• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi

BAB II LANDASAN TEORI

A. KAJIAN TEORI

3. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi

Berikut ini akan dibahas beberapa prinsip sekolah yang dapat mengakses seluruh anak termasuk anak berkebutuhan khusus. Prinsip-prinsip tersebut adalah penerimaan peserta didik baru yang mengakomodasikan semua anak, identifikasi, adaptasi kurikulum (kurikulum fleksibel), merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak, penataan kelas yang ramah anak, asesmen, pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif, serta penilaian dan evaluasi pembelajaran.

a. Penerimaan Peserta Didik Baru yang Mengakomodasikan Semua Anak Tulkit RIP (dalam Kustawan 2013: 90) menjelaskan bahwa sekolah yang ramah terhadap anak merupakan sekolah di mana semua anak memiliki hak untuk belajar mengembangkan semua potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin dalam lingkungan yang nyaman dan terbuka. Sekolah menjadi “ramah” apabila mampu menciptakan ketertiban dan partisipasi semua pihak dalam pembelajaran dengan baik.

Penerimaan peserta didik baru di sekolah dasar pada setiap tahun pelajaran perlu mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah (Kustawan, 2013: 90). Sumber daya yang dimiliki sekolah antara lain: (1) sumberdaya pendidik dan tenaga kependidikan, (2) sumber daya sarana dan prasarana, dan (3) sumber daya biaya. Satuan pendidikan tersebut harus mengalokasikan kursi didik (kuota) paling sedikit 1 peserta didik yang berkebutuhan khusus dalam satu rombongan belajar yang akan diterima dan biasanya bekisar 1-3 peserta didik dalam satu kelas. Pengaturan ini dalam upaya memberikan layanan yang optimal sesuai dengan kekuatan sekolah dan dalam upaya pemerataan penyebaran peserta didik di wilayah/daerahnya masing-masing.

Dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik baru, sekolah membentuk panitia penerimaan peserta didik baru yang dilengkapi dengan pendidik (guru pendidik khusus dan/ atau konselor) yang sudah memahami tentang pendidikan inklusi dan keberagaman karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus. Bagi sekolah yang memiliki psikolog atau bekerjasama dengan psikolog, psikolog tersebut dapat ikut serta dalam kepanitiaan PPDB (Kustawan 2013: 91).

Kustawan (2013: 92) menjabarkan persyaratan penerimaan peserta didik baru bagi peserta didik berkebutuhan khusus perlu dituangkan pada pedoman penerimaan peserta didik baru, misalnya setiap calon peserta didik baru ketika mendaftar harus menyerahkan/melampirkan hasil pemeriksaan dokter umum/dokter spesialis untuk calon peserta didik yang mempunyai kebutuhan khusus. Sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusi menerima peserta didik berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki

sekolah dan mengalokasikan kursi/kuota untuk peserta didik berkebutuhan khusus.

b. Identifikasi

Identifikasi adalah upaya guru (pendidik) dan tenaga kependidikan lainnya untuk menemukan dan mengenali anak yang mengalami hambatan / kelainan / gangguan baik fisik, intelektual, mental, emosional, dan sosial dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan khususnya (Kustawan 2013 : 93).

Dalam buku Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (Kustawan 2013 : 93), istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan asesmen dimaknai sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan / penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional) dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inklusi.

Menurut buku Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif (dalam Kustawan 2013: 93), identifikasi dapat diartikan menemukenali. Identifikasi anak berkebutuhan khusus adalah suatu upaya menemukenali anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak berkelainan dengan gejala-gejala yang menyertainya.

Lerner (dalam Kustawan 2013: 95) menjelaskan bahwa identifikasi dilakukan untuk lima keperluan, yaitu: penjaringan (sreening), pengalihtanganan

(referal), klasifikasi (classification), perencanaan pembelajaran (instructional planning), dan pemantauan kemajuan belajar (monitoring pupil progress).

Guru melaksanakan identifikasi berdasarkan gejal-gejala yang nampak atau yang dapat diamati/diobservasi seperti: gejala fisik, gejala perilaku dan gejala hasil belajar. Sasaran identifikasi bukan hanya anak yang sudah bersekolah atau anak yang mau masuk sekolah, namun juga dapat dilakukan pada anak yang belum bersekolah (di masyarakat) untuk kepentingan pendataan dan pemetaan.

Tabel 2.2 Gejala-gejala yang Dapat Diamati dalam Identifikasi

No Hambatan Gejala yang Dapat Diamati

1 Fisik 1.1. Gangguan penglihatan 1.2. Gangguan pendengaran 1.3. Gangguan bicara/wicara 1.4. Gangguan fungsi gerak 1.5. Gangguan fisik

1.6. dsb.

