• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Non-Intervensi dan Prinsip Non-Diskriminas

Dalam dokumen T1 312008032 BAB III (Halaman 51-60)

C. Konvergensi Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional

3. Prinsip Non-Intervensi dan Prinsip Non-Diskriminas

Isu inkoherensi pertama yang menjadi perhatian penulis adalah hak atas kebebasan beragama dengan dimensi internal, yaitu hak untuk meyakini suatu

118

Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004, hlm. 181-202.

119 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001,

hlm. 95.

106 agama/kepercayaan. Berdasarkan pembahasan sebelumnya diketahui bahwa pada dimensi internal ini sifat yuridis dari hak atas kebebasan beragama adalah absolut, menyangkut hubungan antara individu dengan agama/keyakinannya yang bersifat batiniah atau rohaniah. Oleh karena itu, terhadap hak dengan dimensi internal ini, yang berlaku sebagai bentuk perlindungan hukumnya adalah prinsip non- intervensi.

Prinsip non-intervensi mengehendaki adanya kewajiban negara untuk menghormati HAM yang dimiliki oleh setiap warganya. Kebebasan meyakini suatu agama termasuk dalam dimensi internal kebebasan beragama, yang bermakna bahwa hak tersebut tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, negara tidak berhak untuk melakukan segala bentuk intervensi termasuk pembatasan terkait hak a quo.

Keberlakuan prinsip non-intervensi diperkuat oleh prinsip non- diskriminasi yang melarang diskriminasi dalam penikmatan HAM yang dijamin. Setiap orang memiliki hak yang sama atas penikmatan HAM-nya tanpa adanya pembedaan dalam bentuk apapun berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal nasional atau sosial, kepemilikan, kelahiran atau status lainnya. Prinsip non-diskriminasi dalam HAM menjadi tanggungjawab setiap institusi penegak HAM, khususnya pemerintah.121

Berdasarkan pengertian di atas maka penulis berargumen bahwa hukum nasional Indonesia, dalam pokok-pokok pengaturan tertentu, telah gagal

107 memenuhi tuntutan prinsip non-intervensi, sehingga terjadi inkoherensi antara pengaturan hukum nasional Indonesia dengan pengaturan hukum internasional. Pemicu dari kegagalan tersebut adalah kecenderungan intervensionis serta sikap diskriminatif dalam kebijakan negara yang diwarnai oleh perspektif mayoritas yang sulit menerima perbedaan dengan minoritas. Pada paragraf-paragraf selanjutnya di bawah penulis akan menjustifikasi argumen tersebut.

a. Hak untuk Beragama serta Hak untuk Tidak Beragama

Perlindungan terhadap hak untuk beragama serta hak untuk tidak beragama didasarkan pada prinsip non-intervensi serta non-diskriminasi. Negara wajib menghormati HAM yang dimiliki oleh setiap warganya tersebut, serta tidak berhak untuk melakukan segala bentuk intervensi termasuk pembatasan terkait hak a quo. Lebih lanjut prinsip non-diskrimisasi melarang diskriminasi dalam penikmatan hak-hak asasi manusia yang dijamin. Negara tidak boleh melakukan justifikasi sepihak mengenai agama yang resmi ataupun agama yang belum diakui. Setiap warga negara harus mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agama.122

Namun dalam praktik hukum nasional Indonesia, terdapat pemberian

predikat “agama resmi” dan “agama yang belum diakui” terhadap

agama/kepercayaan yang ada.123 Hal tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi

122

Nicola Cobran, Op. Cit., hlm. 692.

123 Penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama jo. Pasal 8 ayat (2), Pasal 61 ayat (4), dan Pasal 64 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

108 pengakuan negara terhadap kebebasan beragama. Di satu sisi negara menyatakan adanya kebebasan yang absolut bagi setiap warga negara untuk meyakini suatu agama/kepercayaan124, namun di sisi lain kebebasan tersebut justru dibatasi dengan adanya klausul “agama resmi” dan “agama yang belum diakui”. Hal ini menunjukkan adanya diskriminasi bagi kaum minoritas yang ada di dalam suatu

negara, terutama bagi warga negara yang memeluk “agama yang belum diakui”.

