55
BAB III
HUKUM NASIONAL INDONESIA DAN HUKUM
INTERNASIONAL SEBAGAI
A BODY OF LAW
YANG
KOHEREN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN
TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA
SEBAGAI HAM
Mengingat urgensi kebebasan beragama yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), hak atas kebebasan beragama menjadi salah satu prioritas perlindungan oleh hukum yang berlaku. Di mana negara memiliki kewajibkan untuk menjamin, melindungi, serta menghormati hak tersebut. Bentuk perlindungan tersebut adalah melalui pengaturan hukum.
Perlindungan tersebut disediakan oleh hukum nasional dan hukum internasional. Dalam kaitan dengan pemberian perlindungan terhadap kebebasan beragama tersebut, hukum nasional dan hukum internasional adalah sebuah sistem, a body of law, yang seyogyanya koheren. Namun penulis menemukan inkoherensi dalam pengaturan mengenai hak atas kebebasan beragama di dalam hukum nasional Indonesia dan hukum internasional
56 sebagai HAM. Untuk mencapai tujuan tersebut maka sistematika pembahasan dalam Bab ini disusun sebagai berikut. Pertama, mengemukakan pengaturan hukum nasional Indonesia mengenai kebebasan beragama (infra Sub-judul A). Kedua, mengemukakan pengaturan hukum internasional mengenai kebebasan beragama (infra Sub-judul B). Ketiga, mengidentifikasi adanya inkoherensi antara hukum nasional Indonesia dan hukum internasional serta memberikan solusi atas inkoherensi dalam rangka a coherent body of law keduanya (infra Sub-judul C).
A. Pengaturan Hukum Nasional Indonesia Mengenai Kebebasan
Beragama
Dalam sub-judul ini penulis akan mendiskusikan konsep hubungan antara negara dan agama di Indonesia (infra Sub-judul A.1) serta selanjutnya mendiskusikan peraturan perundang-undangan (legislasi dan regulasi) berkaitan dengan hak atas kebebasan beragama di Indonesia (infra Sub-judul A.2 & 3). Hak-hak yang dimaksud meliputi: 1) Kebebasan dalam meyakini suatu agama, serta 2) Kebebasan dalam menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini.
1. Konsep Hubungan antara Negara dan Agama di Indonesia
57 konsensus penting berupa Rancangan UUD yang memuat pasal mengenai kebebasan beragama yang berbunyi “Negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama apa pun dan untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama masing-masing.”1
Namun golongan Islam tidak menyetujui sehingga diubah menjadi, pertama, “Negara harus mendasarkan pada Ketuhanan dengan menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kedua, “Negara akan menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama lain dan untuk beribadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing.2 Sekali lagi golongan Islam
menentang ayat kedua ketentuan tersebut sehingga diubah menjadi “Negara
menjamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama masing-masing.”
Konsep negara Islam ditentang oleh kaum nasionalis dengan latar belakang keanekaragaman agama/kepercayaan yang diyakini oleh bangsa
Indonesia. Ketentuan mengenai syari’at Islam berpotensi timbulnya kedudukan
yang lebih menguntungkan bagi Islam dibandingkan dengan penganut agama lain.3 Di samping konsep negara Islam, konsep negara sekuler juga ditentang sebagai dasar negara Indonesia karena dipandang sebagai sebuah pemikiran,
1 Adnan Buyung Nasution, Op. Cit. Hlm. 102. 2 Ibid. Hlm. 103.
58 tujuan, dan sikap yang terbatas pada kehidupan duniawi. Sekulerisme dianggap tidak sanggup memberi bimbingan yang kuat dan tegas dibanding agama.4
Penolakan terhadap konsep-konsep hubungan negara dan agama tersebut menyebabkan konsep hubungan negara dan agama di Indonesia sangat ambigu. Sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang membuat Indonesia semakin digambarkan sebagai bukan negara sekuler namun juga bukan negara agama mayoritas.5
Hal ini dipertegas oleh Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 tersebut berbunyi
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 sebagai penjabarannya menjamin seseorang bebas mendiskusikan atau memilih atau tidak memilih suatu agama tanpa campur tangan negara, dan ketika telah menganut agama dia bebas mengikuti ajaran-ajarannya, berpartisipasi dalam kebaktian, menyebarkan ajaran-ajarannya dan menjadi pejabat dalam organisasi agamanya.6
2. Kebebasan dalam Meyakini suatu Agama
Hak-hak berkenaan dengan kebebasan meyakini agama yang akan dibahas oleh Sub-judul ini adalah: a) Hak untuk beragama dan tidak beragama; b) Hak untuk berganti agama; serta c) Hak anak untuk menentukan agama.
4 Ibid. Hlm. 106.
5 Nicola Cobran, Kebebasan Beragama atau Nerkeyakinan di Indonesia dalam Tore Lindholm, et
al., Op. Cit., hlm. 683. “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan hasil kompromi antara kelompok pendukung nasionalisme sekuler dan kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara.
59
a. Hak untuk Beragama serta Hak untuk Tidak Beragama
UUD 1945 mengakui hak atas kebebasan beragama sebagai HAM serta memberikan dasar perlindungan terhadap berupa Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut mengamanatkan bahwa negara menjamin kemerdekaan serta kebebasan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu, serta kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani serta hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Hak atas kebebasan seseorang untuk meyakini suatu agama meliputi hak untuk memilih serta memeluk suatu agama baik itu keyakinan teistik ataupun ateistik, hak untuk tidak memeluk suatu agama/keyakinan, hak untuk berganti agama/keyakinan, serta hak untuk mempertahankan agama/keyakinan yang pernah dipeluknya.7
Negara berkewajiban untuk menjamin kebebasan beragama serta segala sesuatu yang menjadi turunannya, seperti hak-hak sipil lainnya.8 Sifat internal dari hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan9 tidak boleh dibatasi karena
7 Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR
(Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 2 dan paragraf 5.
8 Pasal 28I ayat (4) berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
9 Oeripan Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011, hlm. 69.
60 merupakan persoalan individu, bukan persoalan negara. Negara tidak boleh melakukan justifikasi sepihak mengenai agama yang resmi ataupun agama yang belum diakui. Setiap warga negara harus mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agama.10
Beberapa persoalan pengaturan dalam hukum nasional Indonesia terkait dengan hak beragama/tidak beragama adalah sebagai berikut.
a.1. Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan
UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyebutkan agama-agama resmi yang dipeluk oleh penduduk Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Kendati undang-undang tersebut menegaskan bahwa agama-agama lainnya seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme tidak dilarang di Indonesia, namun undang-undang ini diartikan hanya mengakui secara resmi enam agama saja.11
Hal ini dapat dilihat dalam dokumen resmi negara serta undang-undang yang menggunakan istilah agama resmi dan agama yang belum diakui.12 Dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
pilihannya sendiri, serta untuk membentuk pendapat dalam batin sesuai dengan keinsyafan-batinnya sendiri.