2 Perilaku 2.1 Emosi yang labil (emosional / temperamental) 2.2 Perilaku sosial yang tidak baik atau negatif (suka membolos, sering bertengkar, malas, dsb) 2.3 Perilaku sosial yang tidak sesuai dengan norma yang

berlaku di masyarakat.

3 Hasil Belajar 3.1 Prestasi belajar anak yang rendah 3.2 Prestasi belajar yang sesuai standar

3.3 Prestasi belajar yang tinggi (di atas standar)

Tujuan dilaksanakan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi atau data apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya.

Hasil identifikasi dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran yang disesuiakan dengan kebutuhan khususnya dan/atau untuk menyususn program dan pelaksanaan intervensi / penanganan / terapi berkaitan dengan hambatannya (Kustawan 2013: 94).

c. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel)

Perencanaan pembelajaran dilakukan setelah informasi / data diperoleh. Perencanaan yang disusun harus memenuhi kebutuhan khusus yang dimiliki oleh anak dan berpusat pada anak, maka diharuskan memiliki kemampuan dan keberanian untuk melakukan penyesuaian terhadap kurikulum yang berlaku. Dengan kata lain, kurikulum yang digunakan haruslah kurikulum yang fleksibel yang dapat dengan mudah disesuaikan dengan kebutuhan anak, karena hambatan dan kemampuan yang dimilikinya bervariasi (Kustawan, 2013: 107).

Kurikulum umum yang diberlakukan untuk anak pada umumnya perlu diubah atau dimodifikasi untuk disesuaikan dengan kondisi anak berkebutuhan khusus merupakan prinsip pengembangan kurikulum fleksibel yang harus dijadikan acuan para guru bagi anak berkebutuhan khusus. Secara umum, ada empat komponen utama yang harus ada di dalam kurikulum, yaitu tujuan, isi/materi, proses, dan evaluasi (Kustawan 2013: 108).

Penyesuaian kurikulum dengan kondisi anak berkebutuhan khusus terjadi pada komponen tujuan, materi, proses dan/atau penilaian. Penyesuaian ini tidak harus sama untuk semua materi dan tidak harus sama pada masing-masing komponen. Penyesuaian kurikulum fleksibel seyogyanya dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, guru kelas,

guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling (konselor), guru pembimbing khusus, orang tua, dan ahli (profesional) lainnya sesuai kebutuhan misalnya psikolog dan terapis (Kustawan 2013: 109).

Arifin (dalam Ilahi, 2013: 169) memaparkan bahwa proses modifikasi tujuan disesuaikan dengan beberapa prinsip sekaligus cara yang harus diperhatikan guru, terutama bagi anak yang mengalami hambatan kecerdasan. Semakin berat tingkatan hambatan intelektual anak berkebutuhan khusus, maka akan semakin ekstrim sifat modifikasi yang dilakukan. Jika semakin ringan tingkatan hambatannya, maka semakin ringan pula kadar modifikasinya. Proses modifikasi tidak harus sama untuk semua mata pelajaran dan juga tidak harus sama pada masing-masing anak berkebutuhan khusus.

Jadi dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus adalah kurikulum sekolah reguler (SD/MI) yang dalam hal-hal tertentu dilakukan penyesuaian dan modifikasi sesuai dengan hambatan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Penyesuaian dan modifikasi tersebut meliputi penyesuain dan modifikasi cara, media, materi, dan penilaian pembelajaran. Hal lain yang juga perlu untuk diperhatikan adalah bahwa pemberian layanan khusus atau layanan kompensantoris bagi anak berkebutuhan khusus harus sesuai dengan hambatannya, misalnya untuk anak yang memiliki hambatan penglihatan perlu diberi orientasi dan mobilitas. Anak berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan pendengaran perlu diberi program khusus bina persepsi bunyi dan irama. Anak berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan kecerdasan perlu diberi program khusus bina diri. Anak berkebutuhan khusus

yang memiliki hambatan motorik dan gerak perlu diberi bina gerak. Anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan emosi dan perilaku perlu diberi program khusus bina pribadi dan sosial.

d. Merancang Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran Yang Ramah Anak Guru yang baik akan melakukan pembelajaran yang interaktif agar perhatian anak didiknya terpusat penuh kepada guru (Kustawan 2013 : 113). Guru juga harus menggunakan metode pembelajaran yang cocok bagi anak didiknya agar anak didiknya mampu berpartisipasi di dalam pelajaran. Maka dari itu, rencana kegiatan pembelajaran yang berisi metode dan bahan ajar yang dibuat harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak didik.