Selanjutnya, hukum nasional Indonesia juga belum mengakomodasi hak warga negaranya untuk tidak beragama. Meskipun secara implisit hak tersebut sudah terdapat dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, namun tidak adanya pengaturan mengenai kebebasan tersebut serta adanya klausul “agama resmi” dan “agama yang belum diakui” justru menimbulkan pemahaman bahwa tidak ada kebebasan untuk tidak beragama sebagai bentuk kebebasan memeluk suatu agama/kepercayaan.

Berikut ini adalah beberapa isu inkoherensi pengaturan hukum nasional terhadap hukum internasional terkait dengan hak/kebebasan untuk beragama/tidak beragama. Pertama, intervensi negara berkenaan dengan persoalan administrasi kependudukan. Pasal 61 jo. Pasal 64 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan adalah bentuk intervensi terhadap hak atas kebebasan beragama yaitu hak untuk beragama/tidak beragama. Pengaturan tersebut kurang mengakomodasi kepentingan warga negara yang memiliki agama/keyakinan yang

124 Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat

109

selama ini tidak diakui sebagai “agama resmi” berdasarkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Oleh karena itu, supaya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dapat dijalankan tanpa melanggar atau bertentangan dengan hak atas kebebasan

beragama maka seyogianya persepsi keliru tentang “agama resmi” dihilangkan

terlebih dahulu.

Pencantuman identitas keagamaan tidak seyogianya bersifat imperatif, tetapi fakultatif dengan asumsi bahwa pencantuman identitas keagamaan tersebut harus didasarkan pada prior consent dari individu yang bersangkutan. Keharusan mencantumkan agama dalam dokumen kependudukan tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi pengakuan negara terhadap kebebasan beragama. Dalam ketentuan tersebut sebenarnya yang diberi kebebasan memeluk dan beribadah hanyalah pemeluk agama resmi. Implikasinya, warga negara yang agama/kepercayaannya tidak diakui menjadi tidak dapat mencantumkan agamanya ke dalam dokumen kependudukan.125 Hal ini menunjukkan adanya diskriminasi bagi kaum minoritas yang ada di dalam suatu negara, serta negara telah melanggar prinsip non-intervensi terhadap hak absolut. Walaupun tidak ada ketentuan dalam hukum internasional yang secara jelas mengatur hal itu, namun hak untuk mencantumkan atau untuk tidak mencantumkan agama yang dipeluk telah dijamin berdasarkan hak atas privacy yang dimiliki oleh setiap orang.126

125 Pasal 61 jo. Pasal 64 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

126 General comment No. 16: Article 17 (Right to privacy) paragraf 1, hak atas privacy tidak dapat

110 Kedua, inkoherensi dalam pengaturan mengenai pencatatan perkawinan. Hukum internasional mengakui hak laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, serta tidak boleh menerima perlakuan diskriminatif, termasuk terhadap persoalan agama.127 Pengaturan ini sejalan dengan aturan hukum nasional Indonesia berupa Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Aturan hukum nasional Indonesia tidak mengakomodasi hak untuk melangsungkan perkawinan, karena tidak memberikan pengakuan pelaksanaan perkawinan pemeluk agama yang belum diakui, serta perkawinan antar agama. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan No. 23 Tahun 2006 berupaya untuk mengakomodasi kemungkinan pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama yang belum diakui.128 Namun pengaturan tersebut justru menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap golongan minoritas yang agamanya belum diakui, karena terjadi pengosongan identitas agama.

harus melindungi kebebasan tersebut dengan membuat aturan yang melarang adanya gangguan terhadap hak tersebut.

127 Article 16 (1) UDHR, Article 23 (2) ICCPR, Article 12 ECHR serta Article 17 (2) ACHR 128 Pasal 81 ayat (2) PP No. 37 Tahun 2007.

