• Tidak ada hasil yang ditemukan

The failure of Indonesian Diplomacy, Indonesia's

BAB 2 CITRA, INFORMASI DAN DIPLOMAS

2.3. The failure of Indonesian Diplomacy, Indonesia's

Pada tahun 2003 telah dilakukan studi oleh Sukawarsini

Djelantik untuk memperoleh gelar Doctor of Philosophy pada Flinders

University Australia, dengan judul disertasi: ”The Failure of Indonesian

Diplomacy? Indonesia's Political and Diplomatic Relations with Australia

Over East Timor”. Metode penelitian yang digunakan adalah studi

kasus. Maksud Studi adalah mengevaluasi keterbatasan dan kegunaan diplomasi sebagai suatu alat untuk menganalisis kinerja kegiatan diplomasi Indonesia dalam kerangka penyelenggaraan diplomasi Indonesia dengan Australia hubungannya dengan isu yang spesifik tentang Timor Timur.

Membahas perkembangan diplomasi, sehubungan dengan perkembangan teknologi modern, Sukawarsini, mengutip pendapat R.P Barston, yang mengemukakan bahwa perubahan fundamental di abad 21 (dua puluh satu) khususnya yang berhubungan dengan teknologi Informasi, telah memaksa negara merumuskan kembali praktek diplomasi mereka. Melalui perkembangan teknologi informasi peran diplomat yang ditempatkan di luar negeri menjadi berkurang. Sehubungan dengan itu peranan media massa dan diplomasi publik menjadi penting. Sekalipun diplomasi tradisional dan instrumen militer masih diperlukan, hal itu tidak cukup, sehingga suksesnya suatu kebijakan juga mensyaratkan adanya dukungan dari masyarakat negara lain termasuk pemimpinnya. Diplomat harus memobilisasi koalisi dukungan dari masyarakat dalam negeri sendiri dan juga masyarakat dari luar negeri.

Secara tradisional, diplomasi adalah tertutup dan hanya berhubungan dengan diplomat serta wakil pemerintahan yang resmi. Lain halnya dalam masyarakat terbuka, kerahasiaan dan ketertutupan informasi tidak memiliki tempat lagi. Tambahan lagi, gagasan, dan modal, bergerak sangat cepat, dan dengan tanpa hambatan melintasi jaringan global dari pemerintahan, perusahaan, dan organisasi- organisasi nonpemerintah. Diplomasi publik mencakup kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanamkan opini publik di negara lain, seperti mewujudkan adanya interaksi antara kelompok masyarakat dari satu negara dengan kelompok masyarakat negara lain, antara

diplomat dengan koresponden negara lain, serta melalui proses komunikasi antarbudaya. Sehubungan dengan itu peranan lembaga

seperti antara lain Asia Foundation, Japan Foundation, The Centre for

Strategic and International Studies (CSIS) di Indonesia mempunyai arti penting dalam diplomasi publik.

Membahas mengenai kondisi diplomasi Indonesia selama Orde Baru, dikemukakan Sukawarsini bahwa sekalipun Departemen Luar Negeri Indonesia telah mengkomunikasikan kebijakan luar negeri Indonesia kepada masyarakat luar negeri dan juga menyebarkan adanya perubahan-perubahan dalam hubungan internasional kepada masyarakat dalam negeri, tetapi upaya itu tidak didukung oleh budaya politik, dan oleh proses pembuatan keputusan di dalam pemerintahan Indonesia. Peranan ABRI di masa Orde Baru merupakan faktor krusial yang telah menghambat lajunya peranan Departemen Luar Negeri sebagai aktor utama dalam kegiatan diplomasi, seperti beberapa kasus pelanggaran terhadap hak asasi manusia oleh ABRI. Selain itu Undang- undang Kebebasan Informasi yang dikenal luas di Negara Barat tidak pernah terwujud selama Orde Baru. Informasi dipegang secara rahasia oleh pejabat pemerintah dan tidak pernah dikemukakan kepada masyarakat.

Hubungannnya dengan Australia, khususnya dalam kasus Timor Timur, Indonesia tidak mempertimbangkan Australia sebagai negara yang memiliki peranan berarti bagi penyelenggaraan kebijakan

luar negeri Indonesia karena Australia secara de facto, dan de jure telah

mengakui integrasi Timor Timur ke dalam negara Indonesia tahun 1978. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya ternyata sikap pemerintah dan masyarakat Australia berubah setelah terjadinya serangkaian pelanggaran hak asasi manusia oleh ABRI terhadap masyarakat Timor Timur seperti insiden Balibo tahun 1975, insiden Dili tahun 1991, dan lain-lain yang tidak disenangi oleh masyarakat Australia.

Berdasarkan hasil studinya diperoleh kesimpulan bahwa secara umum diplomasi Indonesia telah gagal memelihara citra baik Indonesia, memelihara hubungan yang stabil atau untuk bernegosiasi mengenai kepentingan nasional Indonesia di Australia. Kinerjanya dipengaruhi secara signifikan oleh faktor internal dan eksternal; politik dalam negeri; isu regional dan internasional.

Secara internal Departemen Luar Negeri RI dihadapkan kepada masalah-masalah organisasi dan struktur, kekurangan dukungan sumberdaya manusia, dan kekurangan koordinasi antar Departemen Luar Negeri dengan departemen lain. Dalam berbagai kasus, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Canberra tidak banyak berperan, dan tidak berperan secara strategik, serta hanya melaksanakan kegiatan administrasi secara rutin.