Jenis materi pelajaran yang digunakan oleh para guru dapat memberikan pengaruh besar terhadap keberhasilan akademis siswa-siswa penyandang disabilitas (Friend 2015: 266). Pemilihan bahan ajar ini dilakukan guru melalui identifikasi dan asesmen. Anak dilibatkan dalam rangka penyusunan bahan ajar yang akan diajarkan. Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) fleksibel atau ramah anak secara garis besar terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari anak berkebutuhan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhannya atau hambatannya dalam rangka mencapai standar kompetensi yang ditentukan. Jenis materi fakta adalah nama-nama obyek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, dan sebagainya. Jenis materi konsep adalah pengertian, definisi, ciri khusus, komponen atau bagian suatu obyek. Jenis materi prinsip adalah dalil, rumus, adagium, postulat, teorema, atau hubungan antar konsep yang

menggambarkan “jika...maka...”. Jenis materi prosedur adalah materi yang berkenaan dengan langkah-langkah secara sistematis atau berurutan dalam mengerjakan suatu tugas. Materi jenis sikap adalah materi yang berkenaan dengan sikap atau nilai, misalnya nilai kasih sayang, kejujuran, tolong menolong, semangat dan minat belajar, semangat bekerja, dan sebagainya.

Kustawan (2013: 115) menjelaskan bahwa bagi anak berkebutuhan khusus tertentu, misalnya anak yang memiliki gangguan dengan penglihatan, mengenal dan memahami fakta, konsep, prinsip, dan prosedur dalam pengetahuan, diperlukan penyesuaian cara, metode, pendekatan, dan penggunaan media pembelajaran yang disesuaikan dalam mengenal atau memahami memahami fakta, konsep, prinsip, dan prosedur tersebut. Suasana belajar yang efektif dan kondusif juga sangat penting untuk anak didik dalam memahami bahan ajar yang diberikan. Guru hendaknya selalu mengkondisikan suasana belajar yang kondusif dan efektif untuk anak didiknya.

e. Penataan Kelas Ramah Anak

Evertson & Weinstein (dalam Friend 2015: 288) menjabarkan bahwa pengelolaan ruang kelas mencakup semua hal yang dilakukan oleh para guru untuk mengoptimalkan proses belajar-mengajar yang efektif, mulai dari mengatur siswa-siswa, ruang, waktu, hingga materi. Kerr & Nelson (dalam Friend 2015: 288) menekankan bahwa cara penataan unsur-unsur fisik dalam suatu ruang kelas dapat berdampak pada proses belajar dan perilaku siswa di sejumlah area. Suatu ruang kelas disusun secara cermat akan dapat mengurangi tingkat kebisingan dan gangguan, meningkatkan tingkat dan kualitas interaksi siswa, serta menambah

persentase waktu yang dihabiskan siswa untuk mengerjakan tugas-tugas akademis. Penataan unsur-unsur fisik ruang kelas dapat mempengaruhi kondisi dan suasana belajar bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus dan anak yang berkebutuhan khusus. Penataan unsur fisik mencakup penampilan ruang kelas dan pemanfaatan ruang kelas, yaitu meliputi area dinding, pencahayaan, area lantai serta ruang penyimpanan (Friend, 2015 : 288).

Friend (2015: 290) menjelaskan bahwa area dinding pada ruang kelas dapat dimanfaatkan untuk memasang hiasan atau dekorasi, menempel aturan kelas, menempelkan hasil pekerjaan siswa, dan sebagainya. Pencahayaan di ruang kelas juga tidak kalah penting untuk diperhatikan. Pencahayaan dari jendela, pintu, maupun langit-langit dapat mempengaruhi anak didik yang berkebutuhan khusus. Misalnya anak yang menyandang tunarungu memerlukan cahaya yang cukup agar dapat membaca gerak bibir. Anak-anak yang memiliki keterbatasan visual juga memerlukan cahaya yang cukup ketika belajar, namun anak-anak yang memiliki kesulitan belajar atau gangguan emosi akan sensitif terhadap cahaya-cahaya tertentu. Maka dari itu, penataan cahaya-cahaya sangat penting untuk diperhatikan. Penataan ruang lantai, jenis dan penempatan perabotan yang digunakan juga perlu dipertimbangkan. Misalnya lantai yang tidak memiliki anti licin akan menyulitkan anak didik yang menggunakan kursi roda untuk berpindah tempat. Perabotan-perabotan yang diletakkan tidak teratur akan menyulitkan anak didik untuk mengakses jalan menuju ke papan tulis, terlebih anak yang menyandang tunanetra. Meja yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan menyulitkan anak yang duduk di kursi roda. Satu area tambahan dalam penataan

unsur fisik adalah ruang penyimpanan. Misalnya, anak yang mempunyai keterbatasan visual akan memerlukan tempat untuk menyimpan peralatan, seperti rekaman audio, buku-buku bercetak besar, buku braille, dan alat pembesar.