10 Nicola Cobran, Op. Cit., hlm. 692. 11
Penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
12 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 8 ayat (2), Pasal 61 ayat (4),
61 Kependudukan dimuat tentang keharusan pencantuman dokumen kependudukan setiap warga negara. Pasal 61 jo. Pasal 64 menyatakan,
(1) KK dan KTP memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal Iahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua;
(2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Ketentuan ini mengharuskan adanya pencantuman agama yang dianut oleh warga negara. Yang menjadi isu sebenarnya adalah ketika seseorang beragama/berkepercayaan yang belum diakui, serta bagi seseorang yang tidak memeluk agama, maka konsekuensinya ia tidak mencantumkan agamanya ke dalam dokumen kependudukan. Hal ini menunjukkan adanya inkonsistensi pengakuan negara terhadap kebebasan beragama.
62 keharusan.13 Lebih lanjut hal ini menunjukkan adanya diskriminasi bagi kaum minoritas yang ada di dalam suatu negara.
a.2. Pengaturan mengenai Pencatatan Perkawinan
Salah satu contoh peniadaan hak-hak sipil dan politik penganut agama di luar agama resmi adalah peniadaan hak untuk dicatatkan perkawinannya.14 Hak seseorang untuk melaksanakan perkawinan terdapat dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah.”
Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Permasalahan timbul ketika pasangan calon suami-istri yang hendak melakukan perkawinan memeluk agama yang belum diakui. Sahnya sebuah perkawinan harus dicatatkan, namun kenyataannya pencatatan tersebut hanya berlaku bagi agama-agama yang diakui oleh negara. Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa syarat administatif pencatatan perkawinan adalah pencantuman dokumen kependudukan yang mencangkup klausul agama. Namun karena
63 agama yang dapat tercantum hanyalah agama resmi, maka terjadi ketidaklengkapan substansi dokumen kependudukan.15
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No. 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan untuk mengakomodasi kemungkinan pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan apabila perkawinannya dilakukan di hadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan yang ditunjuk dan ditetapkan.16 Namun UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No. 37 Tahun 2007 ini tidak mampu menghapus praktik diskriminasi terhadap golongan minoritas yang agamanya belum diakui. Hal ini dikarenakan ketika syarat administratif berupa dokumen kependudukan memuat klausul pengosongan identitas terkait agama, maka akan terjadi kesulitan pencatatan perkawinan.
Permasalahan pencatatan perkawinan juga mengalami kendala terkait keabsahan perkawinan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Isu yang menarik adalah ketika pasangan calon suami-istri memiliki agama/keyakinan yang berbeda. Salah satu kebijakan negara Indonesia dalam persoalan klasik yang tetap menjadi isu aktual adalah perkawinan antar agama.
15 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 8 ayat (2), Pasal 61 ayat (4),
dan Pasal 64 ayat (2). Lihat juga sub bab A.a.1.
64 Dalam rangka mengisi kekosongan hukum karena UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, menyatakan bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami istri untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.17
Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentu saja perlu dikritisi lebih lanjut karena beberapa hal yaitu, pertama sebagai satu negara yang sudah memiliki instrumen hukum berupa UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, idealnya negara menjamin kebebasan warganya untuk memilih pasangannya dalam membentuk sebuah keluarga. Hak untuk memilih pasangan hidup merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh negara. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM setiap orang berhak membentuk sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Hal ini bermakna bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas. Namun pada kenyataannya, negara justru membatasi perkawinan tersebut. Kedua, Indonesia bukan negara agama mayoritas dan bukan pula negara sekuler sehingga di dalam pembentukan hukum nasional, pemerintah harus bisa
17 Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar. Liberty. Jakarta. 2007. Hlm. 40.
65 menjamin kepastian hukum kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut, termasuk dalam persoalan perkawinan antar agama. Ketiga, perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap penduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama untuk membentuk sebuah keluarga. Keempat, akibat tidak diaturnya ketentuan mengenai perkawinan antar agama dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka hal tersebut membuka ruang terjadinya penyeludupan hukum. Untuk memenuhi persyaratan formal secara perdata, suami-istri berbeda agama rela melangsungkan pernikahan di luar negeri tanpa memperhatikan hukum agama, atau salah satu pihak pura-pura pindah agama.18
Pengaturan mengenai pencatatan serta keabsahan perkawinan ini jelas bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.” Pengaturan tersebut juga menimbulkan diskriminasi secara tidak langsung terhadap kebebasan meyakini suatu agama yang merupakan hak absolut.
66 Meskipun pemerintah atau negara tidak menyebutkan klausul larangan perkawinan antar agama, namun pemerintah secara tidak langsung menolak hak asasi tersebut melalui substansi Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Oleh karena itu, bila di Indonesia terjadi penolakan perkawinan antar agama baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya, maka dalam perspektif HAM menurut penulis hal tersebut jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.
b. Hak untuk Berganti Agama
Salah satu hak yang termasuk dalam hak atas kebebasan beragama adalah hak untuk berganti agama.19 Namun dalam perjalanannya, terjadi perdebatan mengenai pencantuman kebebasan berganti agama sebagai salah satu bentuk kebebasan beragama dalam perumusan konstitusi Indonesia.20 Keberatan pencantuman kebebasan berganti agama disampaikan oleh tokoh Islam Sajid Husein Abubakar (Masyumi) yang menganggap perbuatan meninggalkan agama merupakan suatu hal yang berbahaya. Namun golongan Katolik justru memberikan usulan supaya Konstitusi yang baru tersebut memasukkan perumusan Article 18 UDHR mengenai kebebasan beragama secara utuh. Dimana materi muatan Article 18 UDHR memuat klausul kebebasan berpindah/mengganti agama
19 Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18
ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 2 dan paragraf 5.
67 sebagai salah satu bentuk kebebasan beragama. Perbedaan dua pandangan ini bertitik pada pemuatan secara eksplisit terhadap hak untuk berpindah agama.21
Kesimpulan yang didapat dalam perdebatan tersebut adalah setiap orang berhak untuk memilih dan berpindah agama atau kepercayaan dengan bebas. Kebebasan ini memang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam pengaturan hukum nasional Indonesia, namun dasar perlindungan terhadap hak untuk berganti agama diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.
Kebebasan untuk memilih agama mencakup kebebasan untuk memilih agama lain untuk menggantikan agama yang sedang dianut.22 Walaupun terdapat kontroversi terkait pemuatan hak untuk berganti agama sebagai bagian dari hak atas kebebasan beragama,23 namun The Human Rights Committee mengamati bahwa kebebasan untuk memiliki agama/kepercayaan tentu memerlukan kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan, termasuk hak untuk mengganti agama atau kepercayaan dengan yang lain atau untuk mengadopsi pandangan ateistik, serta hak untuk mempertahankan agama/kepercayaan
21 Ibid.
68 seseorang.24 Kebebasan tersebut tetap diakui walaupun tidak secara eksplisit dimuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
c. Hak Anak untuk Menentukan Agama
Indonesia memberikan pengakuan, penghormatan, serta perlindungan terhadap hak atas kebebasan meyakini suatu agama bagi setiap orang, termasuk anak. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 1 angka 5 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Hak anak atas kebebasan beragama dimuat dalam Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan “Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.” Pasal 42 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. (2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang
tuanya.” Perlindungan atas hak anak dalam rangka memeluk agama merupakan suatu kebutuhan yang mutlak. Pemberdayaan anak penting agar mereka tidak sekadar menjadi objek dari hak agama orang tua. Hal ini dikarenakan pada
24 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)
69 dasarnya anak secara otomatis mengikuti agama yang dianut oleh orang tua mereka.25
Pengaturan tentang hak anak untuk beragama berimplikasi pada persoalan adopsi, karena berpengaruh terhadap proteksi kebebasan beragama anak oleh orang tua angkatnya. Pengaturan tentang adopsi di Indonesia memuat ketentuan mengenai agama sebagai salah satu syarat keabsahan pengangkatan anak. Pasal 39 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak
angkat.”
