BAB 3 GAMBARAN UMUM KOALISI UNTUK
3.1. Profil ”Koalisi untuk Kebebasan Informasi”
3.1.4. Prinsip-prinsip Kebebasan Informasi
Prinsip-prinsip kebebasan informasi yang dijadikan dasar oleh
Koalisi dalam menyusun draf Rancangan Undang-Undang Kebebasan
Memperoleh Informasi (RUU KMI) adalah prinsip-prinsip yang berlaku secara internasional, dalam pengertian prinsip-prinsip yang juga digunakan negara-negara lain yang telah memiliki Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi. Prinsip-prinsip kebebasan
informasi yang dianut Koalisi sejumlah sembilan prinsip, bersesuaian
dengan sembilan prinsip yang dikemukakan Article 19 yang disebut The
Public's Right to Know sekalipun dengan rumusan kalimat yang berbeda,
yang menyebutkan standar-standar praktek terbaik tentang perundang- undangan kebebasan memperoleh informasi. Didasarkan kepada hukum dan standar internasional maupun kewilayahan, praktek
pernegara yang sedang berrevolusi, dan prinsip-prinsip umum tentang hukum yang diakui masyarakat antar bangsa (Mendel, 2004:23).
Terdapat satu prinsip dalam The Public's Right to Know yang tidak
tercantum dalam rumusan prinsip pada Koalisi yaitu prinsip
“Keterbukaan informasi adalah prioritas” dengan pernyataan singkat bahwa undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan informasi yang maksimum seharusnya diubah atau dibatalkan. Kemudian prinsip “Ancaman hukuman bagi mereka yang menghambat
akses informasi publik” tidak terdapat pada prinsip dalam The Public's
Right to Know. Prinsip-prinsip yang dianut Koalisi tersebut (Koalisi, 2003:59-69) sebagai berikut:
1. Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi sebagai perangkat koordinasi dan harmonisasi.
Informasi publik memiliki ruang lingkup yang luas, mencakup segala informasi yang dihasilkan, dikelola atau dihimpun dari kegiatan yang didanai oleh dana publik dalam berbagai bentuknya. Prinsip ini
dimaksudkan Koalisi supaya apabila terdapat ketentuan peraturan
yang menyangkut informasi, undang-undang kebebasan memperoleh informasi menjadi payungnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Agus
Sudibyo, Koordinator Bidang Lobi Koalisi :
Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi seyogyanya menjadi perangkat koordinasi dan harmonisasi dari undang- undang sektoral yang sama-sama mengatur hak/kewajiban masyarakat atau negara atas informasi. Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi tidak mengingkari adanya beberapa jenis informasi yang harus dikecualikan dalam klasifikasi informasi rahasia, misalnya saja informasi yang jika dibuka kepada publik dapat membahayakan kepentingan pertahanan nasional, keselamatan bangsa, atau kekayaan intelektual. Namun, pengklasifikasian kerahasiaan sebuah informasi harus bersifat jelas, ketat, terbatas, dan mengacu kepada kepentingan publik
62
yang lebih besar.
Prinsip ini menjadi argumentasi yang kuat bagi Koalisi
sehubungan diajukannya draf RUU Rahasia Negara oleh Pemerintah
yang dianggap Koalisi memiliki paradigma yang berseberangan dengan UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, karena UU Rahasia Negara berparadigma ketertutupan. Padahal di dalam draf RUU KMIP
versi Koalisi tahun 2002, terdapat pasal tentang informasi yang
dikecualikan yaitu apabila dibuka akan menghambat atau mengganggu proses penegakan hukum, merugikan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan persaingan usaha sehat, membahayakan pertahanan dan keamanan nasional, mengganggu hubungan baik antara negara RI dengan negara lain, akan merugikan satu negara atau lebih, akan
melanggar privasi pribadi, (Koalisi, 2003 : 125-126).
2. Permintaan Informasi tidak perlu disertai alasan
Anggota masyarakat tidak mempunyai kewajiban untuk menjelaskan alasan-alasan tertentu, sebab informasi yang dikelola lembaga publik tersebut pada dasarnya menjadi hak miliknya sebagai warga masyarakat. Dicontohkan di Jepang, (Katharina, 2003 : 84):
Untuk mengajukan permohonan informasi, tidak diwajibkan bagi peminta informasi memberikan alasan mengapa mereka meminta informasi tertentu. Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Akses Informasi Jepang hanya mengatur bahwa setiap peminta informasi wajib mengajukan permintaan informasi dengan menyertakan (1) nama dan alamat yang jelas; dan (2) spesifikasi informasi yang diminta dan keterangan lain yang memudahkan pencarian informasi. Perihal memperoleh informasi secara cepat dan tepat waktu diatur secara rinci dalam Undang-Undang Akses Informasi.