Pengelolaan ruang kelas juga mencakup pembagian kelompok anak didik, jumlah anak didik dalam setiap kelompok, dan jumlah kelompok di dalam kelas. Dalam pembagian kelompok, komposisi anak didik di dalam kelompok harus diperhatikan. Misalnya anak didik pandai satu kelompok dengan anak didik yang kurang pandai, jumlah wanita dan pria seimbang, dan lain-lain Kustawan, 2013: 115).

f. Asesmen

Asesmen didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi untuk memantau kemajuan dan mengambil keputusan pendidikan ketika diperlukan (Friend, 2012: 209). Beberapa upaya pengumpulan informasi yang paling umum adalah melalui tes terstandar yang telah diproduksi secara komersial, ujian pertanggungjawaban negara bagian dengan taruhan tinggi, dan berbagai tes informal yang diciptakan oleh guru yang bersangkutan. Para guru pendidikan umum berkontribusi dalam proses asesmen informasi pada enam ranah penting pengambilan keputusan berikut, yaitu screening, diagnosis, penempatan program, penempatan kurikulum, evaluasi pengajaran, dan evaluasi program.

1. Screening

Menurut (Friend (2015: 210) menjelaskan screening meliputi keputusan untuk menentukan proses kemajuan seorang peserta didik dianggap cukup berbeda dengan teman-teman sekelasnya sehingga patut untuk menerima

perubahan pengajaran, atau pada akhirnya asesmen yang lebih mendalam untuk menetapkan adanya kondisi disabilitas. Tiarni (2013: 22) menekankan bahwa screening dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan identifikasi anak berkebutuhan khusus

2. Diagnosis

Keputusan besar yang terkait dengan diagnosis menyangkut kelayakan atas layanan pendidikan khusus, pertimbangan berdasarkan ketentuan hukum bahwa peserta didik dianggap layak untuk dianggap menyandang disabilitas atau tidak (Friend 2015: 221).

3. Penempatan program

Friend (2015: 215) memaparkan bagian utama dari keputusan penempatan program berkenaan dengan ranah yang menjadi tempat berlangsungnya layanan pendidikan khusus yang diterima peserta didik, misalnya saja di ruang kelas pendidikan umum, ruang sumber, atau ruang kelas pendidikan khusus yang terpisah.

4. Penempatan kurikulum

Friend (2015: 216) menjabarkan penempatan kurikulum meliputi keputusan mengenai level mana yang akan dipilih untuk memulai pengajaran peserta didik. Informasi mengenai penempatan kurikulum tentu juga dapat dijadikan sebagai patokan pengukuran bagi para guru untuk mengetahui sejauh apa peserta didik penyandang disabilitas mengakses kurikulum pendidikan umum.

Friend (2015: 216) menjelaskan keputusan dalam evaluasi pengajaran meliputi keputusan untuk melanjutkan atau mengubah prosedur pengajaran yang telah diterapkan pada peserta didik.

6. Evaluasi program

Friend (2015: 217) menjelaskan keputusan evaluasi program meliputi keputusan untuk menghentikan, melanjutkan, atau memodifikasi program pendidikan khusus seorang siswa.

g. Pengadaan dan Pemanfaatan Media Pembelajaran Adaptif

Kustawan (2013: 117) mendeskripsikan media pembelajaran adaptif bagi anak berkebutuhan khusus hakekatnya adalah media yang dirancang, dibuat, dipilih dan digunakan dalam pembelajaran sehingga dapat bermanfaat atau berguna dan cocok dalam kegiatan pembelajaran. Pemilihan media pembelajaran disesuaikan dengantujuan, kebutuhan, materi, kemampuan, dan karakteristik anak akan sangat menunjang efisiensi dan efektivitas proses dan hasil pembelajaran.

h. Penilaian dan evaluasi pembelajaran

Kustawan (2013: 124) memaparkan evaluasi merupakan proses yang penting dalam bidang pengambilan keputusan, memilih informasi yang tepat, mengumpulkan dan menganalisis informasi tersebut agar diperoleh data yang tepat yang akan digunakan pengambilan keputusan dalam memilih di antara beberapa alternatif. Adapun karakteristik evaluasi adalah: (1) mengidentifikasi aspek-aspek yang akan dievaluasi, (2) memfasilitasi pertimbangan-pertimbangan, (3) menyediakan informasi yang berguna, (4) melaporkan penyimpangan / kelemahan untuk memperoleh remediasi dari yang dapat diukur saat itu juga.

Dokumen terkait