PP No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak juga memberikan pengaturan mengenai agama dalam pengangkatan anak. Pasal 3 menyatakan “(1) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang
dianut oleh calon anak angkat.” Pasal 13 menyatakan “Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat: c. beragama sama dengan agama calon anak angkat.” Pengaturan tersebut secara langsung ataupun tidak langsung telah membatasi hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak anak tersebut juga termaktub dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
25 Rajaji Ramanadha Babu Gogineni dan Lars Gule, Humanisme dan Kebebasan dari Agama
70 Ketika seorang anak menjadi tidak dapat diasuh oleh orang yang berkompeten karena kendala agama, maka sebenarnya telah terjadi pembatasan terhadap hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Di sisi lain pengaturan ini dapat memicu penyelundupan atas syarat administratif tersebut, misalnya anak berganti agama dahulu supaya sesuai dengan agama calon orang tua angkatnya. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran HAM terhadap anak.
3. Kebebasan dalam Menjalankan/Mengekspresikan Agama yang
Diyakini
Kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat menjalankan atau mengekspresikan agamanya masing-masing juga mendapatkan perlindungan.26 Namun dimensinya berbeda dengan kebebasan meyakini suatu agama karena kebebasan menjalankan agama merupakan dimensi eksternal hak atas kebebasan beragama.27
Berbicara tentang kebebasan untuk mengekspresikan agama/keyakinan, hubungan yang terbentuk bukan hanya antara individu dengan Tuhannya, namun juga dengan individu lain. Sehingga yang perlu ditekankan adalah adanya toleransi yang ujungnya demi menghormati hak-hak orang lain.28
26
Louis Henkin, Religion, Religions and Human Rights, The Journal of Religious Ethics, 1998, hlm. 229-239.
27 Nicola Cobran, Loc. Cit.
71 Dalam Amandemen ke-2 UUD 1945 yang menambahkan Pasal 28J ke dalam konstitusi, terdapat usul yang disampaikan oleh Nurdiati Akma (F-Reformasi) yang menyatakan bahwa manusia juga mempunyai kewajiban di samping haknya, serta memerlukan ada undang-undang untuk aplikasinya. Mempertimbangkan usulan tersebut, rumusan Pasal 28J UUD 1945 menjadi,
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pembatasan terhadap kebebasan untuk menjalankan/mengekspresikan agama dapat diterapkan. Dari sisi eksternal, kebebasan tersebut dapat dibatasi sepanjang pembatasan tersebut ditetapkan dengan hukum, dan pembatasan tersebut benar-benar diperlukan untuk melindungi keamanan (dalam arti keamanan pribadi pemeluk agama), ketertiban, kesehatan, nilai moral masyarakat, atau hak-hak mendasar orang lain.29 Pembatasan yang diperbolehkan harus berhubungan secara langsung dengan salah satu dari lima kepentingan tersebut, bersifat proporsional (tidak berlebihan) dengan kepentingan yang melandasinya, dan tidak boleh diterapkan dengan cara yang akan meniadakan hak kebebasan
72 beragama itu sendiri.30 Penilaian apakah pembatasan itu benar-benar diperlukan harus didasarkan pertimbangan yang objektif.31
Pembahasan penulis atas kebebasan dalam menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini akan meliputi beberapa hak spesifik yaitu a) hak untuk bebas menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini; b) hak untuk mendirikan tempat ibadah; c) hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini; serta d) hak untuk menyebarluaskan ajaran agama.
a. Hak untuk Bebas Menjalankan Agama sesuai Tafsir yang Diyakini
Hak untuk bebas menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini di Indonesia mendapatkan beberapa pengaturan berupa UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta yang lebih spesifik yakni SKB No: 3 Tahun 2008, No: Kep-033/A/JA/6/2008, dan No: 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung (SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI).
Tujuan adanya UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama adalah mencegah terjadinya
30 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)
paragraf 8. Lihat juga paragraf 2 dan 10.
73 penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok32 serta melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.33 Dalam penjelasan Pasal 1 disebutkan bahwa agama yang dimaksud adalah agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).34 Pelanggaran atas larangan dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya melalui surat keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.35
UU ini juga menetapkan pasal baru KUHP (Pasal 156a) yang memberikan sanksi pidana maksimum lima tahun bagi yang mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia serta dengan maksud agar supaya orang tidak menganut apapun juga, yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.36
Dalam perjalanan penerapannya, terdapat pihak yang mempermasalahkan substansi berkenaan dengan konstitusionalitas UU No. 1/PNPS/1965 tentang
32 Pasal 1-3 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama.
33 Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Lihat juga Penjelasan I, umum angka 4.
74 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 telah menyatakan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama konstitusional. Namun dalam putusan tersebut terdapat disenting opinion yang disampaikan oleh salah satu hakim konstitusi yakni Maria Farida Indrati yang menyatakan:
“Bahwa Undang-Undang a quo merupakan produk masa lampau, yang walaupun berdasarkan Aturan Peralihan Pasal I Undang-Undang Dasar 1945 secara formal masih mempunyai daya laku (validity), namun secara substansial mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan yang sangat mendasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal-pasal yang menyangkut hak-hak asasi manusia.”
Substansi undang-undang tersebut sebenarnya telah melanggar hak atas kebebasan menjalankan agama sesuai dengan tafsir yang diyakini oleh seseorang. Padahal pengaturan mengenai HAM akan selalu disejajarkan dan tidak dapat dikesampingkan dari materi-materi yang lain dalam konstitusi Negara.37 Walaupun Putusan MK menyatakan bahwa undang-undang tersebut konstitusional, namun pada kenyataannya terdapat inkonsistensi dalam undang-undang a quo terhadap ketentuan konstitusi mengenai kebebasan beragama yang seharusnya dilindungi.
SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI bermuatan spesifik yaitu pembekuan
37 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewa rganegaraan dan Hak Asasi Manusia ,
75 kegiatan JAI.38 Latar belakang disusunnya SKB adalah keberadaan aliran Ahmadiyah yang dipandang sudah melenceng dari agama induknya.Secara khusus, keputusan tersebut melarang penyebarluasan ajaran Ahmadiyah.39 SKB tersebut memberikan peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.40 Sedangkan secara umum SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI juga berlaku bagi bangsa Indonesia secara luas karena memberikan peringatan dan perintah kepada masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Selain itu, dalam SKB tersebut juga termuat sanksi terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah yang telah dimuat dalam SKB.41 Pelanggaran terhadap larangan
38 Jurnal Konstitusi
Volume 7 Nomor 6, Desember 2010, hlm. 101. 39 Diktum Kedua SKB No: 3 Tahun 2008.