Masalah lain adalah masalah dalam “politik dalam negeri” Indonesia sendiri. Peranan signifikan dari militer (ABRI) dalam politik Indonesia telah menghambat peran diplomasi Departemen Luar Negeri. Militer telah menyensor informasi dari Timor Timur dan mencegah akses ke Timor Timur. Kondisi ini tidak menguntungkan dalam terminologi menghadirkan citra Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi. Departemen Luar Negeri Indonesia tidak mempunyai kewenangan atau kekuasaan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.

Masalah eksternal, kegagalan diplomasi Indonesia mengacu kepada peranan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia yang memahami kompleksitas media internasional, sedangkan Departemen Luar Negeri Indonesia dan bagian pemerintahan lainnya tidak memahami kompleksitas media internasional dan tidak dapat memahami cara kerja sistem politik Australia.

Diplomasi Indonesia juga gagal untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan internasional. Revolusi dalam teknologi informasi memungkinkan aktor nonnegara dan warga negara secara individu memainkan peranan dalam diplomasi dan melakukan tindakan sebagai suatu kelompok penekan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sekalipun perubahan terjadi, Indonesia masih menggunakan paradigma lama dan sudut pandang diplomasi tradisional. Negosiasi masih ditangani pihak pemerintah tanpa diketahui publik. Diplomasi masih dipandang sebagai urusan wakil- wakil pemerintah dimana informasi dan keamanan nasional merupakan hak istimewa pejabat-pejabat pemerintah. Publik dianggap tidak memahami politik dan aktivitas diplomatik, serta pemerintah mengambil setiap keputusan atas nama kepentingan nasional.

Perubahan-perubahan dalam lingkungan dunia juga telah mengubah peranan publik dan individu dalam diplomasi publik. Bagaimanapun diplomasi Indonesia lalai memanfaatkan diplomasi jalur kedua yang sangat berarti, seperti pemerintahan Orde Baru yang lebih memfokuskan untuk menjaga dan meningkatkan hubungan baik antarpemerintah. Tidak digunakannya diplomasi publik memberi kontribusi yang berarti terhadap kegagalan diplomasi Indonesia di Australia. Departemen Luar Negeri Indonesia baru memulai aktivitas diplomasi publik setelah terjadi insiden Dilli tahun 1991, sementara aktor- aktor bukan negara orang Timor Timur telah memiliki periode yang panjang untuk menanamkan dukungan dari NGO's internasional, aktivis, dan media. Jaringan internasional memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap suksesnya diplomasi internasional orang Timor Timur.

Sekalipun telah terjadi revolusi teknologi informasi, serta hal itu mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam proses media nasional Indonesia, pemerintah Indonesia juga tidak banyak terlibat dalam proses secara keseluruhan untuk memperoleh informasi dan menyebarluaskannya. Hasilnya adalah publik Indonesia tidak memiliki informasi yang cukup tentang isu Timor Timur.

Sukawarsini menyimpulkan bahwa, mempertimbangkan seluruh faktor secara keseluruhan, diplomasi Indonesia telah gagal dalam mengupayakan keberhasilan diplomasi dengan Australia. Kegagalan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor berikut:

1) Diplomat Indonesia tidak memenangkan hati dan pikiran orang- orang Australia juga publik Timor Timur. Pendekatan diplomatik hanya berhubungan dengan tingkatan pejabat resmi dan mengabaikan peranan yang berarti dari diplomasi publik. 2) Diplomat Indonesia gagal karena mereka meremehkan potensi

Timor Timur yang membahayakan citra Indonesia di tingkat internasional.

3) Diplomat Indonesia tidak memperhitungkan sistem politik Australia dan proses pembuatan keputusan dalam pemerintahan Australia. Partai-partai oposisi tidak eksis di dalam sistem politik Indonesia, tetapi di Australia partai-partai oposisi memainkan peranan yang sangat berarti dalam mempengaruhi opini publik orang Australia tentang kasus Timor Timur. Diplomat-diplomat

Indonesia menganggap pernyataan-pernyataan partai oposisi sama saja dengan partai yang berkuasa. Pernyataan diplomatik Indonesia sering membingungkan apakah pernyataan itu ditujukan kepada pemerintah yang berkuasa atau kepada pemimpin oposisi.

4) Diplomasi Indonesia lebih dari dua dekade diwarnai berbagai

17

kepentingan, dan oleh kelompok yang berbeda.

Studi tentang kegagalan diplomasi Indonesia yang menyangkut isu Timor Timur telah menekankan betapa pentingnya diplomasi publik dalam mempengaruhi opini masyarakat suatu negara sehingga pada gilirannya dapat mempengaruhi kebijakan negara yang bersangkutan. Pemanfaatan aktor-aktor nonnegara dan media massa, baik nasional maupun internasional merupakan sasaran dalam penyelenggaraan diplomasi publik. Namun langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk memberdayakan diplomasi publik yang melibatkan publik-publik kepentingan seperti pebisnis, organisasi nonpemerintah, media massa dan lain-lain, belum terbahas secara konkret.

Berkenaan dengan penyelenggaraan diplomasi publik melalui

pendekatan public relations secara lebih mendalam, di dalam studi ini

akan ditelaah sesuai dengan fokus penelitian yang dianalisis. Bagaimana Penelitian ini diharapkan mampu secara khusus mengkaji peranan “Koalisi untuk Kebebasan Informasi” sebagai salah satu aktor

bukan negara dalam mewujudkan good governance untuk membangun

citra Indonesia.

2.4. Teori Konstruksi Sosial tentang Realitas (The Social

Dokumen terkait