• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip-prinsip Asuransi Syariah

Dalam dokumen Oleh: EDVAN NIM : (Halaman 38-50)

BAB I PENDAHULUAN

B. Prinsip-prinsip Asuransi Syariah

Sebuah bangunan hukum akan tegak secara kokoh, jika dan hanya jika di bangun atas pondasi dan dasar yang kuat. Ibarat sebuah rumah, jika dibangun dengan pondasi yang rapuh maka cepat ataupun lambat rumah itu akan mengalami kehancuran dan roboh diterpa badai. Sebaliknya, bangunan rumah yang didasari dengan pondasi yang kuat akan menghasilkan sebuah rumah yang kokoh dan tahan terhadap badai.

Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomika islami secara komprehensif dan bersifat major. Hal ini disebabkan karena kajian asuransi syariah merupakan turunan dari konsep ekonomika islami. Biasanya literatur ekonomika islami selalu melakukan penurunan nilai pada tataran konsep atau institusi yang ada dalam lingkup kajiannya, seperti lembaga perbankan dan asuransi. Begitu juga dengan asuransi, harus dibangun di atas fondasi dan prinsip dasar yang kuat serta kokoh.

1. Tauhid (Ketakwaan)

Jika kita mencermati ayat-ayat Al-Qur‟an tentang muamalah, maka akan terlihat dengan jelas bahwa Allah selalu menyeru kepada umat-Nya agar muamalah yang dilakukan membawanya kepada ketakwaaan kepada Allah. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam beberapa ayat berikut ini.





































Artinya:“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Al-Munafiquun :9) Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam salah satu kitabnya Daurul qiyam wal akhlaq fil Iqtishadil Islami mengatakan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi Ilahiah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah, dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Kegiatan ekonomi baik produksi, konsumsi, penukaran, maupun distribusi, diikatkan pada prinsip Ilahiah dan pada tujuan Ilahi.10

Allah meletakkan prinsip Tauhid (ketakwaan) sebagai prinsip utama dalam muamalah. Oleh karena itu, segala aktivitas dalam muamalah harus senantiasa mengarahkan para pelakunya dalam rangka untuk meningkatkan ketakwaaan pada

10

Muhammad Yusuf al-Qaradhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishodil Islami (Peran Nilai

Allah. Inilah bagian dari hikmah mengapa dalam konsep muamalah yang Islami diharamkan beberapa hal berikut.11

1. Diharamkan muamalah yang mengandung maksiat kepada Allah. Sehingga yang dihasilkan dari perbuatan maksiat pun diharamkan.

2. Diharamkan memperjualbelikan barang-barang yang diharamkan, baik barang yang haram dikonsumsi (seperti:khamar dan babi), maupun haram untuk dibuat dan diperlakukan secara tidak proporsional (misalnya patung-patung).

3. Diharamkan berbuat kecurangan, penipuan, dan kebohongan dalam muamalah. Kecurangan dalam timbangan, kebohongan dalam jual beli yang kadang-kadang disertai dengan sumpah palsu, penipuan dan manipulasi data maupun rekayasa laporan keuangan dalam suatu perusahaan merupakan keniscayaan dan perbuatan haram dalam praktik muamalah yang Islami. 4. Diharamkan mempertuhankan harta. Korupsi, kolusi, nepotisme adalah buah

dari sikap manusia yang mempertuhankan harta dan jabatan. Sikap mempertuhankan harta akan berakibat menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Dan sikap ini juga akan menjadikan manusia (bias semena-mena mengambil hak orang lain secara tidak sah).

11

M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, ibid., h. 725-726

2. Al – ‘Adl (Sikap Adil)

Prinsip kedua dalam muamalah adalah al-„Adl „sikap adil‟.cukuplah bagi kita bahwa Al-qur‟an telah menjadikan tujuan semua risalah langit adalah melaksanakan keadilan. Implementasi sikap adil dalam bisnis merupakan hal yang sangat berat baik dalam industri perbankan, asuransi, maupun dalam bentuk-bentuk muamalah lainnya. Mungkin karena itulah, maka Allah demikian sering menekankan sikap adil ini ketika berbicara muamalah, demikian pula dalam hadits-hadits Nabi. Allah berfirman,



































Artinya :“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS. An-Nahl : 90)

Keadilan dalam asuransi dan reasuransi dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi atau asuradur dan reasuradur. Sikap adil dibutuhkan ketika menentukan nisbah mudharabah, musyarakah, wakalah, wadiah, dan sebagainya, dalam bank syariah. Sikap adil juga diperlukan ketika asuransi syariah menentukan bagi hasil dalam surplus underwriting, dan bagi hasil investasi antara perusahaan dan peserta. Karena itulah, transparansi dalam perbankan dan asuransi syariah menjadi sangat penting.