40 Ibid.
76 penyebarluasan dapat diancam dengan hukuman maksimum lima tahun penjara atas tuduhan melakukan penistaan.42
SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI justru menjadi pintu masuk diskriminasi terhadap JAI karena pemerintah secara jelas menyatakan pembekuan terhadap segala kegiatan JAI. JAI dilarang untuk menjalankan agamanya sesuai dengan tafsir yang diyakini. Akibatnya JAI mempunyai dua pilihan: bisa melanjutkan langkahnya jika keluar dari Islam; atau menjadi bagian dari Islam dengan catatan harus mengubah ajarannya.43 Secara tidak langsung hal ini menyiratkan bahwa JAI tidak boleh beribadah dengan keyakinan mereka sendiri. Negara melakukan pelanggaran HAM yaitu melanggar kewajiban korelatifnya berupa kewajiban untuk menghormati dan melindungi HAM setiap warga negaranya.
Ketentuan yang terdapat di dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI tidak memberikan jaminan hak atas kebebasan untuk menjalankan/memanifestasikan agama/kepercayaan yang diyakini. Ketentuan tersebut mengandung larangan menafsirkan suatu agama di Indonesia. Ketika ada seseorang yang beribadah sesuai keyakinannya namun tidak sama persis dengan ajaran agamanya tersebut, maka ia dianggap melakukan kejahatan penodaan agama sesuai dengan Pasal 156a KUHP.
42 Ibid.
77 Pembatasan hak dalam menjalankan agama di Indonesia melalui UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta SKB No: 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI adalah tidak tepat karena dilatarbelakangi adanya pencampuradukan kepentingan stabilitas politik atau keamanan negara, bukan atas dasar melindungi keamanan pribadi pemeluk agama. Ketentuan tersebut justru menjadi pintu masuk diskriminasi yang berujung kekerasan terhadap pemeluk agama yang seharusnya dilindungi. Namun pembatasan hak dengan latar belakang seperti ini jelas tidak diperbolehkan karena stabilitas politik atau keamanan negara tidak termasuk dalam salah satu kriteria pembatasan hak yang diperbolehkan.44
b. Hak untuk Mendirikan Tempat Ibadah
Mendirikan tempat ibadah merupakan salah satu pengaplikasian kebebasan menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini. Dari hak atas kebebasan beragama maka timbul hak untuk mendirikan tempat-tempat ibadah.45
Pembahasan Pasal 29 UUD 1945 menimbulkan perdebatan mengenai kebebasan pendirian rumah ibadah di Indonesia terkait persoalan persyaratan dalam perizinannya. Berkenaan dengan hal tersebut muncul usulan
ditambahkannya satu ayat dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan “Negara
harus menyediakan tempat beribadah bagi tiap-tiap pemeluk agama dan
44 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)
paragraf 8.
78 kepercayaannya itu, agar dapat beribadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya itu.”46
Namun usulan ini dipandang berlebihan. Rumusan Pasal 29 ayat (2) 1945 secara substansial telah mencangkup kebebasan mendirikan
rumah ibadah sebagai bagian “beribadah menurut agama dan kepercayaan”.
Hukum nasional Indonesia memberikan pengaturan tentang kebebasan pendirian rumah ibadah berupa Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9 Tahun 2006 dan No: 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah (PBM No: 9 Tahun 2006 dan No: 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah).
PBM No: 9 Tahun 2006 dan No: 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah mencantumkan persyaratan pendirian rumah ibadah. Pasal 14 menyatakan,
(1) Pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:
a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 (Sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah
79 daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.
Pengaturan administratif mengenai pendirian rumah ibadah telah membatasi kebebasan umat beragama mengekspresikan agama/keyakinannya secara publik termasuk di dalamnya untuk melaksanakan ibadah secara kolektif dan menyebarkan agamanya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya persyaratan yang kaku yang diberikan oleh negara berupa kewajiban pengumuman daftar nama serta pengumpulan dukungan dari masyarakat setempat. Hal ini menghalangi hak kelompok penganut agama minoritas untuk menjalankan agamanya.47
Pengaturan tentang pendirian rumah ibadah ini juga memicu radikalisasi penolakan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas yang hendak mendirikan rumah ibadah, termasuk digunakannya cara-cara kekerasan. Seharusnya kebebasan mendirikan rumah ibadah dilindungi oleh Negara dari siapapun yang hendak menghalangi. Memberikan perlindungan merupakan tanggungjawab mutlak negara terhadap norma hukum yang mengikat negara. Mengingat kebebasan mendirikan rumah ibadah merupakan bagian hak atas kebebasan beragama sebagai HAM.
Sebagai perbandingan kasus Mannousakis v. Greece. Dalam kasus ini pengadilan HAM Eropa menguji kesesuaian/kebenaran dari suatu dakwaan terhadap pendirian dan pengoperasian suatu rumah ibadah tanpa izin dari Menteri
80 Urusan Pendidikan dan Agama Yunani.48 Pengadilan menyatakan bahwa penerapan keharusan adanya perizinan memang selaras dengan Article 9 ECHR, namun dengan catatan hanya berupa verifikasi persyaratan formal tertentu apakah sudah dipenuhi atau belum. Namun pengadilan menemukan dan mengemukakan bahwa Yunani telah menggunakan perizinan ini untuk menerapkan pula persyaratan-persyaratan yang kaku, atau yang bersifat mempersulit, bahkan melarang praktik keagamaan tertentu. Pengadilan memutuskan bahwa dakwaan terhadap pemohon merupakan suatu bentuk intervensi terhadap kebebasan mereka dalam memanifestasikan agama mereka, suatu intervensi yang tidak diperlukan/tidak diharuskan dalam suatu masyarakat demokratik.49
c. Hak untuk Membela/Mempertahankan Agama yang Diyakini
Hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini merupakan konsekuensi pembahasan tentang hak untuk bebas memeluk dan menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini dan pengaplikasian dalam menjalankan hak tersebut. Tidak ada aturan secara spesifik mengenai hak untuk membela/mempertahankan agama dalam pengaturan hukum Indonesia. Namun hak ini berlaku secara lex generalis dan sudah melekat dengan kebebasan untuk menjalankan/mengekspresikan agama/keyakinan yang telah dipeluk seseorang. Sebagai bagian dari dimensi eksternal, hak ini mendapatkan pembatasan.
48 Manousakis and Others v. Greece, 23 EHRR 387 (1997) (EctHR 1996-IV, 26 September 1996). 49 Ibid., Lihat juga Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit.,
81 Hak seseorang atau sekelompok orang dalam mempertahankan agama/keyakinannya dihadapkan dengan situasi yang menunjukkan adanya interpretasi yang berbeda satu sama lain mengenai suatu agama. Meskipun konstitusi telah memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agama/kepercayaannya,50 namun dalam praktik ditemui interpretasi yang berlainan.
Sering kali ditemui adanya justifikasi sepihak kesahihan ajaran suatu agama yang ditafsirkan oleh sekelompok agama terhadap kelompok lain yang berujung tindakan anarkis. Hal ini dilatarbelakangi pengaturan yang memberikan ruang pemberian predikat sesat terhadap suatu agama berupa UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pengaturan ini diderivasikan dalam sebuah SKB yang melarang penyebarluasan ajaran Ahmadiyah.