Masalah permintaan informasi yang tidak memerlukan alasan,
terdapat pandangan yang berbeda antara Koalisi dengan sementara
anggota DPR RI di saat dijelaskan oleh pengusul inisiatif anggota DPR RI 20 Maret 2002. Pendapat yang menyatakan alasan permintaan informasi perlu dikemukakan, sebagai bentuk pertanggungjawaban publik peminta/pengguna informasi sehingga kelangsungan kepentingan
nasional tetap terpelihara, sebagaimana dikemukakan Santosa (Koalisi,
2003 : xvii). Dalam pembahasan selanjutnya antara pemerintah dan DPR RI, pandangan semacam ini masih mengemuka seperti dalam daftar inventarisasi masalah pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik terdapat usulan
bahwa setiap pengguna informasi publik berhak mengajukan
63
permintaan informasi publik disertai alasan permintaan tersebut.
Koalisi dalam memberikan masukan kepada DPR RI tetap berpendapat
bahwa permintaan informasi tidak perlu disertai alasan.
3. Akses yang bersifat sederhana, murah, cepat dan tepat waktu.
Dalam penjelasan awal disebutkan bahwa UU Kebebasan Memperoleh Informasi bertujuan menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Oleh karena itu pengaturan undang-undang ini akan menitikberatkan kepada kewajiban Badan Publik untuk memenuhi dan menjamin hak masyarakat atas informasi.
Prinsip ini bersesuaian dengan prinsip “biaya” dari Article 19
bahwa orang tidak boleh dihambat dalam meminta informasi melalui biaya yang berlebihan walaupun peminta informasi tetap dikenakan biaya. Contoh kasus dalam undang-undang kebebasan informasi di Jepang, peminta informasi dikenakan biaya, dan pengaturan permintaan informasi berbeda-beda di tiap-tiap daerah. Di tingkat nasional peminta informasi hanya dapat dibebani dengan biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh badan tersebut. Namun demikian, dalam menerapkan biaya, pejabat publik harus mempertimbangkan apakah biaya tersebut dapat dipikul oleh peminta informasi. Apabila ada kesulitan ekonomis dalam memikul biaya, pejabat Badan Publik yang bersangkutan dapat mengurangi atau membebaskan peminta informasi dari biaya yang seharusnya ditanggung (Mendel, 2004:34).
4. Informasi harus bersifat utuh, akurat, benar, dan dapat dipercaya.
Informasi tidak hanya menjadi kebutuhan masyarakat untuk menjamin hak asasinya melainkan akses terhadap informasi merupakan bentuk pertanggungjawaban Badan Publik terhadap amanat publik dan dana publik yang digunakan.
Untuk menjamin terlaksananya prinsip ini Badan Publik seperti akan menghadapi kendala karena sebagaimana dinyatakan Menteri Komunikasi dan Informasi, kemungkinan Badan Publik belum dapat menyediakan informasi yang utuh, akurat, benar dan dapat dipercaya
63Departemen Komunikasi dan Informatika. 2006. Daftar Inventaris Masalah (DIM) Pemerintah atas Rancangan
sehubungan masih lemahnya pendokumentasian pada badan-Badan Publik. Penamaan/ peristilahan data yang tidak konsisten sehingga membingungkan dan mempersulit pertukaran informasi, serta sistem penyimpanan data dan dokumen yang tidak memperhatikan
64
kemudahan menemukan kembali (retrive). Dalam pembahasan daftar
inventarisasi masalah RUU KMIP Menteri Komunikasi dan Informatika mengusulkan masa mulai berlakunya Undang-undang dengan mengajukkan masa peralihan selama lima tahun. Namun, disampaikan
Sulistyo, Koalisi berpendapat bahwa jangka waktu lima tahun terlalu
lama. Berdasarkan pengamatan Koalisi di beberapa daerah di Pulau Jawa
yang telah memiliki Perda tentang transparansi dan kebebasan informasi terbukti bahwa Badan Publik dan peminta informasi sama-sama menyadari proses pemberdayaan itu dapat terintegrasi dalam
65
implementasi Undang-Undang KMIP.
5. Akses maksimum dan pengecualian yang terbatas (Maximum access and limited exemption).
Prinsip ini sangat diperjuangkan oleh Koalisi karena prinsip ini
merupakan syarat untuk memenuhi asas keterbukaan dalam informasi.
Seluruh informasi publik menurut Koalisi pada dasarnya bersifat
terbuka. Pengecualian hanya dapat dilakukan secara ketat, terbatas, dan berorientasi kepada kepentingan umum. Pengecualian sebuah informasi dapat dilakukan bersandar kepada prinsip jika dipertimbangkan bahwa pembukaan sebuah informasi dapat menimbulkan konsekuensi yang
tidak diinginkan (consequensial harm test). Informasi yang dikecualikan
pun dapat dibuka apabila setelah diuji akan lebih menguntungkan
kepentingan yang lebih besar (balancing public interest test).
Dalam prinsip menurut Article 19, keterbukaan informasi adalah
prioritas. Undang-undang yang tidak sesuai dengan keterbukaan informasi yang maksimum seharusnya diubah atau dibatalkan. Undang-undang tentang kebebasan informasi harus berada di atas undang-undang kerahasiaan jika prinsip keterbukaan maksimum ingin dihormati dan jika budaya kerahasiaan ingin diatasi (Mendel, 2003:35).
