• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

F. TEKNIK PENGUJIAN INSTRUMEN

1. Uji Validitas Instrumen

Arikunto (dalam Taniredja dan Mustafidah, 2011: 42) menjelaskan bahwa validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesasihan suatu instrumen. Secara mendasar, validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen yang bersangkutan mampu mengukur apa yang akan diukur. Suatu instrumen yang valid atau sah mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas rendah.

a. Validitas Isi

Validitas isi merupakan pengukuran kualitas ketepatan instrumen dalam memberi cakupan isi yang sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian sebagaimana telah dipandu dalam operasional variabel (Indrawan dan Yaniawati, 2014: 124). Validitas isi diberikan oleh para ahli yang bidang keahliannya berhubungan dengan penelitian ini. Peneliti dalam hal ini memberikan rentan skor atas komentar para ahli menjadi data interval. Skala penilaian terhadap lembar kuesioner dengan bentuk pertanyaan terbuka mengenai penyelenggaraan sekolah dasar inklusi meliputi: sangat baik (4), baik (3), cukup (2), tidak baik (1). Untuk menyusun tabel klasifikasi, dicari skor tertinggi, skor terendah, jumlah kelas, dan jarak interval.

Skor Tertinggi (ideal) = 4 (sangat baik) Skor Terendah = 1 (sangat tidak baik)

Jumlah kelas = 4 (sangat tidak baik sampai sangat baik) Jarak interval = (4-1)/3 = 1

Skor yang sudah didapat kemudian dikonversikan menggunakan tabel konversi nilai skala empat berdasarkan skala Likert. Skala Likert berisi pernyataan yang sistematis untuk menunjukkan sikap seorang responden terhadap pernyataan itu (Prasetyo dan Jannah, 2005: 110). Lembar penilaian dalam penelitian ini dibuat berdasarkan indikator-indikator dan hasil akhirnya akan diakumulasi kemudian dikategorikan menggunakan kriteria yang telah ditentukan. Ketentuan pelaksanaan revisi terhadap instrumen diatur dalam tabel berikut.

Tabel 3.2 Skala Likert

Skor Jawaban Klasifikasi Kelayakan

5 Sangat Baik

4 Baik

2 Tidak Baik

1 Sangat Tidak Baik

Dari tabel 3.2 di atas dapat diketahui bahwa jika soal mendapat nilai 4 atau kurang dari 4 serta mendapat saran untuk diperbaiki, maka soal tersebut perlu direvisi. Jika soal mendapat nilai 4 dan kurang dari 4 dan mendapat komentar baik maka soal perlu direvisi. Jika soal yang divalidasi mendapat nilai lebih dari 4 tetapi mendapat saran untuk diperbaiki, maka soal perlu direvisi. Jika soal lebih dari 3 dan mendapat komentar baik, maka soal tidak perlu direvisi.

Validator pertama adalah validator ahli A. Validator A adalah seorang dosen Universitas Sanata Dharma yang mengampu di program studi Bimbingan dan Konseling. Hasil validasi dari validator A menunjukkan bahwa beberapa soal perlu direvisi pada beberapa kesalahan pengetikan kata dan kekonsistenan

penggunaan kata inklusi atau inklusif. Validator A memberi nilai 5 pada setiap aspek yang tertulis pada blue print.

Validator pertama adalah validator ahli B. Validator B adalah seorang dosen Universitas Sanata Dharma yang mengampu di program studi Bimbingan dan Konseling. Hasil validasi dari validator B menunjukkan bahwa beberapa soal perlu direvisi pada susunan kalimat yang sesuai dengan kaidah EYD. Revisi lain dari validator B adalah nenerapa soal harus lebih dipertajam agar jawaban yang diharapkan dari responden dapat tercapai. Validator B memberi nilai 4 pada setiap aspek yang tertulis pada blue print.

Berdasarkan validasi instrumen kuesioner yang telah dilakukan oleh validator, instrumen kuesioner yang dibuat oleh peneliti layak untuk digunakan, namun ada beberapa hal yang harus direvisi oleh peneliti. Adapun beberapa hal tersebut adalah:

1) Menkonsistenkan pemilihan kata antara inklusi atau inklusif 2) Kalimat pertanyaan harus sesuai dengan SPOK

3) Ada beberapa pertanyaan yang kurang dapat menggali informasi lebih dalam sehingga pertanyaan tersebut harus dipecah lagi

4) Ada beberapa pertanyaan yang harus diubah beberapa katanya agar lebih dipahami oleh responden

Semua saran yang diberikan oleh validator tersebut dijadikan pedoman oleh peneliti untuk perbaikan instrumen kuesioner yang akan digunakan agar layak dan dapat menghasilkan data yang terpercaya.

Berdasarkan validasi yang telah dilakukan oleh validator A dan validator B, maka dapat disimpulkan bahwa instrumen penelitian layak untuk digunakan dengan revisi sesuai saran yang diberikan oleh validator A dan validator B. Setelah divalidasi oleh dua orang validator ahli, peneliti menggunak 100 pertanyaan pada kuesioner terbuka yang sudah dianggap valid untuk diujikan di 26 sekolah dasar inklusi di Kabupaten Kulon Progo. Selanjutnya, hasil pengujian tersebut dikoreksi oleh peneliti untuk dilihat soal yang valid.

b. Validitas Konstruk

Validitas konstruk (construct validity), yaitu tingkat validitas ketika terdapat konsistensi antarkomponen konstruk yang satu dengan yang lain (Martono, 2014: 100). Validitas konstruk tercapai bila instrumen tersebut sudah sesuai atau memenuhi konsep-konsep atau konstruk dari teori empiris yang sesuai atau mewakili dengan apa yang diteliti sesuai dengan bidang keilmuannya (Indrawan dan Yaniawati, 2014: 125).