Dalam rangka kebebasan berekspresi, setiap orang atau sekelompok orang dapat mengekspresikan dan membela/mempertahankan agamanya di muka umum. Namun kebebasan ini harus tunduk pada ketentuan pembatasan hak. Pasal 9 UU No. 9 Tahun I998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyatakan bahwa bentuk penyampaian pendapat di muka urnum dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa/dernonstrasi, pawai, rapat umurn, dan/atau mimbar bebas. Pelaksanaan hak mempertahankan agama sebagai wujud kebebasan berekspresi tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
50 Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jis. Pasal 28E ayat (1) jo. ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1)
82 undangan, serta harus tetap menghormati hak orang lain. Oleh karena itu segala tindakan anarkis dalam upaya perwujudan hak merupakan sesuatu yang dilarang secara hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku yaitu UU No. 9 Tahun 1998.
d. Hak untuk Menyebarluaskan Ajaran Agama
Penyebaran agama merupakan tindakan ekspresif yang dilakukan dengan tujuan mencoba mengubah keyakinan agama orang lain.51 Setiap agama ingin menyebarkan sabda Tuhan kepada orang-orang di luar lingkungan itu,52 oleh karena itu penyebaran agama menjadi salah satu bagian dari kebebasan beragama yakni kebebasan dalam menjalankan agama yang diyakini.
Kebebasan menyebarkan agama bukanlah kebebasan yang steril dari pembatasan. Pembatasan yang paling utama dalam kebebasan ini ialah hak asasi orang lain yang menjadi sasaran penyebaran agama.
Hukum nasional Indonesia menyediakan aturan tentang penyebaran agama berupa SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (SKB No. 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama). Secara substansial SKB tersebut memberikan pengaturan dan pengarahan bagi usaha-usaha penyebaran agama sehingga pelaksanaannya dapat berlangsung dengan tertib dan serasi. SKB No. 1 Tahun
51 Tad Stahnke, Op. Cit., hlm. 531.
83 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama juga menentukan bagaimana cara pelaksanaan penyiaran agama yakni:
Pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain dengan cara:
a. Menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, makanan dan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan bentu-bentuk pemberian apapun lainnya agar orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang disiarkan tersebut.
b. Menyebarkan pamflet, majalah, bulletin, buku-buku, dan bentuk-bentuk barang penerbitan cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain.
c. Melakukan kunjungan dan rumah ke rumah umat yang telah memeluk/menganut agama yang lain.
Pengaturan mengenai penyebaran agama di Indonesia tersebut merupakan wujud pembatasan hak. Pembatasan hak memang diperbolehkan sepanjang pembatasan tersebut sesuai dengan kriteria yuridis. Namun pembatasan atas kebebasan menyebarkan agama di Indonesia tersebut terlampau eksesif karena mengabaikan batasan bahwa substansi dari hak tersebut juga meliputi hak untuk mencoba meyakinkan orang lain untuk meyakini agamanya.53 Hal ini analog dengan kasus Kokkinakis v. Greece54 yang mengadili pasangan suami istri yang didakwa melakukan aktivitas penyebaran agama dengan berkunjung dari pintu ke pintu untuk membujuk orang lain untuk menjadi penganut agama mereka. Pengadilan menegaskan bahwa kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agamanya meliputi hak untuk mencoba meyakinkan orang lain dengan maksud
84 untuk memperoleh anggota baru.55 Bentuk penyebaran agama yang seyogianya dilarang adalah (a) penyebaran agama secara tidak patut (proselytism), (b) penghujatan (blasphemy), serta (c) pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan selebihnya dari orang-orang lain.56
B. Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama
Hak atas kebebasan beragama sebagai HAM merupakan norma yang universal. Karakteristik utama yang membedakan HAM dari hak-hak lainnya adalah sifat mereka yang inheren pada diri setiap manusia berdasarkan kemanusiaannya.57 Sifat inheren berimplikasi pada universalitas HAM.58 HAM ada dan harus dihormati oleh seluruh manusia secara mutlak. Mutlak dalam artian tidak tergantung posisi, situasi, kondisi suatu wilayah atau bangsa tertentu.59
Dalam sub-judul ini penulis akan mendiskusikan konsep hak atas kebebasan beragama sebagai hak internasional (infra Sub-judul B.1) dan selanjutnya tentang pengaturan hukum internasional berkaitan dengan hak atas kebebasan beragama (infra Sub-judul B.2 & 3). Hak-hak yang dimaksud meliputi: 1) Kebebasan dalam meyakini suatu agama, serta 2) Kebebasan dalam menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini.
55 Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik, Op. Cit., hlm. 223-224. 56
Ibid., hlm. 222-230.
57 Paul Sieghart dalam Ibid., hlm. 174. 58 Ibid., hlm. 157.
85
1. Hak atas Kebebasan Beragama sebagai Hak Internasional
Hak atas kebebasan beragama sebagai hak internasional memiliki pengertian bahwa hak tersebut dijamin dan dilindungi oleh hukum internasional. Isu hak atas kebebasan beragama sebagai hak internasional dijustifikasi dengan jalan mencari apakah ada sumber-sumber hukum internasional yang valid dan relevan yang memberi pengakuan dan jaminan atas eksistensinya.60 Sumber hukum internasional yang dapat menjadi acuan validitas hak tersebut sesuai dengan Article 38 (1) Statute of the International Court of Justice (Statuta ICJ) meliputi:
a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states;
b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c. the general principles of law recognized by civilized nations;
d. judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.
Perjanjian internasional (international conventions) merupakan hasil dari kesepakatan atau keputusan negara untuk menciptakan kewajiban yang mengikat di antara mereka.61 Perjanjian internasional hanya mengikat kepada negara pihak setelah yang bersangkutan menyatakan persetujuannya untuk terikat.62
Mengandung efek yuridis kebalikannya adalah kebiasaan internasional (international custom) yang berasal dari praktik umum yang diikuti/dipatuhi oleh
60 Titon Slamet Kurnia, Op.,Cit. hlm. 374. 61
Nihal Jayawickrama, Op.,Cit. hlm. 5.
62 Article 11-16 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. Persetujuan untuk terikat
86 negara-negara.63 Eksistensi kebiasaan internasional bergantung pada beberapa kriteria, yaitu: kebiasaan internasional dipraktikkan dalam jangka waktu lama; ada konsistensi dan keseragaman dalam praktik; praktik tersebut bersifat umum; serta diakui memiliki kekuatan mengikat (opinio juris et necessitatis).64 Setiap negara terikat pada kebiasaan internasional meskipun tidak menyatakan pengikatan diri terhadapnya.