64Kualitas Layanan Informasi Publik Dalam Era Transparansi dan Kebebasan Memperoleh Informasi. Kementrian
Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. Makalah. 2002.
Prinsip maksimum akses banyak menimbulkan kecurigaan terjadinya keterbukaan yang tidak terbatas. Sebagaimana dikemukakan
Santosa (Koalisi, 2003:xxii-xxiv) terjadi persepsi yang keliru terhadap
keterbukaan, seperti persepsi bahwa keterbukaan mendorong akulturasi negatif yang merugikan masyarakat secara luas, mengancam kedaulatan negara dan bangsa, menyuburkan suasana ketidakamanan, menghambat penegakan hukum. Persepsi-persepsi keliru ini menurut Santosa, sering muncul dalam konsultasi publik yang menghadirkan aparatur pemerintah di berbagai daerah.
6. Informasi Proaktif
Hak atas informasi meliputi juga hak untuk diberitahu. Informasi yang harus diberitahukan secara proaktif kepada masyarakat meliputi: informasi dalam rangka mensosialisasikan kebijakan; ruang lingkup Badan Publik; gambaran kepada masyarakat mengenai informasi yang dimiliki serta tata cara untuk mendapatkan informasi; informasi mengenai rencana pembuatan suatu kebijakan dalam rangka memfasilitasi partisi- pasi masyarakat. Informasi yang wajib diumumkan tanpa di tunda-tunda yaitu informasi mengenai ancaman terhadap hajat hidup orang banyak.
Dalam draf RUU KMIP versi Koalisi tahun 2002, dikemukakan
jenis-jenis informasi publik yaitu: informasi publik yang harus diumum- kan; yang harus tersedia setiap saat; serta yang harus diumumkan secara serta merta, disamping pengecualian informasi publik.
7. Penyelesaian Sengketa Secara Cepat, Murah, dan Independen
Prinsip yang dianut Koalisi untuk menyelesaikan sengketa
informasi antara pihak masyarakat dengan pemerintah adalah cepat, tepat waktu dan sederhana. Mekanisme penyelesaian informasi tidak diserahkan kepada mekanisme di pengadilan umum. Sehubungan
dengan itu Koalisi ber-pendirian perlu dibentuk Komisi Informasi yang
berfungsi menyelesaikan sengketa informasi publik antara Badan Publik dan peminta informasi melalui mediasi atau ajudikasi.
Dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah RUU KMIP antara pemerintah dan DPR keberadaan Komisi Informasi menjadi perdebatan. Pemerintah berpendapat bahwa penyelesaian sengketa tidak perlu ditangani Komisi Informasi tetapi dapat dibebankan kepada lembaga pemerintah yang telah terbentuk, seperti Komisi Ombudsman.
8. Ancaman hukuman bagi mereka yang menghambat akses informasi publik
Undang-undang KMIP menurut pendapat Koalisi seharusnya
memuat ancaman pidana kepada setiap orang yang dengan sengaja menghalangi akses informasi publik dalam bentuk dengan segaja menghancurkan informasi, membuat informasi yang tidak benar, tidak mendokumentasikan dan tidak memberikan informasi sesuai dengan kewajiban.
Dalam draf RUU KMIP versi Koalisi tahun 2002, dicantumkan
sangsi pidana, antara lain dalam pasal 54 yang berbunyi: setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan, merusak, membuat sehingga tidak dapat digunakan lagi, atau menghilangkan informasi publik apapun dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya 10 (sepuluh) tahun dan serendah-rendahnya 2 (dua) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah)
dan serendah-rendahnya Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) (Koalisi,
2003:156-157).
9. Perlindungan terhadap informan dan pejabat publik yang beritikad baik
Jaminan hukum bagi pejabat publik yang dengan itikad baiknya bersedia memberikan informasi yang diminta masyarakat, diperlukan, mengingat pejabat publik akan diliputi kekhawatiran ancaman pidana jika mengeluarkan informasi penting tertentu. Dalam prinsip yang
dikemukakan Article 19 perlindungan terhadap informan diperlukan
apalagi apabila informan mengungkap pelanggaran (whistle-blower)
(Mendel, 2003 : 35).
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Saksi
66
dan Korban, Nomor 13 Tahun 2006, Tanggal 11 Agustus 2006. Menurut Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM, terdapat beberapa hal yang belum termasuk dalam undang-undang ini yaitu antara lain perlindungan saksi dan korban khusus anak dan
perempuan, perlindungan terhadap whistle-blower. Belum ada
pengelompokan saksi, misalnya saksi secara umum, saksi dalam kasus pidana berat seperti narkoba dan korupsi, saksi yang berkaitan dengan
korban. Penyempurnaan terhadap undang-undang ini dapat dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang
67
pembentukannya telah diamanatkan oleh undang undang ini.
Dalam rangka otonomi, menurut Santosa (Koalisi, 2003:vii)
pemerintah daerah dimungkinkan memiliki peraturan yang sifatnya lebih progressif dari UU KMIP dalam menerjemahkan 9 (sembilan) prinsip-prinsip tersebut di atas.