Pertama, nasabah asuransi harus memosisikan pada kondisi yang mewajibkan untuk selalu membayar iuran uang santunan (premi) dalam jumlah tertentu kepada perusahaan asuransi dan mempunyai hak untuk mendapatkan sejumlah dana santunan jika terjadi peristiwa kerugian. Kedua, perusahaan asuransi yang berfungsi sebagai lembaga pengelola dana mempunyai kewajiban membayar klaim (dana santunan) kepada nasabah

Di sisi lain, keuntungan (profit) yang dihasilkan oleh perusahaan asuransi dari hasil investasi dana nasabah harus dibagi sesuai dengan akad yang disepakati sejak awal. Jika nisbah disepakati antara kedua belah pihak 40:60, maka realita pembagian keuntungan juga harus mengacu pada ketentuan tersebut.12

3. A t - Ta’awun (Tolong-Menolong)

Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus didasari dengan semangat tolong-menolong (ta‟awun) antara anggota (nasabah). Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapatkan musibah atau kerugian.

12

A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis

Dalam hal ini, Allah SWT. Telah menegaskan dalam firmannya

































Artinya: “tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”(QS. Al-Maidah:2).

4. Al-Amanah (Terpercaya / Jujur)

Al-Qaradhawi mengatakan bahwa di antara nilai transaksi yang terpenting dalam bisnis adalah al-Amanah „kejujuran‟. Ia merupakan puncak moralitas iman dan karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang yang beriman. Bahkan kejujuran merupakan karakteristik para Nabi. Tanpa kejujuran, kehidupan agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak akan berjalan baik.

Al-Qur‟an memerintahkan pada manusia untuk jujur, tulus/ikhlas, dan benar dalam semua perjalanan hidupnya, dan ini sangat dituntut dalam bidang bisnis. Pada saat penipuan dan tipu daya dikutuk dan dilarang, bahkan hamper mendekati titik nadir, kejujuran bukan hanya diperintahkan. Ia dinyatakan sebagai keharusan yang mutlak dan absolut.

Sikap jujur akan terlihat dalam kemampuan dalam menjalankan amanah-amanah yang diberikan. Orang yang jujur sudah pasti amanah-amanah dalam setiap kepercayaan yang diberikan kepadanya.13

Firman Allah SWT,

























Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.” (Q.S. Al-Anfaal:27)

Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggung jawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan harus member kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam bermuamalah dan melalui auditor public.

Prinsip amanah juga harus berlaku pada diri nasabah asuransi dan reasuransi. Seseorang yang menjadi nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran (premi) dan tidak memanipulasi kerugian (peril) yang menimpa dirinya. Jika seorang nasabah tidak memberikan

13

M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional., h. 739

informasi yang benar dan memanipulasi data kerugian yang menimpa dirinya, berarti nasabah tersebut telah menyalahi prinsip amanah dan dapat dituntut secara hukum.14

5. Larangan Maisir (Judi)

Allah SWT. telah member penegasan terhadap keharaman melakukan aktivitas ekonomi yang mempunyai unsure maisir (judi):

Firman Allah dalam QS al-Maidah :90

































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Zarqa mengatakan bahwa adanya unsure gharar menimbulkan al-qumar. Sedangkan al-qumar sama dengan al-maisir, gambling, dan perjudian. Artinya, ada salah satu pihak yang untung tetapi ada pula pihak lain yang rugi. Husain ahmid Hasan berkomentar mengenai akad judi. Menurutnya akad judi adalah akad gharar, karena masing-masing pihak yang berjudi dan bertaruh menentukan pada waktu akad jumlah uang yang diambil atau jumlah yang ia berikan itu bias ditentukan nanti, tergantung pada suatu peristiwa yang tidak pasti, yaitu jika menang maka ia mengetahui jumlah yang diambil, dan jika kalah maka ia mengetahui jumlah yang ia berikan.