Secara substantif, norma-norma atau kaidah-kaidah HAM telah menjadi bagian dari kebiasaan internasional. Meskipun negara tidak menjadi pihak dalam perjanjian internasional, namun setiap negara tetap terikat oleh norma-norma atau kaidah-kaidah HAM karena keberlakuan berdasarkan kebiasaan internasional.65 Hal yang sama berlaku bagi Indonesia, khususnya berkenaan dengan HAM yang spesifik yaitu kebebasan beragama. Sebagai catatan, keberlakuan dengan efek erga omnes tidak berlaku untuk semua jenis HAM, tetapi hanya ditujukan pada HAM yang berkarakter jus cogens.66
2. Kebebasan dalam Meyakini suatu Agama
Cakupan perlindungan hukum internasional terhadap hak atas kebebasan untuk meyakini suatu agama meliputi kebebasan untuk meyakini agama67 serta pelarangan pembatasan yang mengganggu hak setiap orang dalam rangka
63 Nihal Jayawickrama, Loc.Cit. 64 Tim Hiller, Op., Cit. Hlm. 66. 65
Thomas Buergenthal, Op., Cit. Hlm. 104.
66 Malcolm N. Shaw. Op., Cit. Hlm. 124.
67 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)
87 kebebasan untuk mempertahankan atau untuk mengubah agamanya atau keyakinannya. Prinsip yang berlaku dalam perlindungan internasional terhadap kebebasan untuk meyakini suatu agama adalah dalam hal apapun kebebasan memeluk dan meyakini suatu agama atau keyakinan dianggap sebagai kebebasan absolut.68 Dalam penelitian ini, hak-hak yang akan disorot berkenaan dengan kebebasan meyakini agama adalah: a) Hak untuk beragama dan tidak beragama; b) Hak untuk berganti agama; serta c) Hak anak untuk menentukan agama.
a. Hak untuk Beragama serta Hak untuk Tidak Beragama
Instrumen hukum internasional pertama yang memberikan penghormatan dan penjaminan terhadap hak atas kebebasan beragama adalah Universal Declaration of Human Rights (UDHR).69 Article 18 UDHR menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan serta beragama. Ketentuan ini menjamin hak atas kebebasan pemikiran, keyakinan, dan agama yang umumnya dideskripsikan sebagai dimensi internal hak atas kebebasan beragama.70 Hak tersebut meliputi hak untuk memeluk suatu agama atau tidak, dalam hal ini, untuk percaya atau tidak percaya terhadap agama.
Article 18 (1) dan (2) ICCPR serta Article 1 1981 Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief menambahkan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat dikenai
68
Malcolm D. Evans, Op., Cit. Hlm. 221, 317.
69 Natan Lerner. Sifat dan Standar Minimum Kebebebasan Beragama atau Berkeyakinan dalam
Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 175.
88 pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan pilihannya. Ketentuan dalam Article 18 (1) dan (2) ICCPR serta Article 1 1981 Declaration memberi penegasan terhadap Article 18 UDHR, di mana dalam ICCPR dan 1981 Declaration telah ada penegasan cakupan hak atas kebebasan berpikir, bernurani, dan beragama yang mencakup hak untuk memilih suatu agama serta hak untuk menjalankan agama yang diyakininya tersebut. Bagaimanapun dalam menikmati hak atas kebebasan berpikir, bernurani, dan beragamanya tidak ada seorangpun yang dapat dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama/kepercayaan yang menjadi pilihannya.71
Hak atas kebebasan seseorang untuk meyakini suatu agama meliputi hak untuk memilih serta memeluk suatu agama baik itu keyakinan teistik ataupun ateistik,72 hak untuk tidak memeluk suatu agama/keyakinan,73 hak untuk berganti agama/keyakinan, termasuk hak untuk mempertahankan agama/keyakinan yang pernah dipeluknya.
71
General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 5.
72 Pitsillides v. Republic of Cyprus, Supreme Court of Cyprus, (1983) 2 CLR 374, at 385, per
Stylianides J. Cf. Mahkamah Agung Siprus telah mengkonfirmasi pandangan bahwa hati nurani dan agama tidak terbatas pada kepercayaan atau hubungan manusia untuk seorang pencipta. Agama atau keyakinan tersebut meliputi keyakinan teistik dan keyakinan ateistik. Dalam Barralet et al v. Attorney General [1980] 3 All ER 918 pengadilan mendefinisikan 'agama' sebagai hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Dua dari atribut penting dari agama adalah iman dan ibadah; iman pada Tuhan dan menyembah Tuhan.
73 Dalam kasus Buscarini v. San Marino, European Court, (1999) 30 EHRR 208 pengadilan
89 Pengaturan hukum internasional terhadap kebebasan berkeyakinan memberikan jaminan atas sifat absolut dari hak ini karena masuk ke dalam dimensi internal kebebasan beragama yang tidak boleh diganggu gugat dalam keadaan apapun oleh siapapun. Hak ini diperkuat dengan jaminan perlindungan atas hak privasi. Article 17 ICCPR menyatakan bahwa tidak seorangpun dapat menjadi subyek intervensi yang sewenang-wenang atau melanggar privasinya. Oleh karena itu setiap orang berhak atas kebebasan diri pribadi mereka termasuk dalam hal meyakini atau tidak meyakini suatu agama.74 Hak ini mencakup pula persoalan tentang administrasi kependudukan. Pada substansi data administrasi kependudukan, setiap orang berhak untuk mencantumkan ataupun tidak mencantumkan informasi mengenai agama atau keyakinannya secara eksplisit. Walaupun tidak ada aturan dalam hukum internasional yang secara jelas mengatur hak tersebut, namun hak untuk mencantumkan atau untuk tidak mencantumkan agamanya merupakan bagian dari hak atas privasi yang dimiliki oleh setiap orang. Masalah meyakini atau tidak meyakini suatu agama atau keyakinan merupakan urusan personal setiap orang yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun dalam keadaan apapun.75 Oleh karena itu, negara seyogianya tidak melakukan intervensi terhadap kebebasan tersebut dengan memberikan keharusan pencantuman klausul agama dalam data kependudukan warganya.
74 Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 177.
75 General comment No. 16: Article 17 (Right to privacy) paragraf 1, hak atas privasi tidak dapat
90 Salah satu contoh peniadaan hak-hak sipil dan politik penganut agama di luar agama resmi adalah peniadaan hak untuk dicatatkan perkawinannya.76 Hak seseorang untuk melaksanakan perkawinan terdapat dalam Article 16 (1) UDHR yang menyatakan laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan.
Article 23 (2) ICCPR, Article 12 ECHR serta Article 17 (2) ACHR menyatakan hak laki-laki dan perempuan usia perkawinan untuk membentuk keluarga harus diakui dan dilindungi. Hak ini tidak boleh dibatasi oleh alasan yang bersifat diskriminatif termasuk terhadap persoalan agama.77 Diskriminasi yang membatasi hak untuk melaksanakan perkawinan ditentang dalam Hamer v. United Kingdom.78 Dalam kasus tersebut pengadilan menentang adanya diskriminasi terhadap tahanan yang hendak melakukan perkawinan. Pengadilan menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran Article 12 ECHR ketika terjadi pelarangan perkawinan terhadap tahanan.
76
Nicola Cobran, Loc. Cit.