Cara menguji validitas konstruk pada penelitian ini akan dilihat melalui pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner yang diturunkan dari prinsip-prinsip yang ada dalam instrumen. Bentuk pertanyaan dari kuesioner ini adalah pertanyaan terbuka sehingga peneliti akan mendapatkan jawaban yang bervariasi dari seluruh responden. Jawaban yang bervariasi dari masing-masing responden peneliti kelompokkan yang memiliki kata kunci yang sama. Hasil jawaban ini kemudian dilakukan uji validitas konstruk yang akan direkap menggunakan microsoft excel yang kemudian disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang telah peneliti pilih untuk

dipetakan menjadi beberapa pertanyaan berdasarkan indikator-indikator yang peneliti kembangkan.

Berdasarkan kisi-kisi pada tabel 3.1 halaman 45, prinsip pertama adalah prinsip penerimaan peserta didik baru yang kemudian dikembangkan menjadi beberapa indikator. Indikator-indikator tersebut adalah menerima semua tipe anak berkebutuhan khusus, mengukur sumber daya pendidikan dan tenaga kependidikan yang ada di sekolah, mempersiapkan sarana dan prasarana, dan merencanakan sumber daya biaya. Melalui pengembangan indikator tersebut peneliti bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang kesiapan dari sekolah dasar inklusi dalam penerimaan peserta didik baru.

Prinsip kedua adalah identifikasi. Identifikasi menghasilkan sebuah indikator, yaitu mengidentifikasi tipe anak berkebutuhan khusus. Melalui indikator tersebut peneliti bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang sekolah dasar inklusi dalam mengidentifikasi tipe anak berkebutuhan khusus.

Prinsip ketiga adalah adaptasi kurikulum (kurikulum fleksibel). Adaptasi kurikulum (kurikulum fleksibel) menghasilkan sebuah indikator, yaitu menyusun kurikulum. Melalui indikator tersebut peneliti bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang kurikulum yang digunakan oleh sekolah dasar inklusi.

Prinsip keempat adalah merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak. Prinsip tersebut menghasilkan dua indikator, yaitu menyusun perencanaan pembelajaran bagi siswa dan menentukan bahan ajar yang terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Melalui indikator yang telah dibuat peneliti

memiliki tujuan untuk mendapatkan informasi tentang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang digunakan pada sekolah dasar inklusi.

Prinsip kelima adalah penataan kelas yang ramah anak. Prinsip tersebut menghasilkan dua indikator, yaitu mengelola kelas untuk mengoptimalkan proses belajar mengajar dan mengarahkan pengelompokkan siswa untuk pengajaran di ruang kelas. Melalui dua indikator yang telah dibuat peneliti memiliki tujuan untuk mengetahui penataan kelas ramah anak yang digunakan oleh sekolah dasar inklusi.

Prinsip keenam adalah asesmen. Asesmen menghasilkan tujuh indikator, yaitu upaya pengumpulan informasi untuk memantau kemajuan pendidikan, melakukan penyaringan atau screening, melakukan diagnosis menyangkut kelayakan atas layanan pendidikan khusus, melakukan penempatan program pada anak berkebutuhan khusus, melakukan penempatan kurikulum untuk memulai pengajaran siswa, melakukan evaluasi pengajaran untuk anak berkebutuhan khusus, dan melakukan evaluasi program pada anak berkebutuhan khusus. Melalui indikator-indikator yaang telah dibuat peneliti memiliki tujuan untuk mengetahui proses asesmen yang digunakan oleh sekolah dasar inklusi.

Prinsip ketujuh adalah pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif. Prinsip tersebut menghasilkan sebuah indikator, yaitu memahami pentingnya media pembelajaran adaptif sebagai sarana dalam pembelajaran. Melalui indikator tersebut peneliti memiliki tujuan untuk mengetahui tentang pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif yang digunakan di sekolah dasar inklusi.

Prinsip kedelapan adalah prinsip penilaian dan evaluasi pembelajaran. Prinsip tersebut menghasilkan tiga indikator, yaitu menentukan KKM, menjelaskan karakteristik evaluasi, dan menunjukkan kegunaan kegiatan evaluasi. Melalui indikator-indikator tersebut peneliti memiliki tujuan untuk mengetahui tentang penilaian dan evaluasi yang digunakan di sekolah dasar inklusi.

Peneliti mengumpulkan informasi tentang penyelenggaraan sekolah dasar inklusi dari jawaban-jawaban responden pada pertanyaan kuesioner. Pertanyaan-pertanyaan kuesioner tersebut dibuat berdasarkan indikator-indikator hasil pengembangan dari delapan prinsip yang peneliti pilih. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner yang peneliti buat untuk mengumpulkan informasi telah sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan sekolah dasar inklusi yang menjadi dasar teori dari pembuatan instrumen.

Dokumen terkait