111 Selanjutnya, pengaturan nasional Indonesia juga tidak mengakomodasi hak setiap warga negara untuk melangsungkan perkawinan antar agama. Hal ini dikarenakan adanya kekosongan pengaturan dalam undang-undang129 serta

pemahaman secara sempit klausul “perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Klausul yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tersebut sering menjadi dasar penolakan pencatatan perkawinan di Indonesia, seperti yang terjadi dalam kasus Sudiningsih and Geluk v. Head of the Jakarta Civil Registry. Pengadilan menyatakan bahwa ketika terjadi penolakan perkawinan antar agama baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya, maka dalam perspektif HAM hal tersebut jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.130

Meskipun dalam praktik beberapa putusan pengadilan telah memberikan jaminan bagi keabsahan perkawinan beda agama, namun pelanggaran HAM berupa diskriminasi oleh UU No. 1 Tahun 1974 tetap terjadi karena pengaturannya yang inkoheren dengan jaminan perlindungan HAM secara internasional meghalangi orang-orang berbeda agama untuk melangsungkan perkawinan masih eksis. Oleh karena itu perlu jaminan oleh undang-undang secara eksplisit bahwa perkawinan beda agama diperbolehkan. Dengan pengaturan demikian maka efek yuridisnya adalah akan terjadi koherensi.

129 Adriaan Bedner, Administrative Courts in Indonesia , The Hague: Kluwer Law International.

2001, hlm. 177.

112

b. Hak untuk Berganti Agama

Kebebasan untuk berganti agama tidak dijamin secara eksplisit dalam hukum nasional Indonesia. Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam hukum internasional. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, akan tetapi jaminan atas kebebasan untuk berganti agama telah diberikan oleh konstitusi maupun peraturan perundang-undangan. Indonesia menghadapi pilihan yang sulit dalam menentukan metode formulasi atas hak tersebut karena terkait dengan sejarah konstitusional yang rumit dalam mengakomodasi pendapat kelompok agama tertentu. Akibatnya, selalu terjadi pasang surut dalam pro dan kontra. Akan tetapi hal fundamental yang harus disepakati adalah prinsip non-intervensi berlaku mutlak dalam kasus ini. Kegagalan negara mencegah pihak ketiga untuk tidak mengintervensi kebebasan berganti agama pada seseorang sama bobotnya dengan negara sendiri yang melakukan intervensi.

Hukum internasional dan hukum nasional Indonesia mengakui bahwa setiap orang berhak untuk memilih dan berpindah agama atau kepercayaan dengan bebas. Namun hak tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit dalam pengaturan hukum nasional Indonesia, hanya secara implisit terdapat dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Sedangkan hukum internasional mengakui secara eksplisit dalam Article 18 UDHR dan Article 9 (1) ECHR. Ketiadaan pernyataan eksplisit mengenai kebebasan berganti agama di Indonesia dapat menghambat kebebasan

113 itu sendiri, bahkan muncul kesan bahwa berganti agama tidak dibenarkan secara yuridis.

c. Hak Anak untuk Menentukan Agama

Hukum internasional dan hukum nasional Indonesia mengakui adanya hak anak atas kebebasan beragama.131 Namun pengaturan mengenai hak anak tersebut berimplikasi terhadap isu adopsi terkait proteksi kebebasan beragama anak oleh orang tua angkatnya.

Pengaturan tentang adopsi di Indonesia memuat ketentuan mengenai agama sebagai salah satu syarat keabsahan pengangkatan anak yakni calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.132 Pengaturan tersebut membatasi hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Ketika seorang anak menjadi tidak dapat diasuh oleh orang yang dapat mengasuh demi kebaikannya karena kendala agama, maka sebenarnya telah terjadi pembatasan terhadap hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Pengaturan hukum nasional Indonesia justru diskriminatif terhadap anak yang hendak diadopsi.

131

Article 14 Convention on the Rights of the Child dan Pasal 6 jo. Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

132 Pasal 39 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 3 ayat (1) jo.

114 Pengaturan tersebut tidak sejalan dengan hukum internasional yang di dalamnya tidak memuat ketentuan yang mengatur mengenai agama dalam proses adopsi.133 Pelaksanaan adopsi anak semata-mata dilakukan dengan dilandasi prinsip demi kepentingan terbaik anak.134 Kepentingan terbaik anak artinya di dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama.135

Dalam dokumen T1 312008032 BAB III (Halaman 51-60)

Dokumen terkait