77 Article 16 (1) UDHR menyatakan penentangan diskriminasi atas dasar kebangsaan,
kewarganegaraan atau agama dalam pelaksanaan hak untuk melangsungkan perkawinan. Article 17 (2) ACHR menyatakan pengaturan tentang hak untuk melangsungkan perkawinan tidak boleh melanggar prinsip non-diskriminasi. Ruang lingkup non-diskriminasi mencangkup ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
91
b. Hak untuk Berganti Agama
Salah satu hak yang termasuk dalam hak atas kebebasan beragama adalah hak untuk berganti agama.79 Walaupun terdapat kontroversi terkait pemuatan hak untuk berganti agama sebagai bagian dari hak atas kebebasan beragama,80 namun The Human Rights Committee mengamati bahwa kebebasan untuk memiliki atau mengadopsi sebuah agama/kepercayaan tentu memerlukan kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan, termasuk hak untuk mengganti agama saat seseorang atau kepercayaan dengan lain atau untuk mengadopsi pandangan ateistik, serta hak untuk mempertahankan agama/kepercayaan seseorang.81
Article 18 UDHR dan Article 9 (1) ECHR menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, dimana hak tersebut
termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan. Pengaturan ini memberikan ruang bagi setiap orang untuk memilih agama apapun untuk diyakini, termasuk kebebasan dalam memilih agama lain untuk menggantikan agama yang sedang ia anut.82
ICCPR mengadopsi suatu formulasi yang berhubungan dengan pernyataan
tersebut “No one shall be subject to coercion which would impair his fr eedom to
have or to adopt a religion or belief of his choice.” Dengan kata lain setiap orang
79 Ibid. hlm. 770. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought,
conscience or religion) paragraf 2 dan paragraf 5.
80
Malcolm D. Evans, Op. Cit. Hlm. 194-195.
81 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)
paragraf 2 dan paragraf 5.
92 tidak dapat dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau keyakinan pilihannya sendiri.83
Komentar umum Komite Hak Asasi Manusia tentang bidang cakupan ketentuan ini menyatakan bahwa:
“The Committee observes that the freedom to “have or to adopt” a
religion or belief necessarily entails the freedom to choose a religion or
belief, including the right to replace one’s current religion or belief with
another or to adopt atheistic views, as well as the right to retain one’s religion or belief.”
Hak untuk berganti agama ini termasuk dalam dimensi internal kebebasan beragama. Konsekuensinya, hak ini merupakan hak yang absolut, mengingat dimensi hak internal menjadi ranah urusan pribadi seseorang, sehingga tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun oleh siapapun.
Salah satu contoh kasus adalah Darby v Swedia. Pengadilan menyatakan bahwa pembatasan hanya dapat diterapkan dalam dimensi eksternal kebebasan beragama, tetapi bukan untuk kebebasan memilih agama atau keyakinan seseorang.84 Pembatasan tidak berlaku bagi seseorang untuk berganti agama. Ketidakberlakuan atas pembatasan ini didasarkan adanya perbedaan bobot perlindungan antara kebebasan beragama dalam dimensi internal dan eksternal.85 Berganti agama masuk dalam kategori dimensi internal kebebasan beragama yang
83
Article 18 (2) ICCPR. Lihat juga Tad Stahnke, Hak untuk Melakukan Persuasi Keagamaan dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 544.
93 bersifat absolut, sehingga tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun oleh siapapun.86
c. Hak Anak untuk Menentukan Agama
Anak memiliki hak atas informasi yang tepat, dilindungi dari indoktrinasi dan pencucian otak (dari negara, sekte-sekte, atau dari orang tua mereka sendiri), dan hak untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang matang dan bertanggung jawab. Orang tua memiliki hak, namun hak ini dimaksudkan untuk menetralisir kekuatan intrusif negara dan melindungi keluarga, serta tidak dimaksudkan merugikan anak. Dalam hal ini pandangan anak juga harus dihormati.87
Hak anak untuk memeluk agama pilihannya dirumuskan dalam Article 14 Convention on the Rights of the Child (CRC) yang menyatakan “States Parties shall respect the right of the child to freedom of thought, conscience and
religion.” Pengaturan tersebut berimplikasi terhadap isu adopsi yang dimuat dalam Article 21 CRC yang memberikan syarat pelaksanaan adopsi dalam negara pihak. Tidak ada ketentuan CRC yang mengatur mengenai persyaratan agama dalam proses adopsi. Pelaksanaan adopsi anak semata-mata dilakukan dengan dilandasi prinsip demi kepentingan terbaik anak.88 Kepentingan terbaik anak
86 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)
menjelaskan bahwa “Article 18 melindungi keyakinan yang mempercayai Tuhan, yang tidak
percaya pada Tuhan dan ateis, maupun hak untuk tidak mengakui memeluk agama atau
keyakinan apapun.” Hal ini termasuk hak untuk memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan
87 Rajaji Ramanadha Babu Gogineni dan Lars Gule, Humanisme dan kebebasan dari agama, dalam
Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 638.
88
94 artinya di dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama.89
Standar HAM PBB tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan seperti norma-norma HAM fundamental lainnya, juga mencangkup penekanan yang kuat terhadap prinsip non-diskriminasi.90 1981 Declaration memuat pengakuan hak yang sama dan sederajat dari semua warga terhadap kebebasan beragama atau keyakinan. Deklarasi ini menggarisbawahi hubungan yang erat antara pemajuan toleransi dan kebebasan beragama atau keyakinan. Deklarasi itu menyatakan:
“The child shall be protected from any form of discrimination on the
ground of religion or belief. He shall be brought up in a spirit of understanding, tolerance, friendship among peoples, peace and universal brotherhood, respect for freedom of religion or belief of others, and in full consciousness that his energy and talents should be devoted to the service of his fellow men.”91
Menurut 1981 Declaration, anak dilindungi dari setiap bentuk diskriminasi berdasarkan agama atau keyakinan dan harus diasuh dalam semangat pemahaman, toleransi, dan yang paling utama adalah anak dapat menghormati pula kebebasan beragama atau berkeyakinan orang lain. Substansi terpenting lainnya adalah anak tidak dapat atau tidak boleh dipaksa untuk menerima pengajaran agama atau keyakinan yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua atau walinya yang sah,
89Article 3 Convention on the Rights of Child. Prinsip “the best interests of child” dalam perkara
adopsi juga dapat dilihat dalam kasus Van Oosterwijck v. Belgium, European Commission, (1979) 3 EHRR 581.
95 dengan dilandasi prinsip demi kepentingan terbaik anak.92 Kepentingan terbaik anak diperlukan untuk melindungi kepentingan anak itu sendiri, karena anak belum dapat melaksanakan hak atas self determination yang dimilikinya. Oleh karena itu orang tua/wali bertanggungjawab penuh dalam pengawasan kelangsungan hidup anak dalam hal pendidikan agama/keyakinan.93
3. Kebebasan dalam Menjalankan/Mengekspresikan Agama yang
Diyakini
Termasuk dalam lingkup kebebasan untuk mengekspresikan/menjalankan agama ialah kebebasan untuk menjalankan/mengekspresikan agama baik secara individu ataupun secara berkelompok dengan orang lain secara umum atau pribadi.94 Hal ini mencakup pelaksanaan ritual dan seremonial yang memberikan dampak langsung terhadap keyakinan, maupun pengalaman sejenis yang integral termasuk pembangunan tempat ibadah, penggunaan formula maupun peralatan ritual dan simbol keagamaan.95
Bobot perlindungan terhadap kebebasan memanifestasikan/menjalankan agamanya masing-masing dengan kebebasan dalam meyakini keyakinannya masing-masing adalah berbeda. Jika kebebasan meyakini suatu agama/keyakinan
92
Michael Freeman, A Commentary on the United Nations Convention on the Rights of the Child: The Best Interests of the Child, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2007, hlm. 8. Ingvill Thorson Plesner. Op. Cit., hlm. 650-651.
