merupakan perbuatan yang akan merusak keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan dengan alam sekitar (palemahan) mendorong munculnya sikap terbuka dan jujur yang sangat penting untuk pelaksanaan prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, keadilan, dan independensi (otonomi).

(46)

58

2.4.3. Indikator Pengukuran

Tri Hita Karana

Organisasi dapat dikatakan merupakan salah satu unit di dalam masyarakat. Selama pembentukan dan pengembangan, organisasi akan dipengaruhi oleh suatu budaya di mana organisasi itu beroperasi. Demikian pula dengan perguruan tinggi yang ada di Bali. Dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari, perguruan tinggi yang ada di Bali akan dipengaruhi oleh falsafah Tri Hita Karana sebagai kearifan lokal di Bali. Dalam upaya menemukan karakteristik dari Tri Hita Karana yang mempengaruhi aktivitas sehari-hari pada lembaga universitas, perlu ditentukan indikator pengukuran yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan penilaian. Indikator pengukuran nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi Tri Hita Karana disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2.2.

Indikator Pengukuran Tri Hita Karana Lembaga Universitas

Dimensi Indikator Pengukuran Parhyangan Punya tempat suci (pura) dan fasilitas keagamaan lainnya

Bangunan tempat suci di utamaning utama mandala Tempat suci terawat dengan baik

Ada simbol-simbol agama dan benda sakral yang ditempatkan sesuai dengan ketentuan sastra agama

Menyelenggarakan hari raya keagamaan

Seluruh civitas akademika mendapatkan kesempatan secara proporsional melaksanakan kegiatan keagamaan

Pengadaan dan pembuatan sarana/prasarana upakara serangkaian dengan upacara keagamaan dilakukan di kampus

Pawongan Ada kepedulian terhadap hak-hak dosen, pegawai non dosen, dan mahasiswa

Ada kegiatan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, misalnya kursus, seminar, sarasehan, lokakarya dan sejenisnya.

Tugas dosen dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku Ada sanski bagi dosen/pegawai yang indisipliner

(47)

59

Dimensi Indikator Pengukuran

Palemahan Memiliki program penyelamatan dan pelestarian lingkungan. Memanfaatkan lahan secara efisien dan melakukan konservasi lahan dengan baik.

Lingkungan kampus memiliki keanekaragaman flora yang tinggi Melestarikan tanaman langka/dilindungi

Memiliki tanaman yang mencerminkan unsur-unsur panca mahabuta Memiliki serta menerapkan sistem Manajemen Lingkungan

Struktur Kampus harus sesuai dengan tri angga Sumber: PedomanTHK Yayasan Tri Hita Karana, 2015.

2.5. Teori Stakeholder

2.5.1. Pengertian

Latar belakang munculnya manajemen pemangku kepentingan adalah untuk membangun kerangka yang responsif terhadap keprihatinan manajer yang sedang menghadapi perubahan lingkungan yang sangat cepat. Ketika kerangka strategi tradisional sudah tidak dapat lagi membantu manajer untuk mengembangkan arah strategi yang baru dan tidak dapat lagi membantu manajer untuk memahami bagaimana menciptakan peluang baru di tengah-tengah begitu banyak perubahan, pendekatan stakeholder me-rupakan tanggapan terhadap tantangan ini.

Gambar

Tabel 2.1.
Tabel 2.2.
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

5.2.3 Hasil Belajar Siswa Ranah Psikomotorik Kelas IV SD 2 Tenggeles Melalui Penerapan Model Pembelajaran Group Investigation Media Pictorial Riddle

Penulisan tugas akhir dengan judul “ Pengaruh Kecepatan Aliran Terhadap Efisiensi Alat Penukar Panas ” ini juga mempunyai manfaat yaitu : (i) Mahasiswa

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

• Kembangkanlah kata kunci atau variabel pada judul dengan berbagai referensi atau kutipan yang telah Saudara baca. • Bagian inti atau isi berisi hasil kajian/penelitian

Penggunaan stilistika sastra metonimia dalam novel-novel karya Arafat Nur-novel karya Arafat Nur menggunakan bentuk kalimat yang sepadan dengan nama-nama yang unik terhadap

Untuk melakukan komunikasi serial dengan standar RS232 digunakan IC Max 232 sebagai sebagai driver, yang akan mengkonversi tegangan atau kondisi logika TTL dari hardware

Analisis Regresi Linier Berganda Pada analisis regresi berganda berguna untuk mengukur hubungan antara dua variabel maupun lebih serta dapat menunjukkan arah