14

A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis

Syafi‟i Antonio mengatakan bahwa unsure maisir judi artinya adanya salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga adanya unsure keuntungan yang dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, di mana untung-rugi terjadi sebagai hasil dari ketetapan.

6. Larangan Gharar (Ketidakpastian)

Gharar dalam pengertian bahasa adalah al-khida‟ (penipuan), yaitu suatu tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsure kerelaan. Wahbah al-Zuhaili member pengertian tentang gharar sebagai al-khatar dan al-taghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian. Oleh karena itu dikatakan: al-dunya mata‟ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu.15

Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak (misalnya: peserta asuransi, pemegang polis dan perusahaan) saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah salah satu kontrak yang dibuat berdasarkan pengandaian (ihtimal) semata.

15

A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis

Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai peranan yang begitu hebat dalam menjamin keadilan.

Jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi secara zatnya tetap termasuk dalam kategori bay‟ al-gharar yang diharamkan. Walaupun nisbah / persentase atau kadar bayar telah ditentukan agar peserta asuransi / pemegang polis maklum, ia tetap juga tidak tahu, kapankah musibah akan terjadi? Di sinilah gharar terjadi.

Selanjutnya pada bagian manakah gharar „ketidakpastian‟ terjadi pada asuransi konvensional yang kita kenal selama ini? H.M. Syafi‟i Antonio pakar ekonomi syariah menjelaskan bahwa gharar atau ketidakpastian dalam asuransi konvensional ada dua bentuk.

1. Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis.

2. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar‟I penerimaan uang klaim itu sendiri.

Secara konvensional, kata Syafi‟i, kontrak / perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan sebagai aqad tabaduli atau akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara syariah, dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (jumlah sseluruh

premi) karena hanya Allah SWT. yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Disinilah gharar terjadi pada asuransi konvensional.16

7. Larangan Riba

Dalam setiap transaksi, seorang muslim dilarang memperkaya diri dengan cara yang tidak dibenarkan:

















































Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”

Ada beberapa bagian dalam al-Qur‟an yang melarang pengayaan diri dengan cara yang tidak dibenarkan. Islam menghalalkan perniagaan dan melarang riba.











Artinya : “Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(QS. Al-Baqarah : 275)

Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistic riba berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan untuk istilah teknis riba berarti pengambilan penambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalahh pengambilan tambahan baik dalam

16

M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, ibid., h. 47-48

transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.17

Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa pengertian riba dari sisi syara‟ ialah penambahan dalam perkara-perkara tertentu. Definisi ini merupakan definisi ulama mazhab Hambali. Kitab al-Kanz (mahzab Hanafi) mendefinisikan riba sebagai “kelebihan suatu harta tanpa penggantian di dalam suatu kontrak pertuakaran harta dengan harta”. Maksudnya ialah kelebihan harta walaupun kelebihan itu dalam bentuk hukum saja.

Lebih lanjut az-Zuhaili mengatakan, ada dua jenis riba yang diharamkan dalam Islam. Pertama, riba an-nasi‟ah yang satu-satunya diketahui oleh orang Arab Jahiliah. Yaitu, riba yang diambil karena si peminjam yang tidak mampu membayar utangnya yang telah jatuh tempo, kemudian ditetapkan tempo baru, tidak terkecuali apakah utang tersebut berupa harga barang yang dijual ataupun utang uang (qard). Kedua, riba al-fadl yaitu jual beli yang terdapat dalam enam jenis, yaitu emas, perak, gandum, syair (sejenis gandum) garam, dan buah tamar. Riba ini diharamkan atas dasar sad adh-dharai‟ yaitu untuk menghindar dari sampai kepada riba an-nasi‟ah. Contohnya seperti seorang menjual emas dengan emas untuk suatu waktu tertentu kemudian dibayar dengan perak dengan kadar yang lebih mengandung unsur riba.18

17

A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis

Historis, Teoritis, dan Praktis, ibid., h. 131-132 18

M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional,

Dalam dokumen Oleh: EDVAN NIM : (Halaman 38-50)

Dokumen terkait