93 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)
paragraf 6.
94 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)
paragraf 4.
96 merupakan hak yang absolut, hak untuk menjalankan/memanifestasikan suatu agama/kepercayaan merupakan hak yang dapat dibatasi pelaksanaannya dengan syarat tertentu. Berdasarkan Article 18 (3) ICCPR, Article 9 (2) ECHR, serta Article 12 (3) ACHR, kebebasan menjalankan/mengekspresikan agama hanya dapat dibatasi dalam rangka untuk melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak dasar orang lain.96
Hak-hak yang akan disorot dalam kebebasan beragama, kebebasan dalam menjalankan/mengekspresikan agama dalam hukum internasional meliputi a) hak untuk bebas menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini; b) hak untuk mendirikan tempat ibadah; c) hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini; serta d) hak untuk menyebarluaskan ajaran agama.
a. Hak untuk Bebas Menjalankan Agama sesuai Tafsir yang Diyakini
Walau tidak ada pernyataan eksplisit tentang jaminan dan perlindungan kebebasan menjalankan agama sesuai tafsir yang diyakini, namun hak ini tetap menjadi obyek perlindungan oleh hukum internasional.97 Kebebasan menafsirkan agama sesuai keyakinan masing-masing merupakan hak absolut.98 Pelaksanaan hak ini oleh seseorang ataupun oleh sekelompok orang dilindungi oleh Article 18 (1) ICCPR serta Article 18 UDHR. Namun pelaksanaan hak tersebut dapat
96 Manfred Nowak, Pembatasan-Pembatasan yang Diperbolehkan terhadap Kebebasan Beragama
atau Berkeyakinan, dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 207. Lihat juga General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 4.
97
Javier Martinez-Torron & Rafael Navarro-Valls, Perlindungan Kebebasan Beragama dalam Sistem Dewan Eropa, dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 275.
98 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)
97 dibatasi sepanjang pembatasan tersebut ditetapkan dengan hukum, dan pembatasan tersebut benar-benar diperlukan untuk melindungi keamanan (dalam arti keamanan pribadi pemeluk agama), ketertiban, kesehatan, nilai moral masyarakat, atau hak-hak mendasar orang lain.99 Secara a contrario, sepanjang tidak mengganggu keamanan, ketertiban, kesehatan, nilai moral masyarakat, atau hak-hak mendasar orang lain, (misalnya sebagai ekspresi keagamaan hal ini dilakukan secara damai), maka tindakan demikian tidak seyogianya dikenakan pembatasan oleh negara.
Salah satu contoh pembatasan yang diperbolehkan berdasarkan klausul keselamatan pulik adalah kasus X v. UK. Dalam kasus X v. UK, komisi HAM Eropa menganggap hukum di Inggris yang mengharuskan semua pengendara sepeda motor untuk menggunakan helm sebagai hukum yang diperbolehkan/dibenarkan untuk melindungi keselamatan publik, bahkan ketika hukum tersebut diterapkan kepada penganut Sikh.100
Lebih lanjut perbedaan penafsiran tersebut berimplikasi timbulnya golongan mayoritas dan minoritas dalam hal menafsirkan suatu agama. Prinsip non-diskriminasi mewajibkan Negara untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya tanpa
99 Article 18 ICCPR, Pasal 28J UUD 1945. Lihat juga Nicola Cobran, Op. Cit. Hlm. 724.
100 X v. UK, App No. 7992/77 (EcomHR, 14 Keputusan dan laporan 234, 12 Juli 1978), keputusan
98 pembedaan apapun.101 Pembatasan tidak boleh dikenakan untuk tujuan diskriminatif atau dilaksanakan dengan cara diskriminatif.102 Oleh karena itu tidak ada satupun orang yang dapat dibedakan perlakuannya walaupun ia memiliki penafsiran yang berbeda terhadap suatu agama.
b. Hak untuk Mendirikan Tempat Ibadah
Hukum internasional tidak memberikan pengaturan secara eksplisit mengenai kebebasan pendirian rumah ibadah. Mendirikan tempat ibadah merupakan salah satu pengaplikasian kebebasan menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini. Hak untuk mendirikan tempat ibadah yang merupakan dimensi eksternal hak atas kebebasan beragama dapat dibatasi sepanjang sesuai dengan kriteria pembatasan yang berlaku menurut hukum internasional. Namun pembatasan harus proporsional serta tidak boleh dikenakan untuk tujuan diskriminatif atau dilaksanakan dengan cara diskriminatif.103
Salah satu contoh penerapan pembatasan dalam hak untuk mendirikan tempat ibadah yang tidak proporsional adalah dalam kasus Mannousakis v. Greece. Pengadilan HAM Eropa menguji kesesuaian dakwaan terhadap pendirian dan pengoperasian suatu rumah ibadat tanpa izin dari Menteri Urusan Pendidikan
101 Article 2(1) ICCPR. 102
Cole Durham. Memfasilitasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan melalui Perundang-undangan Asosiasi Keagamaan dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 355. General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 8.
99 dan Agama Yunani.104 Pengadilan menyatakan bahwa penerapan keharusan adanya perizinan memang selaras dengan Article 9 ECHR, namun dengan catatan hanya berupa verifikasi persyaratan formal tertentu apakah sudah dipenuhi atau belum. Namun pengadilan menemukan dan mengemukakan bahwa Yunani telah menggunakan perizinan ini untuk menerapkan pula persyaratan-persyaratan yang kaku, atau yang bersifat mempersulit, bahkan melarang praktik keagamaan tertentu. Pengadilan memutuskan bahwa dakwaan terhadap pemohon merupakan suatu bentuk intervensi terhadap kebebasan mereka dalam memanifestasikan agama mereka, suatu intervensi yang tidak diperlukan.105
c. Hak untuk Membela/Mempertahankan Agama yang Diyakini
Hak untuk membela/mempertahankan agama yang diyakini merupakan bagian dari hak untuk bebas memeluk dan menjalankan/mengekspresikan agama sesuai tafsir yang diyakini. Hak tersebut dihadapkan dengan situasi yang menunjukkan adanya interpretasi yang berbeda satu sama lain mengenai suatu agama.106
Tidak ada aturan yang spesifik mengenai hak untuk membela/mempertahankan agama dalam pengaturan hukum internasional. Namun hak ini berlaku secara lex generalis dan sudah melekat dengan kebebasan untuk
104 Manousakis and Others v. Greece, 23 EHRR 387 (1997) (EctHR 1996-IV, 26 September
1996).
105
Ibid., Lihat juga Manfred Nowak dan Tanja Vosprnik dalam Tore Lindholm, et al., Op. Cit., hlm. 213.
106 General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion)